ANTARA, 2 Maret 2013
Jakarta (ANTARA News )-Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman pada tanggal 3-6 Maret 2013. Ini merupakan kunjungan kedua kalinya dalam masa periode Kabinet Bersatu jilid II setelah kunjungan pertama tahun 2009.
Sebaliknya Kanselir Jerman Angela Merkel sendiri sudah berkunjung ke Indonesia masing-masing pada tahun 2011 dan 2012. Dilihat dari besarnya frekuensi saling kunjung dalam periode yang relatif singkat ini, maka tercermin bahwa hubungan kedua negara ini memasuki tahap yang sangat intensif.
Hubungan diplomatik Indonesia Jerman sudah memasuki usia yang ke 61 dan kedekatannya diwarnai dengan pasang surut. Bagi Jerman yang merupakan negara yang terkenal dengan teknologi tingginya, maka sosok mantan Presiden BJ Habibie menjadi sangat melekat dalam sejarah panjang hubungan bilateral ini.
Setelah sempat mengalami kejenuhan pascareformasi, hubungan kedua negara menggeliat kembali dan ini ditandai dengan suatu deklarasi kedua negara di Jakarta pada 2011 (Deklarasi Jakarta) yang membuka babak baru peningkatan hubungan kedua Negara, dari sekedar bersahabat menjadi bermitra (“from friendship to partnership”).
Di mata orang Indonesia, Jerman dikenal sebagai negara teknologi dan untuk itulah banyak putra Indonesia yang belajar kemari. Hampir seluruhnya terkesima dan meyakini bahwa teknologi ini adalah faktor penentu bagi kemakmuran Jerman.
Keyakinan ini dapat dipahami namun tidak seluruhnya benar. Jerman tidak hanya melulu soal teknologi, Negara ini juga menawarkan model negara hukum terbaik (rechstaat) yang mungkin Indonesia bisa memetik pengalamannya.
Kalau Indonesia dan Jerman dipotret dalam suatu bingkai yang sama maka terdapat persamaan dan perbedaan yang esensial. Persamaan yang gampang terlihat adalah bahwa kedua negara ini adalah sama-sama negara terbesar dalam regionalnya. Indonesia di ASEAN dan Jerman di Uni Eropa.
Namun terdapat perbedaan yang mungkin penting bagi Indonesia untuk perjalanan kedepan dalam proses pembangunan bangsa. Pertama, ternyata di Jerman konsep rechstaat (negara hukum) lahir terlebih dahulu baru kemudian disusul dengan demokrasi. Sebaliknya bagi Indonesia, demokrasi lahir terlebih dahulu, khususnya pasca reformasi 1998, baru kemudian konsep negara hukum dicoba dibangun.
Jerman adalah arsitek negara hukum yang sangat menghormati hukum. Pada periode tertentu (periode Hitler) bahkan lebih menghormati hukum daripada menghormati demokrasi dan HAM. Masa itu mungkin dinilai sebagai fase anti demokrasi dan HAM, namun tidak anti hukum.
Di museum-museum peringatan pembantaian Jahudi, terdapat percikan sejarah yang memperlihatkan adanya kriteria resmi siapa yang dimaksud ras Jahudi dan siapa yang bukan. Kriteria ini ditetapkan dalam bentuk peraturan. Artinya, perbuatan negara untuk pemusnahan etnis ini pun tetap didasarkan pada “hukum positif” dan bukan semata-mata kekuasaan.
Sistem rechstaat Jerman dibangun diatas prinsip yang ketat sehingga dalam sistem hukumnya terdapat karakteristik antara lain semua norma hukum adalah produk negara serta tertuang dalam suatu perundang-undangan yang rinci, norma dibawah UUD hanya dapat dibuat jika diamanatkan oleh UUD tersebut, norma-norma sosial dapat hidup sepanjang tidak melanggar norma-norma hukum, dan norma-norma ini dilaksanakan berdasarkan prinsip legalitas.
Takut
Penegak hukum demikian takutnya terhadap hukum dan selalu diawasi oleh publik. Kita masih ingat bahwa pencederaan terhadap norma kepantasan pun mengakibatkan Presiden Wolf tahun lalu harus mengundurkan diri. Saking ketatnya penghormatan hukum ini mengakibatkan dalam kehidupan sehari-hari di Jerman tidak terbuka ruang fleksibilitas.
Niat untuk “mengakali” hukum tidak mungkin lahir karena aroma “ketakutan hukum” itu. Maka tidak heran bahwa dalam kehidupan birokratis memang terkesan lamban namun dalam kelambanan ini terdapat unsur kepastian. Kehidupan hukum di Jerman terlalu pasti sehingga menutup ruang adanya wilayah “abu-abu” (hal yang tidak jelas).
Perbedaan kedua, Jerman dibangun dengan bergabungnya negara-negara berdaulat (laendern) menjadi federasi. Artinya, negara-negara bagian ini telah ada terlebih dahulu sebelum lahirnya Negara Federasi Jerman. Dalam konteks ini maka Jerman mengalami proses sentralisasi.
Indonesia adalah negara kesatuan yang sedang mengalami proses desentralisasi. Jika Pemerintah Pusat Jerman memperoleh kewenangan dari negara-negara bagian, maka Pemerintah Pusat di Indonesia sedang mendistribusikan kewenangannya ke pemerintah daerah.
Proses penyempurnaan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah di Jerman telah berlangsung berabad-abad dan masih tetap belum terbebaskan dari pergesekan. Indonesia baru membenahi 13 tahun, sehingga tidak perlu terkesima jika Jerman jauh lebih stabil perihal pembagian wewenang ini.
Namun yang patut dicatat adalah, proses penyempurnaan ini dilakukan melalui pengawalan hukum dan tidak mungkin dilakukan melalui proses politik semata. Disiplin hukum tata negara Jerman sangat berpengaruh sehingga logika politik dapat ditundukkan melalui logika hukum tata negara ini.
Perbedaan ketiga, Jerman berbatasan dengan hampir semua negara anggota Uni Eropa dan telah berabad-abad berinteraksi langsung dengan negara tetangga. Setelah melalui masa isolasi sebelum PD II akibat agresivitas Jerman terhadap negara-negara tetangga, Jerman dituntut untuk menganut sikap bersahabat dengan hukum internasional (volkerrechtsfreundlichkeit) di semua aspek.
Sikap bersahabat ini telah menaikkan citra Jerman di mata internasional. Negara tidak meragukan kepatuhan hukumnya dalam bidang perdagangan dan investasi. Indonesia memiliki geopolitik yang diwarnai dengan laut sehingga hubungan langsung dengan negara tetangga tidak seintensif seperti yang dialami Jerman.
Jadi, menjadi logis jika Indonesia sebagai negara kepulauan lebih tertarik pada hukum internasional yang memiliki nilai strategis bagi dirinya, yaitu hukum laut internasional. Kebutuhan akan bidang hukum internasional lainnya belum mengemuka.
Tidak ada yang menyangkal bahwa pilihan model rechstaat Jerman telah membawa Jerman sebagai negara maju. Kecanggihan teknologi saja tidak mungkin menyejahterakan Jerman tanpa dikawal oleh rechtstaat-nya.
Untuk itu, mempelajari kecanggihan teknologi Jerman tanpa melirik rechstaat-nya tidak akan menguak rahasia kesuksesan Jerman di segala bidang. Namun perlu pula diingat, bahwa Jerman menjadi seperti ini setelah melalui proses berabad-abad, termasuk proses jatuh bangunnya sebagai suatu bangsa.
Membandingkan dengan Indonesia yang masih seumur jagung membangun negara hukum tentu tidak tepat. Namun yang pasti, Indonesia sudah memilih model negara hukum ini sejak kemerdekaannya.
Terakhir, Kedua negara memiliki motto yang mirip, yaitu Bhinneka Tunggal Ika dan Einheit in Vielfalt, namun beda dalam susunan kata. Indonesia menyebut `berbeda-beda tapi tetap satu� sedang Jerman menyebut “bersatu dalam perbedaan”.
Dalam tataran praktis, perbedaan ini tampak nyata. Indonesia membentuk suatu kesatuan dari unsur-unsur yang berbeda, sedang Jerman mengintegrasikan elemen asing ke dalam Jerman.
Indonesia relatif lebih berhasil di bidang pluralisme ini. Persoalan integrasi sudah tuntas dan final di Indonesia, sedangkan di Jerman “integrasi telah dianggap gagal”, ini dilontarkan sendiri oleh Kanselir atau PM Merkel tahun 2011.
Di Jerman, warganya harus didorong untuk (hanya) berbahasa Jerman, sedangkan di Indonesia, mampu berbahasa Indonesia dan bahasa daerahnya justru semakin menjadikan dirinya Indonesia. Di tengah kemapanan Jerman ini, Indonesia juga bisa menawarkan sesuatu, yaitu keberhasilan integrasi bangsanya.
*) Penulis adalah Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
(E007/A011)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.