Prof. Dr. Ibrahim R, SH, MH
Jika dilihat dari Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh Focus Group
Discussion (makalah ini disajikan dalam acara Focus Group Discussion, di
Surabaya 18-19 Oktober 2008-Red), kajian yang harus dilakukan pada tataran
teori dan praktek, maka level makalah ini, seperti derajat sebuah disertasi,
suatu beban dan tanggungjawab yang tidak ringan, tapi menarik, dan mudah-mudah
bisa dicapai, sehingga hasil dari FGD dapat dijadikan pijakan operasional dalam
memperjuangkan harkat dan martabat Bangsa di era globalisasi saat ini. Namun,
sejarah menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan Bangsa Indonesia sangat
tergantung pada selera para penguasa (orde lama, orde baru, orde reformasi),
karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak di desain berdasarkan kerangka
ketatanegaraan yang terstruktur. Praktek penerapan hukum, diawali dengan
identifikasi aturan hukum dan saat yang sama akan dijumpai empat kemungkinan,
yaitu:
1. Kesenjangan antara das sollen dan das sein (benturan antara teori dan
praktenya);
2. Leemten in het recht (kekosongan hukum);
3. Vege normen (norma kabur); dan
4. Antinomi (konflik norma).
Persoalan dasar yang dihadapi Negara lndonesia dari dulu sampai sekarang adalah
pada fundamen (grand unified theory). Persoalan dan pertanyaan yang dimunculkan
oleh TOR untuk dapat diberikan jawaban, teoritik maupun praktek, sebagai
berikut:
– Sistem Hukum Nasional belum tegas mengatur mengenai hubungan Hukum Nasional
dengan Hukum Internasional?
–
Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional,
18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.Bagaimanakah mengimplementasikan Hukum
Internasional ke dalam Hukum Nasional?
– Belum berkembangnya doktrin dan praktek tentang Perjanjian Internasional
dalam Hukum Nasional?
– Bagaimana suatu Perjanjian Internasional dapat diterapkan pada suatu
persoalan yang dihadapi?
– Apakah hukum nasional lebih tinggi derajatnya dari pada Hukum Internasional
atau sebaliknya lndonesia menganut aliran monisme atau dualisme atau campuran
dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional?
– Posisi Hukum Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia?
– Pengaturan Hukum Tata Negara Indonesia tentang status Hukum Internasional?
– Pengaturan UUD NRI 1945 tentang status Hukum Internasional?
Landasan Teoritik
Teori dan praktek merupakan dua hal yang berpasangan, kalaupun tidak jarang
keduanya bertentangan, tetapi teori tanpa praktek tidaklah lengkap dan praktek
tanpa teori tidak akan pernah mapan. Untuk mengkaji pengaturan, posisi, dan
kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional dapat ditinjau dari berbagai
segi sebagai implementasi dari:
a. konsep Negara hukum yang dipengaruh aliran hukum yang melekat padanya;
b. sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan Negara yang dianut dan
menentukan kedudukan dan hubungan kerja antara lembaga Negara;
c. Negara yang berdaulat sebagai Subyek Hukum Internasional yang melahirkan
hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional (Negara sebagai Subyek Hukum
Internasional diwakili oleh eksekutif);
d.
“Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia)
memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang
diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of
law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas.”apakah
hirarki perundang-undangan nasional seirama dengan hirarki Hukum Internasional.
e. dalam praktek hubungan hukum nasional dengan hukum internasional dikenal dua
aliran, yaitu monisme dan dualisme.
Teori kewenangan
Negara Berdasarkan atas Hukum
Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia)
memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang
diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of
law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum
jelas. Empat unsur rechtstaat dari Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl,
yaitu jaminan perlindungan HAM, pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika,
tindakan Pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang, dan Peradilan Administrasi
Negara. Ke-empat unsur tersebut belum lengkap untuk dikonstruksikan dalam
konsep Negara hukum Indonesia, oleh sebab itu, masih diperlukan dua unsur dari
rule of law A.V. Dicey.
belum tercermin dari rechtstaat yaitu supremacy of law dan equality before the
law.
Untuk mensintesakan keduanya dengan jiwa bangsa yang disebut dengan Pancasila,
namun harus disadari bahwa karakter rechtstaat ber-umbrella dan refleksi dari
civil law system dan rule of law ber-umbrella dan refleksi dari common law
system. Kemudian the founding fathers, memilih sistem pemerintahan Presidensial
yang merupakan refleksi dari rule of law, pembagian kekuasaan memilih
percampuran yang merupakan model dari pembagian kekuasaan pada sistem
pemerintahan Parlementer dalam bayang-bayang logika trias politika. Namun,
percampuran kekuasaan yang dipilih tidak menggunakan bayang-bayang logika trias
politika, tetapi melahirkan Lembaga-lembaga Negara, yaitu Lembaga Tertinggi
Negara dan Lembaga Tinggi Negara dan boleh dikatakan tanpa bentuk. Kini,
setelah amandemen UUD 1945 makin tidak menentu, yaitu melahirkan main state’s
organ (lembaga negara utama), auxiliary state organ (lembaga negara bantu), dan
komisi Negara. Lembaga legislasi nasional berdasarkan UUD NRI 1945 adalah DPR
dan Presiden, karena Presiden sebagai bagian dari lembaga legislasi, maka
setiap melakukan dan melaksanakan Hukum Internasional harus dengan persetujuan
DPR, perhatikan macam dan jenis Hukum Internasional.
Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan
Pemegang Hak Paten sistem pemerintahan yang menjadi pilihan saat ini adalah
Inggris dengan sistem pemerintahan Parlementer sebagai mother of parliament,
Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagai mother of
presidentialism, dan Perancis dengan sistem pemerintahan Semi-Presidensial
sebagai mother of semi-presidentialism. Negara-negara lain sebagai pemegang
lisensi dengan varian-varian yang disesuaikan perkembangan sejarah
ketatanegaraanya, pilihan terbanyak adalah sistem pemerintahan parlementer.
Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan Inggris di mana kepala Negara adalah Raja/Ratu, Eksekutif
adalah Perdana Menteri yang berasal dari anggota Badan Perwakilan yang menang
dalam Pemilu (Ketua Partai), maka yang disebut Parlemen di Inggris adalah
Raja/Ratu, Perdana Menteri, dan Badan Perwakilan (House of Lords dan House of
Commons). Parlemen terdiri dari: raja, wakil bangsawan, dan wakil rakyat.
Kerajaan lnggris melaksanakan konsep kekuasaan yang sifatnya monistik, artinya
raja, wakil golongan bangsawan, dan wakil rakyat berada dalam satu wadah yang
disebut Parlemen. Parlemen merupakan hak untuk membuat atau tidak membuat suatu
aturan hukum apapun, tidak seorangpun atau suatu badan yang diakui oleh hukum
mempunyai hak mengubah atau meniadakan hukum yang dibuat oleh Parlemen (dikenal
dengan Supremasi Parlemen). Inggris menjalankan pemerintahan yang demokratis
dan sangat menghormati kebiasaan. Sistem Parlemen ditandai oleh hubungan kerja
sama yang erat antara Raja, wakil, bangsawan, dan wakil rakyat dalam Parlemen.
Sifat monistik diperlihatkan dengan meletakkan kedudukan Raja dalam Parlemen
sebagai ciri khas sistem pemerintahan parlementer Inggris, dibandingkan dengan
pemerintahan parlementer Negara lain. Secara individual dan kolektif menteri
bertanggungjawab terhadap Parlemen, sistem pertanggungjawaban kabinet yang
merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di Inggris. Pemerintah terdiri
dari tiga unsur:
1. Perdana Menteri, bukan sebagai anggota kabinet, tetapi sebagai pemimpin
cabinet;
2.
atas usul;
3. Perdana Menteri;
4. Ada menteri yang berfungsi sebagai pejabat administrasi dan tidak duduk
dalam kabinet;
Kabinet secara formal ditetapkan oleh monarch, keanggotaannya ditentukan oleh
hasil pemilihan umum sebagai sifat parlemennya. House of Lords tidak banyak
pengaruhnya terhadap pembentukan kabinet. Pertanggungjawaban eksekutif arahnya
kepada Parlemen, tetapi evaluasi hanya dilakukan oleh House of Commons. Sistem
pemerintahan parlementer Inggris, berjalan melalui proses pengurangan kekuasaan
absolut raja dan diberikan kepada perwakilan bangsawan, proses ini, akhirnya
melembaga menjadi Majelis. Pertumbuhan sejarah pembentukan Majelis dan sifat
monistik yang melahirkan ajaran supremasi parlemen dan berpengaruh terhadap
sistem pemerintahan demokrasi moderen. Unsur pokok dalam sistem pemerintahan
Inggris adalah keseimbangan, kabinet dan parlemen mempunyai hak-hak yang
setingkat dan mampu saling kontrol, terlihat pada mekanisme perimbangan antara
tanggung jawab politik para Menteri pada satu pihak dan hak pembubaran dewan di
lain pihak yang merupakan persamaan derajat antara eksekutif dengan legislatif.
Untuk persamaan dalam ha1 waktu ada arbitrasi, seperti kalau kabinet minoritas
atau terancam menjadi minoritas, ia tidak dibubarkan sekonyong-konyong secara
ex abrupto, melainkan dinyatakan pembubaran dewan, sehingga apa yang menjadi
persoalan dalam dewan dapat diajukan kepada pemilih. Kalau dalam pemilihan memberikan
suara terbanyak kepada dewan, maka para Menteri mengikuti dan tunduk kepada
penetapan rakyat dan mengundurkan diri. Kalau sebaliknya, hasil pemilihan
membenarkan tindakan kabinet, adalah giliran dewan untuk tunduk kepada
kedaulatan rakyat. Parlemen Inggris terdiri dari: Majelis Tinggi (House of
Lords) adalah wakil bangsawan dan Majelis Rendah (House of Commons) adalah
wakil rakyat, dan Raja (Ratu).
RajalRatu, House of Lords, House of Commons, berada dalam satu wadah disebut
Parlemen. Dalam sistem Inggris memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
House of Commons untuk membentuk Undang-Undang (Act of Parliament). Raja/Ratu
yang merupakan bagian dari Parlemen hanya memiliki fungsi formal, artinya
setiap Undang-Undang wajib diajukan kepada Raja/Ratu untuk ditandatangani.
Kedudukan parlemen yang sangat kuat, karena diisi oleh orang-orang partai
pemenang pemilihan umum. Perdana Menteri berasal dari kalangan mereka dan
memerintah selama kepercayaan masih diberikan kepadanya. Namun, oposisi dibiarkan
tumbuh dengan subur, sehingga demokrasi dapat berkembang. Kedaulatan ada
ditangan rakyat dan sistem ketatanegaaran Inggris sering disebut Parliamentary
Sovereignty dan secara historis kekuasaan tersebut berkembang sejak Glorius
Revolution 1688. Kewenangan utama parlemen adalah memiliki hak monopoli dalam
membuat dan menyusun peraturan perundang-undangan dan pendelegasian wewenang
legislatif hanya boleh dilakukan oleh parlemen. Peraturan perundang-undangan
dibedakan atas tiga bentuk: (1). Act of Parliament. (2). Delegated Legislation.
(3). Autonomic Legislation. Peranan utama anggota Parlemen, berikut:
a. Menilai secara kontinyu rekan separtai yang menduduki jabatan-jabatan
menteri dan rekan-rekan mereka yang mungkin. Seorang Menteri mungkin memperoleh
mosi kepercayaan secara resmi, tetapi sebenarnya kehilangan posisi diantara
para rekannya di parlemen, apabila pendapatnya dilumpuhkan dalam perdebatan dan
hanya mempunyai pengetahuan yang sangat sedikit tentang hal yang ditangani.
b. Undang-Undang yang dilahirkan disebut Acts of Parliament, tetapi Rancangan
Undang-Undang disiapkan oleh ahli hukum di Whitehall yang berkerja atas
intruksi para pegawai Pemerintah berdasarkan kebijakan Menteri.
c. Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, seorang anggota parlemen dapat
mengajukan secara langsung kepada Menteri terhadap suatu keputusan. Apabila
hasil jawaban tidak puas, dapat diajukan dalam sidang House of Commons.
d. Parlemen dapat menyampaikan gagasan politik, karena partai mempunyai
komite-komite ahli dan mengawasi kegiatan Departemen Pemerintahan.
e. Eksekutif dapat menggunakan publisitas Parlemen untuk mendapatkan
persetujuan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi oposisi justru
sebaliknya.
Sistem Pemerintahan Presidensial
Amerika Serikat membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu legislatif
(Senate dan House of Representatives), eksekutif (Presiden sebagai kepala
Negara dan kepala Pemerintahan), dan Yudisial (Mahkamah Agung), pembagaian
kekuasaan ini berdasarkan atas prinsip pemisahan kekuasaan dari Trias Politika
Montesquieu, yang kemudian dilengkapi dengan checks and balances system, yaitu
ketiga kekuasaan tersebut dapat saling kontrol secara terbatas oleh kekuasaan
yang sama secara terbatas.
The United States of America diproklamasikan tahun 1776 dan naskah deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson (1743-1826) dan
disahkan oleh Kongres Kontinental di Philadelphia pada tanggal 4 Juli 1776,
yang ditandatangani oleh 56 anggota Kongres. Amerika Serikat mempunyai konstitusi
setelah tiga belas tahun merdeka, yaitu tahun 1789. Setelah konstitusi disahkan
dilanjutkan dengan pemilihan Presiden, George Washington (1789-1797) terpilih
sebagai Presiden pertama secara aklamasi, seperti juga pemilihan Presiden
Indonesia pertama Soekarno (1901-1970), yang dipilih tanggal 18 Agustus 1945
setelah UUD 1945 di sahkan oleh PPKI. Presiden Amerika Serikat yang pertama,
telah mewariskan suatu tradisi dua kali masa jabatan Presiden dengan cara
menolak dipilih untuk ketiga kalinya. Jika ia mau tidak ada yang akan
menghalanginya dan dapat dipastikan bahwa akan terpilih secara aklamasi, karena
merupakan mantan panglima perang kemerdekaan dan salah seorang the founding
fathers yang sangat disegani dan berpengaruh. Amerika Serikat, pada saat diproklamasikan
terdiri dari tiga belas Negara Bagian dan sekarang lima puluh Negara Bagian.
Perang kemerdekaan yang terjadi pada musim semi tahun 1775 di Concord,
Lexington, dan Bunder Hill menimbulkan pro dan kontra dikalangan tokoh dan
masyarakat, apakah revolusi merupakan satu-satunya jalan untuk merdeka, yaitu:
yang mendukung jalan perang adalah Samuel Adams dan John Hancock, tetapi yang
memilih cara damai dengan Inggris adalah George Washington (1732-1799) dan
Thomas Jefferson (1743-1826).
Arsitek konstitusi Amerika Serikat boleh dikatakan dilakukan oleh ahli hukum,
pemerintahan, dan politik, yaitu 33 ahli hukum dari 55 peserta konvensi, kalau
diperhatikan secara seksama bahwa Amerika Serikat menganut bentuk Negara
federal, bentuk pemerintahan republik, dan sistem pemerintahan presidensial.
Prinsip dasar dalam konstitusi Amerika Serikat, membagi pemerintahan menjadi
tiga cabang, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudisial: Juga menetapkan
bagaimana jabatan kenegaraan harus dipilih, batas kekuasaan Federal dengan
Negara Bagian, memberikan hukum substantif dasar terbatas yang berhubungan
dengan masalah-masalah kontroversial, seperti: perbudakan, kebebasan sipil,
hutang Negara, perpajakan, perdagangan, Perjanjian Internasional, dan gelar
bangsawan. Sistem pemerintahan Amerika Serikat merupakan yang paling rumit di
dunia dengan prinsip Government by the People, artinya kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dinyatakan melalui pemilihan umum, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan sesuai dengan tradisi hanya untuk
dua periode masa jabatan. Ketika tradisi yang diciptakan Presiden pertama
George Washington (1789-1797) dilanggar oleh Presiden F. D. Roosevelt
(1933-1945) yang terpilih untuk keempat kalinya, maka lahirlah amandemen
pembatasan masa jabatan presiden dua periode tahun 1951. Tidak seorang pun
harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari dua kali, tidak seorang pun
yang telah memegang jabatan Presiden atau ditugaskan sebagai Presiden, untuk
lebih dari dua tahun dari suatu masa jabatan untuk mana seseorang lain dipilih
menjadi Presiden harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari sekali.
Keadilan ditegakan melalui Supreme Court yang merdeka dan bebas dari pengaruh
legislatif dan eksekutif, para hakim dan Hakim Agung diangkat oleh Presiden
setelah menadapatkan persetujuan Senate, Hakim Agung tidak diangkat seumur
hidup, tetapi diangkat sepanjang Hakim tersebut melaksanakan tugas dengan baik
dalam rentangan waktu seumur hidup, dapat diberhentikan apabila melakukan
pelanggaran, kejahatan, dan pemberhentiannya harus didukung dua pertiga anggota
Senat.
Teori Hubungan Hukum Nasional dan Hukum lnternasional
Mengenai hubungan antara perangkat Hukum Nasional (HN) dengan Hukum
Internasional (HI), yaitu:
a.
“Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat
Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang
berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus
primat Hukum Nasional.”
Monisme menempatkan HN dan HI sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum
pada umumnya, keduanya saling berhubungan. Tokoh aliran ini adalah Hans Kelsen
dan Georges Scelle, yang memunculkan dua paham:
– HN lebih tinggi dari HI (primat HN);
– HI lebih tinggi dari HN (primat HI).
Negara penganut monisme: Perancis, Jerman, dan Belanda.
b. Dualisme menempatkan HN dan HI sebagai sistem hukum yang terpisah,
masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya,
tokoh aliran ini adalah Triepel dan Anzilotti. Negara penganut dualisme:
Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat
Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang
berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus
primat Hukum Nasional.
Hirarki Hukum lnternasional
J.G. Starke membagi sumber materiil Hukum Internasional, dalam lima bentuk:
(1) Kebiasaan;
(2) Traktat;
(3) Keputusan pengadilan atau badan arbitrase;
(4) Karya para ahli hukum;
(5) Keputusan organisasi lembaga internasional;
Sumber Hukum Internasional berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, sebagai berikut:
a. International Conventions;
b. International Custom;
c. General Principles of Law;
d. Judicial Decisions; dan
e. Teachings of the Most Highfy Qualified Publicists.
Sumber Hukum Internasional itu dijadikan dasar untuk membuat Perjanjian
Internasional, dan bagaimana menempatkan sumber Hukum Internasional dalam
kategori Perjanjian Internasional dalam kerangka dan hirarki Hukum Nasional.
Kekuatan mengikat Hukum Internasional menurut Corbett adalah sebagai kehendak
Negara-Negara agar hubungan timbal balik yang mereka adakan karena tidak dapat
dilepas dari sifat sosial mereka diatur seraga dan serasional mungkin, melalui
tahapan:
Pertama, tahap atau arti pertama dari perkataan “sumber” ini merupakan yang
paling abstrak dan yang paling kontroversial, diartikan sebagai ketentuan yang
prosedural (tidak pada cita-cita atau ide).
Kedua, tahap kedua kita mengartikan “sumber” sebagai unsur konstitutif bagi
aturan Hukum Internasional atau kriteria untuk menyatakan bahwa Hukum
Internasional atau bukan, ini sebagai landasan Hukum Internasional sebagai
suatu sistem dari peraturan-peraturan yang membentuknya, yaitu kesepakatan
Negara-Negara menurut Corbett.
Ketiga, sumber dalam arti manisfestasi relevan atas dasar mana ada tidaknya
unsur konstitutif dapat dibuktikan dan dalam konsepnya Brownlie sebagai sumber
material. Dalam Hukum Internasional, subyek-subyek itu sendiri merupakan
pembentuk hukum (legislator) tidak selalu terdapat prosedur serupa. Akibatnya,
persoalan tentang apakah suatu peraturan sungguh-sungguh merupakan peraturan
internasional harus dijawab atas dasar fenomena yang tidak begitu formal dan
terstruktur, yang dalam ha1 ini diberi istilah “manifestasi unsur konstitutif”.
Jadi, Hukum Internasional harus memenuhi dua persyaratan, yaitu derajat
kepastian dan kejelasan setinggi-tingginya, perhatian yang cukup terhadap
hubungan antar hukum dan hubungan kemasyarakatan. Kesemua itu harus dilihat
dalam tiga karakteristik masyarakat internasional yang mempengaruhi Hukum
Internasional, yaitu:
(1) Ada sejumlah Negara yang hidup berdampingan (co-exist), yaitu Negara
merdeka dan berdaulat yang tidak tunduk pada kekuasan yang lebih tinggi.
(2) Terjadi interaksi antara Negara-Negara yang termasuk ke dalam sistem
internasional, terjadi melalui intensitas tertentu secara historis.
(3) Pengakuan atau persepsi pada Negara-Negara tentang perlunya pengaturan
hubungan timbal balik antara mereka.
Berbicara Hukum Internasional harus memahami 18 istilah yang sering digunakan
dalam Hukum Internasional, yaitu: Treaty; Convention; Agreement; Arrangement;
Declaration; Charter; Covenant; Statute; Protocol; Pact; Process verbal; Modus
Vivendi; Act; Final Act; General Act; Accord; Compromis; Concordat.
Dalam praktek, treaty dan convention menduduki tempat paling tinggi dalam
urutan Perjanjian Internasional.
1. Traktat, istilah ini yang sudah umum digunakan dalam perjanjian-perjanjian
internasional, seperti:
2.1. Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and
Underwater of August 5, 1963.
2.2. Treaty on Extradition between the United States of America and Japan of
March 3, 1978.
2. Konvensi, digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang
multilateral yang mengatur masalah besar dan penting dan berlaku sebagai kaidah
hukum internasional berlaku secara khas, seperti:
2.1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide of
December 9, 1948.
2.2. Convention on the Law of the Sea of December 10, 1982.
3. Deklarasi, pernyataan atau pengumuman dan isinya kesepakatan yang bersifat
umum dan pokok-pokoknya saja, menurut J.G. Starke dibedakan 4 macam:
3.1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati, seperti:
Deklarasi Paris 1856; Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967; Universal Declaration
of Human Rights, 10 Desember 1948.
3.2. Deklarasi sebagai suatu instrumen yang tidak formal yang dilampirkan pada
suatu perjanjian (konvensi atau traktat).
3.3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah
tidak begitu penting.
3.4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konperensi
diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus
dihormati oleh semua Negara, seperti:
– Declaration on the Prohibition of Military, Political, or Economics Coercion
in the Conclution of Treaty (Konvensi Wina 1969);
– Declaration of Principles Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the
Subsoil thereof, Beyond the Limit of National Jurisdiction.
4. Statuta, biasa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang
dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Statute of
Permanent Court of lnfernafional Justice; Statute of International Court of
Justice.
5. Piagam, dipergunakan untuk Perjanjian Internasional yang dijadikan sebagai
konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Charter of the Unifed
Nations; Charter of the Organization of African Unity; Charter of the
Organization of American States 1948.
6. Kovenan, artinya hampir sama dengan Piagam, digunakan sebagai konstitusi
suatu Organisasi Internasional, seperti: Covenan of the League of Nations;
International Covenan on Civil and Political Rights of December 16, 1966;
International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights, December 16,
1966.
7. Persetujuan, digunakan untuk Perjanjian Internasional yang ditinjau dari
segi isinya lebih tehnis administratif, seperti:
– Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed
Boundaries, May 18, 1971.
– Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Republic of India Relating to the Delimination of the Continental Shelf
Boundary between the Two Countries, August 8, 1974.
8. Perjanjian, arti generik untuk menyangkut segala bentuk, jenis, macam
perjanjian internaional, arti spesifik digunakan untuk perjanjian-perjanjian
internasional yang penting, besar baik yang menyangkut Bilateral dan
Multilateral. Dalam praktek di Indonesia: Perjanjian disahkan dengan UU,
sedangkan Persetujuan dengan keputusan Presiden.
9. Pakta, biasanya digunakan dalam perjanjian yang berkaitan dengan bidang
mliter dan pertahanan, seperti: NATO; Pakta Warsawa.
10. Protokol, menurt J.G. Starke merupakan jenis Perjanjian Internasional yang
kurang formal, jika dibandingkan dengan traktat, sebagai instrumen pembantu
pada suatu konvensi, tetapi berkedudukan secara berdiri sendiri dan tunduk pada
ratifikasi atas konvensi itu sendiri.
Teori Kewenangan jabatan kenegaraan pada setiap sistem pemerintahan, wajib
dipertautkan dengan pembagian kekuasaan Negara, untuk menentukan batas dan
tanggungjawab masing-masing lembaga, sesuai dengan prinsip dan hakikat
pembagian kekuasaan, berikut:
(1) Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan;
(2) Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk
setiap penerima kekuasaan;
(3) Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah
diterima pada saat menerima kekuasaan;
(4) Tiap kekuasaan dittentukan batasnya dengan teori kewenangan.
Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan itu diperoleh
yaitu: pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie, setelah itu
dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan dengan dua cara: delegatie dan
mandaat. Delegatie dilakukan oleh yang punya wewenang dan hilangnya wewenang
dalam jangka waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri sendiri dan
bertanggungjawab secara eksternal. Sedangkan, mandaat tidak menimbulkan
pergeseran wewenang dari pemiliknya, sehingga tanggung jawab pelaksanaan tetap
berada pada pemberi kuasa. Penerima kewenangan atribusi, tergantung pada pola
sistem pembagian kekuasaan yang membawa nilai kedaulatan rakyat dan menghindari
absolutisme.
Ketentuan Hukum lnternasional Dalam Hukum Nasional
Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan
praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung
problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek
ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat
melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin
memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam mengkaji pengaturan, posisi,
dan status Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia, harus dilihat
dalam UUD NRI 1945 dan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan dalam UUD baru
diatur pada amandemen UUD 1945 (2001 dan 2002), sebelumnya tidak diatur, hanya
diatur dengan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang
No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Ketentuan UUD NRI 1945
“Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan
praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung
problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek
ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat
melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin
memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia.”
Pasal 11, UUD NRI 1945 Ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
Ayat (2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Ayat (3)).
Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan
Undang-Undang. Ketentuan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup mengatur posisi dan
kedudukan Hukum Internasional dalam sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan
Pasal 11 ini belum bisa dijadikan payung hukum jika menguji ketentuan-ketentuan
internasional yang akan menjadi bagian Hukum Nasional dan dalam praktek juga
tidak jelas Indonesia menganut monisme atau dualisme dalam hubungan Hukum Nasional
dengan Hukum Internasional. Praktek dari tahun 1945-1960 tidak ada ketentuan,
baru tahun 1960 keluar Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tetapi, nasib
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tidak jelas, apa sudah dicabut atau belum.
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tidak singkrun dengan Jiwa dan Semangat UUD
NRI 1945 sebagai mana diamanatkan Pembukaan UUD NRI 1945, kurang pas dengan
struktur pembagian kekuasaan Negara, hirarki peraturan perundang-undangan, jika
diletakkan pada posisi dan hirarki Hukum Internasional. Ketentuan Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 yang akan menimbulkan berbagai implikasi dan persoalan
teoritik dan praktek, yang dapat dipertanyakan dan digugat dalam prakteknya,
berikut: Pasal 1 ayat (2) Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan
diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi
(ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan persetujuan
(approval). Kesemuanya itu dalam bentuk hukum apa bisa dilakukan dalam warna
hirarki perundang-undangan lndonesia dan juga dalam hirarki warna Hukum
Internasional. Bagi dunia internasional soal sumber Hukum Internasional dalam
pelaksanaannya masih menjadi perdebatan baik secara teoritik maupun praktek,
bahkan ada yang menuduh bahwa Hukum Internasional itu bukan hukum. Pasal 1 ayat
(3) Surat Kuasa (full powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau
Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah RI untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian. Perjanjian
menyatakan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian adalah
menyelesaikan hal-ha1 yang diperlukan dalam perbuatan Perjanjian Internasional.
Sesuatu yang sulit bisa diterima bahwa Presiden atau Menteri dapat memberikan
Surat Kuasa kepada seorang atau beberapa orang untuk mewakili Negara Indonesia
untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional. Menteri sebagai
pembantu Presiden dalam tugas keeksekutifan, memberikan Surat Kuasa kepada
seseorang atau beberapa orang untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian
Internasional, sama juga persoalan yang akan ditimbulkan oleh Pasal 1 ayat
Pasal 2 Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dalam perbuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional, dengan
berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Tidak
bisa membedakan mana Pemerintah (eksekutif) dengan Menteri sebagai pembantu
Presiden dalam melaksanakan tugas keeksekutifan, sepertinya Menteri sebagai
lembaga tinggi Negara, tetapi Menteri disini mewakili Pemerintah (eksekutif).
Pasal 3 Pemerintah RI mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional melalui cara-cara,
sebagai berikut:
(1) penandatanganan;
(2) pengesahan;
(3) pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
(4) cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam Perjanjian
Internasional.
Pasal 10, pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang,
apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI;
c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Komentar
“Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang
bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam
ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis,
jika ya maka tidak bisa diratifikasi.”
Dari hasil kajian terhadap reference paper dapat diambil suatu komentar dan
masukan, bagaimana meletakkan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum
Nasional.
1. Penempatan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional selama ini
trgantung dari selera penguasa, karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak tegas
memberikan asas sebagai landasan untuk praktek yang nantinya sebagai bagian
penyempurnaan sistem ketatanegaraan dan praktek harus mengarah kearah itu.
2. Kerancuan pilihan dalam praktek selama ini untuk menentukan hubungan Hukum
Nasional dengan Hukum Internasional, untuk Indonesia yang paling tepat
menggunakan prinsip dualisme, karena dari segi struktur ketatanegaraan
Indonesia belum memiliki grand unified desain.
3. Karakter sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum civil law
system dan common law system, pengaruh kedua sistem ini belum mampu
disintesakan yang melahirkan asas hukum yang menjadi pilihan sesuai dengan jiwa
dan karakter bangsa Indonesia.
4. Keanehan yang terjadi dalam praktek, seperti suatu ketika menggunakan logika
monisme, saat yang lain menggunakan dualisme, bahkan campuran antara keduanya
ini disebabkan tidak ada ketegasan prinsip yang diatur dalam UUD dan Pasal 11
UUD NRI 1945 belum cukup mengatur.
5. Bagaimana ratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, apakah dalam bentuk
Undang-Undang atau Perpres harus dilihat dari hirarki Hukum Nasional dengan
muatan materi untuk meletakkan hirarki Hukum Internasional dengan materi
muatannya. Jikapun Indonesia memilih prinsip monisme harus ke primat Hukum
Nasional, kesadaran politik yang belum mapan yang membuat Indonesia sering
dirugikan akibat Perjanjian Internasional.
6. Ratifikasi Perjanjian Internasional harus merupakan bagian dari Hukum
Nasional, asalkan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan sebuah
prinsip, tetapi UUD NRI 1945 masih belum memenuhi syarat sebagai fundamental
norm Negara.
7. Secara teori bisa saja menggunakan format Perppu untuk meratifikasi sebuah
Perjanjian Internasional, tetapi akan menjadi dilematis bagi pemerintah, jika
Perpu itu ditolak di DPR.
8. Tentang ratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka
terjadi perubahan rejim perairan dari internal waters menjadi archipelagic
waters. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 dapat dijadikan untuk pemberlakuan
rejim archipelagic waters. Oleh sebab itu, ratifikasi suatu Perjanjian
Internasional harus sudah dipikirkan, apa-apa dan ketentuan apa saja yang
dipengaruhinya dan menguntungkan Indonesia atau merugikan.
9. Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang
bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam
ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis,
jika ya maka tidak bisa diratifikasi.
10. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan
Undang-Undang yang dilahirkan dengan menabrak Undang-Undang No. 5 Tahun 1960,
karena Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 syarat dengan kepentingan investasi dan
banyak Undang-Undang yang dilahirkan untuk kepentingan kelompok baik
kepentingan kelompok dalam negeri maupun kepentingan kelompok luar negeri,
bukan untuk kepentingan Bangsa Indonesia.
11. Dari sekian banyak bentuk dan istilah yang dipergunakan dalam Perjanjian
Internasional, maka ratifikasi menjadi sangat penting dilakukan dalam bentuk
Undang-Undang.
12. Subyek Hukum Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini diwakili oleh
Pemerintah (eksekutif), maka lembaga yang lain tidak bisa melakukan Perjanjian
Internasional secara langsung, harus melalui pintu Pemerintah (eksekutif) yang
mewakili Negara sebagai subyek Hukum Internasional.
13. Setiap lembaga atau instansi yang akan melakukan Perjanjian Internasional,
harus dilihat dari segi subyek hukum, apakah organisasi ASEAN merupakan Subyek
Hukum Internasional, jika ya berarti boleh, tetapi karena ASEAN sebagai
organisasi bukan sebagai Negara yang berdaulat, maka perjanjian yang harus
dibuat hanya kapasitas untuk melaksanakan Piagam ASEAN.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.