Pendidikan

PENDIDIKAN PADA MASA SALAFI DAN WAHABI


 A.    Pengertian Salafi dan Wahabi

Kata Salafi
adalah bentuk nisbat terhadap kata as-salaf. Secara epistimologis, kata
as-salaf sendiri bermakna orang-orang yang hidup sebelum zaman kita. Adapun
secara terminologis, as-salaf mengacu pada sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari
dan Muslim yang artinya berbunyi :

Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di masaku, kemudian yang
mengikuti mereka (tabi’in) kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at tabi’in)”

Dari hadist
ini, as-salaf dapat dimaknai sebagai “generasi tiga abad pertama sepeninggal
Rasulullah SAW”, yakni para sahabat, para tabi’in (pengikut Nabi setelah masa
sahabat), dan tabi’at tabi’in (pengikut Nabi setelah masa tabi’in). Oleh karena
itu, seorang salafi berarti seorang yang hidup di zaman Nabi SAW, tabi’in dan
tabi’at tabi’in.

Namun, akhir-akhir
ini istilah salafi ini sudah tercemar. Ada sebagian kelompok yang begitu giat
melakukan propaganda dan klaim sebagai satu-satunya kelompok salaf, sedangkan
kelompok lain mereka tuding tidak mengikuti salaf. Yang lebih berbahaya,
kelompok ini cenderung menyimpang dari ajaran islam ya
ng benar yang di
anut oleh mayoritas umat islam dari sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini.[1]

            Kelompok yang
sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini, dahulu dikenal dengan nama Wahhabi.
Tidak ada perbedaan antara Salafi dengan Wahhabi. Sewaktu di Jazirah Arab,
mereka lebih di kenal dengan Wahhabiyah Hanbaliyah. Namun, ketika di ekspor ke
luar Saudi, mereka menamakan dirinya dengan Salafi.[2]

            Salah satu
propaganda Salafi Wahhabi yang cukup memperdaya kaum awam adalah ajakan mereka
agar umat kembali pada pemahaman salaf. Akan tetapi, ajakan itu tidak semanis
bunyinya. Sebab, jika kita cermati, kita akan melihat bahwa orang-orang yang
mengajak pada pemahaman salaf itu justru melarang umat islam dari mengikuti
pemahaman salaf semisal imam madzhab yang empat (Abu hanifah, Malik, Syafi’I,
dan Ahmad).[3]
Oleh karena itu, pada hakikatnya mereka bukanlah Salafi atau para pengikut
Salaf. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahhabi, yakni pengikut Muhammad
ibnu Abdul Wahhab.

 

B.     Pendiri Salafi dan Wahabi

            Pendiri faham ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab,
beliau lahir di Uyainah, daerah Nejed pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun
1206 H. Sejak kecil, Muhammad bin Abdul Wahhab sudah mampu menghafal dan
memahami apa yang di bacanya, termasuk Al-Quran. Pada usia 9 tahun, ia sudah
hafal Al-Quran 30 juz. Kemampuannya menghafal dan memahami sesuatu juga
menumbuhkan kemauan yang kuat untuk memperluas dan memperdalam ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, setelah cukup belajar kepada ayahnya mengenai
fikih madzhab Imam Ahmad bin Hambal, ia melanjutkan pelajaran di Madinah.
Ia berguru kepada Syaikh Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayat
al-Sindi.

            Muhammad bin Abdul
Wahhab melanjutkan belajar ke berbagai Negeri, seperti Basrah (4 tahun),
Baghdad (5 tahun), Kurdistan (1 tahun), dan Hamadan (2 tahun). Kemudian, ia
pergi ke Isfahan untuk mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah itu, ia pulang
ke negerinya setelah singgah di kota Qum.[4]

           

C.     
Pokok-pokok
pendidikan yang diajarkan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab

            Tauhid, Menurut Ibn Abdul Wahhab, tauhid pada
dasarnya adalah pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah SWT dengan cara-cara
yang benar mengesakanNya.
Ia membagi
tauhid menjadi tiga:

a.        
Tauhid
rubu
biah yang berkenaan tentang pengesaan Allah SWT sebagai Maha
Pencipta segala sesuatu yang terlepas dari segala macam pengaruh dan sebab.

b.       
Tauhid asma wa
sifat yang berhubungan dengan pengesaan nama dan sifat-sifat Allah SWT yang
berbeda dengan makhlukNya.

c.        
Tauhid ilahiah
yang berkaitan dengan pengesaan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Disembah.

            Pemikiran
tauhid aliran Salafiah, terutama yang dikemukakan Ibn Taimiyah, di adopsi
seluruhnya oleh Ibn Abdul Wahhab, bahkan kemudian lebih dirinci dan dipertegas.
Tokoh-tokoh Salafiah, termasuk Ibn Taimiyah sebagai tokoh utamanya, bersifat
persuasif tidak efektif, sehingga perlu dengan kekuatan bahkan kekerasan.
Dengan kata lain, berbeda dengan tokoh-tokoh Salafiah, Ibn Abdul Wahhab bukan
hnaya seorang teoritisi, tetapi juga seorang praktsi yang berusaha keras untuk
mewujudkan pemikirannya.

Di antara ajarannya yang berkaitan dengan tauhid adalah:

a.    Zat yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah SWT semata, dan
orang yang menyembah kepada selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh di
bunuh.

b.    Kebanyakan umat Islam bukan lagi penganut tauhid yang murni karena
mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah SWT, tetapi pada wali dan
orang shaleh. Muslim seperti ini adalah musyrik.

c.    Termasuk perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan gelar
dan sebutan penghormatan kepada Nabi, wali atau malakat.

d.    Memperoleh dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada
Al-Quran dan sunnah merupakan kekufuran

e.    Menafsirkan Al-Quran dengan takwil merupakan kekufuran

f.     Pintu ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang
mampu
.

 

D.   
Pandangan Salafi tentang Pendidikan

    Kata “Pendidikan”
berasal dari kata “Rabba” dengan bentuk mashdarnya “Tarbiyah”.
Sementara itu pendidikan menurut beberapa ahli di Barat,  antara lain
pendapat Mortimer J. Adler yang dikutip Muzayyin[5],
mengartikan: pendidikan adalah proses dengan semua kemampuan manusia (bakat dan
kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat
dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atu dirinya sendiri
mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik. Selain itu,
Herman  H. Horne memandang pendidikan sebagai suatu proses penyesuaian
diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia,
dengan tabiat tertinggi dari kosmos. Tidak jauh berbeda, William Mc Gucken,
S.J. mendefiniskan pendidikan sebagai suatu perkembangan dan kelengkapan dari
kemampuan-kemampuan manusia baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang
diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan  individual atau
sosial dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang bersatu dengan penciptanya
sebagai tujuan akhir.

    Sedangkan menurut
Marimba yang dikutip Ahmad Tafsir[6]
menyatakan bahwa
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama”.

    Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai suatu proses harus mampu
mengarahkan, membimbing serta mengembangkan kemampuan dalam diri manusia
menjadi suatu kegiatan hidup yang berhubungan dengan Tuhan (Pencipta), baik
kegiatan itu bersifat pribadi maupun bersifat sosial.

    Pengertian Pendidikan seperti
diatas, secara definitif belum terdapat di Zaman Rasulullah saw. Tetapi usaha
dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan
berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih keterampilan berbuat,
memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan
ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup arti pendidikan dalam
pengertian yang luas[7]

    Sebelum membahas
tentang corak pendidikan Gerakan Salafy, perlu diapahami tentang epistemologi
Ilmu menurut Salafy. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Shlaih Ustaimin,
menegaskan bahwa secara umum Ilmu terbagi menjadi dua, Ilmu yang terpuji yaitu
ilmu Syariat, dan ilmu selain syariat, yang memiliki klasifikasi tidak terpuji
dan tidak terpuji tergantung dari manfaatnya dan madharatnya
. Selanjutnya, Gerakan
Salafy memiliki pandangan dakwah yang memiliki corak khusus, yang tekanannya
pada pendidikan
. Bukan hanya pendidikan
akademis, akan tetapi juga menumbuh kembangkan pribadi muslim yang faham
agamanya dan menjalankannya dengan baik. Mereka membagi alur dakwahnya dalam
dua hal, yaitu Tashfiyah (Penyucian) dan Tarbiyah (Pendidikan). Tashfiyah artinya
menyucikan diri dari perkara yang Syubhat dan berbau bid’ah. Sedangkan Tarbiyah
adalah Proses mendidik dan Pengajaran. Dengan kedua elemen ini, diharapkan
dapat mencetak generasi (peserta didik) yang Islami, yang memiliki implikasi
tegaknya syariah Islam dan akan membentuk Daulah Islamiyah.

    Dari paparan diatas
dapat disimpulkan bahwa, Gerakan Salafi memiliki visi mencetak generasi yang
Islami, dengan misi pendidikan yang langsung merujuk kepada al-Quran dan
Hadits, bersih dari sifat syubhat, bid’ah, khurafat dan lain sebagainya.

    Sementara itu, Ilmu
pengetahuan terbagi menjadi dua, Ilmu Syar’i dan bukan Ilmu Syar’i.  Ilmu
Syari dengan hukum Wajib Kifayah Adapun Ilmu bukan Syari, memiliki hukum
bermacam-macam, antara lain Wajib Kifayah, Mubah bahkan Haram.



[1]
Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat  Salafi Wahabi,(Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 34

[2] Ibid, hlm. 35

[3]
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 73

[4] Wahid Suratno,
Khazanah sejarah kebudayaan Islam, (Solo: Tiga serangkai, 2008), hlm. 86

[5] Muzayyin Arifin,
Ed
. “Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; PT
Bumi Aksara
, 2009), hal.13

 [6] Ahmad Tafsir, “Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam”
, (Bandung; PT Remaja
Rosdakarya Ofset
, 2005), hal. 24

 [7] Sudiyono “Ilmu
Pendidikan Islam”
, (Jakarta; PT Rineka Cipta,
2009
), hal. 6

 



Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top