Uncategorized

Ngaji Bareng Surah Al-Mulk (3)



NGAJI BARENG SURAH AL-MULK (3)
Ayat 3-5
الَّذِي خَلَقَ
سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ
فِي خَلْقِ
الرَّحْمَٰنِ مِنْ
تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ
هَلْ تَرَىٰ
مِنْ فُطُورٍ (3)
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang
tidak seimbang?”
ثُمَّ ارْجِعِ
الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ
يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ
الْبَصَرُ خَاسِئًا
وَهُوَ حَسِيرٌ (4)
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan
kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan payah.”
وَلَقَدْ زَيَّنَّا
السَّمَاءَ الدُّنْيَا
بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا
رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ
ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ
عَذَابَ السَّعِيرِ (5)
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.”
Di antara yang kita ambil sebagai pelajaran:
Sebagaimana nama surah ini, al-Mulk (kerajaan), di sini dipaparkan
sebagian gambaran kerajaan alam semesta ciptaan Allah, dan bagaimana ia menjadi
bukti keberadaan Penciptanya.
Ayat ketiga diawali dengan “alladzi kholaqo sab’a samaawaatin” (الذي
خلق سبع سماوات طباقا
) yang menyempurnakan dua kalimat sebelumnya yang juga dibuka
dengan “alladzi”, yaitu pada ayat pertama dan kedua: “alladzi bi-yadihil mulku”
(
الذي بيده الملك) dan “alladzi kholaqol mawta…” (الذي
خلق الموت
). Ketiga kalimat ini setara dan seluruhnya menjelaskan
sifat-sifat Allah.
Setelah menyitir tentang manusia pada ayat kedua, yakni tentang kehidupan
dan kematian manusia berikut tujuannya; pada ayat ketiga Allah menyitir
ciptaan-Nya yang teragung sesudah manusia yaitu langit dan seisinya. Manusia
adalah ciptaan-Nya yang sangat hebat, demikian pula langit dan seisinya. Bila
direnungi dengan hati terbuka, keduanya akan mengantarkan untuk mengenal Allah.
Kata “samaawaat” (سماوات) adalah jamak.
Bentuk tunggalnya “samaa'” (
سماء), yang makna
aslinya: segala sesuatu yang di atas kita. Dalam Al-Quran juga sering disitir
“tujuh lapis langit”. Apa hakikatnya? Apakah ini lapisan yang saling
berhimpit atau ada ruang antara di antara tiap dua lapisan? Keterangan dari
hadis menunjukkan bahwa ada ruang antara. Tapi kita tidak tahu persis batasan
tiap lapisan ini.
Lahiriah ayat menyebut “zayyannas samaa’ad dunya” (زيّنّا
السماء الدنيا
), yakni “Kami hias langit dunia”. Kata
“dunia” dalam bahasa Arab berarti yang paling dekat, yakni langit
yang terlihat oleh kita dari bumi. Bila seluruh bintang-bintang itu adalah
hiasan untuk langit terendah, padahal kita tahu letak bintang-bintang itu
sendiri sangat jauh, tampaknya “tujuh lapis langit” itu adalah
sesuatu yang berada di luar daya akal kita untuk sanggup memahaminya. Atau,
lapisan-lapisan langit itu transparan sehingga yang berada di lapisan lain pun
bisa terlihat dari bawahnya? Allah lebih tahu hakikatnya.
Siapa pun yang dengan sengaja memperhatikan kesempurnaan penciptaan
langit, tidak akan muncul kesan darinya selain kerdilnya dirinya dan keagungan
Dzat yang menciptakan langit seisinya. Keluasan ukuran, keragaman isi, kerumitan
hukum, dan keseimbangan sistem di dalamnya sudah akan memicu ketakjuban dan
pengakuan bahwa semua ini dirancang dengan seksama oleh kekuatan yang sadar,
berilmu, dan sangat kuasa. Tidak ada kebetulan dan ketidaksengajaan pada setiap
detilnya. Dari yang terkecil sampai yang terbesar, semua ditempatkan dan ditata
sedemikian rupa.
Berapa kali pun kita meneliti setiap jengkal langit, kita tidak akan
mendapati cacat, celah, lobang, dan ketidakteraturan di dalamnya. Kata
“hasiir” (
حسير) arti aslinya: terjatuh dalam kelelahan tapi tidak berhasil
mendapatkan apa yang diinginkan. Kita hanya akan kembali dengan tangan hampa,
jika berharap menemukan cela di sana.
Dalam Al-Quran, bintang-bintang diciptakan dengan tiga tujuan. Pertama,
sebagai hiasan untuk memperindah semesta (Qs al-Mulk: 5, ash-Shaffat: 6). Kedua,
untuk penunjuk arah (Qs an-Nahl: 16, al-An’am: 97). Ketiga, sebagai
“peluru” untuk membidik setan/jin yang mencuri dengar berita langit
(Qs al-Mulk: 5, al-Hijr: 18).
Setan/jin dibidik dengan pecahan dari bintang-bintang itu, bukan dengan
seluruhnya. Dalam surah al-Jinn (72) juga disitir tentang hal ini (ayat 8-10),
bahwa dulu mereka punya pos-pos yang mereka duduki di langit, tapi kemudian
mereka diusir dengan tembakan-tembakan api yang dahsyat. Hikmahnya: sebagai
rahmat bagi umat Muhammad, agar jin/setan tidak tahu banyak berita-berita
langit terkait penduduk bumi, sehingga mereka tidak bisa banyak membisiki dukun
dan penyihir yang kemudian menyesatkan manusia dari jalan Allah; sebagaimana
pada umat-umat terdahulu.
Anjuran untuk memperhatikan alam semesta dengan maksud merenungi ayat-ayat
Allah dan memuji keagungan-Nya. Bertafakkur terhadap alam semesta adalah
tradisi para Nabi. Salah satu contoh paling terkenal adalah Nabi Ibrahim,
sebagaimana disitir dalam surah al-An’am: 75-79. Setelah memperhatikan fenomena
terbit dan tenggelamnya bintang, bulan, dan matahari — yang waktu itu
disembah kaumnya — beliau kemudian menyadari ada yang lebih pantas disembah,
yaitu Pencipta benda-benda langit itu.
Wallahu a’lam.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top