Uncategorized

Terjemah "Risalah Sulthaniyah" karya al-Hafzih as-Suyuthi (1/2)


الرسالة السلطانية
AR-RISALAH AS-SULTHANIYAH
Penulis
Al-Hafizh Jalaluddin
‘Abdurrahman bin Abu Bakr as-Suyuthi
Penerbit
Dar Wahyul
Qalam, Beirut
Cet. 1, 2004, 64
hal., 12 x 17 cm
Muhaqqiq
Mukhtar al-Jabaliy
Penerjemah
M. Alimin Mukhtar
Jum. Akhirah 1433 H – Mei 2012 M
[*]
Ditulis oleh al-Hafizh as-Suyuthi ketika
al-Malik al-Asyraf Qaitabay – yakni, Sultan Mesir antara tahun 883-901 H –
memintanya untuk datang berkunjung, namun beliau menolak. Atas dasar inilah
salah seorang musuh beliau kemudian memfitnahnya, dan ia mengklaim bahwa
ketidakbersediaan beliau untuk berkumpul dengan penguasa merupakan sesuatu yang
tidak ada dasarnya. Maka, beliau pun mengirimkan risalah ini kepada al-Malik
al-Asyraf sehingga permintaan seperti itu tidak pernah diulang kembali. Risalah
ini sendiri disarikan dari sebuah kitab besar karya beliau, Ma Rawahu
al-Asathin Fi ‘Adami al-Maji’ Ila as-Salathin,
juga sumber-sumber lain yang
sejenis.
Risalah ini kami alihbahasakan dengan melewatkan bagian-bagian yang berisi
kajian detail, seperti biografi penyusun, deskripsi manuskrip asli, dan metode
pen-tahqiq-annya. Kami mencukupkan diri dengan menyajikan nash
utama, yang diawali dengan muqaddimah dari editor naskah Arab. C`tatan
kaki-catatan kaki tidak kami terjemahkan secara penuh, dan hanya kami ambil
seperlunya.
Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua di dunia maupun
akhirat, khususnya bagi penyusun, muhaqqiq, penerjemah, dan orangtua
mereka. Amin.

[*]



بسم الله الرحمن الرحيم
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kami
pun berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri kami sendiri, serta
keburukan-keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh
Allah, niscaya tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang
disesatkan oleh Allah niscaya tidak ada yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, Dia-lah
satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam
adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba’du:
Islam sangat menghormati ulama’. Allah pun melebihkan mereka diatas kaum
muslimin pada umumnya. Allah juga memuji mereka setinggi langit di dalam
Al-Qur’an, ketika Dia berfirman, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
(Qs. Ali ‘Imran: 18). Dalam hal ini, Imam al-Qurthubi berkata,
“Di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, serta
kemuliaan dan keutamaan ulama’. Sebab, seandainya adalah seseorang yang lebih
mulia dari ulama’ pasti Allah menyebutkannya bersama-sama dengan nama-Nya dan
para malaikat, sebagaimana Allah telah menyebutkan nama para ulama’ disini.
Allah berfirman – tentang kemuliaan ilmu – kepada Nabi-Nya, “…dan
katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
(Qs.
Thaha: 114). Seandainya saja ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu, pasti
Allah telah menyuruh Nabi-Nya untuk meminta tambahan dari-Nya, sebagaimana Dia
menyuruh beliau untuk meminta tambahan ilmu.”
[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
para ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar maupun dirham, namun mereka hanya mewariskan ilmu. Maka, siapa saja yang
mengambil ilmu itu sungguh ia telah mengambil bagian yang melimpah.”
[2] Imam
Ibnul Qayyim, semoga Allah mengasihinya, berkata, “Ini salah satu manaqib
terbesar bagi ahli ilmu, sebab para Nabi merupakan makhluk Allah yang terbaik,
sehingga para pewaris mereka pun merupakan makhluk terbaik sesudah para Nabi
itu. Hadits ini juga mengingatkan bahwa para ulama’ merupakan manusia yang
paling dekat (hubungannya) dengan para Nabi, sebab warisan itu hanya diberikan
kepada orang yang paling dekat dengan si pemberi warisan.”
[3] Nash yang menyatakan keutamaan ulama’ jumlahnya
banyak sekali.
Penghormatan besar dan kedudukan luhur yang diperoleh para ulama’ dalam
Islam ini merupakan amanah berat di pundaknya. Ini merupakan penghormatan
sekaligus beban tugas. Pada saat tingkatan keilmuan (seseorang) itu tinggi,
maka hukuman yang diberikan kepadanya akibat tidak mengamalkan ilmu pun sangat
berat dan tajam. Maka, siapa pun yang dimuliakan oleh Allah dengan ilmu dan
kefaqihan dalam urusan agama hendaklah mengikhlaskan amal, melaksanakan
konsekuensinya, dan memeliharanya dari segala hal yang bisa menodainya. Maka,
jangan menjadikan ilmu sebagai tangga menggapai maksud-maksud yang remeh dan
tujuan-tujuan yang rendah, seperti mendekatkan diri kepada penguasa dan membeli
dunia dengan agama.
Fitnah penguasa merupakan salah satu fitnah dan bencana terbesar yang
menghadang seorang ulama’ semasa hidupnya. Oleh karenanya pula ada banyak nash
syariat dan pernyataan para Imam yang secara beruntun melarang keras untuk mendekati
pemerintah yang zhalim, terlebih-lebih lagi ikut serta dalam segala perbuatan mereka.
Allah berfirman (Qs. Hud: 113).
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ
النَّارُ
Artinya: “Dan janganlah kamu cenderung
kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka….”
Menurut Imam al-Baidhawi, semoga Allah merahmatinya, kata ar-rukun
artinya sedikit kecondongan. Maksudnya, janganlah kalian condong kepada
orang-orang zhalim itu meskipun hanya dengan kecondongan yang paling rendah,
sebab kecondongan itu akan menjadikan kalian tersentuh api neraka. Jika sedikit
saja kecondongan kepada orang yang di dalam dirinya terdapat apa yang dapat
disebut sebagai kezhaliman sudah seperti itu ancamannya, maka – menurut Anda –
bagaimana dengan kecondongan kepada orang-orang zhalim yang jelas-jelas
menyandang sifat zhalim, dan condong kepada mereka secara penuh?
[4] Bila
seorang ulama’ diuji dengan mereka, dan sulit baginya untuk melakukan
pengingkaran serta menyatakan kalimat yang hak di hadapan mereka, maka jangan
sampai ia turun dari tingkatan ingkar secara hati, berlepas diri dari
penyimpangan mereka, dan menjauhi mereka. Itulah selemah-lemah iman.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhainya, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kelak sepeninggalku
akan ada para khalifah yang mengerjakan apa yang mereka ketahui, dan mereka pun
melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Lalu, sepeninggal mereka
akan ada para khalifah yang mengerjakan apa yang tidak mereka ketahui, dan
mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Barangsiapa yang
ingkar, maka ia telah berlepas diri. Barangsiapa yang tidak suka maka dia
selamat. Akan tetapi, (dosa dan hukuman itu hanya bagi) siapa saja yang rela
dan mengikutinya.”
[5]
Demikianlah. Ketika keadaan para penguasa pada umumnya – sesudah zaman Khulafa’
Rasyidun – adalah banyak bermaksiat, sehingga siapa saja yang bergaul rapat
dengan mereka tidak akan bisa selamat dari melihat kemunkaran yang tidak bisa
diubahnya, atau kezhaliman yang tidak bisa diadukannya, atau suatu hak yang
dirampas dimana ia tidak bisa mengembalikannya, maka sebagian besar ulama’ yang
jujur pun menjauhi seluruh pemegang kekuasaan, tanpa membeda-bedakan antara
yang sedikit atau banyak kezalimannya. Ini termasuk dalam bab wara’,
hati-hati (ihtiyath), mengambil pilihan paling aman (aslam), dan
meninggalkan syubhat-syubhat.
Sebagian fuqaha’ tidak memberikan dispensasi untuk masuk menemui
para penguasa, kecuali dalam rangka menasehati mereka dalam urusan agama dan
melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka, sebagaimana
yang diperintahkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
[6] Adapun
berdekat-dekat dengan mereka disertai sikap diam dan sepakat dengan tindakan
mereka, dan bahkan sesekali saling membantu dalam perbuatan dosa dan melampaui
batas, maka itulah kehancuran dan kerugian. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah,
semoga Allah meridhainya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam
bersabda, “Kelak sepeninggalku akan ada para pemimpin,
barangsiapa yang masuk menemui mereka, membenarkan kedustaan mereka, dan
membantu mereka diatas kezaliman mereka, maka ia tidak termasuk bagian dari
(umat)ku dan aku pun bukan bagian dari dirinya. Ia pun tidak akan sampai
kepadaku di Telaga Kautsar. Sedangkan siapa saja yang tidak masuk menemui
mereka, tidak membantu mereka diatas kezaliman mereka, dan tidak membenarkan
kedustaan mereka, maka ia termasuk bagian dari (umat)ku dan aku pun bagian dari
dirinya. Ia pun akan sampai kepadaku di Telaga Kautsar.”
[7]
Imam Ibnul Jauzi, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Diantara
bentuk talbis Iblis kepada para fuqaha’ adalah mereka bergaul
rapat dengan pejabat dan penguasa, bermanis-manis muka/menjilat kepada mereka,
dan tidak mau mengingkari (kemaksiatan) mereka meskipun mampu melakukannya.
Terkadang para fuqaha’ itu memberikan kelonggaran (rukhshah) kepada
pejabat dan penguasa itu dalam hal-hal yang sebenarnya tidak ada kelonggaran di
dalamnya, agar mereka bisa mendapatkan harta benda duniawi. Maka, terjadilah
kerusakan dikarenakan tiga sisi sekaligus: Pertama, pejabat itu
akan berkata, “Andai bukan karena aku benar, pasti ulama’ itu akan mengingkari
perbuatanku. Bagaimana mungkin aku ini tidak benar, sementara ia terus makan
dari hartaku?” Kedua, kaum awam akan berkata, “Penguasa ini, juga
harta dan tindakannya, tidak masalah, sebab si fulan yang faqih itu
terus menerus mendampinginya.” Ketiga, ulama’ itu sendiri, ia
telah merusak agamanya dengan tindakannya itu.”
[8]
Kesimpulan akhir dalam “masalah kekuasaan” ini adalah apa yang ditegaskan
oleh Imam al-Ghazali, semoga Allah mengasihinya, pada permulaan bab Bergaul
Rapat dengan Para Penguasa
dalam kitab al-Halal wal Haram, dimana
beliau berkata, “Ketahuilah bahwa engkau mempunyai tiga kondisi ketika
berhadapan dengan penguasa dan pejabat yang zhalim. Kondisi pertama – ini yang
paling buruk – adalah bila engkau masuk kepada mereka. Kondisi kedua – ini
lebih rendah keburukannya – adalah bila mereka masuk kepadamu. Dan, kondisi
ketiga – ini yang paling selamat – adalah bila engkau menjauhi mereka, sehingga
engkau tidak melihat mereka dan mereka pun tidak melihatmu.”
[9]
Kondisi terakhir inilah yang dipilih Imam as-Suyuthi, semoga Allah
merahmatinya
, sehingga beliau menjauhi penguasa, yang berulangkali meminta
beliau untuk berkunjung. Beliau rela menanggung berbagai macam kesempitan,
tekanan, dan ancaman. Namun, beliau tetap teguh pada pendirhannya dan secara
terang-terangan dan penuh keberanian mengumumkan penolakannya melalui Risalah
Sulthaniyah
ini, yang beliau kirimkan kepada penguasa; dan mencantumkan di
dalamnya – secara ringkas – hukum-hukum agama yang berkaitan dengan masalah
mendatangi para penguasa.
[10]
Maka, meskipun risalah ini kecil dari segi ukuran, namun nilainya sangat
besar, dan sangat layak untuk diperkenalkan serta dipublikasikan.
Kepada Allah juga saya memohon agar risalah ini memiliki atsar yang
besar, dan semoga Dia menyimpan pahala pen-tahqiq-annya untuk saya di
akhirat kelak.
[11] Dialah
Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Baik.
[*]
[ BERSAMBUNG  ]
Bagian 2, klik DISINI
Naskah lengkap versi PDF, cek laman DOWNLOAD atau klik DISINI


[1] Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an
, IV/44.
[2] Bagian dari sebuah hadits Abu
ad-Darda’ yang panjang, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3641, at-Tirmidzi no.
2682, dan Ahmad V/196. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil statusnya sebagai hasan
dalam Fathul Bary I/160, dan dinyatakan hasan pula oleh al-Albani
Shahih at-Targhib no. 67.
[3] Miftahu Dar
as-Sa’adah
I/261.
[4] Tafsir
al-Baidhawi
, hal. 258.
[5] Diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
no. 6658, al-Baihaqi V/157, al-Hakim I/78 dan beliau men-shahih-kannya,
yang disepakati pula oleh adz-Dzahabi. Hadits ini mempunyai syahid yang
dinukil Muslim no. 1854, dari riwayat Ummu Salamah.
[6] Hadits riwayat Muslim, no. 55,
yaitu: “Agama adalah nasehat.” Ditanyakan, “Untuk siapakah itu, wahai
Rasulullah?” Dijawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum
muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.”
Akan tetapi, siapakah diantara
para pemimpin dewasa ini yang mau menerima nasehat?
[7] Dinyatakan shahih oleh
at-Tirmidzi no. 2259, Ibnu Hibban no. 279, al-Hakim I/79; dan disepakati pula
oleh adz-Dzahabi. Hadits ini mempunyai jalur-jalur periwayatan lainnya.
[8] Talbis Iblis, hal. 139.
[9] Ihya’ Ulumiddin, V/112.
[10] Sebagian orang menentang sikap ini
dan mengkritiknya. Mereka menyebutnya negatif dan menyerah kalah. Menanggapi
kritikan ini, penting diingat bahwa menjauhi penguasa – yakni, sikap yang
diambil para ulama’ tersebut – bukan merupakan bentuk melarikan diri dari
tanggung jawab, namun merupakan sikap yang sudah seharusnya pada saat
dominannya kerusakan, walaupun ia merupakan ekspresi iman yang paling lemah.
Hanya saja, sikap menjauh dari penguasa yang dipraktekkan seorang ulama’
terkadang bisa berubah menjadi “pengingkaran amaliyah” yang secara terbuka
sekaligus memperlihatkan keprihatinannya terhadap keburukan dan seruannya
kepada kebaikan.
[11] Amin, ya rabbal
‘alamin.
Demikian pula untuk saya, orangtua saya, dan guru-guru saya. [pen]

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top