Silsilah Fiqih Mu’amalah
Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan:
1. Masalah Pertama: Definisi jual-beli dan hukumnya:
A. Definisinya:
Jual-beli secara bahasa: mengambil sesuatu, dan memberi sesuatu.
Secara istilah: tukar menukar harta dengan harta sekalipun dalam bentuk jaminan atau manfaat yang mubah untuk selamanya, tanpa ada unsur riba maupun pinjaman.
B. Hukumnya:
Jual-beli adalah boleh. Berdasarkan firman Alloh Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ .. سورة البقرة 275
“Dan Allah menghalalkan jual-beli” [Qs. Al-Baqoroh: 275]
Dan berdasarkan apa yang diriwayatkan Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma, bahwa rasulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا
“Jika dua orang melakukan jual beli maka masing-masingnya punya hak khiyar (pilihan) atas jual belinya selama keduanya belum berpisah dan keduanya sepakat”. (Muttafaq ‘alaihi: diriwayatkan oleh Bukhari pada nomer (2112), dan Muslim pada nomer (1531).)
Dan kaum muslimin sepakat atas bolehnya jual-beli secara garis besarnya.
Dan hajat manusia mendorong kepada adanya jual-beli; karena setiap insan membutuhkan kepada apa yang ada di tangan orang lain, dan berkaitan dengannya kemaslahatannya, dan tidak ada media baginya untuk sampai kepada hal itu dan untuk mendapatkannya dengan jalan yang shahih, kecuali dengan jual-beli, maka hikmah itulah yang mengharuskan bolehnya jual-beli, dan disyariatkannya jual-beli; untuk dapat mencapai kepada tujuan yang diinginkan.
——————–
Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1/ hlm. 211]
Alih Bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh حفظه الله
〰 Teks Arabic 〰
الباب الأول: في البيوع، وفيه مسائل:
المسألة الأولى: تعريف البيع وحكمه:
أ- تعريفه:
البيع في اللغة: أخذ شيء، وإعطاء شيء.
وفي الشرع: مبادلة مال بمال ولو في الذمة، أو منفعة مباحة على التأبيد، غير ربا وقرض.
ب- حكمه:
البيع جائز. لقوله تعالى (وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ) [البقرة: 275].
ولما روى ابن عمر رضي الله عنهما، أن رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قال: (إذا تبايع الرجلان فكل واحدٍ منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعاً) (1).
وأجمع المسلمون على جواز البيع في الجملة.
وحاجة الناس داعية إلى وجوده؛ لأن الإنسان يحتاج إلى ما في يد غيره، وتتعلق به مصلحته، ولا وسيلة له إلى الوصول إليه وتحصيله بطريق صحيح، إلا بالبيع، فاقتضت الحكمة جوازه، ومشروعيته؛ للوصول إلى الغرض المطلوب.
—————-
1 متفق عليه: رواه البخاري برقم 2112، ومسلم برقم 1531.
الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة [جزء 1 / صفحة 211]
http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230
Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan:
Masalah Kedua: Rukun-rukun jual-beli:
Rukunnya ada 3:
■ ‘Aqid (orang yang melakukan akad jual-beli),
■ Ma’qud ‘alaih (barang yang diperjualbelikan) dan
■ Shighoh (ungkapan jual-beli).
Maka “Al-‘Aqid” mencakup penjual dan pembeli, sedangkan “Al-Ma’qud ‘alaih” adalah barang dagangan, sedangkan “As-Shighoh” yaitu ijab-kabul.
Dan ijab (maknanya): lafazh yang muncul dari penjual, seperti mengatakan: aku jual.
Sedangkan kabul (ialah): lafazh yang muncul dari pembeli, seperti mengatakan: aku beli.
Dan inilah yang dinamakan dengan “As-shighoh Al-Qouliyyah”
Adapun “As-Shighoh Al-Fi’liyyah” yaitu serah terima, yaitu mengambil dan memberikan, seperti seorang pembeli memberikan senilai barang dagangan kepada penjual, kemudian barang dagangan tersebut diberikan kepada pembeli tanpa ada ucapan.
Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1/ hlm. 211-212]
Alih Bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh حفظه الله
〰 Teks Arabic 〰
المسألة الثانية: أركان البيع:
أركانه ثلاثة: عاقد، ومعقود عليه، وصيغة.
فالعاقد يشمل البائع والمشتري، والمعقود عليه المبيع، والصيغة هي الإيجاب والقبول.
والإيجاب: اللفظ الصادر من البائع، كأن يقول: بعتُ.
والقبول: اللفظ الصادر من المشتري، كأن يقول: اشتريتُ.
وهذه هي الصيغة القولية.
أما الصيغة الفعلية فهي المعاطاة، وهي الأخذ والإعطاء، كأن يدفع المشتري ثمن السلعة إلى البائع، فيعطيه إياها بدون قول.
الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة [جزء 1 / صفحة 211-212]
http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230
Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan:
Masalah Ketiga: Persaksian atas jual-beli:
Persaksian atas jual-beli adalah mustahab (dianjurkan) dan bukan wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ ..سورة البقرة 282
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. [Qs. Al-Baqoroh: 282]
Maka Allah ta’ala perintahkan dengan persaksian ketika jual-beli, hanya saja perintah ini untuk suatu anjuran, dengan dalil firman Allah ta’ala:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ .. سورة البقرة 283
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutang)”. [Qs. Al-Baqoroh: 283]
Maka (ayat tersebut) menunjukkan bahwa perintah hanyalah merupakan perintah berupa pengarahan; untuk memberikan kepercayaan dan kemaslahatan.
Dan dari ‘Ammaroh bin Khuzaimah, bahwa pamannya -dan dia termasuk sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab dusun, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta kepada Arab dusun tersebut untuk mengikutinya sehingga beliau bisa membayar kuda yang dibelinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan cepat sementara orang Arab dusun tersebut berjalan lambat. Setelah itu orang-orang datang kepada Arab dusun itu dan menawar kudanya, dan mereka tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah membelinya. (1) dan makna: يسومونه yaitu meminta untuk bisa dibeli darinya.
Dan sisi pendalilannya ialah bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah membeli seekor kuda dari seorang Arab dusun, dan antara keduanya belum ada kejelasan (bukti), dan kalau sekiranya wajib dalam jual-beli tentulah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak akan membeli kecuali setelah ada saksi.
Dan adalah para sahabat rodhiallohu ‘anhum mereka saling berjual-beli di zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di pasar-pasar, dan tidak pernah terpikirkan dari mereka perbuatannya.
Dan dikarenakan jual-beli termasuk perkara banyak terjadi dikalangan orang-orang di Pasar dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan kalau sekiranya mereka bersaksi atas segala sesuatunya, karena akan menghantarkan kepada beban dan kesulitan.
Akan tetapi apabila barang dagangannya termasuk dari transaksi yang besar yang pembayarannya secara tempo, yang memang membutuhkan kepada penguat (bukti), maka seharusnya hal itu ditulis, dan dipersaksikan; untuk dapat merujuk kepada surat kesepakatan bersama apabila terjadi perselisihan diantara kedua pihak.
—————–
(1) HR. Ahmad (5/215), dan Abu Dawud dengan nomer (3607), Nasaai (7/301), dan dishahihkan oleh syaikh Albani (Shahih Sunan Nasaai no. 4332.
Al-Fiqh Al-Muyassar (juz.1 / hlm: 212)
Alih Bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh حفظه الله
〰 Teks Arabic 〰
المسألة الثالثة: الإشهاد على البيع:
الإشهاد على البيع مستحب وليس بواجب، لقوله تعالى: وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ.. البقرة: 282، فأمر الله تعالى بالإشهاد عند البيع، غير أن هذا الأمر للاستحباب، بدليل قوله تعالى: فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.. البقرة: 283، فدلَّ على أن الأمر إنما هو أمر إرشادٍ؛ للتوثيق والمصلحة.
وعن عمارة بن خزيمة، أن عمّه حدَّثه -وهو من أصحاب النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أنه عليه الصلاة والسلام ابتاع فرساً من أعرابي، واستتبعه ليقبض ثمن فرسِه، فأسرع النبيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وأبطأ الأعرابي، وطفق الرجال يتعرضون للأعرابي فَيَسُومُونَه بالفرس، وهم لا يشعرون أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ابتاعه. 1 ومعنى “يسومونه”: يطلبون شراءه منه.
ووجه الدلالة: أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اشترى الفرس من الأعرابي، ولم يكن بينهما بَيِّنة، ولو كانت واجبة في البيع لم يشتر النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلا بعد الإشهاد.
وكان الصحابة رضي الله عنهم يتبايعون في عصره – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في الأسواق، ولم يُنقل عنه أنه أمرهم بالإشهاد، ولا نُقِل عنهم فعله.
ولأن الشراء والبيع من الأمور التي تكثر بين الناس في الأسواق في حياتهم اليومية، فلو أشهدوا على كل شيء، لأدَّى إلى الحرج والمشقة.
لكن إن كان المعقود عليه من الصفقات الكبيرة المؤجلة الثمن، مما يحتاج إلى توثيق، فينبغي كتابة ذلك، والإشهاد عليه؛ للرجوع إلى الوثيقة إذا وقع خلاف بين الطرفين.
—————-
1 رواه أحمد 5/ 215، وأبو داود برقم 3607، والنسائي 7/ 301، وصححه الشيخ الألباني صحيح سنن النسائي برقم 4332.
الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة جزء 1 / صفحة 212
&127758; http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230
Masalah Keempat: Pilihan Dalam Jual-beli:
Pilihan (Khiyar): yaitu bagi setiap masing-masing dari penjual dan pembeli memiliki hak dalam melangsungkan akad jual-beli atau membatalkannya.
Maka hukum asal dalam akad jual-beli adalah lazim (harus ditunaikan), bilamana terjadi nya akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, dan tidak berhak bagi siapa pun dari kedua belah pihak yang membuat akad untuk menarik kembali darinya.
Hanya saja agama islam adalah agama yang murah hati dan mudah, yang menjaga kemaslahatan dan keuntungan bagi setiap individunya. Dan diantaranya ialah bahwa seorang muslim apabila dia membeli sebuah barang atau menjualnya oleh karena sebab tertentu, kemudian dia menyesal atas pembeliannya itu, maka syariat telah membolehkan baginya untuk memilih (khiyar) hingga dia memutuskan perkaranya, dan melihat kepada kemaslahatannya, sehingga dia melanjutkan jual-belinya atau mengembalikannya, berdasarkan apa yang dia lihat sesuai baginya.
Pembagian pilihan (khiyar):
Khiyar terbagi beberapa bagian, paling pentingnya:
PERTAMA: Khiyarul Majlis: yaitu tempat terjadinya jual-beli, sehingga bagi setiap masing-masing dari pelaku transaksi memiliki pilihan (khiyar) selama keduanya masih dalam majelis akad (jual-beli) dan keduanya belum berpisah dari majelis tersebut; berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar rodhiallohu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا
“Dua orang yang melakukan akad jual-beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah”. [1]
KEDUA: Khiyar As-Syarth: yaitu kedua pelaku jual beli membuat persyaratan (kesepakatan), atau salah satu dari keduanya melakukan khiyar hingga waktu yang sudah ditentukan, untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, maka apabila masa yang telah ditentukan habis antara keduanya yang dimulai dari permulaan akad, dan dia tidak melakukan pembatalan maka jadilah (jual beli tersebut) harus ditunaikan.
Contohnya: seseorang membeli dari orang lain sebuah mobil, pembeli mengatakan: “saya melakukan khiyar hingga satu bulan penuh, maka jika dia mengembalikan barang dari pembelian ditengah-tengah bulan tersebut maka boleh baginya untuk membatalkan, dan jika tidak maka wajib baginya untuk membeli mobil tersebut hanya dengan habisnya batas waktu satu bulan.
KETIGA: Khiyarul ‘Aib, yaitu yang dibenarkan bagi pembeli apabila dia temukan sebuah cacat pada barang dagangan, yang tidak diberitahukan oleh penjual, atau yang tidak diketahui oleh penjual dari barangnya, dan dengan sebab cacat ini menjadikan nilai jual barang tersebut menjadi berkurang, dan dikembalikan pengetahuan akan hal cacat tersebut kepada para ahli dari para pedagang yang kompeten, maka apabila para ahli menilainya hal itu sebuah cacat maka dibolehkan bagi pembeli melakukan khiyar, dan jika tidak maka tidak boleh melakukan khiyar.
Dan khiyar ini dibenarkan bagi pembeli, maka jika dia ingin dia boleh melanjutkan jual belinya, dan mengambil kompensasi dari cacat tersebut, yaitu berupa perbedaan antara harga barang yang bagus dengan nilai harga barangnya yaitu yang cacat, dan jika dia mau maka boleh dia kembalikan barangnya, dan dikembalikan uang yang sudah dia berikan kepada penjual.
KEEMPAT: Khiyar At-Tadlis, yaitu penjual melakukan tadlis (pengkaburan) kepada pembeli yang menyebabkan bertambahnya nilai harga, dan perbuatan ini HARAM; berdasarkan sabda beliau ﷺ :
من غَشَّنا فليس مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan bagian dari kami”. [2]
Contohnya: dia memiliki sebuah mobil, pada mobil tersebut terdapat cacat yang banyak di dalamnya, kemudian dia sengaja menampilkannya dengan warna yang cantik, dan jadilah penampilan luarnya mengkilat hingga pembeli tertipu bahwasanya mobil tersebut bagus sehingga membelinya. Maka dalam keadaan demikian bagi pembeli memiliki hak untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual dan meminta kembali uangnya.
__________
[1] Muttafaq ‘alaih: HR. Bukhari no. (2110), dan Muslim no. (1532).
[2] HR. Muslim no. (101).
Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1 / hlm. 213-214]
Alih Bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh حفظه الله
〰 Teks Arabic 〰
المسألة الرابعة: الخيار في البيع:
الخيار: أن يكون لكل من البائع والمشتري الحقُّ في إمضاء عقد البيع، أو فسخه.
فالأصل في عقد البيع أن يكون لازماً، متى انعقد مستوفياً أركانه وشروطه، ولا يحق لأي من المتعاقدين الرجوع عنه.
إلا أنَّ الدين الإسلامي دينُ السماحة واليسر، يراعي المصالح والظروفَ لجميع أفراده. ومن ذلك أنَّ المسلم إذا اشترى سلعة أو باعها لسبب ما، ثم ندم على ذلك، فقد أباح له الشرع الخيار حتى يفكر في أمره، وينظر في مصلحته، فيقدم على البيع أو يتراجع عنه، على ما يراه مناسباً له.
أقسام الخيار:
للخيار أقسام، أهمها:
أولاً: خيار المجلس: وهو المكان الذي يجري فيه التبايع، فيكون لكل واحدٍ من العاقدين الخيار ما داما في مجلس العقد ولم يتفرقا منه؛ لحديث ابن عمر رضي الله عنهما، أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قال: (البيعان بالخيار ما لم يتفرقا) (1).
ثانياً: خيار الشرط: وهو أن يشترط المتعاقدان، أو أحدهما الخيار إلى مدة معلومة، لإمضاء العقد أو فسخه، فإذا انتهت المدة المحددة بينهما من بداية العقد، ولم يُفسخ صار لازماً.
مثاله: أن يشتري رجل من آخر سيارة، ويقول المشتري: لي الخيار مدة شهر كامل، فإن تراجع عن الشراء خلال الشهر فله ذلك، وإلا لزمه شراء السيارة بمجرد انتهاء الشهر.
ثالثاً: خيار العيب، وهو الذي يَثْبُت للمشتري إذا وجد عيباً في السلعة، لم يخبره به البائع، أو لم يَعْلم البائعُ به، وتنقص بسبب هذا العيب قيمة السلعة، ويُرجع في معرفة ذلك إلى أهل الخبرة من التجار المعتبرين، فما عدّوه عيباً ثبت به الخيار، وإلا فلا.
ويثبت هذا الخيار للمشتري، فإن شاء أمضى البيع، وأخذ عِوض العيب، وهو الفرق بين قيمة السلعة صحيحة وقيمتها وهي معيبة، وإن شاء ردَّ السلعة، واسترد الثمن الذي دفعه إلى البائع.
رابعاً: خيار التدليس، وهو: أن يدلس البائع على المشتري ما يزيد به الثمن، وهذا الفعل محرم؛ لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (من غَشَّنا فليس منَّا) (2).
مثاله: أن يكون عنده سيارة، فيها عيوبٌ كثيرة في داخلها، فيعمد إلى إظهارها بلون جميل، ويجعل مظهرها الخارجي براقاً حتى يخدع المشتري بأنها سليمة فيشتريها. ففي هذه الحالة يكون للمشتري الحق في رد السلعة على البائع واسترجاع الثمن.
—————-
1 متفق عليه: رواه البخاري برقم 2110، ومسلم برقم 1532.
2 رواه مسلم برقم 101.
الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة جزء 1 / صفحة 213-214
http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230
WA Salafy Kendari &128225;
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.