[Sambungan dari Bag. 4-1 ]
1.
Mu’id ( المعيد )
Mu’id ( المعيد )
Mu’id
artinya: orang yang mengulangi, dan nama ini mencerminkan tugasnya. Biasanya, mu’id
adalah murid yang paling senior (faqih) dan cakap dari seorang syaikh di
suatu Madrasah.
artinya: orang yang mengulangi, dan nama ini mencerminkan tugasnya. Biasanya, mu’id
adalah murid yang paling senior (faqih) dan cakap dari seorang syaikh di
suatu Madrasah.
Mu’id
bertugas mengulangi kembali pelajaran yang diberikan syaikh dalam tatap
muka reguler agar dapat dipahami secara lebih baik oleh seluruh murid. Hal ini
diperlukan karena kemampuan dan penguasaan murid yang berbeda-beda terhadap materi yang disampaikan syaikh. Menurut Mehdi Nakosteen, mu’id memiliki julukan
profesional: mudarris (guru), untuk membedakannya dengan syaikh.
bertugas mengulangi kembali pelajaran yang diberikan syaikh dalam tatap
muka reguler agar dapat dipahami secara lebih baik oleh seluruh murid. Hal ini
diperlukan karena kemampuan dan penguasaan murid yang berbeda-beda terhadap materi yang disampaikan syaikh. Menurut Mehdi Nakosteen, mu’id memiliki julukan
profesional: mudarris (guru), untuk membedakannya dengan syaikh.
Seorang
mu’id ditunjuk oleh pewakaf, yang bertujuan memastikan seluruh murid di
Madrasahnya mengalami kemajuan yang diharapkan dalam proses pendidikannya,
walaupun mereka memiliki intake yang beragam dan diajar oleh seorang syaikh
serta metode yang sama. Namun, kualifikasinya ditentukan oleh syaikh.
Ia pada dasarnya adalah murid yang masih mengikuti pembelajaran secara reguler
– yakni, belum lulus – dan tugasnya itu ia jalankan di luar jadwal pembelajaran
reguler sebagai tambahan beban atas studinya sendiri.
mu’id ditunjuk oleh pewakaf, yang bertujuan memastikan seluruh murid di
Madrasahnya mengalami kemajuan yang diharapkan dalam proses pendidikannya,
walaupun mereka memiliki intake yang beragam dan diajar oleh seorang syaikh
serta metode yang sama. Namun, kualifikasinya ditentukan oleh syaikh.
Ia pada dasarnya adalah murid yang masih mengikuti pembelajaran secara reguler
– yakni, belum lulus – dan tugasnya itu ia jalankan di luar jadwal pembelajaran
reguler sebagai tambahan beban atas studinya sendiri.
Dengan
kata lain, mu’id adalah murid yang memiliki pengetahuan lebih tinggi
dibanding adik-adik kelasnya, karena ia telah lebih lama belajar kepada syaikh-nya,
sehingga memiliki kemampuan memberikan pemahaman, menyalurkan manfaat dan
menjalankan tugas “pengulangan” tsb. Tanpa itu, menurut
as-Subky, ia sebenarnya hanyalah seorang faqih biasa. Artinya, pada saat
bersamaan akan terdapat banyak sekali faqih atau pelajar level muntahi
dalam suatu Madrasah, namun tidak semuanya ditunjuk menjadi mu’id. Ada
prasyarat cukup ketat yang harus mereka penuhi.
kata lain, mu’id adalah murid yang memiliki pengetahuan lebih tinggi
dibanding adik-adik kelasnya, karena ia telah lebih lama belajar kepada syaikh-nya,
sehingga memiliki kemampuan memberikan pemahaman, menyalurkan manfaat dan
menjalankan tugas “pengulangan” tsb. Tanpa itu, menurut
as-Subky, ia sebenarnya hanyalah seorang faqih biasa. Artinya, pada saat
bersamaan akan terdapat banyak sekali faqih atau pelajar level muntahi
dalam suatu Madrasah, namun tidak semuanya ditunjuk menjadi mu’id. Ada
prasyarat cukup ketat yang harus mereka penuhi.
Jabatan
mu’id ini terkadang terpaksa diadakan akibat kurangnya tenaga yang layak
memangku jabatan syaikh, sehingga pernah selama 30 tahun Madrasah
an-Nashiriyah ats-Tsaniyah (Mesir) hanya ditangani oleh 10 orang mu’id,
tanpa seorang syaikh pun. Namun, bukan berarti seorang mu’id akan
terus mengemban tugasnya seumur hidup. Justru, banyak syaikh yang
mengawali karir ilmiahnya sebagai mu’id dari syaikh tertentu
sebelum akhirnya membuka halaqah-nya sendiri.
mu’id ini terkadang terpaksa diadakan akibat kurangnya tenaga yang layak
memangku jabatan syaikh, sehingga pernah selama 30 tahun Madrasah
an-Nashiriyah ats-Tsaniyah (Mesir) hanya ditangani oleh 10 orang mu’id,
tanpa seorang syaikh pun. Namun, bukan berarti seorang mu’id akan
terus mengemban tugasnya seumur hidup. Justru, banyak syaikh yang
mengawali karir ilmiahnya sebagai mu’id dari syaikh tertentu
sebelum akhirnya membuka halaqah-nya sendiri.
Ketika gurunya
mengajar, mu’id bertugas
memperhatikan dan mencatat siapa saja yang hadir dalam halaqah, atau membantu menertibkan hadirin. Terkadang, jumlah mu’id dari
seorang guru lebih dari satu. Pencatatan ini berhubungan dengan hak ijazah
(lisensi) yang
kelak diberikan di akhir pembacaan kitab. Maka, sebagian ulama’ kadang mengakui
membaca atau mendengar bagian-bagian kitab hadits tertentu dari guru yang
berbeda-beda. Misalnya, seluruh kitab Shahih al-Bukhari ia dengar
bacaannya dari guru A, kecuali bab ke-sekian yang ia dengar dari guru B, karena
ia pernah absen dari majlis pembacaan guru A diatas.
mengajar, mu’id bertugas
memperhatikan dan mencatat siapa saja yang hadir dalam halaqah, atau membantu menertibkan hadirin. Terkadang, jumlah mu’id dari
seorang guru lebih dari satu. Pencatatan ini berhubungan dengan hak ijazah
(lisensi) yang
kelak diberikan di akhir pembacaan kitab. Maka, sebagian ulama’ kadang mengakui
membaca atau mendengar bagian-bagian kitab hadits tertentu dari guru yang
berbeda-beda. Misalnya, seluruh kitab Shahih al-Bukhari ia dengar
bacaannya dari guru A, kecuali bab ke-sekian yang ia dengar dari guru B, karena
ia pernah absen dari majlis pembacaan guru A diatas.
Perlu
diperhatikan pula, bahwa ada atau tidaknya mu’id tergantung inisiatif waqif
dan nazhir, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi tsb dimuka yang
diselaraskan dengan dokumen wakaf maupun kelayakan mengajar. Maka, mu’id
tidak bisa dengan sendirinya naik menjadi syaikh walaupun telah lama
memangku jabatan ini, kecuali jika terpaksa akibat ketiadaan figur lain yang
layak menduduki kursi syaikh, dengan tetap memperhatikan dokumen wakafnya.
diperhatikan pula, bahwa ada atau tidaknya mu’id tergantung inisiatif waqif
dan nazhir, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi tsb dimuka yang
diselaraskan dengan dokumen wakaf maupun kelayakan mengajar. Maka, mu’id
tidak bisa dengan sendirinya naik menjadi syaikh walaupun telah lama
memangku jabatan ini, kecuali jika terpaksa akibat ketiadaan figur lain yang
layak menduduki kursi syaikh, dengan tetap memperhatikan dokumen wakafnya.
Sebagai
misal, sebelum diangkat sebagai syaikh di Madrasah Nizhamiyah Baghdad,
Hujjatul Islam al-Ghazali adalah mu’id bagi gurunya, Imam al-Haramain
al-Juwaini di Nisabur. Imam Ibnul Jauzi pernah menjadi mu’id bagi
gurunya, Syekh an-Nahrawani, setelah sebelumnya menjadi mufid. Setelah
an-Nahrawani wafat, Ibnul Jawzi diangkat menggantikan posisi gurunya.
Tampaknya, menjadi mufid, mu’id dan na’ib adalah jalur yang biasa
– meski tidak selalu begitu – bagi seorang murid sebelum akhirnya menduduki
puncak hirarki akademis.
misal, sebelum diangkat sebagai syaikh di Madrasah Nizhamiyah Baghdad,
Hujjatul Islam al-Ghazali adalah mu’id bagi gurunya, Imam al-Haramain
al-Juwaini di Nisabur. Imam Ibnul Jauzi pernah menjadi mu’id bagi
gurunya, Syekh an-Nahrawani, setelah sebelumnya menjadi mufid. Setelah
an-Nahrawani wafat, Ibnul Jawzi diangkat menggantikan posisi gurunya.
Tampaknya, menjadi mufid, mu’id dan na’ib adalah jalur yang biasa
– meski tidak selalu begitu – bagi seorang murid sebelum akhirnya menduduki
puncak hirarki akademis.
Pengangkatan seorang mu’id
– serupa dengan syaikh – didahului dengan pidato pengukuhan di hadapan
seluruh pelajar Madrasah. Terkadang, pidato ini mengundang perdebatan
berlarut-larut diantara pelajar, karena beberapa pandangannya yang dinilai
kontroversial, sebelum akhirnya syaikh Madrarah sendiri yang turun
tangan menengahinya.
– serupa dengan syaikh – didahului dengan pidato pengukuhan di hadapan
seluruh pelajar Madrasah. Terkadang, pidato ini mengundang perdebatan
berlarut-larut diantara pelajar, karena beberapa pandangannya yang dinilai
kontroversial, sebelum akhirnya syaikh Madrarah sendiri yang turun
tangan menengahinya.
2.
<.span>Mufid ( المفيد )
<.span>Mufid ( المفيد )
Mufid
berarti: orang yang memberikan faidah, dan memang itulah tugas utamanya.
Biasanya, ia merupakan murid senior, namun secara hirarkis masih sedikit berada
di bawah mu’id. Ia bertugas membantu murid-murid pemula yang mendapat
kesulitan dalam pelajarannya, atau semacam tutor.
berarti: orang yang memberikan faidah, dan memang itulah tugas utamanya.
Biasanya, ia merupakan murid senior, namun secara hirarkis masih sedikit berada
di bawah mu’id. Ia bertugas membantu murid-murid pemula yang mendapat
kesulitan dalam pelajarannya, atau semacam tutor.
Menurut
as-Subkiy, mufid – karena ia sebenarnya adalah pelajar yang masih
menempuh studi – harus melakukan riset ekstra, lebih dari pelajar lain pada
umumnya, lalu memanfaatkan hasil risetnya ini untuk membantu yang lain. Hanya
dengan memberikan faidah kepada orang lain inilah ia layak disebut sebagai mufid.
Menurut beliau, tanpa riset ekstra dan memberikan faidah ini,
maka haram baginya untuk mengambil kompensasi dari Madrasah. Dengan kata lain,
seorang mufid menerima sejumlah “tunjangan” atas jabatan dan tugas
ekstranya ini. Tunjangan serupa – tentunya – juga diberikan kepada mu’id.
Besarnya sesuai kemampuan Madrasah, sebagaimana telah ditentukan dalam dokumen
wakafnya. Contoh-contoh lebih detail untuk penggajian dapat di lihat pada bab
lain tentang manajemen keuangan.
as-Subkiy, mufid – karena ia sebenarnya adalah pelajar yang masih
menempuh studi – harus melakukan riset ekstra, lebih dari pelajar lain pada
umumnya, lalu memanfaatkan hasil risetnya ini untuk membantu yang lain. Hanya
dengan memberikan faidah kepada orang lain inilah ia layak disebut sebagai mufid.
Menurut beliau, tanpa riset ekstra dan memberikan faidah ini,
maka haram baginya untuk mengambil kompensasi dari Madrasah. Dengan kata lain,
seorang mufid menerima sejumlah “tunjangan” atas jabatan dan tugas
ekstranya ini. Tunjangan serupa – tentunya – juga diberikan kepada mu’id.
Besarnya sesuai kemampuan Madrasah, sebagaimana telah ditentukan dalam dokumen
wakafnya. Contoh-contoh lebih detail untuk penggajian dapat di lihat pada bab
lain tentang manajemen keuangan.
Kadang,
jabatan mu’id dan mufid ini tidak dibedakan, alias identik. Maka,
kriteria, tugas dan mekanisme pengangkatannya pun tidak jauh berbeda.
jabatan mu’id dan mufid ini tidak dibedakan, alias identik. Maka,
kriteria, tugas dan mekanisme pengangkatannya pun tidak jauh berbeda.
Tampaknya,
ada korelasi diantara ketiga jenjang “fungsional” ini (mufid, mu’id dan na’ib)
dengan tiga jenjang akademis yang harus dilalui seseorang dalam sistem
Madrasah. (Silakan lihat bagian tentang pelajar, di bawah).
ada korelasi diantara ketiga jenjang “fungsional” ini (mufid, mu’id dan na’ib)
dengan tiga jenjang akademis yang harus dilalui seseorang dalam sistem
Madrasah. (Silakan lihat bagian tentang pelajar, di bawah).
3.
Katib al-ghaibah ( كاتب الغيبة
)
Katib al-ghaibah ( كاتب الغيبة
)
As-Subky menyebutkan
dua jenis jabatan katib (pencatat) di dalam bukunya. Pertama,
katib al-ghaibah ‘ala al,fuqaha’, yang secara harfiah berarti pencatat
ketidakhadiran fuqaha’, semacam juru absen yang mengawasi keaktifan para
pelajar tingkat lanjut dalam mengikuti pembelajaran. Menurut beliau tugasnya
adalah: “Ia harus berpegang pada kebenaran. Tidak boleh mencatat orang-orang
yang tidak hadir, akan tetapi ia harus berempati kepada penyebab
ketidakhadirannya. Jika dia memang memiliki alasan (yang bisa diterima), ia
harus menjelaskannya. Jika dia mencatat tanpa didasari suatu bukti dan
pengetahuan, maka dia telah menzhalimi haknya. Namun, jika dia bersikap toleran
semata-mata dikarenakan hal-hal remeh yang dia nikmati dari seorang faqih
(pelajar), maka dia telah (berdiri) di tepi jurang neraka Jahannam.”
dua jenis jabatan katib (pencatat) di dalam bukunya. Pertama,
katib al-ghaibah ‘ala al,fuqaha’, yang secara harfiah berarti pencatat
ketidakhadiran fuqaha’, semacam juru absen yang mengawasi keaktifan para
pelajar tingkat lanjut dalam mengikuti pembelajaran. Menurut beliau tugasnya
adalah: “Ia harus berpegang pada kebenaran. Tidak boleh mencatat orang-orang
yang tidak hadir, akan tetapi ia harus berempati kepada penyebab
ketidakhadirannya. Jika dia memang memiliki alasan (yang bisa diterima), ia
harus menjelaskannya. Jika dia mencatat tanpa didasari suatu bukti dan
pengetahuan, maka dia telah menzhalimi haknya. Namun, jika dia bersikap toleran
semata-mata dikarenakan hal-hal remeh yang dia nikmati dari seorang faqih
(pelajar), maka dia telah (berdiri) di tepi jurang neraka Jahannam.”
Tampaknya, kasus
presensi pelajar yang tidak valid atau – dalam istilah sekarang – sekedar
“titip absen” sudah ada sejak dulu, sehingga As-Subky merasa perlu
mengingatkannya secara khusus. Lebih jauh, beliau bahkan memperingatkan
indikasi “suap” oleh para pelajar kepada juru absen itu, sehingga tetap dicatat
“hadir” walau sebetulnya tidak.
presensi pelajar yang tidak valid atau – dalam istilah sekarang – sekedar
“titip absen” sudah ada sejak dulu, sehingga As-Subky merasa perlu
mengingatkannya secara khusus. Lebih jauh, beliau bahkan memperingatkan
indikasi “suap” oleh para pelajar kepada juru absen itu, sehingga tetap dicatat
“hadir” walau sebetulnya tidak.
Tentang siapa yang
mengemban tugas ini, kami belum menemukan teks eksplisit. Namun, dalam Adab
al-‘Ulama’ wal Muta’allimin karya Maulana ‘Alamul Hajar al-Yamani, terdapat
isyarat bahwa ia ditangani oleh para asisten atau pembantu guru utama. Mungkin,
dia adalah Na’ib atau Mu’id dari seorang Syaikh.
mengemban tugas ini, kami belum menemukan teks eksplisit. Namun, dalam Adab
al-‘Ulama’ wal Muta’allimin karya Maulana ‘Alamul Hajar al-Yamani, terdapat
isyarat bahwa ia ditangani oleh para asisten atau pembantu guru utama. Mungkin,
dia adalah Na’ib atau Mu’id dari seorang Syaikh.
Kami juga belum tahu persis
apa fungsi lebih jauh dari catatan kehadiran pelajar ini. Namun, karena sistem
pembelajaran klasik tidak mengenal ujian massal dan periodik, maka ia tidak ada
hubungannya dengan syarat minimal kehadiran pelajar agar boleh mengikuti Ujian Akhir
Semester (UAS) seperti dalam sistem perkuliahan modern. Kami menduga pencatatan
ini bdrhubungan secara langsung dengan dokumen wakaf (syuruthu al-waqfi),
dimana setiap pelajar di dalam sebuah Madrasah akan berhak mendapat bagian dari
harta wakaf (yakni, beasiswa) jika mereka memenuhi standar perilaku dan
aktifitas harian tertentu, diantaranya adalah berapa kali dia harus mengikuti halaqah
atau membaca literatur yang ditentukan oleh Syaikh. Jika ia tercatat sering
membolos atau malas memenuhi kewajibannya, maka beasiswanya akan dicabut dan
dia dipersilakan meninggalkan Madrasah.
apa fungsi lebih jauh dari catatan kehadiran pelajar ini. Namun, karena sistem
pembelajaran klasik tidak mengenal ujian massal dan periodik, maka ia tidak ada
hubungannya dengan syarat minimal kehadiran pelajar agar boleh mengikuti Ujian Akhir
Semester (UAS) seperti dalam sistem perkuliahan modern. Kami menduga pencatatan
ini bdrhubungan secara langsung dengan dokumen wakaf (syuruthu al-waqfi),
dimana setiap pelajar di dalam sebuah Madrasah akan berhak mendapat bagian dari
harta wakaf (yakni, beasiswa) jika mereka memenuhi standar perilaku dan
aktifitas harian tertentu, diantaranya adalah berapa kali dia harus mengikuti halaqah
atau membaca literatur yang ditentukan oleh Syaikh. Jika ia tercatat sering
membolos atau malas memenuhi kewajibannya, maka beasiswanya akan dicabut dan
dia dipersilakan meninggalkan Madrasah.
Kedua, katib ghaibati as-sami’in,
yakni pencatat ketidakhadiran pendengar. Jabatan ini beliau hubungkan
dengan periwayatan hadits atau kitab oleh syaikhu ar-riwayah. Sepertinya,
ia berkorelasi dengan sistem ijazah dan isnad, yaitu untuk
menghindari pemalsuan keduanya oleh orang yang tidak pernah hadir dalam suatu
majlis pembacaan kitab. Oleh karenanya, kita bisa mendapati bahwa sebagian
ulama’ mengaku mendengar sebagian isi kitab secara langsung dari guru tertentu,
sedangkan selebihnya melalui ijazah atau dari guru lain. Misalnya, Yahya
bin Yahya al-Laitsi diketahui mendengar seluruh kitab al-Muwatha’ dari
pengarangnya sendiri, Imam Malik bin Anas, kecuali sebagian kecil darinya.
Konon, karena ragu pada sebagian teks, beliau mencari guru lain dan mendengarkan
pembacaan kitab itu darinya, sebab saat itu Imam Malik sendiri sudah wafat. Meski
kisah ini mungkin tidak terhubung dengan sebuah Madrasah secara langsung, namun
– paling tidak – mencerminkan dasar-dasar dari tradisi dimaksud.
yakni pencatat ketidakhadiran pendengar. Jabatan ini beliau hubungkan
dengan periwayatan hadits atau kitab oleh syaikhu ar-riwayah. Sepertinya,
ia berkorelasi dengan sistem ijazah dan isnad, yaitu untuk
menghindari pemalsuan keduanya oleh orang yang tidak pernah hadir dalam suatu
majlis pembacaan kitab. Oleh karenanya, kita bisa mendapati bahwa sebagian
ulama’ mengaku mendengar sebagian isi kitab secara langsung dari guru tertentu,
sedangkan selebihnya melalui ijazah atau dari guru lain. Misalnya, Yahya
bin Yahya al-Laitsi diketahui mendengar seluruh kitab al-Muwatha’ dari
pengarangnya sendiri, Imam Malik bin Anas, kecuali sebagian kecil darinya.
Konon, karena ragu pada sebagian teks, beliau mencari guru lain dan mendengarkan
pembacaan kitab itu darinya, sebab saat itu Imam Malik sendiri sudah wafat. Meski
kisah ini mungkin tidak terhubung dengan sebuah Madrasah secara langsung, namun
– paling tidak – mencerminkan dasar-dasar dari tradisi dimaksud.
Untuk diketahui pula, ijazah
– dalam terminologi Ahli Hadits – adalah izin meriwayatkan meskipun tidak
melalui pembacaan terlebih dahulu. Biasanya diberikan oleh seorang guru kepada
orang-orang yang ia percaya dan telah teruji kelayakannya.
– dalam terminologi Ahli Hadits – adalah izin meriwayatkan meskipun tidak
melalui pembacaan terlebih dahulu. Biasanya diberikan oleh seorang guru kepada
orang-orang yang ia percaya dan telah teruji kelayakannya.
Sehubungan dengan katib
ghaibati as-sami’in ini, as-Subki menulis: “hendaknya ia memastikan nama-nama
orang yang hadir dan turut mendengarkan, mengawari secara teliti siapa saja
yang mendengarkan atau tidak. Jangan sampai ia berdusta atas nama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menyatakan: ‘sungguh si fulan
mendengarkan’, padahal sebenarnya tidak. Jika ia bersikap sembrono dalam hal
ini, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.”
ghaibati as-sami’in ini, as-Subki menulis: “hendaknya ia memastikan nama-nama
orang yang hadir dan turut mendengarkan, mengawari secara teliti siapa saja
yang mendengarkan atau tidak. Jangan sampai ia berdusta atas nama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menyatakan: ‘sungguh si fulan
mendengarkan’, padahal sebenarnya tidak. Jika ia bersikap sembrono dalam hal
ini, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.”
4.
Imam ( الإمام )
Imam ( الإمام )
Yakni,
imam masjid di kompleks Madrasah. Biasanya, ia hafizh yang menguasai
beberapa qira’at, dan memimpin shalat dengan qira’at tsb secara
bergantian. Islam memandang adanya hubungan yang sangat erat antara shalat,
bacaan Al-Qur’an dan proses pendidikan, sehingga perlu ada pejabat khusus yang
menjalankan fungsinya.
imam masjid di kompleks Madrasah. Biasanya, ia hafizh yang menguasai
beberapa qira’at, dan memimpin shalat dengan qira’at tsb secara
bergantian. Islam memandang adanya hubungan yang sangat erat antara shalat,
bacaan Al-Qur’an dan proses pendidikan, sehingga perlu ada pejabat khusus yang
menjalankan fungsinya.
Menurut
Ibnul Ukhuwwah, seorang imam harus memenuhi kriteria, sbb: “laki-laki,
berakal sehat, qari’, faqih, tidak bersuara buruk atau berlidah berat dalam
mengucapkan lafal-lafal Al-Qur’an.” Anak kecil, budak, atau orang fasik sah
untuk menjadi imam shalat, akan tetapi mereka tidak layak diangkat sebagai imam
resmi sebuah masjid.
Ibnul Ukhuwwah, seorang imam harus memenuhi kriteria, sbb: “laki-laki,
berakal sehat, qari’, faqih, tidak bersuara buruk atau berlidah berat dalam
mengucapkan lafal-lafal Al-Qur’an.” Anak kecil, budak, atau orang fasik sah
untuk menjadi imam shalat, akan tetapi mereka tidak layak diangkat sebagai imam
resmi sebuah masjid.
Jika
ada dua calon imam, yang pertama faqih akan tetapi bukan qari’,
sedang lainnya qari’ tetapi bukan faqih, maka yang diutamakan
adalah yang faqih jika ia bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Sebab,
dalam memimpin shalat, bagian Al-Qur’an yang wajib dibaca pada dasarnya
bersifat terbatas, dalam arti tidak harus semuanya; sementara
persoalan-persoalan yang memerlukan kecakapan intelektual atau kefaqihan
bersifat tidak terbatas, dalam arti sangat banyak, beragam, kompleks, dan terus
berkembang.
ada dua calon imam, yang pertama faqih akan tetapi bukan qari’,
sedang lainnya qari’ tetapi bukan faqih, maka yang diutamakan
adalah yang faqih jika ia bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Sebab,
dalam memimpin shalat, bagian Al-Qur’an yang wajib dibaca pada dasarnya
bersifat terbatas, dalam arti tidak harus semuanya; sementara
persoalan-persoalan yang memerlukan kecakapan intelektual atau kefaqihan
bersifat tidak terbatas, dalam arti sangat banyak, beragam, kompleks, dan terus
berkembang.
Diantara
hal yang penting diperhatikan oleh imam adalah momentum shalat Jum’at,
dimana ia merupakan hari istimewa dan memiliki saat-saat mustajabah.
Seharusnya imam menyuruh jamaah berdoa pada saat-saat tsb, agar dikabulkan.
Ia menyeru jamaah bersegera ke masjid, mengawasi tempat-tempat “penyendat” saat
adzan berkumandang, seperti pasar.
hal yang penting diperhatikan oleh imam adalah momentum shalat Jum’at,
dimana ia merupakan hari istimewa dan memiliki saat-saat mustajabah.
Seharusnya imam menyuruh jamaah berdoa pada saat-saat tsb, agar dikabulkan.
Ia menyeru jamaah bersegera ke masjid, mengawasi tempat-tempat “penyendat” saat
adzan berkumandang, seperti pasar.
Seorang
imam boleh ditegur – oleh pejabat berwenang – jika terlalu memanjangkan
shalat tanpa memperhatikan kondisi jamaah, kecuali jika sudah disepakati dan
dimaklumi bersama.
imam boleh ditegur – oleh pejabat berwenang – jika terlalu memanjangkan
shalat tanpa memperhatikan kondisi jamaah, kecuali jika sudah disepakati dan
dimaklumi bersama.
Imam
resmi sebuah masjid lebih berhak dibanding siapapun, walau ada yang lebih utama
dan ‘alim, kecuali atas izinnya. Tak seorang pun berhak maju menjadi
imam selama ia hadir. Jika ia berhalangan dan telah menunjuk pengganti, maka
penggantinya ini lebih berhak dibanding siapa pun. Jika ia berhalangan tanpa
menunjuk pengganti, maka dimintakan izin kepada pihak berwenang perihal siapa
yang pantas maju sebagai imam. Jika kesulitan untuk minta izin, maka jamaah
dipersilakan memilih sendiri siapa diantara mereka yang disukainya untuk
menjadi imam, agar shalat berjamaah tidak berantakan.
resmi sebuah masjid lebih berhak dibanding siapapun, walau ada yang lebih utama
dan ‘alim, kecuali atas izinnya. Tak seorang pun berhak maju menjadi
imam selama ia hadir. Jika ia berhalangan dan telah menunjuk pengganti, maka
penggantinya ini lebih berhak dibanding siapa pun. Jika ia berhalangan tanpa
menunjuk pengganti, maka dimintakan izin kepada pihak berwenang perihal siapa
yang pantas maju sebagai imam. Jika kesulitan untuk minta izin, maka jamaah
dipersilakan memilih sendiri siapa diantara mereka yang disukainya untuk
menjadi imam, agar shalat berjamaah tidak berantakan.
Jika
imam resmi masjid telah selesai memimpin shalat berjamaah, lalu ada sekelompok
orang yang terlambat dan tak sempat menjumpai shalat berjamaah, maka mereka
shalat sendiri-sendiri, tak perlu berjamaah bersama lainnya, agar tak terkesan
memisahkan diri dari jamaah, menyelisihi imam, atau sekedar tampil beda dan bisa
dituduh ingin menonjolkan diri. Demikianlah sunnah.
imam resmi masjid telah selesai memimpin shalat berjamaah, lalu ada sekelompok
orang yang terlambat dan tak sempat menjumpai shalat berjamaah, maka mereka
shalat sendiri-sendiri, tak perlu berjamaah bersama lainnya, agar tak terkesan
memisahkan diri dari jamaah, menyelisihi imam, atau sekedar tampil beda dan bisa
dituduh ingin menonjolkan diri. Demikianlah sunnah.
Ada
saat-saat tertentu dimana ibadah berjamaah sangat dianjurkan dan berpahala
besar sehingga kaum muslimin berbondong-bondong ke masjid atau mushalla, seperti di malam-malam
Ramadhan dan Hari Raya. Namun, di saat itu seringkali ada orang-orang fasik
yang niatnya hanya melihat gadis-gadis dan menyapa orang-orang yang ditaksirnya.
Maka, sdharusnya disiapkan sanksi dan hukuman yang membikin mereka jera.
Demikian menurut Ibnul Ukhuwwah.
saat-saat tertentu dimana ibadah berjamaah sangat dianjurkan dan berpahala
besar sehingga kaum muslimin berbondong-bondong ke masjid atau mushalla, seperti di malam-malam
Ramadhan dan Hari Raya. Namun, di saat itu seringkali ada orang-orang fasik
yang niatnya hanya melihat gadis-gadis dan menyapa orang-orang yang ditaksirnya.
Maka, sdharusnya disiapkan sanksi dan hukuman yang membikin mereka jera.
Demikian menurut Ibnul Ukhuwwah.
Menurut as-Subki,
seorang imam berkewajiban, sbb: “ikhlas dalam shalatnya, mengeraskan
suara dalam doa, dan bersikap penuh ketundukan dalam memohon. Hendaklah ia
membaguskan thaharah dan bacaannya, serta datang ke masjid di awal waktu. Jika
jamaah telah berkumpul, ia segera memulai shalat. Jika belum, ia menunggu
berkumpulnya mereka asalkan masa menunggu itu thdak keterlaluan (lamanya).
Secara umum, hendaklah ia mengerjakan shalat dengan sebaik-baik keadaan yang
dimampuinya. Diantara kerusakan yang umum terjadi adalah seorang imam masjid
yang meminta orang lain menggantikannya tanpa ada alasan….”
seorang imam berkewajiban, sbb: “ikhlas dalam shalatnya, mengeraskan
suara dalam doa, dan bersikap penuh ketundukan dalam memohon. Hendaklah ia
membaguskan thaharah dan bacaannya, serta datang ke masjid di awal waktu. Jika
jamaah telah berkumpul, ia segera memulai shalat. Jika belum, ia menunggu
berkumpulnya mereka asalkan masa menunggu itu thdak keterlaluan (lamanya).
Secara umum, hendaklah ia mengerjakan shalat dengan sebaik-baik keadaan yang
dimampuinya. Diantara kerusakan yang umum terjadi adalah seorang imam masjid
yang meminta orang lain menggantikannya tanpa ada alasan….”
Contoh
imam resmi masjid Madras`h adalah Abu Ishaq Ibrahim al-Mazini al-muqri’
asy-Syafi’i adh-dharir (w. 639 H) di Madrasah al-Fadhiliyah, atau Abul Muhannad
Husam bin Murhif bin Isma’il al-Fazari asy-Syafi’i (w. 613 H) di Madrasah yang
sama. Tentu saja tugas mereka sebatas mengimami jamaah yang bermukim di
Madrasah ybs.
imam resmi masjid Madras`h adalah Abu Ishaq Ibrahim al-Mazini al-muqri’
asy-Syafi’i adh-dharir (w. 639 H) di Madrasah al-Fadhiliyah, atau Abul Muhannad
Husam bin Murhif bin Isma’il al-Fazari asy-Syafi’i (w. 613 H) di Madrasah yang
sama. Tentu saja tugas mereka sebatas mengimami jamaah yang bermukim di
Madrasah ybs.
5.
Qari’ ( القارئ) atau Muqri’ ( المقرئ )
Qari’ ( القارئ) atau Muqri’ ( المقرئ )
Secara
harfiah, qari’ artinya pembaca. Imam as-Subky dalam Mu’idun Ni’am menyebutkan 3 jabatan yang mirip, yaitu qari’ al-‘asyr, al-qurra’, dan qari’ al-kursi. Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam al-Adab fi ad-Din,
secara jelas membedakan antara muqri’ dengan qari’.
harfiah, qari’ artinya pembaca. Imam as-Subky dalam Mu’idun Ni’am menyebutkan 3 jabatan yang mirip, yaitu qari’ al-‘asyr, al-qurra’, dan qari’ al-kursi. Sementara itu, Imam al-Ghazali dalam al-Adab fi ad-Din,
secara jelas membedakan antara muqri’ dengan qari’.
Qari’ al-‘asyr
adalah seseorang yang menguasai qira’at ‘asyrah (sepuluh macam riwayat
bacaan Al-Qur’an yang diakui validitasnya), dan ia bertugas membacakan sebagian
ayat Al-Qur’an sebelum setiap pelajaran dimulai (di akhir pagi
hari), atau sesaat setelah berakhirnya tiap seperempat
jam studi. Ini berhubungan
dengan pola pembelajaran Madrasah dalam halaqah besar oleh syaikh
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Seorang qari’
akan terus mendampingi syaikh dalam proses pembelajaran.
adalah seseorang yang menguasai qira’at ‘asyrah (sepuluh macam riwayat
bacaan Al-Qur’an yang diakui validitasnya), dan ia bertugas membacakan sebagian
ayat Al-Qur’an sebelum setiap pelajaran dimulai (di akhir pagi
hari), atau sesaat setelah berakhirnya tiap seperempat
jam studi. Ini berhubungan
dengan pola pembelajaran Madrasah dalam halaqah besar oleh syaikh
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Seorang qari’
akan terus mendampingi syaikh dalam proses pembelajaran.
Qari’ – jamaknya: qurra’ –
adalah seseorang
yang membacakan Al-Qur’an dengan irama dan lagu tertentu, yakni menyampaikan
firman Allah dengan jelas dan terang. Demikian menurut
as-Subki. Al-Ghazali menyebutnya muqri’. Dengan kata lain, ia adalah guru baca
Al-Qur’an yang menguasai qira’at-nya dengan baik. Tampaknya, ini lebih
tepat, dan para ulama’ yang bergelar al-muqri’ biasanya terdiri dari
para Ahli Al-Qur’an. Al-Ghazali menyatakan
bagaimana seharusnya seorang muqri’ bersikap: “ia duduk selayaknya
orang yang takut (kepada Allah), menyimak baik-baik perintah (dalam Al-Qur’an),
memusatkan pemahaman, menunggu-nunggu turunnya rahmat, memperhatikan bagian
yang mutasyabih dan tanda-tanda waqaf, memberitahu dimana memulai (ibtida’),
memperjelas hamzah, mengajarkan jumlah (ayat dalam suatu surah), men-tajwid
pengucapan huruf, memberi informasi tambahan (faidah) kepada pelajar yang telah
menyelesaikan bacaannya, bersikap lemah-lembut kepada pelajar pemula,
menanyakan jika ada pelajar yang absen, memotivasinya jika ia hadir,
meninggalkan bercakap-cakap, hendaklah ia memulai dengan men-talqin (menuntun
bacaan secara lisan agar dihafal) bagian yang bisa dipergunakan untuk bacaan
shalat pelajar ybs, atau yang ia butuhkan untuk mengimami orang lain.”
adalah seseorang
yang membacakan Al-Qur’an dengan irama dan lagu tertentu, yakni menyampaikan
firman Allah dengan jelas dan terang. Demikian menurut
as-Subki. Al-Ghazali menyebutnya muqri’. Dengan kata lain, ia adalah guru baca
Al-Qur’an yang menguasai qira’at-nya dengan baik. Tampaknya, ini lebih
tepat, dan para ulama’ yang bergelar al-muqri’ biasanya terdiri dari
para Ahli Al-Qur’an. Al-Ghazali menyatakan
bagaimana seharusnya seorang muqri’ bersikap: “ia duduk selayaknya
orang yang takut (kepada Allah), menyimak baik-baik perintah (dalam Al-Qur’an),
memusatkan pemahaman, menunggu-nunggu turunnya rahmat, memperhatikan bagian
yang mutasyabih dan tanda-tanda waqaf, memberitahu dimana memulai (ibtida’),
memperjelas hamzah, mengajarkan jumlah (ayat dalam suatu surah), men-tajwid
pengucapan huruf, memberi informasi tambahan (faidah) kepada pelajar yang telah
menyelesaikan bacaannya, bersikap lemah-lembut kepada pelajar pemula,
menanyakan jika ada pelajar yang absen, memotivasinya jika ia hadir,
meninggalkan bercakap-cakap, hendaklah ia memulai dengan men-talqin (menuntun
bacaan secara lisan agar dihafal) bagian yang bisa dipergunakan untuk bacaan
shalat pelajar ybs, atau yang ia butuhkan untuk mengimami orang lain.”
Kemungkinan
ketiga, ia adalah pembaca diatas kursi, dalam arti membacakan tafsir atau
hadits di hadapan banyak orang. Pembacaan disini benar-benar secara verbal dan
literal, tidak melibatkan penjelasan atau analisis. Jika merujuk pada uraian
Imam Al-Ghazali dalam ad-Adab fi ad-Din, kemungkinan terakhir ini lebih
tepat. Artinya, qari’ bertugas membacakan kitab tertentu dalam majlis halaqah,
dimana disitu ada syaikh yang menyimak (juga mengoreksi, jika ada
kesalahan) dan para pelajar yang mencocokkan salinan naskahnya. Al-Ghazali sendiri membedakan antara qari’ dengan muqri’.
ketiga, ia adalah pembaca diatas kursi, dalam arti membacakan tafsir atau
hadits di hadapan banyak orang. Pembacaan disini benar-benar secara verbal dan
literal, tidak melibatkan penjelasan atau analisis. Jika merujuk pada uraian
Imam Al-Ghazali dalam ad-Adab fi ad-Din, kemungkinan terakhir ini lebih
tepat. Artinya, qari’ bertugas membacakan kitab tertentu dalam majlis halaqah,
dimana disitu ada syaikh yang menyimak (juga mengoreksi, jika ada
kesalahan) dan para pelajar yang mencocokkan salinan naskahnya. Al-Ghazali sendiri membedakan antara qari’ dengan muqri’.
Contoh
figur yang pernah menjadi qari’ ini adalah ash-Shalih Abu ar-Rabi’
Sulaiman Abu ‘Abdillah bin Yusuf al-Hawari (w. 612 H) di Madrasah
ash-Shahibiyyah.
figur yang pernah menjadi qari’ ini adalah ash-Shalih Abu ar-Rabi’
Sulaiman Abu ‘Abdillah bin Yusuf al-Hawari (w. 612 H) di Madrasah
ash-Shahibiyyah.
6.
Mu’adzin ( المؤذن )
Mu’adzin ( المؤذن )
Menarik
bahwa dalam Madrasah ada pejabat yang bukan guru atau petugas teknis, yaitu mu’adzin.
Ia bertugas mengumandangkan adzan pada waktu-waktu shalat tiba.
bahwa dalam Madrasah ada pejabat yang bukan guru atau petugas teknis, yaitu mu’adzin.
Ia bertugas mengumandangkan adzan pada waktu-waktu shalat tiba.
Menurut
Ibnul Ukhuwwah: “tidak boleh menyerukan adzan diatas menara kecuali orang
yang ‘adil, tsiqah, amanah, dan mengerti kapan tibanya waktu-waktu shalat.”
Istilah ‘adil artinya ia adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal dan
bukan ahli maksiat. Maka adzan tidak sah diserukan oleh orang kafir, wanita,
orang gila atau mabuk. Adzan anak kecil adalah sah.
Ibnul Ukhuwwah: “tidak boleh menyerukan adzan diatas menara kecuali orang
yang ‘adil, tsiqah, amanah, dan mengerti kapan tibanya waktu-waktu shalat.”
Istilah ‘adil artinya ia adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal dan
bukan ahli maksiat. Maka adzan tidak sah diserukan oleh orang kafir, wanita,
orang gila atau mabuk. Adzan anak kecil adalah sah.
Dalam kalimat
as-Subki, seorang mu’adzin: “seharusnya ia mengerti waktu, dan mengeraskan
suara. Ia mengumandangkan adzan untuk shalat subuh sejak pertengahan malam, dan
pada saat telah masuknya waktu shalat. Oleh karenanya, disunnahkan adanya dua
orang mu’adzin untuk shalat subuh.”
as-Subki, seorang mu’adzin: “seharusnya ia mengerti waktu, dan mengeraskan
suara. Ia mengumandangkan adzan untuk shalat subuh sejak pertengahan malam, dan
pada saat telah masuknya waktu shalat. Oleh karenanya, disunnahkan adanya dua
orang mu’adzin untuk shalat subuh.”
Seorang
mu’adzin harus teruji kemampuannya untuk mengetahui dan membedakan waktu
shalat. Jika tidak, maka ia bisa menimbulkan banyak mafsadah, misalnya
membuat orang berbuka puasa atau mengerjakan shalat sebelum waktunya, sehingga
puasanya rusak dan shalatnya tidak sah. Ia harus sudah mempelajari dan menguasai
bab adzan dan iqamah dalam fiqh.
mu’adzin harus teruji kemampuannya untuk mengetahui dan membedakan waktu
shalat. Jika tidak, maka ia bisa menimbulkan banyak mafsadah, misalnya
membuat orang berbuka puasa atau mengerjakan shalat sebelum waktunya, sehingga
puasanya rusak dan shalatnya tidak sah. Ia harus sudah mempelajari dan menguasai
bab adzan dan iqamah dalam fiqh.
Seyognyanyalah
ia bersuara bagus, namun ia tidak boleh memanjangkan suara berlebihan atau
melenggak-lenggokkan nada adzannya sedemikian rupa. Semua itu tercela dan tidak
pantas. Adzan adalah panggilan ibadah, bukan nyanyian untuk dinikmati kemerduannya.
ia bersuara bagus, namun ia tidak boleh memanjangkan suara berlebihan atau
melenggak-lenggokkan nada adzannya sedemikian rupa. Semua itu tercela dan tidak
pantas. Adzan adalah panggilan ibadah, bukan nyanyian untuk dinikmati kemerduannya.
Selayaknya,
seorang mu’adzin mengenal dengan baik kedudukan-kedudukan rembulan dan
rasi-rasi bintang, agar bisa memahami dengan baik perbedaan dan pergeseran
waktu malam. Demikian juga teknik pengenalan waktu dengan panjang bayangan
benda di bawah sinar matahari pada waktu siang. Atau, bagaimana cara menentukan
waktu shalat di saat langit diselimuti awan gelap. Di zaman modern, mungkin
tugas ini bisa diperingan dengan bantuan aneka peralatan, walau tetap harus
diwaspadai karena ia bisa rusak, mengalami gangguan teknis, atau bergeser tanpa
disadari oleh penggunanya.
seorang mu’adzin mengenal dengan baik kedudukan-kedudukan rembulan dan
rasi-rasi bintang, agar bisa memahami dengan baik perbedaan dan pergeseran
waktu malam. Demikian juga teknik pengenalan waktu dengan panjang bayangan
benda di bawah sinar matahari pada waktu siang. Atau, bagaimana cara menentukan
waktu shalat di saat langit diselimuti awan gelap. Di zaman modern, mungkin
tugas ini bisa diperingan dengan bantuan aneka peralatan, walau tetap harus
diwaspadai karena ia bisa rusak, mengalami gangguan teknis, atau bergeser tanpa
disadari oleh penggunanya.
Adzan
sebaiknya diserukan dalam keadaan suci, walau tetap sah tanpanya. Namun, orang
yang junub makruh melakukannya. Ia menghadap kiblat ketika beradzan.
sebaiknya diserukan dalam keadaan suci, walau tetap sah tanpanya. Namun, orang
yang junub makruh melakukannya. Ia menghadap kiblat ketika beradzan.
Mengeraskan
suara adzan adalah “rukun”, maka adzan tidak sah tanpanya. Pelafalan kalimat
adzan secara urut adalah “syarat”, maka jika dibalik-balik adzannya rusak. Jika
ia sengaja membolak-balik adzan karena main-main atau melecehkan, ia layak
dijatuhi sanksi.
suara adzan adalah “rukun”, maka adzan tidak sah tanpanya. Pelafalan kalimat
adzan secara urut adalah “syarat”, maka jika dibalik-balik adzannya rusak. Jika
ia sengaja membolak-balik adzan karena main-main atau melecehkan, ia layak
dijatuhi sanksi.
Penting
diingat, adzan shalat adalah bagian dari ibadah dan seruan ruhiyah, bukan
permainan dan latihan. Walaupun adzan anak kecil sah, namun sebaiknya tidak
dilakukan. Selama hidupnya, Rasulullah hanya memiliki dua mu’adzin di
Madinah (Bilal bin Rabah dan Ibnu Ummi Maktum), sementara di Makkah beliau
menunjuk orang lain. Artinya, di masa hidup beliau, tidak sembarang orang bisa
naik menyerukan adzan, dan demikianlah tradisi yang diamalkan kaum salaf.
Hendaknya kita merenungkan hal ini dan menemukan hikmah di baliknya.
diingat, adzan shalat adalah bagian dari ibadah dan seruan ruhiyah, bukan
permainan dan latihan. Walaupun adzan anak kecil sah, namun sebaiknya tidak
dilakukan. Selama hidupnya, Rasulullah hanya memiliki dua mu’adzin di
Madinah (Bilal bin Rabah dan Ibnu Ummi Maktum), sementara di Makkah beliau
menunjuk orang lain. Artinya, di masa hidup beliau, tidak sembarang orang bisa
naik menyerukan adzan, dan demikianlah tradisi yang diamalkan kaum salaf.
Hendaknya kita merenungkan hal ini dan menemukan hikmah di baliknya.
Diantara
orang yang tercatat sebagai mu’adzin adalah Abul Qasim Naja bin ‘Ali bin
Hasan ar-Ramli al-mu’adzin, seorang kakek yang shalih, bersuara lantang
dan sangat konsisten. Semula ia menjadi mu’adzin di Darul Faqih
ath-Thurthusi (Iskandariyah) dan kemudian berpindah ke Madrasah al-Hafizh
as-Silafi. Figur lain adalah Abul Hasan ‘Ali al-Lakhmi, seorang mu’adzin
di Madrasah ash-Shahibiyah di Kairo, yang tetap menjalankan tugasnya sampai
wafat tahun 639 H.
orang yang tercatat sebagai mu’adzin adalah Abul Qasim Naja bin ‘Ali bin
Hasan ar-Ramli al-mu’adzin, seorang kakek yang shalih, bersuara lantang
dan sangat konsisten. Semula ia menjadi mu’adzin di Darul Faqih
ath-Thurthusi (Iskandariyah) dan kemudian berpindah ke Madrasah al-Hafizh
as-Silafi. Figur lain adalah Abul Hasan ‘Ali al-Lakhmi, seorang mu’adzin
di Madrasah ash-Shahibiyah di Kairo, yang tetap menjalankan tugasnya sampai
wafat tahun 639 H.
7.
Wa’izh ( الواعظ ), Mudzakkir ( المذكّر ) dan Qash ( القاصّ )
Wa’izh ( الواعظ ), Mudzakkir ( المذكّر ) dan Qash ( القاصّ )
Wa’izh berarti
“pemberi wejangan atau nasihat”, dan biasanya berisi targhib (motivasi)
ke arah kebajikan dan takwa, serta tarhib (ancaman) dari kemaksiatan dan
dosa. Materi nasihatnya disebut mau’izhah (wejangan). Ia kadang disebut
juga sebagai mudzakkir (pemberi peringatan), sebab tugas dan materi
ceramahnya yang banyak memuat peringatan. Sementara itu, qash (dengan alif
dan shad ber-tasydid) adalah “penutur kisah dan cerita”, yang
pada intinya sama dengan wa’izh. Ia menuturkan kisah-kisah yang
berhubungan dengan targhib dan tarhib juga. Materinya disebut
dengan qishshah (cerita). Acapkali, keduanya adalah profesional, dalam
arti dijalani sebagai pekerjaan. Mungkin, mirip penceramah, motivator atau
trainer di zaman modern.
“pemberi wejangan atau nasihat”, dan biasanya berisi targhib (motivasi)
ke arah kebajikan dan takwa, serta tarhib (ancaman) dari kemaksiatan dan
dosa. Materi nasihatnya disebut mau’izhah (wejangan). Ia kadang disebut
juga sebagai mudzakkir (pemberi peringatan), sebab tugas dan materi
ceramahnya yang banyak memuat peringatan. Sementara itu, qash (dengan alif
dan shad ber-tasydid) adalah “penutur kisah dan cerita”, yang
pada intinya sama dengan wa’izh. Ia menuturkan kisah-kisah yang
berhubungan dengan targhib dan tarhib juga. Materinya disebut
dengan qishshah (cerita). Acapkali, keduanya adalah profesional, dalam
arti dijalani sebagai pekerjaan. Mungkin, mirip penceramah, motivator atau
trainer di zaman modern.
Perbedaan
antara wa’izh dengan qash adalah tempatnya berbicara. Para wa’izh
berbicara di dalam masjid atau majlis lain yang resmi, dan terkadang dihadiri
para pejabat penting atau tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Ia duduk di kursi
yang khusus disedikan untuk itu, atau berdiri di mimbar. Sedangkan qash
akan berbicara di pinggir-pinggir jalan.
antara wa’izh dengan qash adalah tempatnya berbicara. Para wa’izh
berbicara di dalam masjid atau majlis lain yang resmi, dan terkadang dihadiri
para pejabat penting atau tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Ia duduk di kursi
yang khusus disedikan untuk itu, atau berdiri di mimbar. Sedangkan qash
akan berbicara di pinggir-pinggir jalan.
Maka,
di masa silam, konotasi wa’izh selalu positif dan bergengsi; disandang
para ulama’ berpengaruh dan memiliki kharisma luar biasa. Imam Abul Faraj Ibnul
Jauzi, misalnya, memiliki majlis khusus di halaman istana khalifah karena
keluarga kerajaan pun ingin ikut mendengarkan ceramahnya, walau dari tempat
terpisah. Posisi dan wibawa serupa diwarisi oleh cucunya, yaitu Sibth Ibnil
Jawzi. Contoh lain, Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jilani yang nasihat-nasihatnya
dicatat dan dibukukan oleh murid-muridnya dalam al-Fath ar-Rabbani wa
al-Faydh ar-Rahmani. Catatan ini sangat detail, karena juga memuat hari,
tanggal, waktu dan tempat penyampaiannya.
di masa silam, konotasi wa’izh selalu positif dan bergengsi; disandang
para ulama’ berpengaruh dan memiliki kharisma luar biasa. Imam Abul Faraj Ibnul
Jauzi, misalnya, memiliki majlis khusus di halaman istana khalifah karena
keluarga kerajaan pun ingin ikut mendengarkan ceramahnya, walau dari tempat
terpisah. Posisi dan wibawa serupa diwarisi oleh cucunya, yaitu Sibth Ibnil
Jawzi. Contoh lain, Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jilani yang nasihat-nasihatnya
dicatat dan dibukukan oleh murid-muridnya dalam al-Fath ar-Rabbani wa
al-Faydh ar-Rahmani. Catatan ini sangat detail, karena juga memuat hari,
tanggal, waktu dan tempat penyampaiannya.
Akan
tetapi, para qash umumnya dipandang rendah karena kualitas ceramahnya
yang kadang tak bisa dipertanggungjawabkan, seperti berlebihan, palsu,
dibuat-buat, atau tidak ada dasarnya samasekali. Belakangan, para wa’izh dan
mudzakkir pun terjangkiti penyakit serupa. Oleh karenanya, Imam
Al-Ghazali pernah menyarankan muridnya agar menjauhi profesi wa’izh atau
mudzakkir ini, yang mungkin berkaitan dengan kenyataan buruk para
pelakunya di masyarakat masa itu. Dalam Ayyuhal Walad, beliau menulis: “…hendaknya
engkau mewaspadai dan menjaga diri jangan sampai menjadi wa’izh atau mudzakkir,
karena bencana dan kerusakannya sangatlah banyak. Kecuali, jika engkau terlebih
dahulu mengamalkan apa yang engkau katakan, baru kemudian menasihati orang
lain.” Beliau kemudian menuliskan saran dan tips-tips penting jika saja seseorang
tidak bisa menghindar dan harus tampil sebagai wa’izh. Silakan
merujuknya kesana.
tetapi, para qash umumnya dipandang rendah karena kualitas ceramahnya
yang kadang tak bisa dipertanggungjawabkan, seperti berlebihan, palsu,
dibuat-buat, atau tidak ada dasarnya samasekali. Belakangan, para wa’izh dan
mudzakkir pun terjangkiti penyakit serupa. Oleh karenanya, Imam
Al-Ghazali pernah menyarankan muridnya agar menjauhi profesi wa’izh atau
mudzakkir ini, yang mungkin berkaitan dengan kenyataan buruk para
pelakunya di masyarakat masa itu. Dalam Ayyuhal Walad, beliau menulis: “…hendaknya
engkau mewaspadai dan menjaga diri jangan sampai menjadi wa’izh atau mudzakkir,
karena bencana dan kerusakannya sangatlah banyak. Kecuali, jika engkau terlebih
dahulu mengamalkan apa yang engkau katakan, baru kemudian menasihati orang
lain.” Beliau kemudian menuliskan saran dan tips-tips penting jika saja seseorang
tidak bisa menghindar dan harus tampil sebagai wa’izh. Silakan
merujuknya kesana.
Tentang
wa’izh ini, Ibnul Ukhuwwah menulis ulasan cukup panjang:
wa’izh ini, Ibnul Ukhuwwah menulis ulasan cukup panjang:
“…tidak seorang pun didudukkan pada posisi ini kecuali ia
dikenal luas sebagai orang yang taat beragama, ahli berbuat baik dan keutamaan
di tengah-tengah manusia. Hendaklah ia menguasai ilmu-ilmu syari’ah, ilmu adab,
menghafal Kitabullah, hadits-hadits Nabi, kisah orang-orang shalih dan cerita
umat-umat terdahulu. Ia bisa diuji dengan cara ditanyai perihal masalah-masalah
dalam bidang tersebut. Jika ia bisa menjawab (maka dipilih), jika tidak maka
harus dilarang dari menduduki posisi itu; sebagaimana Imam ‘Ali bin Abi Thalib
yang menguji al-Hasan al-Bashri – pada saat al-Hasan berbicara di hadapan
manusia – maka beliau bertanya, “Apakah pilar agama itu?” Dijawab, “Sikap
wara’.” Ditanya lagi, “Lalu, apa penyakit yang merusaknya?” Dijawab, “Kerakusan
(thama’).” Maka, Imam ‘Ali berkata, “Sekarang, berbicaralah sekehendakmu!”
dikenal luas sebagai orang yang taat beragama, ahli berbuat baik dan keutamaan
di tengah-tengah manusia. Hendaklah ia menguasai ilmu-ilmu syari’ah, ilmu adab,
menghafal Kitabullah, hadits-hadits Nabi, kisah orang-orang shalih dan cerita
umat-umat terdahulu. Ia bisa diuji dengan cara ditanyai perihal masalah-masalah
dalam bidang tersebut. Jika ia bisa menjawab (maka dipilih), jika tidak maka
harus dilarang dari menduduki posisi itu; sebagaimana Imam ‘Ali bin Abi Thalib
yang menguji al-Hasan al-Bashri – pada saat al-Hasan berbicara di hadapan
manusia – maka beliau bertanya, “Apakah pilar agama itu?” Dijawab, “Sikap
wara’.” Ditanya lagi, “Lalu, apa penyakit yang merusaknya?” Dijawab, “Kerakusan
(thama’).” Maka, Imam ‘Ali berkata, “Sekarang, berbicaralah sekehendakmu!”
Jika ada orang yang dalam dirinya terpenuhi syarat-syarat
ini, maka ia ditetapkan untuk duduk diatas mimbar di Masjid Jami’ dan
masjid-masjid lain di wilayah manapun yang diinginkannya. Akan tetapi, siapa
saja yang tidak mengerti dan jahil dari (syarat-syarat) tersebut, ia harus
dicegah berbicara. Jika ia tetap membandel dan terus berbicara, maka ia harus
diberi sanksi. Adapun orang yang mengerti barang sedikit dari kata-kata para
wa’izh (lainnya), telah menghafal hadits, dan kisah orang-orang shalih, lalu
ingin berbicara untuk mendapatkan penghasilan dan menolong dirinya sendiri
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia diizinkan dengan catatan tidak boleh
naik ke atas mimbar, akan tetapi cukup berdiri diatas kedua kakinya sendiri.
Sebab, naik ke atas mimbar adalah posisi yang sangat mulia, dan tidak boleh
naik ke atasnya kecuali orang-orang yang dikenal luas memiliki karakteristik
yang telah kami sebutkan. Cukuplah naik ke atas mimbar itu sebagai keluhuran
dan ketinggian (derajat). Sebab, Nabi pun naik mimbar, juga para Khulafa’
Rasyidin sepeninggal beliau, dan para imam. Dulu, di masa-masa awal Islam,
tidak seorang pun yang naik mimbar kecuali satu dari dua jenis manusia: khathib
di Masjid Jami’ pada hari Jum’at atau Hari Raya, atau seseorang yang sangat
dihormati dan berwibawa yang menasihati manusia, mengingatkan, memperingatkan,
mewanti-wanti, dan mempertakuti mereka terhadap akhirat; serta mendorong mereka
untuk beramal shalih. Dengan itulah manusia memperoleh manfaat yang sangat
besar. Namun, di zaman kita sekarang ini, seorang wa’izh tidak diminta
berbicara kecuali saat genap sebulan sesudah kematian seseorang, atau dalam
rangka akad nikah, atau untuk perkumpulan orang-orang yang “mengigau” tidak
jelas arah tujuannya. Orang-orang pun tidak berkumpul di sekitar wa’izh dengan
tujuan mendengar nasihat atau menarik faidah tertentu, akan tetapi ceramah
wa’izh sekedar bagian dari bersenang-senang, permainan, dan kumpul-kumpul saja.
Selain itu, di majlis mau’izhah sering berlangsung perkara-perkara yang tidak
pantas, seperti berkumpulnya kaum pria dan wanita, dimana mereka bisa saling
melihat satu sama lain, juga hal-hal lain yang bahkan tidak pantas dituturkan
disini. Ini termasuk bid’ah yang menyesatkan. Jauh lebih baik untuk menyegel
pintu yang mengarah kesana dan mencegahnya. Jika tidak mungkin dicegah, maka
yang didudukkan (sebagai wa’izh) pada majlis semacam itu haruslah seorang tokoh
yang dikenal luas taat beragama, ahli berbuat baik dan keutamaan, sebagaimana
kami singgung sebelum ini….
ini, maka ia ditetapkan untuk duduk diatas mimbar di Masjid Jami’ dan
masjid-masjid lain di wilayah manapun yang diinginkannya. Akan tetapi, siapa
saja yang tidak mengerti dan jahil dari (syarat-syarat) tersebut, ia harus
dicegah berbicara. Jika ia tetap membandel dan terus berbicara, maka ia harus
diberi sanksi. Adapun orang yang mengerti barang sedikit dari kata-kata para
wa’izh (lainnya), telah menghafal hadits, dan kisah orang-orang shalih, lalu
ingin berbicara untuk mendapatkan penghasilan dan menolong dirinya sendiri
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia diizinkan dengan catatan tidak boleh
naik ke atas mimbar, akan tetapi cukup berdiri diatas kedua kakinya sendiri.
Sebab, naik ke atas mimbar adalah posisi yang sangat mulia, dan tidak boleh
naik ke atasnya kecuali orang-orang yang dikenal luas memiliki karakteristik
yang telah kami sebutkan. Cukuplah naik ke atas mimbar itu sebagai keluhuran
dan ketinggian (derajat). Sebab, Nabi pun naik mimbar, juga para Khulafa’
Rasyidin sepeninggal beliau, dan para imam. Dulu, di masa-masa awal Islam,
tidak seorang pun yang naik mimbar kecuali satu dari dua jenis manusia: khathib
di Masjid Jami’ pada hari Jum’at atau Hari Raya, atau seseorang yang sangat
dihormati dan berwibawa yang menasihati manusia, mengingatkan, memperingatkan,
mewanti-wanti, dan mempertakuti mereka terhadap akhirat; serta mendorong mereka
untuk beramal shalih. Dengan itulah manusia memperoleh manfaat yang sangat
besar. Namun, di zaman kita sekarang ini, seorang wa’izh tidak diminta
berbicara kecuali saat genap sebulan sesudah kematian seseorang, atau dalam
rangka akad nikah, atau untuk perkumpulan orang-orang yang “mengigau” tidak
jelas arah tujuannya. Orang-orang pun tidak berkumpul di sekitar wa’izh dengan
tujuan mendengar nasihat atau menarik faidah tertentu, akan tetapi ceramah
wa’izh sekedar bagian dari bersenang-senang, permainan, dan kumpul-kumpul saja.
Selain itu, di majlis mau’izhah sering berlangsung perkara-perkara yang tidak
pantas, seperti berkumpulnya kaum pria dan wanita, dimana mereka bisa saling
melihat satu sama lain, juga hal-hal lain yang bahkan tidak pantas dituturkan
disini. Ini termasuk bid’ah yang menyesatkan. Jauh lebih baik untuk menyegel
pintu yang mengarah kesana dan mencegahnya. Jika tidak mungkin dicegah, maka
yang didudukkan (sebagai wa’izh) pada majlis semacam itu haruslah seorang tokoh
yang dikenal luas taat beragama, ahli berbuat baik dan keutamaan, sebagaimana
kami singgung sebelum ini….
Diantara syarat lainnya adalah: dia harus orang yang
beramal semata-mata karena Allah, penuh kesungguhan dalam amalnya, banyak
berbicara (yakni, bukan pendiam) sekaligus banyak berbuat (yakni, ia juga
mengamalkan sendiri isi nasihatnya).
beramal semata-mata karena Allah, penuh kesungguhan dalam amalnya, banyak
berbicara (yakni, bukan pendiam) sekaligus banyak berbuat (yakni, ia juga
mengamalkan sendiri isi nasihatnya).
Diantara syaratnya lagi adalah ia harus mengerti
Kitabullah dan Sunnah, lurus lisannya (yakni, fasih kata-katanya), bagus logika
dan sistematika pembicaraannya….
Kitabullah dan Sunnah, lurus lisannya (yakni, fasih kata-katanya), bagus logika
dan sistematika pembicaraannya….
Diantara syaratnya lagi adalah ia harus orang yang pandai
mengemukak`n isyarat dan metafora. Sebab, ada dikatakan: “Betapa sering isyarat
itu lebih mengena dibanding ungkapan langsung; betapa sering pula performa
(yang diperlihatkan) itu lebih mengena dibanding pernyataan lisan.”…..
mengemukak`n isyarat dan metafora. Sebab, ada dikatakan: “Betapa sering isyarat
itu lebih mengena dibanding ungkapan langsung; betapa sering pula performa
(yang diperlihatkan) itu lebih mengena dibanding pernyataan lisan.”…..
Apabila wa’izh itu seorang yang masih muda, bersolek untuk
menarik kaum wanita dengan pakaian dan tindak-tanduknya, banyak mempertontonkan
tampilan, isyarat dan gerakan, sementara disana ada para wanita yang menghadiri
majlisnya, maka ini adalah perbuatan munkar dan harus dicegah. Sungguh,
kerusakannya lebih banyak dibanding kebaikannya, dan hal itu bisa dilihat
secara jelas dari indikator-indikator yang menyertai tindakannya. Bahkan,
seyogyanyalah tugas menyampaikan mau’izah ini tidak boleh diserahkan kecuali
kepada orang yang secara penampilan lahirnya memperlihatkan sikap wara’, tenang
tindak-tanduknya, berwibawa, dan penampilannya adalah penampilan umumnya
orang-nrang shalih. Sebab, jika tidak, maka ia hanya akan membuat manusia
semakin terbenam dalam kesesatannya.”
menarik kaum wanita dengan pakaian dan tindak-tanduknya, banyak mempertontonkan
tampilan, isyarat dan gerakan, sementara disana ada para wanita yang menghadiri
majlisnya, maka ini adalah perbuatan munkar dan harus dicegah. Sungguh,
kerusakannya lebih banyak dibanding kebaikannya, dan hal itu bisa dilihat
secara jelas dari indikator-indikator yang menyertai tindakannya. Bahkan,
seyogyanyalah tugas menyampaikan mau’izah ini tidak boleh diserahkan kecuali
kepada orang yang secara penampilan lahirnya memperlihatkan sikap wara’, tenang
tindak-tanduknya, berwibawa, dan penampilannya adalah penampilan umumnya
orang-nrang shalih. Sebab, jika tidak, maka ia hanya akan membuat manusia
semakin terbenam dalam kesesatannya.”
Serupa
dengan ini, Syekh Waliyullah
ad-Dahlawi menulis tentang wa’izh atau mudzakkir:
dengan ini, Syekh Waliyullah
ad-Dahlawi menulis tentang wa’izh atau mudzakkir:
“Seharusnya dia adalah sosok yang mukallaf dan ‘adil,
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh para ulama’ terhadap para perawi hadits
dan saksi. Selain itu, dia juga mesti ahli hadits (muhaddits), ahli
tafsir (mufassir), serta mengetahui sejumlah besar kisah dan riwayat hidup
generasi salaf yang shalih. Yang kami maksud dengan ‘ahli hadits’ adalah mereka
yang banyak menelaah kitab-kitab hadits, dimana dia bisa memb`ca lafazhnya dan
memahami maknanya, mengerti mana yang shahih dan yang cacat meskipun melalui
kajian dari seorang hafizh atau penelitian oleh seorang faqih yang lain.
Demikian pula yang kami maksud dengan ‘ahli tafsir’ adalah orang yang banyak
mengkaji penjelasan mengenai kata-kata yang gharib (asing) dari Al-Qur’an, arah
yang tepat dalam memahami apa yang musykil (sukar dimengerti) di dalamnya, juga
riwayat dari generasi salaf yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka.
Selain itu, sudah selayaknya dia adalah pribadi yang cakap dan cerdik dalam
berbicara (fashih), dimana dia bisa berbicara sesuai kadar pemahaman
para pendengarnya. Seyogyanya dia juga seseorang yang lembut, terpandang dan
dikenal bersih kehidupannya.”
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh para ulama’ terhadap para perawi hadits
dan saksi. Selain itu, dia juga mesti ahli hadits (muhaddits), ahli
tafsir (mufassir), serta mengetahui sejumlah besar kisah dan riwayat hidup
generasi salaf yang shalih. Yang kami maksud dengan ‘ahli hadits’ adalah mereka
yang banyak menelaah kitab-kitab hadits, dimana dia bisa memb`ca lafazhnya dan
memahami maknanya, mengerti mana yang shahih dan yang cacat meskipun melalui
kajian dari seorang hafizh atau penelitian oleh seorang faqih yang lain.
Demikian pula yang kami maksud dengan ‘ahli tafsir’ adalah orang yang banyak
mengkaji penjelasan mengenai kata-kata yang gharib (asing) dari Al-Qur’an, arah
yang tepat dalam memahami apa yang musykil (sukar dimengerti) di dalamnya, juga
riwayat dari generasi salaf yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka.
Selain itu, sudah selayaknya dia adalah pribadi yang cakap dan cerdik dalam
berbicara (fashih), dimana dia bisa berbicara sesuai kadar pemahaman
para pendengarnya. Seyogyanya dia juga seseorang yang lembut, terpandang dan
dikenal bersih kehidupannya.”
Dalam Zaghlu
al-‘Ilmi, Imam adz-Dzahabi menulis, “Menyampaikan nasihat adalah
disiplin ilmu tersendiri, yang memerlukan penguasaan ilmu-ilmu lain bersamanya,
mengharuskan pengetahuan yang cukup baik terhadap tafsir, dan memperbanyak
kisah orang-orang fakir dan zahid. Bekal menjadi wa’izh adalah takwa dan
kezuhudan. Maka, jika engkau melihat seorang wa’izh yang gila dunia, sedikit
sekali ketaatan beragamanya, ketahuilah bahwa nasihat yang disampaikannya hanya
akan sampai ke telinga. Betapa banyak wa’izh yang begitu mengesankan
kalimat-kalimatnya, mampu membuat para pendengarnya menangis dan terpengaruh
pada saat itu, kemudian mereka bangkit dari majlisnya sebagaimana mereka duduk
– yakni, tidak ada perubahan samasekali. Jika saja ada wa’izh seperti al-Husain
dan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani, semoga Allah merahmati mereka, maka manusia
akan bisa mengambil manfaat darinya.”
al-‘Ilmi, Imam adz-Dzahabi menulis, “Menyampaikan nasihat adalah
disiplin ilmu tersendiri, yang memerlukan penguasaan ilmu-ilmu lain bersamanya,
mengharuskan pengetahuan yang cukup baik terhadap tafsir, dan memperbanyak
kisah orang-orang fakir dan zahid. Bekal menjadi wa’izh adalah takwa dan
kezuhudan. Maka, jika engkau melihat seorang wa’izh yang gila dunia, sedikit
sekali ketaatan beragamanya, ketahuilah bahwa nasihat yang disampaikannya hanya
akan sampai ke telinga. Betapa banyak wa’izh yang begitu mengesankan
kalimat-kalimatnya, mampu membuat para pendengarnya menangis dan terpengaruh
pada saat itu, kemudian mereka bangkit dari majlisnya sebagaimana mereka duduk
– yakni, tidak ada perubahan samasekali. Jika saja ada wa’izh seperti al-Husain
dan Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani, semoga Allah merahmati mereka, maka manusia
akan bisa mengambil manfaat darinya.”
Sementara itu,
as-Subki menulis tentang wa’izh, sbb: ‘hendaklah ia mengingatkan
(pendengar) terhadap hari-hari turunnya bencana Allah, mempertakuti pendengar
terhadap Allah, menceritakan kisah-kisah generasi salaf yang shalih, juga jalan
hidup mereka. Ayat terpenting yang – bagi khatib dan wa’izh – seyogyanya ia
bacakan pada dirinya sendiri adalah, “Apakah kalian memerintahkan orang lain
berbuat kebajikan sementara kalian melupakan diri kalian sendiri” (Qs. ).
Hendaklah ia selalu mengingat kata-kata penyair, “Jangan engkau melarang sebuah
perilaku, sedangkan engkau sendiri melaktkannya. Jika engkau lakukan, maka cela
besar atas dirimu.” Ketahuilah, jika suatu perkataan tidak keluar dari hati, ia
tidak akan sampai ke hati. Setiap khatib dan wa’izh yang tidak tampak padanya
tanda-tanda keshalihan, maka jarang sekali Allah akan menjadikannya bermanfaat
(bagi orang lain).”
as-Subki menulis tentang wa’izh, sbb: ‘hendaklah ia mengingatkan
(pendengar) terhadap hari-hari turunnya bencana Allah, mempertakuti pendengar
terhadap Allah, menceritakan kisah-kisah generasi salaf yang shalih, juga jalan
hidup mereka. Ayat terpenting yang – bagi khatib dan wa’izh – seyogyanya ia
bacakan pada dirinya sendiri adalah, “Apakah kalian memerintahkan orang lain
berbuat kebajikan sementara kalian melupakan diri kalian sendiri” (Qs. ).
Hendaklah ia selalu mengingat kata-kata penyair, “Jangan engkau melarang sebuah
perilaku, sedangkan engkau sendiri melaktkannya. Jika engkau lakukan, maka cela
besar atas dirimu.” Ketahuilah, jika suatu perkataan tidak keluar dari hati, ia
tidak akan sampai ke hati. Setiap khatib dan wa’izh yang tidak tampak padanya
tanda-tanda keshalihan, maka jarang sekali Allah akan menjadikannya bermanfaat
(bagi orang lain).”
8.
Mutawalli Al-Kutub ( متولّي
الكتب )
Mutawalli Al-Kutub ( متولّي
الكتب )
Dia adalah pustakawan
utama, membawahi para muwazhzhaf
maktabah (pegawai
perpustakaan) yang merupakan petugas administratif dan teknis dalam mengelola
perpustakaan, memelihara koleksi buku, dan mengawasi arus peminjaman.
utama, membawahi para muwazhzhaf
maktabah (pegawai
perpustakaan) yang merupakan petugas administratif dan teknis dalam mengelola
perpustakaan, memelihara koleksi buku, dan mengawasi arus peminjaman.
Mutawalli al-kutub (pengelola literatur) adalah jabatan cukup bergengsi dan
memerlukan prasyarat
lumayan tinggi, karena ia harus seorang sarjana yang menguasai berbagai
literatur sehingga mampu memberikan layanan konsultatif dan bimbingan kepada
para pelajar yang membutuhkan materi-materi tertentu.
memerlukan prasyarat
lumayan tinggi, karena ia harus seorang sarjana yang menguasai berbagai
literatur sehingga mampu memberikan layanan konsultatif dan bimbingan kepada
para pelajar yang membutuhkan materi-materi tertentu.
As-Subki menyebut
jabatan ini dengan khazin al-kutub (penyimpan literatur), yang mungkin
bersifat tunggal dan tidak memiliki tim. Beliau menulis: “hendaklah ia
menjaga buku-bukunya, merapikan yang berantakan, atau mengikat (bendelan) jika
diperlukan untuk itu. Jangan menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya,
akan tetapi serahkan kepada orang yang memang membutuhkannya. Dalam peminjaman
hendaklah ia mendahulukan pelajar fakir yang kesulitan memperoleh litertur,
mengakhirkan pelajar yang kaya. Seringkali pewakaf mensyaratkan bahwa buku-buku
tidak boleh dikeluarkan kecuali dengan disertai jaminan yang senilai harganya,
dan ini adalah syarat yang shahih dan bisa diterima. Bila demikian, maka pengawas
perpustakaan tidak boleh meminjamkannya kecuali disertai jaminan.”
jabatan ini dengan khazin al-kutub (penyimpan literatur), yang mungkin
bersifat tunggal dan tidak memiliki tim. Beliau menulis: “hendaklah ia
menjaga buku-bukunya, merapikan yang berantakan, atau mengikat (bendelan) jika
diperlukan untuk itu. Jangan menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya,
akan tetapi serahkan kepada orang yang memang membutuhkannya. Dalam peminjaman
hendaklah ia mendahulukan pelajar fakir yang kesulitan memperoleh litertur,
mengakhirkan pelajar yang kaya. Seringkali pewakaf mensyaratkan bahwa buku-buku
tidak boleh dikeluarkan kecuali dengan disertai jaminan yang senilai harganya,
dan ini adalah syarat yang shahih dan bisa diterima. Bila demikian, maka pengawas
perpustakaan tidak boleh meminjamkannya kecuali disertai jaminan.”
9.
Munsyid ( المنشد )
Munsyid ( المنشد )
Kami sedikit merasa
heran dengan jabatan ini, dan sepertinya bukan secara resmi harus ada dalam
Madrasah. Mungkin, terkadang ia dihadirkan untuk menyegarkan suasana. Jelas, munsyid
mirip dengan penghibur dan penyanyi di zaman modern. Namun, bedanya –
seperti dikatakan as-Subki – ia melantunkan: “syair-syair yang jelas
kata-katanya, benar maknanya, berisi puji-pujian kepada Nabi, mengingat Allah
berikut segala kenikmatan dan keagungan-Nya, membangkitkan rasa takut kepada
murka dan kebencian-Nya, mengingatkan kematian dan yang akan datang sesudahnya.
Semua itu bagus, namun yang terpenting adalah puji-pujian kepada Nabi, sebab
inilah konotasi umum dari istilah munsyid. Jika ia hanya mencukupkan diri
dengan melantunkan bait-bait rayuan cinta atau pembangkit semangat, maka ia
telah melakukan suatu kesalahan; terlebih-lebih lagi jika itu terjadi dalam
forum-forum ilmiah.”
heran dengan jabatan ini, dan sepertinya bukan secara resmi harus ada dalam
Madrasah. Mungkin, terkadang ia dihadirkan untuk menyegarkan suasana. Jelas, munsyid
mirip dengan penghibur dan penyanyi di zaman modern. Namun, bedanya –
seperti dikatakan as-Subki – ia melantunkan: “syair-syair yang jelas
kata-katanya, benar maknanya, berisi puji-pujian kepada Nabi, mengingat Allah
berikut segala kenikmatan dan keagungan-Nya, membangkitkan rasa takut kepada
murka dan kebencian-Nya, mengingatkan kematian dan yang akan datang sesudahnya.
Semua itu bagus, namun yang terpenting adalah puji-pujian kepada Nabi, sebab
inilah konotasi umum dari istilah munsyid. Jika ia hanya mencukupkan diri
dengan melantunkan bait-bait rayuan cinta atau pembangkit semangat, maka ia
telah melakukan suatu kesalahan; terlebih-lebih lagi jika itu terjadi dalam
forum-forum ilmiah.”
Bila kita cermati
bertaburannya ribuan bait syair yang sarat makna dalam kitab-kitab karya para
ulama’, atau sebagian ulama’ yang dikenal luas memiliki kemampuan plus sebagai
penyair seperti Imam Syafi’i, maka majelis ilmu saat itu tentulah sangat
menarik dan tidak membosankan. Kita sering menemukan kalimat “wa ansyadana….”
(dan beliau melantunkan syair untuk kami) dalam berbagai kitab, yang dikutip
seorang murid dari gurunya, atau orang lain, yang sekaligus menunjukkan bahwa
kalimat itu mereka dengar dari sebuah forum ilmiah atau lainnya. Untuk sekedar
contoh, kita bisa periksa dalam Mukhtashar Syu’abul Iman karya Imam
al-Qazwini.
bertaburannya ribuan bait syair yang sarat makna dalam kitab-kitab karya para
ulama’, atau sebagian ulama’ yang dikenal luas memiliki kemampuan plus sebagai
penyair seperti Imam Syafi’i, maka majelis ilmu saat itu tentulah sangat
menarik dan tidak membosankan. Kita sering menemukan kalimat “wa ansyadana….”
(dan beliau melantunkan syair untuk kami) dalam berbagai kitab, yang dikutip
seorang murid dari gurunya, atau orang lain, yang sekaligus menunjukkan bahwa
kalimat itu mereka dengar dari sebuah forum ilmiah atau lainnya. Untuk sekedar
contoh, kita bisa periksa dalam Mukhtashar Syu’abul Iman karya Imam
al-Qazwini.
10. Khadam
( الخدم )
( الخدم )
Artinya
“para pelayan”, bentuk jamak dari khadim. Pekerjaan ini bersifat teknis
yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan memudahkan kehidupan warga
Madrasah. Tugas mereka misalnya mengurusi penerangan, air minum, pemandian, penyediaan
makanan, dll.
“para pelayan”, bentuk jamak dari khadim. Pekerjaan ini bersifat teknis
yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan memudahkan kehidupan warga
Madrasah. Tugas mereka misalnya mengurusi penerangan, air minum, pemandian, penyediaan
makanan, dll.
Tentang khadim
ini, as-Subki menulis: “diantara kewajibannya adalah memperbanyak
(penggunaan) waktu untuk beribadah. Sebab, ia sebenarnya selalu dalam kondisi
beribadah selama ia menolong mereka (yakni, warga Madrasah) untuk beribadah,
dengan niat ini. Hendaklah ia berusaha keras untuk mencapai segala sesuatu yang
bisa menjadi jalan kesana. Hendaklah ia mengelola dan memperhatikan kelebihan
atau sisa-sisa makanan mereka, dan menyalurkannya kepada yang berhak, seperti
orang miskin, kucing, atau yang semisalnya. Jangan sampai membuangnya, sebab tidak
termasuk adat kebiasaan mereka untuk membuang makanan. Hendaklah (bagian) wakaf
untuk (gaji) mereka dipisahkan secara khusus…..”
ini, as-Subki menulis: “diantara kewajibannya adalah memperbanyak
(penggunaan) waktu untuk beribadah. Sebab, ia sebenarnya selalu dalam kondisi
beribadah selama ia menolong mereka (yakni, warga Madrasah) untuk beribadah,
dengan niat ini. Hendaklah ia berusaha keras untuk mencapai segala sesuatu yang
bisa menjadi jalan kesana. Hendaklah ia mengelola dan memperhatikan kelebihan
atau sisa-sisa makanan mereka, dan menyalurkannya kepada yang berhak, seperti
orang miskin, kucing, atau yang semisalnya. Jangan sampai membuangnya, sebab tidak
termasuk adat kebiasaan mereka untuk membuang makanan. Hendaklah (bagian) wakaf
untuk (gaji) mereka dipisahkan secara khusus…..”
Uraian tugas diatas
sebenarnya mengacu kepada khadim al-khanqah, yakni lembaga khusus para
Sufi. Namun, karena dalam beberapa hal sifat dan fungsi khanqah serupa
dengan Madrasah, maka tidaklah keliru jika tugas para khadim di dalamnya
pun diasumsikan sebagai serupa. Wallahu a’lam.
sebenarnya mengacu kepada khadim al-khanqah, yakni lembaga khusus para
Sufi. Namun, karena dalam beberapa hal sifat dan fungsi khanqah serupa
dengan Madrasah, maka tidaklah keliru jika tugas para khadim di dalamnya
pun diasumsikan sebagai serupa. Wallahu a’lam.
[*]
Bersambung….
Bagian 1, klik DISINI.
Bagian 2, klik DISINI.
Bagian 3, klik DISINI.
Bagian 4-1, klik DISINI.
Bagian 4-2.
Bagian 5, klik DISINI
Bagian 6-1, klik DISINI
Bagian 6-2, klik DISINI
Bagian 7, klik DISINI
Bagian 8, klik DISINI
Untuk mendapatkan naskah lengkapnya dalam format PDF, silakan cek laman DOWNLOAD, atau klik DISINI
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.