Bismillahirrahmanirrahim
PERUMPAMAAN IMAN
Banyak istilah kunci dalam Islam yang bersifat abstrak, seperti iman, takwa, ihsan, dsb, sehingga agak sukar
dipahami. Maka, Allah dan Rasul-Nya
terkadang menggunakan perumpamaan untuk
menjelaskannya. Contohnya, ketika
menjelaskan kemusyrikan, Al-Qur’an menyajikan “perumpamaan sarang laba-laba”. Seperti
rumah laba-laba yang tidak bisa melindungi pemiliknya dari hujan maupun panas,
maka tuhan-tuhan selain Allah pun sebenarnya tidak bisa memberi manfaat
apa-apa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
sering membuat perumpamaan. Ada banyak contohnya, seperti perumpamaan shalat 5 waktu
dengan sebuah sungai yang mengalir di depan rumah seseorang. Demikian pula para
ulama’. Salah satu perumpamaan yang mereka buat berkaitan dengan iman.
Sebagaimana dimaklumi, iman merupakan hakikat abstrak di dalam hati manusia. Kita
tidak bisa melihat bentuknya, dan hanya dapat merasakan gejala-gejalanya. Kali
ini kita akan menyimak “perumpamaan iman” yang disajikan oleh Syarafuddin Abun
Naja Musa bin Ahmad bin Musa al-Hajjawi al-Maqdisi, seorang faqih yang wafat
tahun 968 H.
sering membuat perumpamaan. Ada banyak contohnya, seperti perumpamaan shalat 5 waktu
dengan sebuah sungai yang mengalir di depan rumah seseorang. Demikian pula para
ulama’. Salah satu perumpamaan yang mereka buat berkaitan dengan iman.
Sebagaimana dimaklumi, iman merupakan hakikat abstrak di dalam hati manusia. Kita
tidak bisa melihat bentuknya, dan hanya dapat merasakan gejala-gejalanya. Kali
ini kita akan menyimak “perumpamaan iman” yang disajikan oleh Syarafuddin Abun
Naja Musa bin Ahmad bin Musa al-Hajjawi al-Maqdisi, seorang faqih yang wafat
tahun 968 H.
Sebagaimana diceritakan as-Safariniy dalam kitab
Ghidza’ul Albab, al-Hajjawi berkata, “Ada dikatakan: bahwa perumpamaan
iman adalah bagaikan sebuah negeri yang memiliki lima lapis benteng. Lapisan
pertama dari emas, kedua dari perak, ketiga dari besi, keempat dari ubin, dan
kelima dari batu bata. Selama penghuni benteng itu senantiasa memperhatikan
lapisan benteng batu bata, maka musuh tidak akan berharap bisa menguasai
lapisan yang kedua. Jika mereka menelantarkannya, musuh pun berharap kepada lapisan
yang kedua, kemudian yang ketiga, sampai akhirnya seluruh benteng itu roboh.
Demikian pula iman itu berada dalam lima lapis benteng, yaitu keyakinan,
kemudian keikhlasan, kemudian melaksanakan yang fardhu-fardhu, kemudian
melaksanakan yang sunnah-sunnah, kemudian memelihara adab-adab. Maka,
selama adab-adab masih dipelihara dan diperhatikan baik-baik, syetan tidak akan
berharap untuk bisa menguasainya. Namun, bila adab-adab telah ditinggalkan,
syetan pun berharap terhadap yang sunnah-sunnah, kemudian yang fardhu-fardhu,
kemudian keikhlasan, kemudian keyakinan.”
Ghidza’ul Albab, al-Hajjawi berkata, “Ada dikatakan: bahwa perumpamaan
iman adalah bagaikan sebuah negeri yang memiliki lima lapis benteng. Lapisan
pertama dari emas, kedua dari perak, ketiga dari besi, keempat dari ubin, dan
kelima dari batu bata. Selama penghuni benteng itu senantiasa memperhatikan
lapisan benteng batu bata, maka musuh tidak akan berharap bisa menguasai
lapisan yang kedua. Jika mereka menelantarkannya, musuh pun berharap kepada lapisan
yang kedua, kemudian yang ketiga, sampai akhirnya seluruh benteng itu roboh.
Demikian pula iman itu berada dalam lima lapis benteng, yaitu keyakinan,
kemudian keikhlasan, kemudian melaksanakan yang fardhu-fardhu, kemudian
melaksanakan yang sunnah-sunnah, kemudian memelihara adab-adab. Maka,
selama adab-adab masih dipelihara dan diperhatikan baik-baik, syetan tidak akan
berharap untuk bisa menguasainya. Namun, bila adab-adab telah ditinggalkan,
syetan pun berharap terhadap yang sunnah-sunnah, kemudian yang fardhu-fardhu,
kemudian keikhlasan, kemudian keyakinan.”
Demikianlah iman di dalam hati manusia. Sebagaimana
lazimnya barang yang sangat berharga, mestinya ia dipelihara dalam sistem perlindungan
berlapis-lapis. Alasannya jelas: agar ia tidak lenyap dicuri maling, atau rusak
oleh berbagai sebab yang tidak diinginkan.
lazimnya barang yang sangat berharga, mestinya ia dipelihara dalam sistem perlindungan
berlapis-lapis. Alasannya jelas: agar ia tidak lenyap dicuri maling, atau rusak
oleh berbagai sebab yang tidak diinginkan.
Menurut beliau, inti iman adalah keyakinan.
Ketika ia lenyap dari hati, maka sebenarnya sudah tidak ada lagi iman disana. Para
Sahabat pun memahaminya demikian, yang didasarkan sabda Baginda Nabi sendiri. Diceritakan
bahwa suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq naik mimbar, lalu menangis. Beliau
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri diatas mimbar
pada tahun pertama (yakni: setelah hijrah), lalu menangis. Beliau bersabda: ‘Mohonlah
kalian permaafan dan keselamatan dari Allah. Sungguh tidak seorang pun yang
diberi sesuatu yang lebih baik – setelah ia diberi keyakinan – dibanding
keselamatan.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih). Yang dimaksud
“keyakinan” disini adalah iman, sebagaimana dikatakan oleh penyusun kitab Tuhfatul
Ahwadzi.
Ketika ia lenyap dari hati, maka sebenarnya sudah tidak ada lagi iman disana. Para
Sahabat pun memahaminya demikian, yang didasarkan sabda Baginda Nabi sendiri. Diceritakan
bahwa suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq naik mimbar, lalu menangis. Beliau
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri diatas mimbar
pada tahun pertama (yakni: setelah hijrah), lalu menangis. Beliau bersabda: ‘Mohonlah
kalian permaafan dan keselamatan dari Allah. Sungguh tidak seorang pun yang
diberi sesuatu yang lebih baik – setelah ia diberi keyakinan – dibanding
keselamatan.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih). Yang dimaksud
“keyakinan” disini adalah iman, sebagaimana dikatakan oleh penyusun kitab Tuhfatul
Ahwadzi.
Maka, inti iman ini harus senantiasa dijaga
dengan memperhatikan lapisan-lapisan bentengnya secara seksama. Jika diperhatikan,
adab sebagai lapisan terluar mencakup adab lahir dan batin, sehingga – dalam banyak
hal – akan menyentuh aspek-aspek yang dapat diobservasi panca indra. Kita
diajari adab-adab pribadi seperti makan, minum, tidur, masuk-keluar kamar mandi,
dsb. Kita juga diminta menerapkan adab-adab bergaul seperti berwajah cerah, mengucap
salam, menahan pandangan, tidak berduaan dengan non-muhrim, dll. Pendek kata,
Islam mengajari kita beradab pada seluruh aspek kehidupan. Sekarang kita baru
mengerti mengapa demikian. Rupa-rupanya, adab adalah benteng iman yang paling
luar. Dengan kata lain, ketika Rasulullah menyuruh kita menerapkan adab-adab,
beliau sebenarnya sedang mengajari kita bagaimana menjaga iman, dan itu dimulai
dari titik terluar yang – bagi mayoritas orang – terkesan tidak ada
hubungannya.
dengan memperhatikan lapisan-lapisan bentengnya secara seksama. Jika diperhatikan,
adab sebagai lapisan terluar mencakup adab lahir dan batin, sehingga – dalam banyak
hal – akan menyentuh aspek-aspek yang dapat diobservasi panca indra. Kita
diajari adab-adab pribadi seperti makan, minum, tidur, masuk-keluar kamar mandi,
dsb. Kita juga diminta menerapkan adab-adab bergaul seperti berwajah cerah, mengucap
salam, menahan pandangan, tidak berduaan dengan non-muhrim, dll. Pendek kata,
Islam mengajari kita beradab pada seluruh aspek kehidupan. Sekarang kita baru
mengerti mengapa demikian. Rupa-rupanya, adab adalah benteng iman yang paling
luar. Dengan kata lain, ketika Rasulullah menyuruh kita menerapkan adab-adab,
beliau sebenarnya sedang mengajari kita bagaimana menjaga iman, dan itu dimulai
dari titik terluar yang – bagi mayoritas orang – terkesan tidak ada
hubungannya.
Demikian pula halnya amalan-amalan sunnah
dan fardhu, yakni benteng kedua dan ketiga. Ketika adab ditinggalkan,
syetan pasti menyerang lapisan berikutnya. Maka, dihembuskanlah kelalaian
mengerjakan amalan sunnah ke dalam jiwa kita. Ketika rayuan ini telah menancap,
maka hidup kita akan kosong dari amalan sunnah. Nyaris kita hanya menjaga yang fardhu-fardhu.
Jika demikian, maka syetan semakin mudah menggelincirkan kita. Sebagai misal,
shalat lima waktu adalah fardhu, tetapi menunaikannya dengan berjamaah di
masjid adalah sunnah. Jika kita merasa cukup dengan shalat sendirian di rumah,
dan tidak terbetik keinginan untuk berjamaah di masjid, syetan akan bersorak
gembira. Sebentar lagi kita juga akan meremehkan shalat fardhu itu. Mungkin kita
akan menunda-nundanya sampai terlewat waktunya, atau mengerjakannya dengan
buru-buru dan tidak khusyu’.
dan fardhu, yakni benteng kedua dan ketiga. Ketika adab ditinggalkan,
syetan pasti menyerang lapisan berikutnya. Maka, dihembuskanlah kelalaian
mengerjakan amalan sunnah ke dalam jiwa kita. Ketika rayuan ini telah menancap,
maka hidup kita akan kosong dari amalan sunnah. Nyaris kita hanya menjaga yang fardhu-fardhu.
Jika demikian, maka syetan semakin mudah menggelincirkan kita. Sebagai misal,
shalat lima waktu adalah fardhu, tetapi menunaikannya dengan berjamaah di
masjid adalah sunnah. Jika kita merasa cukup dengan shalat sendirian di rumah,
dan tidak terbetik keinginan untuk berjamaah di masjid, syetan akan bersorak
gembira. Sebentar lagi kita juga akan meremehkan shalat fardhu itu. Mungkin kita
akan menunda-nundanya sampai terlewat waktunya, atau mengerjakannya dengan
buru-buru dan tidak khusyu’.
Jika sudah demikian, tinggal satu lapisan
lagi, yaitu keikhlasan. Karena keikhlasan berarti memurnikan amal hanya untuk Allah,
maka kebalikannya adalah “menduakan Allah” alias syirik. Mungkin saja kita tetap
beramal, tetapi riya’ (pamer), dan ini syirik kecil. Bagaimana jika kita dilalaikan
syetan sehingga menerjang syirik besar? Na’udzu billah. Jika kemusyrikan
tumbuh di hati, maka sia-sialah iman. Sungguh benar sabda Rasulullah yang
diceritakan Abu Bakar diatas, bahwa tiada yang lebih berharga setelah iman
selain keselamatan. Dan, keselamatan itu harus kita usahakan sendiri semaksimal
mungkin, disertai selalu memohon ma’unah Allah. Wallahu a’lam.
lagi, yaitu keikhlasan. Karena keikhlasan berarti memurnikan amal hanya untuk Allah,
maka kebalikannya adalah “menduakan Allah” alias syirik. Mungkin saja kita tetap
beramal, tetapi riya’ (pamer), dan ini syirik kecil. Bagaimana jika kita dilalaikan
syetan sehingga menerjang syirik besar? Na’udzu billah. Jika kemusyrikan
tumbuh di hati, maka sia-sialah iman. Sungguh benar sabda Rasulullah yang
diceritakan Abu Bakar diatas, bahwa tiada yang lebih berharga setelah iman
selain keselamatan. Dan, keselamatan itu harus kita usahakan sendiri semaksimal
mungkin, disertai selalu memohon ma’unah Allah. Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar. Kamis, 17 Rajab 1433 H. Telah dipublikasikan dalam Lembar Tausiyah.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.