
“Let me tell you one thing. In this world we are living in, 98 percent of everything that is built and designed today is pure shit. There’s no sense of design, no respect for humanity or for anything else. They are damn buildings and that’s it.
“Begini ya mas, saya kasi tau (kira-kira gitu kali ya indonesianya..:D). “Di dunia yang kita tinggali ini, 98 persen dari semua (bangunan) yang didesain dan terbangun saat ini adalah pure shit (kira-kira artinya omong kosong). Tidak memiliki rasa desain, tidak menghargai sisi manusia dan hal-hal lainnya. Semua bangunan tersebut buruk and that’s it.”
Banyak yang merespon pernyataan ini; yang mendukung, yang tidak, dan ada pula yang menganggapnya keren. Namun apa sih yang menarik dan bisa kita ambil dibalik kehebohan pernyataan sikap gehry ini. Kiranya saya punya tiga poin untuk disampaikan :
Poin pertama singkat. Adalah hal yang menarik seorang Frank Gehry dengan praktek arsitekturnya yang berbeda dan dikritisi banyak kalangan, dengan serius berbicara tentang sense of design dan aspek manusia dalam desain?!! justru ketika saat orang berpikir sebaliknya terhadap karya-karya beliau yang kontroversial.
Poin kedua sedikit panjang. Dengan gaya desainnya yang kontroversial itu, apakah beliau termasuk arsitek yang perduli dengan sense of design?. Dalam tulisan ini saya hendak memaparkan apa yang mungkin bisa ditangkap dari maksud pernyataan Gehry di atas -ketimbang heboh dengan acungan jari tengahnya. Gehry menyatakan sebuah fenomenan yang kira-kira dapat saya analogikan dengan lirik “papa rock n roll” dari the dance company :
… papa ga pulang beibeh,papa ga bawa uang beibeh.
Ibarat orang tua yang kerja terus menerus demi anaknya, namun seringkali kebutuhan si anak yang sebenarnya sering dilupakan bukan uang tapi perhatian dari orang tuanya. Terkadang arsitek terlalu cenderung pada penampilan luar bangunan, atau katakanlah tren saat ini cenderung mengejar penggunaan energi hingga target nilai tertentu. Apakah skor nilai itu indikasi arsitektur yang berhasil? Tanpa disadari tampilan bangunannya yang bersirip-sirip itu semakin mirip dengan mesin AC. Dari sisi ini apakah tidak terkesan arsitektur dibentuk semata untuk kebutuhan si bangunan saja yang berdampak pada tampilan visual. Lalu bagaimana dengan perhatian terhadap penggunanya? Apakah orang mengerti dengan bangunan yang sustainable, hemat energi? Ya mungkin berdampak pada kenyamanan penggunanya, namun setelah memenuhi kriteria itu semua, then what? Sampai di situ saja kah arsitektur?.
“Architecture goes beyond the utilitarian needs.” Le Corbusier
Bapak arsitektur modern ini pula menyatakan bahwa arsititektur lebih dari sekedar menyelesaikan hal-hal yang basis pada bangunan.
Tidak hanya praktek di lapangan, di lingkungan kampus saya rasa juga demikian. Saya ingat desain tugas akhir seorang teman yang menggunakan software untuk mendapatkan bangunan yang respon terhadap iklim, namun desain yang dihasilkan terasa kaku. Bukan semata masalah di bentuknya tapi penyelesaian arsitekturnya yang semata didasarkan pada data angka-angka numerik dan alasan-alasan yang –terlalu- logik dan terasa minusnya rasa desain (sense of design). Saya hanya menyayangkan bagaimana arsitektur sebagai pengetahuan tentang bentuk yang dipelajari selama empat tahun hilang seketika karena keyakinan rancangan yang ditumpu pada software. Bangunan hilang dari sentuhan humanis si perancang.
Menurut gehry dalam sebuah pernyataannya, apa yang hilang adalah seni. Nilai seni itu yang membuat arsitektur lebih humanis, persetan dia memiliki kriteria bangunan yang sudah green, sustainable atau tidak. Apakah bangunan itu relate to people, dalam hal memberi rasa, memori, namun bukan berarti dengan memunculkan kembali arsitektur masa lampau, yang dekoratif. Mungkin banyak orang tidak mengetahui salah satu ‘misi’ arsitektural gehry hasil pencarian beliau untuk mengganti elemen-elemen dekoratif tersebut adalah dengan bentuk-bentuk yang bergerak, bergelombang seperti yang terlihat pada Guggenheim Museum dan Sidney Concert Hall. Bagaimana pada akhirnya bentuk tersebut membekas di benak dan memori si pengguna adalah target gehry selama karirnya untuk memperoleh bangunan yang humanis bagi penggunanya.
Dalam praktek desainnya gehry selalu membuat mock up atau maket dengan dengan beberapa skala yang berbeda, tiga atau lebih agar dia tetap dapat sense ruang seperti yang akan dibangun. Di jaman sekarang, katakanlah di tempat kita, arsitek mungkin sudah cukup ‘merasakan ruang’ dengan permainan image 3D dan animasi bergerak dari software.
Di poin ketiga yang terakhir ingin saya sampaikan, arsitektur gehry bukanlah kemudian arsitektur yang sejatinya lantas ditiru. Tentu tidak demikian karena menurut saya desain ini sangat personal dan tentunya tidak mungkin menjadi hal yang umum kemudian diikuti arsitek yang lain. Setiap arsitek memiliki pandangan desain yang berbeda karena faktor latar belakang sejarah, budaya, maupun lingkungan. Karya gehry hanya perlu dilihat secara apa adanya, terkadang -bahkan seringnya- bukan untuk dipahami bagaimana maksud tatanan bentuknya. Dibutuhkan pembacaan lapis kedua, dimana disitu terletak keinginan si perancang dan dengan baru bisa dipahami, namun tentu baru bersifat tebakan yang subyektif. Kekonsistenannya dalam bentuk arsitektur adalah memunculkan bentuk yang membelot dari bayangan konsistensi bentuk dan irama yang selalu hadir pada karya arsitektur, yakni pada tingkat detail tiap elemen massa pembentuk bangunannya.
Meskipun bersifat pribadi namun justru arsitektur gehry berkesan di setiap pribadi yang melihat atau berkunjung kebanguannya. Dari arsitektur pribadi yang muncul di kehidupan banyak orang.
//draft words.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.