Resensi

Metafora Ibu Bumi dalam Perspektif Ekofeminisme


 

Judul Buku: Asal-Usul Ekofeminisme: Budaya Patriarki dan
Sejarah Feminisasi Alam

Penulis: Aurora
Ponda

Penerbit: Cantrik
Pustaka

Cetakan: Januari
2021

Tebal: 144
halaman

ISBN: 978-623-6063-01-9

Peresensi: Bintu
Assyatthie

Simbiosis mutualisme adalah gambaran keterkaitan
antara bumi dan manusia yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Keduanya
saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Manusia menjaga dan merawat bumi,
sedangkan bumi memberikan kebutuhan pokok manusia berupa sandang, pangan dan
papan. Potensi memberi tanpa mengharap balasan adalah pengejawantahan dari
sosok ibu, yaitu rela berkorban nyawa demi melahirkan buah hati, merawat dan
membesarkannya. Karena itulah lahir istilah Ibu Bumi.  

Metafora
Ibu Bumi dipandang baik ketika memunculkan kesadaran bahwa bumi telah
memberikan banyak hal kepada manusia dengan ikhlas. Dalam beberapa daerah, ada
tradisi yang semakin menguatkan statement mengenai persamaan antara bumi dan
perempuan. Salah satunya, hasil riset penulis di Desa Wologai Tengah Kecamatan
Detusoko Kabupaten Ende, terdapat pemandangan unik pada rumah adatnya. Bagi
masyarakat Wologai, rumah adalah Rahim seorang ibu, yang membuat penghuninya
merasakan hangat dan terlindungi. Di setiap kanan kiri pintu utama terdapat lambang
sepasang payudara perempuan.  

Setiap
tahun masyarakat Wologai melakukan ritual syukur panen raya yang ditujukan pada
bumi. Itu merupakan bentuk penghormatan manusia pada Ibu Bumi yang masih
dilestarikan. Selain itu, ada banyak mitos Ibu Bumi yang berkembang di berbagai
belahan dunia, seperti Dewi Sri di Indonesia, Dewi Isis di Mesir, Demeter di
Yunani, dan Selu di Amerika Serikat.

Kedekatan
alam dan perempuan juga dilihat dari aktivitas pertanian yang mayoritas
dilakukan oleh kaum hawa. Bercocok tanam merupakan mata pencaharian utama
karena berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Di samping
itu, juga sebagai upaya menjaga (tidak merusak) tanah dan lingkungan. Karena,
bagaimanapun baik dan besarnya kasih sayang Ibu Bumi, tetap memiliki dua sisi
yang berseberangan, yaitu sisi baik yang ditunjukkan dengan kelembutan,
keikhlasan, kepedulian dan lain sebagainya. Ada pula sisi buruk yang
ditampakkan dengan kemarahan dan kemurkaan, seperti longsor, gempa, tsunami dan
lain-lain.

Namun,
sifat buruk Ibu Bumi terjadi biasanya sebagai dampak dari perilaku manusia itu
sendiri yang kurang menghargai keberadaan alam dan seluruh isinya. Misalnya,
melakukan penebangan hutan secara liar, buang sampah sembarangan, persoalan
pertambangan yang semakin merusak kekayaan alam dan masih banyak lagi yang
lainnya. Kerusakan alam menjadi salah satu problematika kebangsaan yang sampai
saat ini masih kurang mendapat sentuhan kebijakan dari pemerintah.

Dalam
perspektif ekofeminisme, bumi identik dengan perempuan yang dianggap sebagai
objek yang lemah. Ketertindasan alam akibat dominasi manusia merupakan pokok
persoalan yang semakin meningkat dari masa ke masa. Karena secara kultural ada
keterkaitan antara perempuan dan alam yang dipahami memiliki relasi simbolik,
konseptual dan bahasa antara feminisme dan isu-isu ekologis. 

Istilah
ekofeminisme dikemukakan pertama kali oleh Francoise d’Eaubonne dalam
artikelnya yang berjudul Le feminisme ou la mort pada tahun 1974.
Artikel tersebut berisi tentang penindasan terhadap perempuan dan alam.
Jejak-jejak ekofeminisme dapat dipahami dari beberapa aliran, yaitu
ekofeminisme liberal, radikal, spiritual, pembebasan hewan dan transformatif.

Feminisasi
alam atau yang diistilahkan dengan Ibu Bumi banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh
terdahulu mulai dari Platon hingga Jean-Jacques Rousseau. Namun, Aurora Ponda
dalam buku tersebut lebih menekankan pada kritik Greta Gaard terhadap
feminisasi alam. Dalam pandangan Gaard, tidak akan ada usaha yang berhasil
untuk membebaskan perempuan tanpa juga berusaha membebaskan alam. Inilah yang
menjadi perjuangan Gaard sebagai ekofeminis dengan melakukan beberapa gerakan,
seperti anti nuklir, kepedulian terhadap kesehatan perempuan, gerakan buruh,
gerakan pembebasan hewan serta gerakan GLBT.

Menurut
Gaard alam itu tidak bergender sebagaimana yang sering disamakan dengan sosok
perempuan dalam konteks budaya patriarki. Alam harus tunduk pada kehendak
manusia, sebagaimana perempuan harus tinduk pada kehendak laki-laki. Anggapan
itu sama halnya dengan melakukan seksualitas alam atau mengelaminkan alam.
Sehingga diperlukan sikap tegas untuk menempatkan alam bukan pada gender
maskulin ataupun feminim.  Karena hal itu
berdampak pada metafora “Ibu Bumi” dan dipandang sebagai sesuatu yang erotis.

Buku
mungil tersebut merupakan tindak lanjut dari tesis penulis yang berjudul Budaya
Pertanian Melahirkan Feminisasi Alam (Kajian tentang Pemikiran Greta Gaard
mengenai Feminisasi Alam
. Menurut saya, penulis telah memperkenalkan
asal-usul ekofeminisme yang sarat muatannya dengan aspek historis. Setiap
wilayah maupun negara memiliki cara tersendiri dalam menghormati bumi sebagai
sumber penghidupan. Namun pada perkembangan selanjutnya, di Indian (Amerika
Serikat) dan Sunda (Indonesia) alam mengalami ketertindasan, karena masyarakat
tidak kuasa menolak praktik kapitalisme yang masuk dalam wilayah mereka. Sedangkan
masyarakat Eropa merendahkan alam, karena mereka pelaku kapitalisme yang
menghancurkan alam itu sendiri.
 

Sedikit catatan, buku itu terdiri dari tujuh
bab. Pada bab tiga, lima, enam dan tujuh penulis memberikan rangkuman pada
setiap akhir babnya. Namun tidak pada sisa bab yang lain. Selain untuk menjaga
konsistensi sistematika penulisan, rangkuman juga berfungsi sebagai penguat
daya ingat pembaca serta memperjelas poin penting dalam bab tersebut.

          

Dimuat di JPRM pada Ahad, 20 Juni 2021


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top