Pagi itu, sinar mentari belum menampakkan diri. Namun si monyet sudah berjalan mondar mandir di pematang sawah yang bersebelahan dengan kebun pisang. Sesekali si monyet menoleh ke kiri dan sesekali ia menoleh ke kanan. Sepertinya ia khawatir bila ada teman-temannya yang mengetahui keberadaannya. Ketika keadaan dirasakan aman maka secepat kilat ia berlari dan memanjat pohon pisang yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Hohohohoho….akhirnya tercapai juga keinginanku menyantap setandan buah pisang,” katanya sambil duduk di atas tandan buah pisang. Kemudian Si monyet mencoba menggoyang-goyangkan tandan pisang agar tandan pisang lepas dari pohonnya. Namun berkali-kali ia mencoba ternyata usahanya selalu gagal. Tandan buah pisang itu masih melekat pada tempatnya. Si monyet mulai jengkel.
“Aduhhh sebel dech…kenapa tandan pisang ini susah dilepaskan? Mengapa aku tidak membawa pisau? Apakah aku harus memotong menggunakan gigi-gigiku ini? Walah walah..walaaaaah…ogah aaahhh… tidak mungkin lha yauww…kalau gigiku sakit tentu aku tidak bisa menikmati buah-buah pisang ini lagi….Aduuhhh..bagaimana ini??!”
Rupanya si monyet kebingungan dengan buah pisangnya. Dia tidak mengira kalau tandan buah pisang memang sulit untuk dipatahkan begitu saja. Untuk memotong tandan pisang harus menggunakan alat pemotong yang sangat tajam. Kini dia jadi serba salah nongkrong di atas pohon pisang. Mau pulang mengambil pisau ia merasa khawatir apabila buah pisang itu nanti diambil temannya, namun bila ia terus nongkrong di atas pohon pisang ia juga kesulitan memotong tandan buah pisangnya.
Saat si kera kebingungan memikirkan cara untuk memotong tandan buah pisangnya, di kejauhan nampak seekor tupai berjalan mendekati pohon pisang yang telah dinaiki si monyet.
“Tralala..trilili…tralala…trilili….,” kata si tupai sambil bernyanyi-nyanyi.
Namun, ketika si tupai telah sampai di pohon pisang ia terkejut ketika dilihatnya si monyet telah berada di sana.
“Hehehehehehe….ngapain kamu di atas pohonku ini, Nyet?” tanya si tupai kemudian “Ayo cepat turun…aku mau memanen buah pisangku .”
“Apa !? Turun? Enak saja menyuruh aku turun…buah pisang ini di tanganku… jadi sekarang menjadi milikku.” jawab si monyet membela diri.
“Wahhh…tidak bisa , Nyet ! Sejak pohon pisang ini mulai berbunga aku sering menungguinya…jadi buah pisang ini menjadi milikku! Ayo…cepat turun, Nyet !!!”
“Hohohoho…bahkan sejak pohon pisang ini masih kecil aku sudah menungguinya….jadi aku yang terlebih dahulu memiliki pohon pisang ini, kawan”
Si tupai nampaknya semakin geregetan dengan sikap keras kepala si monyet. Disuruh turun tidak mau.Ada saja alasan si monyet untuk mempertahankan setandan buah pisang yang kini berada di tangannya.
“Untuk berdebat terus dengan si monyet nampaknya tidak mungkin,” pikir si tupai “Aku harus mencari akal agar si monyet segera turun dari pohon pisangnya.”
“Okey….nggak apa-apa bila kamu tidak mau turun, Nyet! Tapi jangan salahkan aku bila harus merobohkan pohon pisang ini dengan gigi-gigiku yang setajam silet ini. Awassss…., Nyet!!….Satu..du…aaaa….tiiiiiiiggg……”
“Hei..hei…hei….tunggu dulu, tupai!” teriak si monyet menghentikan kenekatan si tupai mau merobohkan pohon pisang yang dinaikinya. Si monyet takut jatuh bersama buah pisangnya. Karena ia tahu bahwa gigi-gigi si tupai sangat tajam. Bathok kelapa saja sanggup dipecahkan dengan gigi-giginya, apalagi kalau harus memotong pohon pisang yang lembek ini tentu tidaklah sulit baginya. Oleh karena itu si monyet berusaha mengulur-ulur waktu agar si tupai batal merobohkan pohon pisang yang dinaikinya.
“Sebentar dong…., tupai! Ayo kita musyawarah dulu agar kita sama-sama bisa memiliki buah pisang ini, bagaimana, teman?!
Si tupai tidak banyak bicara. Ia terdiam sambil memperhatikan tingkah si monyet. “Akhirnya aku berhasil menggertaknya,” kata si tupai dalam hati.”Mana mungkin aku merobohkan pohon pisang ini? Mana mungkin aku merusah buah pisangnya…hehehehe.”
“Nahhhh….gitu dong….lalu apa maumu, Nyet?” kata si tupai kemudian.
“Begini , kawan. Sejak tadi aku sudah berusaha mematahkan tandan pohon pisang ini, tapi aku tidak sanggup melakukannya karena batangnya keras. Nahhh…bagaimana kalau engkau bantu aku memotong tandan pisang ini, lalu engkau akan mendapat bagian buah pisangnya.”
Betapa senangnya si tupai mendengar tawaran si monyet. Maka tanpa pikir panjang lagi si tupai segera menyetujui usulan si monyet tanpa memikirkan berapa jatah pisang yang akan dia terima. Si tupai cuma berpikir bahwa temannya itu tidak akan mencuranginya.
Tap..tap..tap..tap..tappp… secepat kilat si tupai memanjat pohon pisang. Dan dengan beberapa kali gigitan saja tandan buah pisang telah lepas dari pohonnya. Kemudian si kera cepat-cepat membawanya turun dan lari menjauh.
“Hei..hei..hei…kenapa kamu meninggalkan aku, nyet!” teriak si tupai kepada si monyet yang telah membawa lari setandan buah pisang yang berhasil dipotongkannya. “Hoiiiiiiiiii……berhenti, nyeeetttt! Mana bagianku….kamu jangan bertindak curang yaaa!”
Namun si kera tidak menghiraukan teriakan si tupai. Dia berlari semakin kencang meninggalkan si tupai.
“Hoiiii…,nyet! Berhentiiiii….. !!” teriak si tupai sambil mengejar kemanapun si monyet berlari.
Karena tubuh si tupai kecil, ia tidak mampu mengimbangi langkah si monyet dalam berlari. Namun demi mengambil haknya yaitu jatah buah pisang dari si monyet maka ia tetap mengejarnya walau dengan sisa-sisa nafas yang ada.
Si monyet yang telah jauh meninggalkan si tupai, kini mulai bisa bernafas lega. “Enak saja mau minta jatah buah pisang yang segar-segar begini. Nggak bisa yaaaa….aku mau menikmati setandan buah pisang ini sendirian,” guman si monyet sambil terus berlari menyusuri pematang sawah.
Di pertigaan jalan si monyet harus menyeberangi jembatan bambu untuk mencapai rumahnya.
Betapa senangnya hati si monyet, ternyata si tupai tidak bisa mengejarnya. Oleh karena itu, kini ia bisa berjalan menggotong setandan buah pisang sambil bernyanyi-nyanyi dan menari.
“Wah…tinggal selangkah lagi aku sampai rumah,” pikir si monyet sambil terus bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba ketika si monyet telah berada di tengah-tengah jembatan bambu dia berteriak : “Astaga! Siapa lagi yang menyaingi aku membawa setandan buah pisang?” teriak si Monyet. Berkali-kali si monyet melihat ke permukaan air namun si monyet yang membawa setandan buah pisang itu senantiasa mengikutinya. “Waaaah, buah pisang yang dibawanya lebih segar dibandingkan yang aku bawa! Eitss…ini tidak boleh terjadi…tidak boleh ada yang menyamaiku menyantap buah pisang. Awas! Aku harus merebut buah pisang yang dibawanya agar persediaan pisangku semakin banyak.” kata si monyet mulai menampakkan sifat serakahnya.”Aku harus merebut buah pisang itu dari tangannya.” Dan si monyet mulai mengambil ancang-ancang.
“Oke….satu…dua…tii…gaaa….!!!” si monyet melompat ke bawah. Dan …….byuuuurrrrr….byuuuurr…..byuuuurrrr…….toloooonnggg…..toloooonnggg“teriak si monyet.
Rupa-rupanya si monyet tidak sadar bahwa hewan yang membawa setandan pisang yang ada di bawah jembatan tadi adalah bayangannya sendiri yang terpantul di permukaan air. Tubuh si monyet akhirnya basah kuyup dan setandan buah pisang yang telah dibawanya telah lenyap tenggelam ke dalam air dan terbawa aliran air sungai yang deras.Si monyet berusaha mengejar buah pisangnya, namun aliran air telah membawa setandan pisangnya menjauh. Dan si monyet menyesal akibat sifat serakahnya akhirnya rejeki yang telah didapat hilang semua dari genggamannya.
“Hohohohoho….akhirnya tercapai juga keinginanku menyantap setandan buah pisang,” katanya sambil duduk di atas tandan buah pisang. Kemudian Si monyet mencoba menggoyang-goyangkan tandan pisang agar tandan pisang lepas dari pohonnya. Namun berkali-kali ia mencoba ternyata usahanya selalu gagal. Tandan buah pisang itu masih melekat pada tempatnya. Si monyet mulai jengkel.
“Aduhhh sebel dech…kenapa tandan pisang ini susah dilepaskan? Mengapa aku tidak membawa pisau? Apakah aku harus memotong menggunakan gigi-gigiku ini? Walah walah..walaaaaah…ogah aaahhh… tidak mungkin lha yauww…kalau gigiku sakit tentu aku tidak bisa menikmati buah-buah pisang ini lagi….Aduuhhh..bagaimana ini??!”
Rupanya si monyet kebingungan dengan buah pisangnya. Dia tidak mengira kalau tandan buah pisang memang sulit untuk dipatahkan begitu saja. Untuk memotong tandan pisang harus menggunakan alat pemotong yang sangat tajam. Kini dia jadi serba salah nongkrong di atas pohon pisang. Mau pulang mengambil pisau ia merasa khawatir apabila buah pisang itu nanti diambil temannya, namun bila ia terus nongkrong di atas pohon pisang ia juga kesulitan memotong tandan buah pisangnya.
Saat si kera kebingungan memikirkan cara untuk memotong tandan buah pisangnya, di kejauhan nampak seekor tupai berjalan mendekati pohon pisang yang telah dinaiki si monyet.
“Tralala..trilili…tralala…trilili….,” kata si tupai sambil bernyanyi-nyanyi.
Namun, ketika si tupai telah sampai di pohon pisang ia terkejut ketika dilihatnya si monyet telah berada di sana.
“Hehehehehehe….ngapain kamu di atas pohonku ini, Nyet?” tanya si tupai kemudian “Ayo cepat turun…aku mau memanen buah pisangku .”
“Apa !? Turun? Enak saja menyuruh aku turun…buah pisang ini di tanganku… jadi sekarang menjadi milikku.” jawab si monyet membela diri.
“Wahhh…tidak bisa , Nyet ! Sejak pohon pisang ini mulai berbunga aku sering menungguinya…jadi buah pisang ini menjadi milikku! Ayo…cepat turun, Nyet !!!”
“Hohohoho…bahkan sejak pohon pisang ini masih kecil aku sudah menungguinya….jadi aku yang terlebih dahulu memiliki pohon pisang ini, kawan”
Si tupai nampaknya semakin geregetan dengan sikap keras kepala si monyet. Disuruh turun tidak mau.Ada saja alasan si monyet untuk mempertahankan setandan buah pisang yang kini berada di tangannya.
“Untuk berdebat terus dengan si monyet nampaknya tidak mungkin,” pikir si tupai “Aku harus mencari akal agar si monyet segera turun dari pohon pisangnya.”
“Okey….nggak apa-apa bila kamu tidak mau turun, Nyet! Tapi jangan salahkan aku bila harus merobohkan pohon pisang ini dengan gigi-gigiku yang setajam silet ini. Awassss…., Nyet!!….Satu..du…aaaa….tiiiiiiiggg……”
“Hei..hei…hei….tunggu dulu, tupai!” teriak si monyet menghentikan kenekatan si tupai mau merobohkan pohon pisang yang dinaikinya. Si monyet takut jatuh bersama buah pisangnya. Karena ia tahu bahwa gigi-gigi si tupai sangat tajam. Bathok kelapa saja sanggup dipecahkan dengan gigi-giginya, apalagi kalau harus memotong pohon pisang yang lembek ini tentu tidaklah sulit baginya. Oleh karena itu si monyet berusaha mengulur-ulur waktu agar si tupai batal merobohkan pohon pisang yang dinaikinya.
“Sebentar dong…., tupai! Ayo kita musyawarah dulu agar kita sama-sama bisa memiliki buah pisang ini, bagaimana, teman?!
Si tupai tidak banyak bicara. Ia terdiam sambil memperhatikan tingkah si monyet. “Akhirnya aku berhasil menggertaknya,” kata si tupai dalam hati.”Mana mungkin aku merobohkan pohon pisang ini? Mana mungkin aku merusah buah pisangnya…hehehehe.”
“Nahhhh….gitu dong….lalu apa maumu, Nyet?” kata si tupai kemudian.
“Begini , kawan. Sejak tadi aku sudah berusaha mematahkan tandan pohon pisang ini, tapi aku tidak sanggup melakukannya karena batangnya keras. Nahhh…bagaimana kalau engkau bantu aku memotong tandan pisang ini, lalu engkau akan mendapat bagian buah pisangnya.”
Betapa senangnya si tupai mendengar tawaran si monyet. Maka tanpa pikir panjang lagi si tupai segera menyetujui usulan si monyet tanpa memikirkan berapa jatah pisang yang akan dia terima. Si tupai cuma berpikir bahwa temannya itu tidak akan mencuranginya.
Tap..tap..tap..tap..tappp… secepat kilat si tupai memanjat pohon pisang. Dan dengan beberapa kali gigitan saja tandan buah pisang telah lepas dari pohonnya. Kemudian si kera cepat-cepat membawanya turun dan lari menjauh.
“Hei..hei..hei…kenapa kamu meninggalkan aku, nyet!” teriak si tupai kepada si monyet yang telah membawa lari setandan buah pisang yang berhasil dipotongkannya. “Hoiiiiiiiiii……berhenti, nyeeetttt! Mana bagianku….kamu jangan bertindak curang yaaa!”
Namun si kera tidak menghiraukan teriakan si tupai. Dia berlari semakin kencang meninggalkan si tupai.
“Hoiiii…,nyet! Berhentiiiii….. !!” teriak si tupai sambil mengejar kemanapun si monyet berlari.
Karena tubuh si tupai kecil, ia tidak mampu mengimbangi langkah si monyet dalam berlari. Namun demi mengambil haknya yaitu jatah buah pisang dari si monyet maka ia tetap mengejarnya walau dengan sisa-sisa nafas yang ada.
Si monyet yang telah jauh meninggalkan si tupai, kini mulai bisa bernafas lega. “Enak saja mau minta jatah buah pisang yang segar-segar begini. Nggak bisa yaaaa….aku mau menikmati setandan buah pisang ini sendirian,” guman si monyet sambil terus berlari menyusuri pematang sawah.
Di pertigaan jalan si monyet harus menyeberangi jembatan bambu untuk mencapai rumahnya.
Betapa senangnya hati si monyet, ternyata si tupai tidak bisa mengejarnya. Oleh karena itu, kini ia bisa berjalan menggotong setandan buah pisang sambil bernyanyi-nyanyi dan menari.
“Wah…tinggal selangkah lagi aku sampai rumah,” pikir si monyet sambil terus bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba ketika si monyet telah berada di tengah-tengah jembatan bambu dia berteriak : “Astaga! Siapa lagi yang menyaingi aku membawa setandan buah pisang?” teriak si Monyet. Berkali-kali si monyet melihat ke permukaan air namun si monyet yang membawa setandan buah pisang itu senantiasa mengikutinya. “Waaaah, buah pisang yang dibawanya lebih segar dibandingkan yang aku bawa! Eitss…ini tidak boleh terjadi…tidak boleh ada yang menyamaiku menyantap buah pisang. Awas! Aku harus merebut buah pisang yang dibawanya agar persediaan pisangku semakin banyak.” kata si monyet mulai menampakkan sifat serakahnya.”Aku harus merebut buah pisang itu dari tangannya.” Dan si monyet mulai mengambil ancang-ancang.
“Oke….satu…dua…tii…gaaa….!!!” si monyet melompat ke bawah. Dan …….byuuuurrrrr….byuuuurr…..byuuuurrrr…….toloooonnggg…..toloooonnggg“teriak si monyet.
Rupa-rupanya si monyet tidak sadar bahwa hewan yang membawa setandan pisang yang ada di bawah jembatan tadi adalah bayangannya sendiri yang terpantul di permukaan air. Tubuh si monyet akhirnya basah kuyup dan setandan buah pisang yang telah dibawanya telah lenyap tenggelam ke dalam air dan terbawa aliran air sungai yang deras.Si monyet berusaha mengejar buah pisangnya, namun aliran air telah membawa setandan pisangnya menjauh. Dan si monyet menyesal akibat sifat serakahnya akhirnya rejeki yang telah didapat hilang semua dari genggamannya.
SELESAI….
Sumenep, 13 Oktober 2012
moral cerita : Keserakahan, tidak bisa bersyukur dengan apa yang telah didapat dan ketidakadilan diri bisa
melenyapkan segala sesuatu yang telah kita miliki.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.