Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya)
Ketika mendaftar di Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah, Malang, remaja
ini hanya menuliskan namanya, “Quraish”. Lalu, ketika ditanya oleh
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, pengasuh pesantren, dia tetap
menjawab dengan nama pendeknya tersebut.
“Jangan pisahkan namamu
dari “Muhammad”, anakku, sebutlah selalu secara lengkap, ‘Muhammad
Quraish Shihab’.” kata Habib Abdul Qadir. Keturunan Rasulullah yang
dikenal lembut dan santun ini ingin agar remaja tersebut senantiasa
mencantumkan nama ‘Muhammad’ di depan namanya, serta mendoakannya agar
identitas serta ajaran Nabi Muhammad senantiasa melekat dalam pribadi
Muhammad Quraish Shihab, santri yang baru saja mendaftar di Pesantren
Darul Hadits al-Faqihiyah, Malang, yang diasuh olehnya.
Kejadian
lebih dari setengah abad silam itu senantiasa diingat oleh Prof.
Quraish Shibab. Beliau mondok di pesantren ini “hanya” dua tahun,
1956-1958. Tapi atsar-nya pada kepribadian Prof. Quraish sangat kuat.
“Habib Abdul Qadir lah—di samping ayah dan ibu penulis—yang menanamkan
ke lubuk hati dan benak penulis dasar-dasar ajaran agama. Siapapun yang
melihat beliau akan terkagum oleh wibawa dan kerendahan hatinya; dan
kekaguman bertambah bila mendengar suara beliau yang lembut, tapi menghidangkan mutiara-mutiara ilmu dan hikmah. Beliaulah yang selalu
mengajarkan secara lisan atau praktik tentang makna keikhlasan dalam
menyampaikan ajaran agama. Keikhlasan itulah yang membuahkan apa yang
sering al-Habib ucapkan bahwa ta’limuna yalsya/ pengajaran kami
melengket [karena keikhlasan].” tulis Prof. Quraish mengenang gurunya
yang wafat pada 1962 tersebut.
Demikian kuatnya pengaruh Habib
Abdul Qadir terhadap kepribadiannya, Prof. Quraish masih senantiasa
menjalin hubungan dengan gurunya tersebut. “Hubungan penulis dengan
al-Habib Abdul Qadir terasa masih terjalin hingga kini, bukan saja
dengan doa yang penulis panjatkan buat beliau—hampir—setiap selesai
shalat atau setiap melintas di pekuburan dekat rumah penulis, tetapi
juga dengan “kehadiran” beliau setiap penulis merasakan keresahan atau
kesulitan. Tidak berlebih jika penulis katakan bahwa masa sekitar dua
tahun penulis dalam asuhan beliau sungguh lebih berarti daripada belasan
tahun masa studi di Mesir karena beliaulah yang meletakkan dasar dan
mewarai kecenderungan penulis.” lanjut Prof. Quraish dalam kata
pengantar di buku karyanya, “Logika Agama” (Lentera Hati: 2017) yang
merupakan rekaman gejolak pemikirannya ketika sedang menuntut ilmu di
Mesir.
Selain Habib Abdul Qadir, ada seorang ulama besar yang
sangat mempengaruhi pola pikir dan kepribadian Prof. Quraish, yaitu
Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikhul Azhar alias pemimpin tertinggi
Universitas al-Azhar, 1970-1978.
“Tokoh ini sangat sederhana,
lagi tulus. Rumah yang beliau huni sekembalinya dari Prancis, itu juga
dalam kesederhanaan rumah yang beliau huni ketika menjadi Imam kaum
Muslim dan pemimpin tertinggi semua lembaga al-Azhar. Kami sering naik
bus umum bersama menuju Fakultas (Ushuluddin), baik sebelum maupun
sesudah beliau diangkat sebagai dekan fakultas (1964 M).
Pandangan-pandangan beliau tentang hidup dan keberagamaan jelas ikut
mewarnai pandangan-pandangan penulis.
Beliau yang jebolan
pendidikan tertinggi Universitas Al-Azhar juga meraih gelar Ph.D dari
Sorbonne University di Prancis. Kendati hidup lama di Paris (1932-1942),
dengan hiruk pikuk glamournya kota itu, sedikitpun tidak berbekas dalam
pikiran dan hati beliau. Beliau tetap memelihara identitas keislaman.
Penghayatan dan pengamalan beliau beliau menyangkut nilai-nilai
spiritual sungguh sangat mengagumkan.” tulis Prof. Quraish mengenang
gurunya tersebut.
Bahkan, lanjut ayah Najwa Shihab ini, Syaikh
Abdul Halim ini punya kemampuan khas: gigih menjelaskan ajaran-ajaran
Islam secara rasional kepada semua pihak, namun di sisi lain juga
pengamal tasawwuf yang sangat percaya pada hal-hal yang bersifat
suprarasional.
Saya melihat apabila kedua tokoh di atas lah yang
menjadi “pemahat jiwa” Prof. Quraish. Dengan kerendahan hatinya, pakar
tafsir Indonesia ini mengakui apabila dua orang di atas lah yang
jejak-jejak kepribadiannya membekas dalam jiwa Prof. Quraish dan ikut
memperkaya pola pikirnya.
Dalam wujud yang lain, banyak para
ulama yang dengan ketulusan mengakui jasa-jasa gurunya dalam membentuk
jiwanya. Selain (tentu saja) membacakan al-Fatihah dan mendoakan setelah
shalat, mereka mengenang gurunya dengan cara yang khas, ada yang
melalui tulisan, ada pula yang menyampaikannya melalui cerita-cerita
keteladanan di dalam majelis ilmunya. Hadratussyekh KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari, misalnya, seringkali mengisahkan keteladanan Syekh Nawawi
al-Bantani, gurunya saat belajar di Makkah. Bahkan, seringkali pendiri
NU ini tidak mampu menahan tangis kerinduan saat menceritakan kealiman
dan karakter pribadi gurunya tersebut.
Demikian mulianya
kedudukan seorang guru, dalam salah satu karyanya, “Adab al-Alim wa
al-Muta’allim”, Kiai Hasyim Asy’ari mencatat 12 etika dasar seorang
murid kepada gurunya. Selain berisi etika prinsipil saat mencari dan
menemukan seorang guru yang tepat, beliau juga menyertakan etika dasar
relasi personal murid-guru, serta etika di bidang transmisi keilmuan.
Tak kalah berat, Kiai Hasyim juga mensyaratkan dua puluh etika yang
harus dimiliki seorang guru untuk dirinya sendiri agar benar-benar
menjadi seorang pendidik yang mumpuni dan berhasil bukan hanya di dunia,
melainkan juga di akhirat.
Dengan memberikan poin-poin ini,
Kiai Hasyim menandaskan apabila menjadi seorang guru yang
bertanggungjawab atas asupan keilmuan dan memperkokoh kerohanian para
muridnya adalah salah satu aspek fundamental. Apabila syarat dan etika
seorang pendidik dan murid sudah terpenuhi, biasanya koneksi keilmuannya
berlangsung lancar dan jalinan ruhaninya berlangsung sampai kapanpun,
meskipun salah satunya sudah wafat. Kita lihat, misalnya relasi antara
Imam Syafi’i dengan Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam
Syafi’i, Imam al-Ghazali dengan Imam Haramain, Imam al-Juwaini dengan
Imam Qaffal As-Shaghir dan sebagainya. Ikatan antara dua manusia yang
lebih dari relasi personal, melainkan lebih erat lagi: ikatan emosional
dan ruhaniah antara guru dan murid.
Saya suka menggunakan istilah
“pemahat jiwa” karena para para guru mulia yang ada dalam cerita ini
benar-benar memahat jiwa dan kepribadian kadernya. Andaikata Raden Mas
Mustahar alias Ontowiryo yang kelak menggunakan nama Pangeran Diponegoro
sejak kecil tidak diasuh, dibimbing secara ruhani dan dididik mentalnya
oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, mungkin kita akan menyaksikan
Ontowiryo yang menjadi antek kolonial.
Ratu Ageng, istri dari
Hamengkubuwono I, adalah tipikal perempuan perkasa yang salihah dan
cendekia. Dia menjauhkan Diponegoro dari hiruk pikuk keraton dan
mendidiknya dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat. Sejak kecil
Ontowiryo dikenalkan dengan para ulaam di wilayah pathok nagari dan
menjalani lelaku tirakat yang berat. Saya menyebut Ratu Ageng sebagai
pemahat kepribadian sang pangeran, karena sepeninggalnya, Diponegoro
mulai “matang” dan karakter pemimpinnya menguat.
Kalau ingin
mengetahui siapa yang mempengaruhi karakter seorang murid, kita bisa
mengecek siapa guru-gurunya. Langkah paling mudah, memetakan pengaruh
dalam sepakbola. Arrigo Sacchi, mujaddid sepakbola asal Italia banyak
memiliki murid pesepakbola yang melanjutkan karier sebagai pelatih, baik
para murid Sacchi yang pernah berguru langsung kepadanya, maupun para
pelatih muda yang dialiri intelijensia Sacchi melalui dua pelanjut
ideologis Sacchi: Fabio Capello dan Carlo Ancelotti.
Lebih
mudahnya seperti ini, Ancelotti menyerap ilmu Sacchi saat dia menjadi
pemain AC Milan, kemudian memperdalam ilmunya saat menjadi asisten
Sacchi di Piala Dunia. Ancelotti yang kemudian menjadi pelatih Real
Madrid akhirnya mengkader Zenedine Zidane sebagai asistennya, 2013-2015.
Kini Zidane mulai menapak karir gemilang. Baik Sacchi, Ancelotti,
maupun Zidane sama-sama pernah meraih gelar Liga Champions. Benar-benar
silsilah emas sepakbola! Generasi Emas AC Milan saat dilatih Sacchi pun
kini menjadi pelatih: Ancelotti, Van Basten, Rijkaard, Gullit, di
Matteo, Donadoni, Tasotti, Costacurta, hingga Conte. Para tabiin ini
menerapkan zona marking dan pressure ketat diiringi dengan keluwesan
pemain tengah yang biasa keluar dari zona orbitnya.
Itu hanya
dalam sepakbola yang merupakan contoh kecil. Lantas bagaimana dengan
kondisi keilmuan Islam di Indonesia. Jika KH. M. Hasyim Asy’ari banyak
dipengaruhi oleh Syekh Nawawi al-Bantani, KH. A. Dahlan banyak
dipengaruhi oleh Syekh Khatib al-Minangkabawi. Di wilayah lain,
sebagaimana dituliskan dalam berbagai kolomnya, Gus Dur banyak
dipengaruhi oleh KH. A. Wahid Hasyim (ayahnya), KH. Abdul Fattah Hasyim
(pamannya), dan KH. Khudlori, Magelang; dan KH. Ali Maksum Krapyak,
Yogyakarta, tempatnya berguru di era 1950-an. Gus Mus dibentuk
karakternya oleh KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly, Lirboyo; serta
KH. Ali Maksum, Krapyak. Sedangkan KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
banyak dipengaruhi karakter pamannya, KH. Abdullah Salam dan gurunya,
KH. Zubair Dahlan, ayahanda KH. Maimoen Zubair, Sarang. Mereka saling
terkoneksi dalam wilayah inteketual dan ruhaniah yang terus bersambung.
Pola pikir dan karakter gurunya akan menular kepada si murid, bahkan
dalam hal remeh temeh: kesukaan, misalnya.
Saya jadi ingat
materi ceramah yang disampaikan oleh KH. Zuhrul Anam Hisyam, apabila
ilmu yang diwariskan Nabi itu ada dua. Pertama, ilmun fil auraq alias
ilmu syariah yang tertuang dalam lembaran kertas yang dapat diperoleh
dengan cara belajar dan mengaji, at-Ta’allum wa Ad-Dirasah. Tanpa
mengaji, ilmu tidak akan diperoleh.
Kedua, ilmun fil adzwaq (ilmu
rasa, rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, zuhud, dan seterusnya)
yang dapat diperoleh dengan bersahabat dengan orang-orang saleh,
as-suluk wa as-suhbah. Orang saleh yang memiliki keterkaitan spiritual
dengan gurunya, gurunya dengan gurunya, terus bersambung kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena itu, as-suhbah
(persahabatan) memberikan dampak kepada perilaku murid (turitsul hal).
Kalau gurunya keras, muridnya juga demikian. Kalau gurunya santun dan
lembut, muridnya juga begitu. Kalau pendidiknya sabar, para muridnya
juga akan sabar. Dalam konsep edukatif, mereka adalah murabbi, sang
pendidik; dalam konsep yang religius, mereka adalah pengarah alias
mursyid.
Jika Bima menemukan hakikat kediriannya ketika bertemu
Dewaruci, Musa menemukan ke”diri”annya saat mendampingi Khidir,
Jalaluddin Rumi menemukan potensi ruhaniahnya setelah mendapatkan
bimbingan Syamsuddin Tabrizi, Brandal Lokajaya menjadi Sunan Kalijaga
dalam naungan ruhani Sunan Bonang, Jaka Samudera merintis jenjang
spiritual hingga menjadi Sunan Giri berkat didikan Raden Rahmatullah
Sunan Ampel, maupun Sukarno yang menemukan identitas hakikinya sebagai
penggerak di bawah asuhan Tjokroaminoto, demikian pula nama-nama yang
saya sebut di atas. Mereka beruntung karena bertemu dengan pemandu
bakat, pathfinder, mursyid, murabbi, pemahat jiwa, pembentuk
karakter–atau apapun istilahnya– yang tepat dan benar-benar membuka
setapak jalan menuju kesuksesan masing-masing.
Jadi, sudahkan menemukan pemahat jiwamu?
Wallahu A’lam Bisshawab
‘
ditulis oleh Rijal Mumazziq Z
Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/
Penerbit Buku Buku Islam.
Oleh: Rijal Mumazziq Z
(Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.