Secara ringkas, maani adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana mengatur keadaan bahasa Arab sesuai situasi dan kondisinya.
Kapan redaksi sebuah perkataan harus dipanjangankan, diringkas,
dikedepankan, diakhirkan, dan lain sebagainya yang mana itu semua dituntut oleh
keadaan. Saya lebih suka menyebutnya dengan filsafat tata letak bahasa Arab.
Memahami ilmu ma’ani membuat seseorang mampu menyelami
pesan ilahi. Ibarat pemandangan lautan, seseorang tidak hanya diberikan
keindahan permukaannya saja. Namun juga dipertontonkan keindahan di dalam laut dengan
alat selam bernama ilmu maani.
Misalnya saja, saat membaca kisah pertarungan Nabi
Musa dan para penyihir. Anda akan mendapati bahwa redaksi yang digunakan
al-Quran adalah kalimat bentuk pasif, alias menyembunyikan subjeknya, yaitu
Nabi Musa. Perhatikan ayatnya:
فغُلِبُواهُنَالِكَ وَانْقَلَبُوْا صٰغِرِيْنَۚ
وَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَۙ“Mereka dikalahkan
di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina”
Pertanyaannya, mengapa Allah tidak
menggunakan kalimat aktif sehingga redaksinya: “Nabi Musa mengalahkan para
penyihir itu”, namun justru menyembunyikan subjeknya. Ini merupakan sebuah
isyarat bahwa sejatinya yang menang bukanlah Nabi Musa, melainkan Allah yang menguatkan
Nabi Musa, merubah tongkatnya menjadi ular hingga memakan semua ular-ular
kecil.
Kalau dikatakan “Musa
mengalahkan mereka” (faghalabahum musa), maka akan terbesit bahwa
Musa-lah yang hebat atau semua ini adalah perbuatannya. Padahal nyatanya tidak
seperti itu. Bukankah al-Quran mengatkan bahwa kala itu terlintas rasa takut
dalam diri Nabi Musa (wa awjasa minhum khīfah) ketika
melihat tali temali dan tongkat-tongkat yang terlihat seperti ular (Qs. 20: 66)
Begitulah rahasia dibalik sebuah
penghapusan redaksi (al-Hadzf). Salah satunya penghapusan subjek (hadzf
al-Faail). yang merupakan salah satu pembahasan ma’ani.
Terkait bab hadzf, jika kita
memperhatikan al-Quran, saat menyandarkan sebuah pekerjaan yang –pekerjaan
itu—hanya bisa dilakukan oleh Allah. Maka al-Quran akan melukiskannya dengan kalimat
pasif, seperti “perkara itu telah ditetapkan” (wa qudiya al-Amru),
“yang beriman atas apa telah diturunkan kepadamu” (yu’minūna bimā Unzila
Ilaika) dan lain sebagainya. Ini ingin menunjukan
bahwa tidak ada satupun yang bisa ikut serta dalam perbuatan ini. (Lihat Khasaais
Al-Taraakib, hal. 235)
Itu baru satu dalam bab ilmu
maani, bernama al-Dzikru wa al-Hadzfu.
Contoh lain adalah pada bab al-Taqdim
wa al-Takhir, yang membahas seputar kapan sebuah kalimat didahulukan atau
diakhirkan. Menurut saya bab ini sangat membantu dalam menyelami keindahan
pesan ilahi. Coba simak ayat berikut:
﴿
فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ
زَوْجَهٗۗ ﴾“Maka, Kami mengabulkan (doa)-nya, menganugerahkan
Yahya kepadanya, dan menjadikan istrinya (dapat mengandung)” (Qs. Al-Anbiya: 90)
Pertanyaannya, bukankah
seharusnya ayat ini mendahulukan informasi sembuhnya istri Nabi Zakaria,
barulah kemudian informasi mereka dikaruniai anak bernama Yahya. Sebab
kehamilan seorang wanita tidak bisa terjadi jika ia masih terkena penyakit
mandul?
Jawaban ini bisa kita
temukan dalam ilmu ma’ani. Bahwa rahasia di balik dikedepankannya sesuatu yang
harusnya diakhirkan, adalah untuk menyegerakan rasa senang kepada pendengar (ta’jiil
al-Masarrah). Dengan mendahulukan pemberian seorang anak bernama Yahya,
tentu membuat Nabi Zakaria senang.
Selain itu hal ini karena konteks
(siyaaq) ayat menuntut demikian. Pada ayat sebelumnya, Al-Quran
menggambarkan permintaan Nabi Zakaria, yaitu diberikan keturunan. Bukan
kesembuhan istrinya. Karenanya yang dikedepankan adalah kabar gembira berupa
pemberian sang buah hati.
Ini juga merupakan bentuk
kebesaran Allah Swt, yang seakan hendak mengabulkan doa Nabi Zakaria, dan
hendak menegaskan bahwa Aku mampu mengabulkan doamu, yakni memberimu keturunan,
sekalipun dalam keadaan istrimu yang masih mandul. (lihat Al-Bayaan fi
Rawaa’ al-Qur’an, hal. 95-96).
Sama halnya dengan kisah
Nabi Musa. Firman Allah yang berbunyi:
﴿
قَالَ هِيَ عَصَايَۚ اَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَاَهُشُّ بِهَا عَلٰى
غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَاٰرِبُ اُخْرٰى ﴾
“(Musa) berkata, “Ia adalah tongkatku. Aku (dapat) bersandar padanya,
merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan memiliki
keperluan lain padanya.” (Qs. Thaha: 18)
Dari
sekian kegunaan dan fungsi tongkat, mengapa yang dikedepankan adalah sebagai
sandaran dirinya. Jawabannya karena kemaslahatan atas dirinya lebih
dikedepankan daripada maslahat lainnya. Nabi Musa pun kala itu dalam keadaan
safar, di mana sangat dibantu dengan tongkat yang digenggamannya. (lihat Min
Asraar Al-Bayaan Al-Qur’aniy, hal. 230)
Terakhir, sebagai sebuah
contoh, adalah pembahasan ta’rif dan tankir. Benar
adanya, pembahasan ini turut dibahas dalam ilmu nahwu. Namun dalam
ma’ani, makna yang diberikan lebih mendalam. Coba perhatikan ayat ini:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ وَضَعْتُهَآ اُنْثٰىۗ
وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْۗ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْاُنْثٰى“Ketika
melahirkannya, dia berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan anak
perempuan.” Padahal, Allah lebih tahu apa yang dia (istri Imran) lahirkan. “Laki-laki
tidak sama dengan perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)
Fokus kepada kalimat terakhir dalam ayat tersebut.
Jika melihat penggalan ayat itu secara harfiah, akan terbesit adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki secara umum.
Namun jika dilihat dari kacamata ilmu maani, hal
tersebut tidak akan terlintas. Sebab makna Alif Lam yang ada pada lafadz Al-Dzakar
dan Al-Untsa bukan menunjukan pada jenis (lil jins). Artinya
Ayat tersebut bukan hendak membadingkan jenis laki-laki dan Perempuan. Bukan.
Alif lam di sana bermakna al-‘Ahd, atau sebuah
paham yang mengikat antara kedua pembicara. Artinya, laki-laki yang dimaksud bukanlah
seluruh laki-laki atau seluruh bangsa perempuan. Melainkan, anak laki-laki yang
diinginkan oleh ibunda Maryam. Adapun perempuan adalah perempuan yang
dikaruniai oleh Allah, yaitu Maryam. Ini hendak memberikan pesan kepada ibunda
Maryam, bahwa perempuan ini akan lebih mulia dari laki-laki yang engkau
harapkan bekhidmah untuk Baitul Maqdis.
Terapkan dalam Kehidupan
Pada akhirnya, ilmu maani tidak hanya membantu dalam
menelaah al-Quran dan hadis semata. Siapapun yang belajar ilmu maani akan
terbantu dalam menyusun kalimat yang akan ia tulis. Teori jurnalistik yang
diajarkan di kelas-kelas, bisa dipakai jika memahami ilmu ini. seseorang jadi
tau kapan harus menghapus, menyebutkan, mengedepankan, memakai bentuk tanya,
perintah, larangan, namun maksudnya adalah informasi, dan lain sebagainya. Wallahu
a’lam bi al-Shawab
*Disampaikan dalam pembukaan kelas Ilmu Ma’ani Mahasiswa
STID Moh. Natsir, pada Jum’at 6 Oktober 2023 di Pesantren At-Taqwa Depok.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.