Dimuat di Detik.com, 22 Januari 2014.
Damos Dumoli Agusman
RUU KUHP saat ini sedang digodok oleh Pemerintah dan DPR. RUU KUHP ini dimaksudkan
untuk mengganti KUHP produk kolonial Belanda yang masih diberlakukan sampai
saat ini. Oleh sebab itu RUU KUHP bakal sarat dengan elemen-elemen baru yang
mengkristal akibat modernisasi hukum dan perkembangan-perkembangan pesat pasca
kolonial. Pastinya, RUU ini tidak mungkin menghindar dari
tekanan-tekanan globalisasi yang yang sudah sangat intrusif memasuki wilayah
hukum pidana nasional setiap negara. Salah satu tekanan globalisasi itu adalah
maraknya berbagai norma hukum internasional yang lahir dewasa ini yang tidak
hanya memberikan pembatasan bagi jurisdiksi pidana hukum hukum nasional melainkan
juga mendesak hukum pidana nasional mengadopsi norma-norma hukum internasional
itu. Lahirnya norma-norma hukum pidana internasional melalui berbagai konvensi-konvensi
internasional pastinya akan memaksa hukum pidana setiap negara menyesuaikan
diri. Indonesia dengan RUU KUHP ini tampaknya mulai menggeliat akibat tekanan globalisasi
ini.
untuk mengganti KUHP produk kolonial Belanda yang masih diberlakukan sampai
saat ini. Oleh sebab itu RUU KUHP bakal sarat dengan elemen-elemen baru yang
mengkristal akibat modernisasi hukum dan perkembangan-perkembangan pesat pasca
kolonial. Pastinya, RUU ini tidak mungkin menghindar dari
tekanan-tekanan globalisasi yang yang sudah sangat intrusif memasuki wilayah
hukum pidana nasional setiap negara. Salah satu tekanan globalisasi itu adalah
maraknya berbagai norma hukum internasional yang lahir dewasa ini yang tidak
hanya memberikan pembatasan bagi jurisdiksi pidana hukum hukum nasional melainkan
juga mendesak hukum pidana nasional mengadopsi norma-norma hukum internasional
itu. Lahirnya norma-norma hukum pidana internasional melalui berbagai konvensi-konvensi
internasional pastinya akan memaksa hukum pidana setiap negara menyesuaikan
diri. Indonesia dengan RUU KUHP ini tampaknya mulai menggeliat akibat tekanan globalisasi
ini.
Dalam RUU KUHP versi tahun 2012 (yang diunduh dari website Kemhukham) telah
tercermin beberapa elemen baru akibatnya ploriferasi norma hukum internasional
yang sudah meyentuh wilayah pidana nasional. Bab I tentang Ruang Lingkup berlakunya
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pidana telah memuat beberapa pasal yang
mengatur persentuhan antara hukum pidana nasional dengan hukum internasional.
tercermin beberapa elemen baru akibatnya ploriferasi norma hukum internasional
yang sudah meyentuh wilayah pidana nasional. Bab I tentang Ruang Lingkup berlakunya
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pidana telah memuat beberapa pasal yang
mengatur persentuhan antara hukum pidana nasional dengan hukum internasional.
Pertama adalah tentang pembatasan berlakunya norma pidana. Dalam Pasal 2
(1) RUU, dibuka kemungkinan adanya
“hukum yang hidup dalam masyarakat” sebagai sumber delik pidana diluar peraturan
yang ada. Ayat ini tentunya mengundang kontroversi di kalangan publik dibawah
rubrik asas legalitas. Namun yang cukup menarik adalah Pasal ini selanjutnya
diberikan pembatasan yaitu “sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Dalam kaitan ini patut dikritisi penggunaan
frasa “prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”.
Frasa ini tidak terlalu dikenal dalam hukum nasional Indonesia namun sangat
difahami dalam rubrik hukum internasional. Frasa ini adalah konsepi hukum
internasional bukan konsepi hukum nasional sehingga dikuatirkan akan
menimbulkan gap dalam penafsirannya di kemudian hari jika pasal ini diuji di
depan pengadilan nasional. RUU ini sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa
namun tampaknya istilah ini merupakan terjemahan dari “the general principles
of law recognized by civilized nations” seperti yang dimaksud dalam Pasal 38 (1)(c)
Statuta Mahkamah Internasional, yang dikenal sebagai salah satu sumber hukum
internasional dari empat sumber hukum yang dikenal dalam hukum internasional,
yakni “treaties”, “international customs”, “the general principles of law
recognized by civilized nations”, dan “judicial decisions and teaching of
highly publicists”.
(1) RUU, dibuka kemungkinan adanya
“hukum yang hidup dalam masyarakat” sebagai sumber delik pidana diluar peraturan
yang ada. Ayat ini tentunya mengundang kontroversi di kalangan publik dibawah
rubrik asas legalitas. Namun yang cukup menarik adalah Pasal ini selanjutnya
diberikan pembatasan yaitu “sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Dalam kaitan ini patut dikritisi penggunaan
frasa “prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”.
Frasa ini tidak terlalu dikenal dalam hukum nasional Indonesia namun sangat
difahami dalam rubrik hukum internasional. Frasa ini adalah konsepi hukum
internasional bukan konsepi hukum nasional sehingga dikuatirkan akan
menimbulkan gap dalam penafsirannya di kemudian hari jika pasal ini diuji di
depan pengadilan nasional. RUU ini sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa
namun tampaknya istilah ini merupakan terjemahan dari “the general principles
of law recognized by civilized nations” seperti yang dimaksud dalam Pasal 38 (1)(c)
Statuta Mahkamah Internasional, yang dikenal sebagai salah satu sumber hukum
internasional dari empat sumber hukum yang dikenal dalam hukum internasional,
yakni “treaties”, “international customs”, “the general principles of law
recognized by civilized nations”, dan “judicial decisions and teaching of
highly publicists”.
Jika perumus RUU memang mengambil referensi dari Statuta Mahkamah
Internasional dan memilih salah satu dari empat sumber hukum internasional ini
maka pertanyaan kritis akan muncul: bagaimana dengan sumber hukum lainnya yang
bisa saja lebih penting dari sekadar “prinspi-prinsip hukum umum”? Seperti
diketahui, selain prinsip hukum umum, Statuta Mahkamah Internasional menetapkan
“Konvensi Internasional” (treaties)
serta “hukum kebiasaan internasional” sebagai sumber hukum internasional dan
kesemuanya mengikat negara sekalipun hukum nasionalnya menolak untuk terikat.
Mahkamah Internasional sendiri lebih berorientasi pada penggunaan treaties dan hukum kebiasaan
internasional dalam menyelesaikan sengketa antar negara. Bahkan dalam hukum
kebiasaan internasional telah lahir berbagai norma dasar yang tidak mungkin
dikesampingkan oleh norma apa pun (ius cogens)
yang berlaku untuk semua orang dan negara (erga
omnes). Contoh: dapatkah sepasang turis asing yang belum menikah dikenakan
pidana berdasarkan hukum yang hidup di suatu daerah di Indonesia karena
menginap dalam satu kamar? Apakah hukum kebiasaan internasional dan
konvensi-konvensi HAM tidak bisa memberikan pembatasan terhadap berlakunya
hukum yang hidup ini?
Internasional dan memilih salah satu dari empat sumber hukum internasional ini
maka pertanyaan kritis akan muncul: bagaimana dengan sumber hukum lainnya yang
bisa saja lebih penting dari sekadar “prinspi-prinsip hukum umum”? Seperti
diketahui, selain prinsip hukum umum, Statuta Mahkamah Internasional menetapkan
“Konvensi Internasional” (treaties)
serta “hukum kebiasaan internasional” sebagai sumber hukum internasional dan
kesemuanya mengikat negara sekalipun hukum nasionalnya menolak untuk terikat.
Mahkamah Internasional sendiri lebih berorientasi pada penggunaan treaties dan hukum kebiasaan
internasional dalam menyelesaikan sengketa antar negara. Bahkan dalam hukum
kebiasaan internasional telah lahir berbagai norma dasar yang tidak mungkin
dikesampingkan oleh norma apa pun (ius cogens)
yang berlaku untuk semua orang dan negara (erga
omnes). Contoh: dapatkah sepasang turis asing yang belum menikah dikenakan
pidana berdasarkan hukum yang hidup di suatu daerah di Indonesia karena
menginap dalam satu kamar? Apakah hukum kebiasaan internasional dan
konvensi-konvensi HAM tidak bisa memberikan pembatasan terhadap berlakunya
hukum yang hidup ini?
Memilih hanya salah satu sumber hukum internasional namun membisu terhadap
sumber-sumber hukum lainnya dapat memberikan sinyal negatif terhadap masyarakat
internasional. Indonesia telah meratifikasi banyak konvensi-konvensi
internasional dan dengan demikian telah terikat dengan norma-norma yang tentu
saja seyogianya berfungsi membatasi norma yang hidup dalam masyarakat seperti
yang dimaksud dalam Pasal 2 (2) RUU diatas.
Namun RUU ini kelihatannya belum mengakui konvensi-konvensi
internasional dan hukum kebiasaan internasional sebagai norma pembatas dimaksud
sumber-sumber hukum lainnya dapat memberikan sinyal negatif terhadap masyarakat
internasional. Indonesia telah meratifikasi banyak konvensi-konvensi
internasional dan dengan demikian telah terikat dengan norma-norma yang tentu
saja seyogianya berfungsi membatasi norma yang hidup dalam masyarakat seperti
yang dimaksud dalam Pasal 2 (2) RUU diatas.
Namun RUU ini kelihatannya belum mengakui konvensi-konvensi
internasional dan hukum kebiasaan internasional sebagai norma pembatas dimaksud
Kedua, tentang perluasan jurisdiksi pidana. Beberapa pasal RUU telah
memperluas ruang lingkup berlakunya hukum pidana ini yang bersifat ekstra
teritorial. Pasal 4 menyatakan bahwa tindak pidana di bidang teknologi
informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di
wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Pasal 5 bahkan
memperluas ke wilayah luar Indonesia terhadap setiap orang jika tindak pidana
tersebut berkaitan dengan kepentingan Indonesia, seperti tindak pidana korupsi
dan pencucian uang. Perluasan ini merupakan konsekuensi dari fenomena kriminal
transnasional dampak globalisasi. Selain perluasan wilayah jurisdiksi, RUU ini
juga mulai memperkenalkan prinsip jurisdiksi universal, yaitu menerapkan delik
pidana yang ditetapkan oleh perjanjian dan hukum internasional namun yang telah
dirumuskan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia. Dalam hal ini, jika
karakter tindak pidana tersebut diakui sebagai “delik” dalam hukum
internasional maka Indonesia memiliki jurisdiki untuk mengadili siapa saja
serta dimana pun tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang delik tersebut
dirumuskan dalam KUHP Indonesia.
memperluas ruang lingkup berlakunya hukum pidana ini yang bersifat ekstra
teritorial. Pasal 4 menyatakan bahwa tindak pidana di bidang teknologi
informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di
wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Pasal 5 bahkan
memperluas ke wilayah luar Indonesia terhadap setiap orang jika tindak pidana
tersebut berkaitan dengan kepentingan Indonesia, seperti tindak pidana korupsi
dan pencucian uang. Perluasan ini merupakan konsekuensi dari fenomena kriminal
transnasional dampak globalisasi. Selain perluasan wilayah jurisdiksi, RUU ini
juga mulai memperkenalkan prinsip jurisdiksi universal, yaitu menerapkan delik
pidana yang ditetapkan oleh perjanjian dan hukum internasional namun yang telah
dirumuskan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia. Dalam hal ini, jika
karakter tindak pidana tersebut diakui sebagai “delik” dalam hukum
internasional maka Indonesia memiliki jurisdiki untuk mengadili siapa saja
serta dimana pun tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang delik tersebut
dirumuskan dalam KUHP Indonesia.
Perluasan jurisdiksi pidana ini tentu merupakan elemen baru yang patut
mendapatkan apresiasi. Namun kembali RUU memperkenalkan istilah yang perlu
mendapat kejalasan akademis yaitu frasa “tindak pidana menurut perjanjian atau hukum
internasional”. Pemisahan antara konsep perjanjian internasional di satu pihak dengan
hukum internasoinal di lain pihak perlu didiskusikan oleh pakar hukum pidana
dan pakar hukum internasional. Perjanjian internasional adalah sumber hukum
internasional sehingga membedakan keduanya mengakibatkan terjadi anomali dan
akan melahirkan kontroversi tafsir di kemudian hari. Mungkin yang dimaksud oleh
perumus RUU adalah “perjanjian atau hukum kebiasaan internasional” bukan “perjanjian
atau hukum internasional”.
mendapatkan apresiasi. Namun kembali RUU memperkenalkan istilah yang perlu
mendapat kejalasan akademis yaitu frasa “tindak pidana menurut perjanjian atau hukum
internasional”. Pemisahan antara konsep perjanjian internasional di satu pihak dengan
hukum internasoinal di lain pihak perlu didiskusikan oleh pakar hukum pidana
dan pakar hukum internasional. Perjanjian internasional adalah sumber hukum
internasional sehingga membedakan keduanya mengakibatkan terjadi anomali dan
akan melahirkan kontroversi tafsir di kemudian hari. Mungkin yang dimaksud oleh
perumus RUU adalah “perjanjian atau hukum kebiasaan internasional” bukan “perjanjian
atau hukum internasional”.
RUU KUHP ini juga melahirkan kejutan baru bagi para pemerhati hukum
internasional yaitu dihapuskannya Pasal tentang pembatasan jurisdiksi oleh
hukum internasional dari RUU, yakin Pasal 9 KUHP: “Diterapkannya
pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum internasional.” Pasal
ini tidak lagi dirumuskan dalam RUU versi 2012 dan tidak ada penjelasan mengapa
pasal ini dihapus.
internasional yaitu dihapuskannya Pasal tentang pembatasan jurisdiksi oleh
hukum internasional dari RUU, yakin Pasal 9 KUHP: “Diterapkannya
pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum internasional.” Pasal
ini tidak lagi dirumuskan dalam RUU versi 2012 dan tidak ada penjelasan mengapa
pasal ini dihapus.
Dalam berbagai literatur, semua ahli hukum pidana sepakat bahwa Pasal 9
KUHP adalah dasar bagi penegak hukum sehingga tidak memberlakukan KUHP terhadap
Kepala Negara dan Pemerintahaan Asing yang melakukan tindak pidana di
Indonesia. Pasal ini pula yang menjadi dasar pengakuan para penegak hukum
terhadap “kekebalan” kantor kedutaan dan kantor konsulat asing di Indonesia,
disamping Konvensi Wina 1961 dan 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler
yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal ini pula lah yang membuat kantor
PBB dan kantor Uni Eropa serta kantor-kantor perwakilan organisasi internasional
lainnya memiliki imunitas. Dengan kata lain, Pasal 9 KUHP adalah pengakuan dan
penghormatan Negara Indonesia terhadap pembatasan-pembatasan yang diterapkan oleh
hukum internasional, dan dengan demikian merupakan perwujudan dari ketaatan
Indonesia sebagai anggota masyarakat Indonesia.
KUHP adalah dasar bagi penegak hukum sehingga tidak memberlakukan KUHP terhadap
Kepala Negara dan Pemerintahaan Asing yang melakukan tindak pidana di
Indonesia. Pasal ini pula yang menjadi dasar pengakuan para penegak hukum
terhadap “kekebalan” kantor kedutaan dan kantor konsulat asing di Indonesia,
disamping Konvensi Wina 1961 dan 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler
yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal ini pula lah yang membuat kantor
PBB dan kantor Uni Eropa serta kantor-kantor perwakilan organisasi internasional
lainnya memiliki imunitas. Dengan kata lain, Pasal 9 KUHP adalah pengakuan dan
penghormatan Negara Indonesia terhadap pembatasan-pembatasan yang diterapkan oleh
hukum internasional, dan dengan demikian merupakan perwujudan dari ketaatan
Indonesia sebagai anggota masyarakat Indonesia.
Dengan dihapusnya Pasal ini maka kepala negara dan pemerintahan asing,
kantor-kantor perwakilan diplomatik dan konsuler, serta pejabat internasional
lainnya akan diperlakukan sama dengan “setiap orang” dan dengan demikian KUHP
akan diberlakukan terhadap mereka. Akibatnya, akan terjadi dilema hukum yaitu
penegakan hukum pidana di Indonesia terhadap para pejabat internasional ini
akan melahirkan pelanggaran hukum internasional, dan sebaliknya penghormatan
hukum internasional akan berimplikasi pada pelanggaran hukum nasionalnya
sendiri. Untuk itu, penghapusan Pasal 9 KUHP ini sebaiknya ditinjau kembali dan
didahulu dengan pendalaman materi tentang hubungan antara hukum pidana nasional
dengan pembatasan-pembatasan yang hidup dalam hukum internasional.
kantor-kantor perwakilan diplomatik dan konsuler, serta pejabat internasional
lainnya akan diperlakukan sama dengan “setiap orang” dan dengan demikian KUHP
akan diberlakukan terhadap mereka. Akibatnya, akan terjadi dilema hukum yaitu
penegakan hukum pidana di Indonesia terhadap para pejabat internasional ini
akan melahirkan pelanggaran hukum internasional, dan sebaliknya penghormatan
hukum internasional akan berimplikasi pada pelanggaran hukum nasionalnya
sendiri. Untuk itu, penghapusan Pasal 9 KUHP ini sebaiknya ditinjau kembali dan
didahulu dengan pendalaman materi tentang hubungan antara hukum pidana nasional
dengan pembatasan-pembatasan yang hidup dalam hukum internasional.
Dari uraian diatas, aspek hukum internasional dari KUHP dewasa ini sudah
sangat kental. Perumusan RUU KUHP sebaiknya tidak lagi bisa terkotak pada
logika hukum pidana nasional an sich
dan seharusnya sudah membuka ruang bagi adanya norma-norma hukum internasional
yang bersentuhan dan beririsan dengan hukum pidana nasional. Pengabaian
terhadap aspek hukum internasional dari RUU ini akan memberikan implikasi
negatif bagi citra Indonesia di mata dunia internasional. Oleh sebab itu,
perumusan pasal-pasal yang beririsan dengan hukum internasional sebaiknya
dirumuskan dengan menggunakan multi disiplin ilmu antara hukum pidana dan hukum
internasional. Para pakar pidana dan pakar hukum internasional perlu
berinterkasi dan berpartisipasi aktif salam perumusan pasal-pasal ini supaya
aspek hukum internasional tidak terabaikan, dan sebaliknya, aspek hukum pidana
nasional tidak dikorbankan demi penegakan hukum internasional.
sangat kental. Perumusan RUU KUHP sebaiknya tidak lagi bisa terkotak pada
logika hukum pidana nasional an sich
dan seharusnya sudah membuka ruang bagi adanya norma-norma hukum internasional
yang bersentuhan dan beririsan dengan hukum pidana nasional. Pengabaian
terhadap aspek hukum internasional dari RUU ini akan memberikan implikasi
negatif bagi citra Indonesia di mata dunia internasional. Oleh sebab itu,
perumusan pasal-pasal yang beririsan dengan hukum internasional sebaiknya
dirumuskan dengan menggunakan multi disiplin ilmu antara hukum pidana dan hukum
internasional. Para pakar pidana dan pakar hukum internasional perlu
berinterkasi dan berpartisipasi aktif salam perumusan pasal-pasal ini supaya
aspek hukum internasional tidak terabaikan, dan sebaliknya, aspek hukum pidana
nasional tidak dikorbankan demi penegakan hukum internasional.
****
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.