
Teresia datang ke Jakarta. Dia hanya mampir khusus ketemu saya. Karena senin dia harus meeting di Singaoore. Dia adalah officer fund structure dari AMG SIDC New York. Tadinya saya janjian akan bertemu dengannya di Pulman Thamrin. Tetapi karena bertepatan ada janji dengan teman buka bersama di SMS, saya minta Teresia bertemu saya di Sumarecon. Saat Teresia datang, teman saya terkejut melihat wanita Italia yang cantik.
Kebetulan saya dan teman sedang diskusi seputar naiknya Yield obligasi Jerman dan Jepang. Diskusi menarik karena tahun 2023 pernah terjadi kolap nya bank di AS karena penurunan nilai aset bank-bank akibat kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral AS atau Fed. “ Mengapa” tanya teman saya.
Saya melirik kepada Teresia untuk minta menjelaskan. Maklum teman saya ini well educated. Saya tidak pede untuk jelaskan. Dan Teresia punya kompetensi cukup soal pasar uang. Teresia mengangguk.
“ Bank itu hidup dari likuiditas yang bersumber dari dana pihak ketiga atau deposan. “ Kata Teresia mengawali. “ Kelebihan dana yang masuk dibandingkan penyaluran kredit, menimbulkan masalah bagi bank. Karena maklum uang yang diterima bank itu berbunga. Setiap detik agronya jalan. Nah agar mereka tidak bleeding, maka uang deposan itu di invest kepada surat utang negara. Mengapa? Karena alasan surat utang negara nol risk.
So, selanjutnya bank menikmati spread antara bunga yang diterima dari obligasi dengan bunga deposan. Tentu itu lumayan besar untuk ngongkosi biaya operasi bank. Namun yang jadi masalah, skema pembelian Obligasi pemerintah sebagai sumber income bisa menimbulkan moral hazard. Fungsi bank sebagai intermediary untuk sector real menjadi berkurang. Bank sudah bekerja seperti rente.
“ Tentu tidak sehat dalam jangka Panjang. “ Kata teman.
“ Ya. Terutama menggerogoti fungsi uang sebagat alat produksi. Pada gilirannya akan memperlemah fundamental makro ekonomi negara. Uang lebih banyak beredar di sector moneter. Ini mendorong naiknya tingkat inflasi. Yang memaksa bank central naikan suku bunga. Nah sifat investasi surat utang atau bond atau obligasi itu, semakin tinggi bunga, semakin tinggi resiko dan semakin tinggi yield yang diperdagangkan di pasar.
Makanya engga aneh bila the fed menaikan suku bunga yang berdampak naiknya yield obligasi. Engga aneh bila kenaikan yield otomatis menjatuhkan asset bank berupa surat utang negara. Misal, kalau yield obligasi tenor 10 tahun 5%/tahun, itu value nya tinggal 80%. Apa jadinya kalau dua digit. Itu bisa tinggal 50%. Otomatis nilai asset bank pada neraca ikut jatuh juga. Kejatuhan nilai asset memaksa bank harus tambah modal disetor. Kalau engga, CAR terancam dan tidak lagi eligible menerima tabungan. Ya collapse. Demikian perjelasan Teresia.
“ Lantas apa kaitannya dengan SBN Indonesia? Tanya teman.
“ Naiknya yield obligasi Jerman dan Jepang, itu lebih mengerikan dampaknya bagi SBN Indonesia. Mengapa? Karena selama ini yang mempengaruhi kenaikan suku bunga the fed adalah dua negara ini. Maklum dua negara ini merupakan kreditur AS. Kalau Yield obligasi mereka naik, akan memaksa the fed menaikan suku bunga agar spread melebar dan obligasi AS tetap sebagai pilihan bagi investor. Nah, kalau the fed naikan suku bunga, otomatis berdampak secara global.
Surat utang negara lain Yield nya akan terkerek naik, termasuk SBN. Kenaikan Yield SBN ini akan berdampak serius terhadap neraca Lembaga keuangan termasuk bank. Maklum sebagian besar asset bank, asuransi dan Dapen dalam bentuk SBN. Saat sekarang SBN yang menjaid asset bank mencapai 20 % dari total SBN yang beredar. Belum lagi SBN yang menjadi asset BI mencapai 25 % dari total SBN yang diterbitkan.” Kata Teresia.
“ Apa jadinya kalau yield SBN terus naik?
“ Ya asset bank ikut jatuh? Ya sistemiik. Keruntuhan massal.” Jawab teresia dengan santai.
“ So..” Teman bagi antusias ingin tahu lebih jauh.
“ Kalau trend kenaikan yield obligasi Jerman dan Jepang tidak segera dimitigasi dengan cepat oleh pemerintah Indonesia, ini akan sangat berbahaya. “ Kata Teresia dengan tersenyum.
“Solusinya apa?
“ Saya menyarankan pemerintah segera melakukan langkah kebijakan yang terencana dan jadikan keadaan ini sebagai momentum untuk perbaikan neraca hutang secara holistic. “
“ Gimana caranya? Kejar teman.
“ Untuk tahu bagaimana memitigasi resiko itu, kita harus tahu apa akar masalahnya sehingga Yield obligasi meningkat. “
“ Ya apa itu? Kejar teman lagi. Saya senyum aja.
“ Ya, karena baik pemerintah maupun bank central satu orchestra terhadap defisit. Pemerintah melakukan ekspansi fiscal lewat defisit dan bank central memonetisasi nya. Klop kan. Jadi bank central sudah masuk ke wilayah politik. Engga lagi focus sebagai Lembaga independent yang berpihak kepada market dan keeping trust. Makanya setiap pengumuman lapran defisit fiscal pemerintah, pasti disikapi negative oleh pasar. Terjadilah sell off, yang membuat yield meningkat. “ Kata Teresia.
Ggimana solusinya? Tanya teman. Teresia menghela napas. “ Ada tiga langkah kebijakan. “ Kata teresia.
Pertama, pemerintah harus mengurangi defisit fiscal. Caranya penggal APBN sampai 10%. Tapi bukan penggal untuk dialihkan sector lain. Benar benar potong anggaran sehingga APBN kita surplus. Kalau APBN surplus, tekanan terhadap kenaikan Yield obligasi bisa diredam. Trust pasar kembali. Resiko kenaikan yield bisa dimitigasi. Tetapi itu tidak selesai begitu saja.
Harus ada upaya strategis menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ? Tanpa investasi kan engga mungkin ada growth. Engga usah kawatir. “ kata Teresia tersenyum. “ Pemerintah bisa lakukan financial engineering untuk create revenue bond berbasis sumber daya alam. Tentu harus didukung dengan business model yang kuat lewat tersedianya infrastruktur pendukung baik sarana maupun regulasi. Mengapa? Agar resiko menjadi resiko bisnis yang bisa dimitigasi tanpa menjadi resiko negara. “ Lanjut teresia.
“ Wah menarik nih. caranya? Kata teman.
“ Setiap unit revenue bond diterbitkan oleh SPV. Untuk menjamin transfaranci dan akuntable, revenue bond itu di monetization menjadi structure fund berdasarkan tujuan strategis, seperti Housing Development program, renewal energi, downstream minerba & oil and gas. Downstream Agro dan kelautan.” Kata Teresia.
“ Apa mungkin pasar akan menyerap structure fund itu ?Gimana peluang sumber dana yang tersedia dia pasar ? besar? “ Tanya teman berkerut kening.
“ Saat sekarang total putaran structure fund di dunia mencapi diatas USD 50 triliun. Angka itu akan terus meningkat. Diperdagangkan lewat ETF. Tentu harus reliable dan market acceptable “ Kata Teresia.
“ Ya gimana ?
“ Pertama. Lewat financial engineering bisa dihitung resiko dan peluangnya. Dan ekosistem financial global saat sekarang menyediakan beragam produk risk menegement dan derivative, seperti CDS, credit link note, yang eligible dan marketable. Target investor adalah sophisticated investor yang punya uang minimum USD 100 juta. Semakin exclusive financial resource semakin exciting bagi investor.
Kedua. Skema pengelolaan SPV itu lewat MBO yang punya reputasi international terhadap ESG. Melibatkan sponsor yang menguasai tekhnologi dan market. Artinya penunjukannya jangan diserahkan kepada pertimbangan politik oligarki alias broker. Jadi, lakukan investor biding secara terbuka. Engga ada masalah kalau ternyata asing sebagai pemenang. Toh negara hanya focus kepada pajak dan penyerapan Angkatan kerja dan penerimaan devisa yang sekaligus penghematan devisa.
Ketiga, Skema pembiayaan adalah project financing. Pooling fund lewat revenue bond itu masuk ke trust account yang dedicated terhadap project management. Artinya SPV tidak terima uang. Tetapi terima project jadi. Tentu mensyaratkan pembangunan proyek dilakukan oleh EPC triple A, yang punya akses pada sumber daya keuangan sesuai dengan skema pembiayaan berbasis revenue bond yang direncang lewat financial engineering.
Dengan tigal term sheet itu, mendatangkan FDI tidak sulit. Tentu dengan ketentuan, pemerintah harus kick out semua pemain rente dan oligarki politik. Artinya kalau ingin menjadikan sumber daya negara sebagai comparative advantage, ya pastikan hukum tegak dan demokrasi established. Maka trust akan datang, uang akan mengalir dengan sendirinya sebagai mana business as usual. Kalau engga, sumber daya itu akan menadi kutukan. Dihabisi oleh oligarki manja yang hidup sebagai komprador. “ Kata Teresia.
“ Apakah ada contoh negara yang sukses lakukan skema itu? Tanya teman kemudian.
“ Anda bisa pelajari kasus Rwanda, Libia. Itu contoh vulgar. Negara yang terpuruk bisa bangkit dengan pertumbuhan ekonomi diatas 7%. Tidak ada yang tidak mungkin bagi pemerintah yang punya nait baik bekerja untuk kepentingan rakyat.” Kata Teresia tersenyum. Teman terhenyak dan terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Setelah teman pergi, saya bicara khusus dengan Teresia. Setelah itu dia kembali ke Hotel.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.