Artikel

Masalah Pembelajaran IPA


Latar Belakang
Salah satu masalah yang dihadapi dunia
pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran (Wina Sanjaya,
2014). Pembelajaran merupakan proses komunikasi antara pembelajar, pengajar,
dan bahan ajar (Haryono, 2013:55). Dalam proses pembelajaran peserta didik
kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran
hanya diarahkan pada hafalan. Peserta didik hanya menghafal informasi yang
didapatkan dari sumber belajar. Sumber belajar dalam hal ini adalah guru,
lingkungan dan buku pelajaran.
Kenyataan ini berlaku untuk semua mata
pelajaran, termasuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah. Seperti
dalam bukunya, Haryono menuliskan bahwa mutu pendidikan IPA kita masih rendah.
Hal ini ditunjukkan oleh United Nation Development Project (UNDP) bahwa dalam
Human Development Index (HDI), Indonesia menduduki peringkat ke 110 di antara
berbagai Negara di dunia. (Sri Wuryastuti dalam Haryono, 2013).
Salah satu upaya untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pendidikan kita, dalam tulisan ini secara khusus IPA,
adalah melalui proses pembelajaran di kelas, baik jenjang pendidikan dasar
maupun menengah.

Permasalahan dalam
Pembelajaran IPA Saat Ini
Agar bisa memperbaiki dan meningkatkan
kualitas, kita perlu mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam pembelajaran
IPA. Beberapa permasalahan yang sudah diidentifikasi oleh Haryono dalam bukunya
adalah:
  1. Gaya mengajar guru yang mengutamakan
    hafalan berbagai konsep tanpa disertai pemahaman terhadap konsep tersebut,
    peserta didik tidak terbiasa menggunakan daya nalarnya, tetapi terlalu terpaku
    pada buku.
  2. Bahan ajar yang diberikan di sekolah
    masih terasa lepas dengan permasalahan pokok yang timbul di masyarakat.
  3. Keterampilan proses belum tampak dalam
    pembelajaran dengan alasan untuk mengejar target kurikulum.
  4. Pelajaran IPA hanya konvensional hanya
    menyiapkan peserta didik untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, bukan
    untuk menyiapkan SDM yang kritis, peka terhadap lingkungan, kreatif, dan
    memahami teknologi sederhana yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

Selain permasalahan di atas, terdapat
pula kesalahan-kesalahan yang cenderung dilakukan oleh guru IPA sendiri, antara
lain:
  1. Seringkali IPA disajikan hanya sebagai kumpulan rumus belaka yang harus dihafal
    mati oleh peserta didik, akibatnya ketika diadakan evaluasi belajar, kumpulan
    tersebut campur aduk dan menjadi kusut di benak peserta didik.
  2. Dalam penyampaian materi IPA kurang
    memperhatikan proporsi materi dan sistematika penyampaiannya, serta kurang
    menekankan pada konsep dasar, sehingga terasa sulit bagi peserta didik.
  3. Pembelajaran kurang variatif, alat bantu
    dan analogi yang dapat memperjelas materi jarang digunakan.
  4. Adanya anggapan bahwa guru adalah orang
    yang paling mampu dan menguasai pelajaran dibandingkan dengan peserta
    didik.

Dalam bukunya, Haryono memasukkan
permasalahan pembelajaran IPA dalam bagian latar belakang dan
kesalahan-kesalahan yang cenderung dilakukan oleh guru IPA dalam bagian sub
judul lain yaitu kenyataan pembelajaran IPA saat ini. Tetapi, di bagian
analisis ini saya menggabungkannya, karena menurut saya, kesalahan-kesalahan
yang cenderung dilakukan oleh guru IPA merupakan bagian dari permasalahan dalam
pembelajaran IPA saat ini.
Permasalahan-permasalahan di atas bisa
diperbaiki hanya jika para pendidik, pertama-tama, menyadari bahwa terdapat
permasalahan. Tanpa menyadari adanya permasalahan, maka guru IPA akan terus
melakukan kebiasaan-kebiasan yang salah tersebut dan menganggap tidak ada
permasalahan. Kesadaran akan adanya masalah bisa dikatakan juga sebagai identifikasi
masalah dalam pembelajaran IPA. Setelah itu, barulah melakukan berbagai upaya
untuk memperbaikinya.
Gambaran Guru IPA Masa
Depan
Menurut Herawati Susilo (dalam Haryono,
2013) bahwa pemikiran mengenai karakteristik guru IPA masa depan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.        
Selalu ingin belajar sepanjang hayat.
Apa yang telah disampaikan oleh Herawati
Susilo di atas merupakan hal yang penting. Sudah seharusnya seorang guru terus
belajar sepanjang hayat. Guru selaku sumber belajar memperoleh pengetahuannya
dari belajar, baik belajar mandiri maupun dengan mengikuti berbagai pelatihan.
Lagi pula pengetahuan terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu,
pengetahuan guru IPA juga harus disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Pada
zaman sekarang pengetahuan seorang guru sangat bergantung pada seberapa banyak
dia membaca dan menguasai cara mempelajari ilmunya.
Selain menambah pengetahuan, seorang
guru perlu belajar memahami “proses belajar”. Proses belajar tersebut harus
berkembang mengikuti perkembangan (ilmu) pengetahuan.
Seorang guru juga perlu belajar dari
kehidupan sosial. Hal ini akan mempengaruhi peserta didik dalam mengaitkan
kegiatan belajarnya dengan kehidupan di sekitarnya.
Singkatnya,
seorang pendidik merupakan pebelajar sepanjang hayat (long life learner).
2.        
Mampu membelajarkan IPA berdasarkan
filosofi konstruktivisme
Teori konstruktivisme menekankan bahwa
individu tidak menerima begitu saja ide-ide dari orang lain. Mereka membangun
sendiri dalam pikiran mereka ide-ide tentang peristiwa alam dari pengalaman
sebelum mereka mendapat pelajaran IPA di sekolah (Haryono, 2013).
Gambaran guru IPA masa depan ditentukan
oleh kemampuan guru membelajarkan peserta didik. Kalau sebelumnya guru yang
aktif dalam proses pembelajaran sementara peserta didik hanya menerima secara
pasif penjelasan dari guru, maka ke depan diharapkan peserta didik berperan
aktif dalam pembelajaran. Guru harus mampu meningkatkan minat dan motivasi
peserta didik untuk belajar IPA. Dengan tumbuhnya minat dan motivasi dalam diri
peserta didik, mereka lebih siap untuk belajar dan terdorong untuk mencari
sendiri tanpa perlu diperintahkan oleh guru. Hal ini juga akan lebih efektif
bila menggunakan alat atau media dalam pembelajaran IPA. Sehingga proses pembelajaran
tidak membosankan. Guru harus menyediakan alat atau media yang mendukung
pembelajaran.
Pembelajaran yang menekankan keaktifan
peserta didik sejalan dengan teori konstruktivisme. Sehingga peserta didik
membangun sendiri ide-ide mereka, bukan lagi mengharapkan informasi dari guru
saja.
3.        
Memiliki kecerdasan berpikir
Kecerdasan berpikir merupakan salah satu
kecakapan hidup yang perlu dimiliki oleh guru. Berpikir adalah kerja otak
mengolah data inderawi yang menghasilkan pengertian, pernyataan, dan penalaran
(Darsono, 2011). Dengan kecerdasan berpikir, memudahkan guru memecahkan masalah
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran IPA selalu berhubungan
dengan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, memudahkan guru
mempelajari kecakapan hidup lainnya, misalnya, kecakapan bersosialisasi,
akademis, dan vokasional. Guru IPA dituntut memiliki kecerdasan berpikir, agar
mampu membantu peserta didik dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran IPA.
4.        
Memiliki sikap mental positif

Guru IPA masa depan hendaknya memiliki
sikap mental positif. Artinya, mempunyai rasa tanggung jawab, disiplin, aktif,
integritas, berjiwa besar, yakin dan penuh percaya diri, suka tantangan dan
kompetitif, menghargai waktu, memiliki komitmen, jujur, konsekuen, memiliki
determinasi dan pantang menyerah.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top