“Terlepas dari segala debat mengenai definisi demokrasi, kita mudah untuk sepakat mengatakan bahwa landasan ultima demokrasi adalah the idea that humans are of equal dignity (Mark Anderson, 2014, hl. 67). Demokrasi hanya mungkin bila kita percaya bahwa manusia memiliki martabat yang sama. Butuh sejarah yang panjang dan proses yang berdarah-darah untuk sampai ke pernyataan bahwa semua manusia–apa pun ras, agama dan warna kulitnya–memiliki martabat yang sama. –A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019, h.22.
Ted Sadler (Truth and Redemption Critique of the Posmodernist Nietzsche, London and Atlantic Highlands: The Athlone Press, 1995, hlm. 75-76) menegaskan bahwa di mata Nietzsche, kebenaran memang tidak diperuntukkan untuk siapa saja, “not everyone is capable of philosophical truthfulness”. Dan wajar bahwa setiap orang lantas berhak atas kebenarannya masing-masing; meski masuk akal juga bahwa tidak semua versi kebenaran lantas setara. Berkaitan dengan kebutuhan masing-masing akan kebenaran, Ted Sadler memberi tiga kategori manusia: lower class (figur Unta, kaum budak, plebs), middle class (figur Singa, kaum budak, yang adalah kaum scholar, saintis), dan spiritual aristocracy (figur Bayi, manusia tuan, orang-orang soliter semisal Herakleitos). Kategori ini mirip dengan pembagian 3 jenis jiwa dalam Platon dalam The Republic. Yang memilah golongan pedagang, golongan tentara dan golongan filsuf raja. Terlepas dari permusuhan Nietzsche pada Platon, ide-ide mereka tentang “aristocratic radicalism” bertemu (Mark Anderson, Plato and Nietzsche: Their Philosophical Art, London: Bloomsburry, 2014, hlm 154). (lihat A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019, h. 18-19).
“Sudah bukan rahasia bahwa pemikiran Nietszsche memiliki aroma aristokratis, cenderung menyukai yang ningrat dalam arti soliter (sendirian di ketinggian). Nietzsche membenci egalitarisme sosial dan politik, sesuatu yang justru dianggap keutamaan penting kaum kosmopolit dan modern yang sangat hobby memperlihatkan diri sebagai intelektual merakyat (yang hidup, berakar dan tinggal bersama dan setara dengan rakyat).” —A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019, h. 18-19).
Sejak abad 19, Nietzsche memberikan ramalan bahwa era yang kita hidupi adalah era Nihilisme (kekosongan), namun manusia tidak siap sehingga selalu merasa harus menciptakan “tuhan-tuhan” baru untuk mengisi hidupnya. Manusia tidak tahan hidup tanpa Tuhan sehingga ia selalu menciptakan “tuhantuhan” baru. “Tuhan” yang dinyatakan mati oleh Nietzsche, secara singkat, merujuk pada apa pun yang kita anggap sebagai hal terdasar yang kita pegang sebagai keyakinan. Dalam kajian filsafat Barat, hal terdasar yang menjadi landasan segala sesuatu adalah Being (atau on-ontos dalam bahasa Yunani yang merujuk pada ontologi). Dalam analisis gamblang, “Tuhan” yang dimaksud Nietzsche tentu saja adalah Tuhan dalam agama kristiani. Namun dalam analisis lebih luas, kata Tuhan merujuk pada apa saja yang kita sebut sebagai hal dasar segala sesuatu (Being). Orang yang sangat materialis hanya percaya bahwa segala sesuatu hanyalah atom atau asam amino, maka halhal itulah yang menjadi nama untuk Being. Bila orang atheis yakin bahwa semua yang ada hanyalah energi elektromagnetis, maka Being adalah energi seperti itu. Ditafsirkan dengan lebih luas lagi, bila kaum fanatik suka meneriakkan Allah sebagai landasan segala sesuatu yang menjadi patokan tindakan di dunia dan di surga, maka Being itu adalah Allah. Apa artinya “sudah mati”? Dalam analisis dekat, tentu Nietzsche merujuk pada kenyataan bahwa Tuhan kristiani sudah tak bisa dipercaya lagi, karena sudah bisa dijelaskan lewat kajian ilmiah ilmu tafsir (biblical criticism). Namun dalam analisis lebih luas, “sudah mati” merujuk pada kenyataan bahwa Tuhan yang seringkali bersifat moral akhirnya menjadi terlalu manusiawi, human all too human. Karena “Tuhan” ternyata sekedar proyeksi hasrat-hasrat manusiawi, maka ia menjadi unbelievable (tak bisa dipercaya lagi). Argumen “Tuhan” yang moralistik seringkali hanyalah topeng yang dipakai sebagai sarana segelintir orang untuk mengejar nafsu-nafsunya yang terlalu manusiawi (tahta/kekuasaan, wanita/seks, dan harta/kekayaan duniawi). —A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019, h. 19).
“Secara kasat mata, kebebasan membuat orang terserak dan butuh pegangan, yang ekstremnya memunculkan fanatisme. Secara lebih subtil, menurut Nietzsche, demokrasi sendiri adalah pegangan baru “setelah” kematian Tuhan. Demokrasi adalah “bayang-bayang Tuhan” yang dipeluk erat manusia rata-rata yang bingung menghidupi Nihilisme. Gejala setia buta pada capres masing-masing, atau maraknya fanatisme agama, menunjukkan besarnya kebutuhan akan pegangan di rezim demokrasi.” –A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019, h. 16.
Nietzsche sepakat dan mengamini bahwa zamannya ditandai oleh kematian Tuhan, Nihilisme. Namun bukannya menghidupi dengan mental yang baru (menghidupi Nihilisme secara aktif), Nietzsche justru melihat bahwa orang sezamannya masih memuja bayang-bayang-Nya. “Tuhan-tuhan” baru masih berkeliaran di Eropa. Sebelum mengumumkan kematian Tuhan di paragraf 125 buku Gaya Scienza, Nietzsche mendahuluinya dengan pernyataan agak aneh. Di GS paragraf 108 Nietzsche meramalkan bahwa “bayangbayang Tuhan justru akan lebih lama bertahan daripada Tuhan itu sendiri”. Apa maksudnya “bayangan” atau “bayang-bayang” Tuhan itu? Di paragraf 109 Nietzsche menyatakan bahwa salah satu wujud bayangan adalah “tuhannya kaum Eleatik”. Kota Elea, di Italia Selatan, adalah asal daerah filsuf pengusung Being yang bernama Parmenides. Pada paragraf-paragraf selanjutnya, “bayang-bayang Tuhan” itu disebutkan antara lain: substansi kekal, kebaikan yang sungguh-sungguh baik dalam dirinya sendiri. Di tempat lain, Nietzsche mengatakan dengan nama “berhala-berhala, idols”. —A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019, h. 21.
Bila secara empiris manusia senyatanya berbeda, dari mana kita memiliki “kepercayaan” abstrak bahwa manusia memiliki martabat yang sama? Nietzsche menjawab bahwa doktrin equal dignity muncul dari Kristianisme. Keyakinan kristiani bahwa tiap manusia adalah “anak-anak Tuhan” membuat semua manusia dianggap memiliki martabat yang sama (bdk. Antikrist 29). Dari pengandaian religius seperti ini muncullah doktrin metafisis equal dignity yang lantas diturunkan menjadi equal rights for all (Antikrist 43). Dari keyakinan bahwa manusia diciptakan oleh Sang Pencipta, maka semua manusia memiliki martabat yang sama, memiliki inalienable rights (hak-hak asasi yang tak bisa disingkirkan oleh siapa pun). Nietzsche menganalisis bahwa keyakinan tentang demokrasi, kesetaraan manusia, bahwa “pemerintahan dilakukan oleh, untuk dan dari rakyat”, memiliki asal-usul dari keyakinan teologis: bahwa semua jiwa adalah sama dan setara di depan Tuhan. Manakala manusia menyadari diciptakan oleh Sang Pencipta yang satu dan sama, maka perbedaan posisi kelahiran (orangtua dan muda), perbedaan sosial (raja dan budak, tuan dan hamba), perbedaan ras (bangsa putih atau merah, kuning atau sawo matang), perbedaan jenis kelamin, dan segala perbedaan lainnya dianggap tidak substansial. Ragam sistem politik kehilangan legitimasinya bila tidak mengakui bahwa pada intinya semua manusia adalah setara. Manusia terlahir sama dan setara di depan Sang Pencipta, maka di dunia ini pun seharusnya kesetaraan harus diterapkan. Lahirlah demokrasi. Nietzsche menulis: “gerakan demokratis adalah warisan dari gerakan kristiani” (Beyond Good and Evil 202). Di matanya, “‘doktrin kesetaraan hak bagi semua’ adalah racun”, dan “kristianisme adalah (agama) yang menyebarkannya”. Dan saat menyebut Kristianisme sebagai penanggung jawab munculnya doktrin teologis kesetaraan jiwa-jiwa manusia sebagai ciptaan Tuhan, Nietzsche menghubungkannya dengan Platon dan Platonisme (Mark Anderson, 2014, hl. 151).Gabungan teori jiwa sebagai ciptaan oleh Allah dengan doktrin platonis yang mengagungkan jiwa (dibandingkan tubuh), memunculkan ide yang mewabah di zaman ini: hak yang setara bagi semua dan siapa saja sebagaimana tampak dalam demokrasi Nietzsche menjuluki Platon sebagai “orang kristiani, sebelum istilah ‘kristen’ itu sendiri muncul (pre–existently Christian)”, karena Platon sangat moralistik dalam menganggap kebaikan (the Good) sebagai “konsep tertinggi (the highest concept)” (Twilight of Idols, “Ancients”, 2; bdk. Mark Anderson, 2014, hl. 150). Dalam arti ini, benar bila dikatakan bahwa pemikiran Platon tentang jiwa dan Kebaikan telah memberikan landasan kokoh bagi berkembangnya doktrin Kristianisme tentang moralitas (khususnya moral budak).– A. Setyo Wibowo, “Kritik Nietzsche atas Demokrasi: Rezim Setara-tapi-galau Merindukan Identitas”, dalam Majalah Basis, No. 05-06, Tahun ke-68, 2019. h.22
JIKA KITA TIDAK MEMBACA NIETZSCHE, KITA TIDAK AKAN MAMPU MENGHANCURKAN SISTEM KAPITALIS. MAKA KITA HARUS BACA BUKU NIETZSCHE. FILSAFAT NIETZSCHE ADALAH SALAH SATU YANG TERBAIK UNTUK SOLUSI MASALAH DUNIA INI. SEMUA AKTIVIS HARUS MEMBACA FILSUF BESAR NIETZSCHE. ANDA HARUS MENDAPATKAN KEKUATAN DAN KEMAMPUAN PRIBADI. FILOSOFINYA BERDASARKAN KEBUTUHAN ORANG UNTUK MENJADI LEBIH KUAT. KARENA TANPA KEMAMPUAN KITA SEMUA AKAN BINASA DAN DENGAN menjadi kuat kita ditakdirkan untuk dapat melangsungkan hidup di bumi ini! (Anonim)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.