Islam Nusantara

NU vs DI/TII


NU vs DI/TII
—-
Sepulang dari Bandung menuju Jakarta, Idham Chalid, Ketua I PBNU,
menginap di Puncak. Tiba-tiba gerombolan DI/TII menembakinya dari arah
perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang. Untungnya, segera datang
bantuan tentara dari Cipanas. Kontak senjata berlangsung berjam-jam.
Malam menjadi bising karena desingan peluru. Mereka lari menjelang subuh
dengan menderita banyak korban jiwa dan luka-luka. Di pihak tentara
juga ada yang terluka.
Pengalaman lain yang dialami Idham ketika
naik kereta api menuju Jawa Timur. Dia ditembaki gerombolan DI/TII
antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung peluru hanya mengenai ujung
kopiah ajudannya, H. Djumaksum. “Sasaran tembakan pastilah saya, menteri
yang mengurusi keamanan,” kata Idham dalam biografinya, Tanggungjawab
Politik NU dalam Sejarah.
Dari 24 Maret 1956 hingga 9 April 1957,
Idham menjabat Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan.
Salah satu perhatian utama Kabinet Ali Sastroamidjojo II itu adalah
pemulihan keamanan dari DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan
Sulawesi Selatan.
“Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi
gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam, yaitu Darul Islam
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar
Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh,” kata
Idham.
Menurut Idham, DI/TII merugikan Islam. Banyak umat Islam
yang menjadi korban kekejaman mereka. Mungkin di Aceh tidak terjadi
perbuatan seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan di mana gerombolan
DI/TII membakar madrasah dan masjid yang tidak sependapat dengan mereka.

“NU yang dianggap sebagai pengkhianat Islam karena keluar dari Masjumi
juga dianggap musuh utama DI/TII. Mereka menganggap NU membantu Republik
Indonesia Kafir (RIK). Apalagi salah seorang ketuanya menjadi wakil
perdana menteri yang memegang urusan keamanan. Beberapa orang pimpinan
cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang
ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka,” kata Idham.

Sejarawan Cornelis van Dijk mengungkapkan bahwa pada Juli 1953 DI/TII
melancarkan aksi serentak. Komandan DI/TII di Ciamis Selatan, Uchjan
Effendi, memerintahkan pasukannya meningkatkan aksi untuk mengacaukan
musuh. Mereka melakukan tindakan apa pun untuk membuat kekacauan.

“Angkatan Kepolisian Negara Islam, misalnya, ditugaskan untuk menghukum
warga yang tidak sepakat dengan Darul Islam. Uchjan juga memberikan
perintah kepada masing-masing satuan Angkatan Kepolisian yang beroperasi
pada tingkat kecamatan. Mereka ditugaskan untuk membunuh paling sedikit
satu orang warga dan membakar paling sedikit lima bangunan yang
didirikan pemerintah Republik dalam waktu dua minggu. Ancamannya, bila
ada anggota yang gagal melakukan aksi ini akan dituntut secara hukum,”
tulis Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan.
Dalam
menghadapi DI/TII, Idham melibatkan para kiai. Dia membentuk KPK
(Kiai-Kiai Pembantu Keamanan) yang diketuai KH Muslich dari Jakarta.
Anggotanya ditunjuk satu orang dari masing-masing wilayah di mana
terdapat DI/TII. Khusus untuk Jawa Barat sebagai daerah yang paling luas
dikuasai DI/TII, KPK menunjuk dua orang wakil yaitu KH Dimyati
(Ciparai) dan Moh. Marsid.
Anggota KPK lainnya antara lain KH
Baidowi Tafsir (Jakarta), KH Malik (Jawa Tengah), KH As’ad Syamsul
Arifin (Jawa Timur), KH Ahmad Sanusi (Kalimantan), KH Zahri (Lampung),
KH Jusuf Umar (Sumatra Selatan), KH Kahar Ma’ruf (Sumatra Tengah),
Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (Aceh dan Sumatra Utara), dan KH
Abdullah Joesoef (Sulawesi).
“Mereka dengan sungguh-sungguh
melaksanakan panggilan kewajibannya sebagai seorang Islam dan warga
negara untuk berbicara dengan rakyat tentang kesadaran mematuhi ajaran
agama dan hidup bernegara,” kata Idham.
Mereka menghubungi para
kiai di daerah masing-masing untuk menyampaikan kesadaran itu karena
gangguan keamanan yang berlarut-larut merugikan negara dan rakyat.
Mereka melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya.

Panglima-panglima militer di daerah gembira dengan adanya KPK. Dalam
setiap peninjauan maupun operasi militer mereka selalu mengikutsertakan
KPK. Di daerah yang berhasil dikuasai, sang kiai memberikan ceramah
kepada rakyat. Mereka juga memberikan penyadaran kepada anggota
gerombolan DI/TII yang menyerah.
“Mereka sama sekali tidak
diganjar dengan nilai penghasilan tertentu, tetapi hanya mendapat
sekadar uang jalan dan uang saku,” kata Idham. “Jasa kiai-kiai pembantu
keamanan tidak bisa saya lupakan.”
(historia.id)

ditulis oleh Rijal Mumazziq Z

Posted by Penerbit imtiyaz,http://penerbitimtiyaz.com/

Direktur Penerbit imtiyaz.
Oleh: Rijal Mumazziq Z

(Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)







Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top