covid-19

Refleksi Arsitektur Rumah Tinggal Sebelum, Sesaat dan Setelah Pandemik Covid


Brick Country House, Mies Van Der Rohe

Sampai sekarang saya masih belum paham dampak
pengaruhnya pandemik terhadap arsitektur seperti yang dibahas di beberapa
seminar online atau webinar (begitu sebutannya sekarang). Mungkin setelah
pandemik covid ini berakhir baru kemudian pikiran saya terbuka. Dampak yang
baru saya tahu, kantor arsitektur internasional, seperti MVRDV kosong tanpa
orang bekerja namun layar komputer hidup dan gambarnya bergerak-gerak.
Kelihatannya canggih sekaligus horor. Semua orang bekerja atau menjalankan
pekerjaan dari rumah (Work From Home).

Iseng-iseng saya melakukan survey poling kecil-kecilan
di instagram untuk mengetahui pendapat orang, dengan pertanyaan: ‘apakah
gagasan arsitektur dan/ kota akan berubah pasca pandemik?’ pilihannya polingnya
‘banget’ atau ‘biasa aja’. Poling yang diisi oleh hampir lima puluh responden
yang berlatar belakang arsitektur ini menujukkan hasil yang hampir berimbang,
yakni  57% akan berubah ‘banget’ dan 43%
akan ‘biasa aja’. Asumsi saya dari hasil ini adalah; mungkin kita tidak
benar-benar yakin gagasan arsitektur pasca pandemik akan berubah. Sebagaimana
dampak revolusi industri terhadap teknologi pembangunan. Meskipun pendemik
covid punya dampak yang juga global. Tapi ini tidak akan merevolusi segala hal hingga
memunculkan standar internasional yang baru.


Namun penyesuaian dalam penggunaan ruang
mungkin terjadi. Di dalam situasi pandemik ini kita melihat beberapa tempat
aktifitas manusia berkumpul, beraktifitas dan bergerak baik skala kota dan
bangunan mengalami penyesuaian. Tidak usah jauh-jauh, di lingkungan kita
sendiri gang-gang perumahan mulai ditutup, dari sekedar pembatas temporer kayu
dan bambu sampai portal besi permanen. Akses yang semula bisa dicapai dari
berbagai pintu masuk ditutup dan dikontrol lewat satu pintu masuk.
Warung-warung kelontong dan sembako juga mengalami penyesuaian dengan membatasi
akses pembeli hanya sampai di depan warung. Penjual melayani pembeli di depan
dengan pembatas meja sayur atau lemari es krim yang sekaligus berfungsi memberi
batas teritori dan jarak interaksi. Begitu juga di tempat perbelanjaan swalayan
modern, meskipun tidak mungkin membatasi akses pengunjung ke rak-rak produk, bagian
antrian kasir mulai ditandai plester pada lantai yang agak berjarak dari
biasanya.

Bagaimana dengan rumah tinggal?


Di saat semua orang harus tinggal di rumah – meskipun
banyak pula yang masih harus bekerja di luar – apakah ada rumah yang tanggap
terhadap pendemik? Perbincangan saya dengan seorang teman seputar situasi pandemik
ini awalnya terdengar terlalu parno, tapi justru memberikan pikiran yang
serius. Setidaknya mengenai satu bagian dari rumah tinggal, yaitu pintu
samping.


Peran pintu samping atau secondary acces
pada rumah tinggal menjadi penting dalam kondisi pandemik seperti ini. Akses
ini kesehariannya digunakan untuk menuju langsung ke ruang servis, yakni dapur
atau kamar mandi. Pintu samping ini akan lebih baik dekat dengan kamar mandi,
sehingga semisal penghuni pulang dari kerja bisa langsung mandi membersihkan
badan sebelum masuk ke ruang tengah untuk berkumpul dengan keluarga. Ada juga
yang berupa pintu / jalan samping yang langsung tembus ke halaman belakang (backyard).
Sehingga untuk menerima tamu atau keluarga dekat bisa cukup beraktifitas di
halaman belakang rumah. Saya kira setiap budaya rumah tinggal di seluruh dunia
memiliki ruang-ruang ‘transisi’ yang bisa digunakan untuk mencegah virus masuk
sampai ke dalam rumah.
Guest House, Philip Johnson.
Jadi kembali pada inti permasalahan, akan adakah
suatu perubahan
?

Di satu sisi, dari pembahasan pintu samping di
atas kita mungkin mulai berpikir ulang tentang organisasi ruang; apakah kamar
mandi harus selalu di tempatkan di belakang? Apakah lahan harus habis untuk
bangunan tanpa perlu taman? Bukannya sekarang kita semakin sadar bahwa udara
segar yang mengalir di dalam rumah baik untuk kesehatan, menambah rasa bahagia,
dan mengurangi stress seperti yang dikatakan Ridwan Kamil di sini. Meskipun
lahan tempat tinggal kecil bukan berarti kualitas hidup juga kecil. Kenapa tidak
mencoba menumpuk ruang publik dan privat ke atas seperti rumah baja Ahmad
Djuhara? Dan apakah setiap ruang di dalam bangunan harus dibatasi dengan
sekat-sekat dinding yang malah membuat ruang interior terasa kecil dan sulit
masuk cahaya? Kenapa tidak mengaplikasikan denah yang lebih terbuka (open
plan),
menggeser sana-sini mencari peluang ruang-ruang yang lebih lega sekaligus dapat menjadi ruang kerja yang nyaman saat terjadi pandemi.


Mungkin tidak ada yang berubah signifikan, jurus-jurus
lama masih mumpuni untuk menghadapi pandemi. Hanya saja ber-arsitektur mesti
dilakukan dengan proses yang benar, tidak sekedar tampilan, dan tidak sembrono,
dengan mengesampingkan hal-hal esensial seperti; sirkulasi gerak, udara bersih, cahaya
alami, hanya karena faktor penyebab yang sebenarnya masih bisa dicari solusinya.

Gambar: Pinterest

Bacaan sebelumnya:
Arsitek Betulan atau Kebetulan (?)


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Paling Populer

To Top