—-
Nama lengkapnya KH. Achmad Zaini Syafawi. Orang kampung memanggilnya
Gus Mad atau Yai Mad. Keluarga kami menyapanya Pakde Mad, sebab beliau
anak sulung kakek kami. Perawakannya tidak tinggi, sedang saja. Tidak
gemuk, tapi proporisonal. Wajahnya teduh, bercahaya. Jika memandang
paras wajah beliau dari dekat, saya teringat keteduhan wajah KH.
Sya’roni Ahmadi, wajah yang memancarkan kasih sayang, yang membuat orang
sekitar nyaman, bahkan segan. Beliau juga tak pernah menampilkan wajah
menyebalkan. Sepasang bibirnya juga menyiratkan senyum yang tertahan.
Beliau nyaris tak pernah marah. Kalau pun ada yang tidak sreg di
hatinya, Pakde Mad mengungkapkannya dengan lembut dan santai, tak pernah
reaksioner dan meledak-ledak.
Demikian juga saat mendapatkan
kabar. Beliau tak lantas langsung menyebarkannya, apalagi dengan ceroboh
menyampaikan kepada para santrinya. Pengasuh PP. Mabdaul Maarif,
Desa/Kec. Jombang Kab. Jember ini menyimpannya sembari melainkan mencari
alternatif informasi lain. Kalaupun sudah terverifikasi kebenarannya,
biasanya beliau menjelaskan kepada para santri dengan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami. Saat saya sowan, yang biasanya ditanyakan
Pakde Mad kepada saya adalah seputar isu-isu “sensitif”, khususnya yang
berkaitan dengan NU, organisasi yang beliau cintai. Misalnya, ketika
TEMPO mengangkat soal “Algojo 1965”, Pakde Mad meminta saya agar
membawakannya majalah tersebut. Beliau ingin membaca secara langsung,
bukan katanya, dan katanya.
Kalaupun ada santri yang mbeling,
beliau tak pernah merendahkannya di hadapan santri lain. Biasanya hanya
dipanggil dan dinasehati. Cara lainnya, beliau menegur santri melalui
surat. Betapa malunya seorang santri jika disurati pengasuhnya.
Santri KH. Bisri Syansuri ini sangat menghindari hukuman fisik bagi para
santri. Sebab, kata beliau kepada saya, aku ini diamanahi orangtua
santri untuk mendidik putra-putrinya, bukan untuk memukulinya. Bukankah
cubitan itu kadang dibutuhkan untuk menyadarkan santri yang nakal,
pakde? Saya bertanya. Tidak, bagiku al-fatihah dan shalawat jauh lebih
bermanfaat untuk meredam santri yang belum baik. Demikian beliau
menjawab. Lihatlah, kawan, bahkan guru saya ini menghindari istilah
“nakal”, dan menggantinya dengan istilah optimistik, “belum baik”.
Alumnus Ponpes Ma’had Ulum As-Syar’iyyah [MUS] Sarang, Rembang, ini
sangat kelihatan meniru jejak keteladanan guru beliau, KH. Ahmad Syua’ib
dan KH. Abdurrohim Ahmad. Baik dari kesederhanaan, ketawadluan dan
kekhumulan. Ketika mewarisi estafet kepemimpinan Ponpes Mabdaul Maarif
dari ayahnya, KH. Syafawi Ahmad Basyir, sejak 1984, Pakde Mad sudah
lahirbatin mendidik santri dan melayani masyarakat. Tampaknya beliau
sudah kenyang dicemooh, dimaki, bahkan difitnah. Ketika saya mendengar
fitnah di luar dan menyampaikannya kepada beliau, Pakde Mad hanya
mendengarkan, lalu diam, kemudian tersenyum sambil geleng-geleng. Lho,
mboten marah, pakde? Tanya saya. Nggak usah digubris, jawab beliau
sambil terkekeh lirih.
Selain menghadapi fitnah, Pakde Mad juga
serangan gaib, semacam santet. Juni 1996, saya ingat betul saat listrik
padam dan saya berniat mencari lilin bersama Muslimin, sahabat saya.
Saat berjalan di depan gedung MTs (saat ini dipake sebagai unit SMK dan
Diniyah Wustho), suasana tiba-tiba benderang dan kami melihat bola api
dengan bentuk seperti komet meluncur dari atas langit langsung
menghantam rumah Pakde Mad. Kemudian suasana gelap kembali. Anehnya, tak
ada suara dentuman maupun “prak” layaknya benda keras menghantam
genteng. Hanya sunyi saja seperti sebelumnya. Keesokan harinya, saya
menceritakan peristiwa aneh ini kepada Pakde Mad. Beliau yang sedang
sarapan hanya diam lalu (seperti biasa) tersenyum. “Nanti sampeyan akan
tahu sendiri apa itu.” Dan, di kemudian hari saya tahu itu adalah santet
yang mengerikan. Untunglah, beliau senantiasa dilindungi Allah dari
hal-hal jahat seperti itu.
Almarhum bapak saya mengomentari kakak
iparnya ini sebagai “…laki-laki yang tidak punya duri di hatinya.”
Sedangkan saya menjuluki beliau “kitab akhlak berjalan”, sebab apabila
ingin belajar mengenai kesabaran, ketekunan, kedisiplinan, dan
ketawadluan, beliau adalah jujukan, sebab sudah melekat dalam
kesehariannya. Soal kealiman, Pakde Mad lebih banyak menyamarkannya
dengan penampilannya yang bersahaja. Khumul dan menjauhi popularitas.
Saya masih ingat saat beberapa kali para santri mencantumkan gelar “KH”
di depan nama beliau dalam surat maupun publikasi umum, beliau dengan
cermat mencoret “KH” di depan namanya. Paling banter hanya mencantumkan
huruf “H” saja.
Masih banyak karakter pribadi beliau yang belum
saya ulas di sini. Yang paling saya ingat, kemampuan beliau menahan diri
agar tidak melakukan ghibah, apalagi namimah. Apabila ada tamu yang
mulai memancing beliau agar menggunjing, biasanya langsung dipotong
dengan lembut dan dialihkan ke pembicaraan lain. Kemampuan yang
membutuhkan latihan berat dan kedisiplinan untuk menahan mulut dan
mengikis “rasa penasaran” terhadap aib orang lain.
____
Beliau
wafat pada 2 Februari 2017 silam dalam usia 75 tahun. Mohon doanya agar
segala dosa beliau diampuni Allah, amal baiknya menjadi penerang alam
kubur, dan pahala jariyah beliau senantiasa mengalir.
Nanti malam haul beliau di PP. Mabdaul Maarif, Desa/Kec, Jombang Kab. Jember
ditulis oleh Rijal Mumazziq Z
Posted by Penerbit imtiyaz,http://penerbitimtiyaz.com/
Direktur Penerbit imtiyaz.
Oleh: Rijal Mumazziq Z
(Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.