Uncategorized

Makalah Maternitas Kehamilan dengan Komplikasi HIV/AID – Dicoret.com


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi.
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis (clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang–kurangnya 10 sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India. HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksi–infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV–2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV–2 ditulari lebih awal dalam proses penularannya.
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba membahas bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana melakukan sebuah proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV AIDS.
1.2.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian HIV/AIDS?
2.      Bagaimana etiologi HIV?
3.      Apa saja macam – macam infeksi HIV?
4.      Bagaimana patofisiologi HIV?
5.      Bagaimana periode penularan HIV pada ibu hamil?
6.      Bagaimana gejala HIV?
7.      Apa saja pemeriksaan diagnostik HIV?
8.      Bagaimana pengobatan HIV?
9.      Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada ibu hamil dengan HIV?
1.3.   Tujuan
1.      Mengetahui pengertian HIV/AIDS
2.      Mengetahui etiologi HIV
3.      Mengetahui macam – macam infeksi HIV
4.      Mengetahui patofisiologi HIV
5.      Mengetahui periode penularan HIV pada ibu hamil
6.      Mengetahui gejala HIV
7.      Mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV
8.      Mengetahui pengobatan HIV
9.      Mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada ibu hamil dengan HIV
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.   Pengertian
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma  penyakit yang muncul secara kompleks  dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
î  AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 : 171).
î  AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
î  AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan. 
2.2.   Etiologi
Penyebab infeksiadalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1.      Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2.      Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3.      Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4.      Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5.      AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
î  Cara penularan HIV:
1.      Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
2.      Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
3.      Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi.
4.      Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.
î  Penularan secara perinatal
1.      Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya.
2.      Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
3.      Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau juga melalui ASI
4.      Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
î  Kelompok resiko tinggi:
1.      Lelaki homoseksual atau biseks.
2.      Orang yang ketagian obat intravena
3.      Partner seks dari penderita AIDS
4.      Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5.      Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
2.3.   Macam infeksi HIV
Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga Tahap :
1.      Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2.      Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3.   Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )
2.4.   Patofisiologi
î  HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.
î  Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
î  Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.
î  Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
î  Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal


 


2.5.   Periode Penularan HIV pada Ibu hamil
1.      Periode Prenatal
Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff, 1987). Sejarah kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan pengharapan ini jika wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup:
a.       Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan sesuatu yang umum.
b.      Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah.
c.       Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
d.      Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.
e.       Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.
Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV, serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV (Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis, Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus (CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV. Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk darah).  Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin. Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV.
Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang disebabkan kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk mencakup turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badab sebelum kehamilan, diare kronis lebih dari 1bulan dan demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan. Untuk mendukung system, wanita hamil harus mendapat nutrisi yang optimal, tidur, istirahat, latihan, dan reduksi stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan mengenai konsekwensi yang mungkin terjadi pada bayi.
2.      Periode Intrapartum
Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada awal kehamilan. Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial  dan perlindungan terhadap pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah selama kelahiran vaginal.. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada resiko tertular virus HIV.
3.      Periode Postpartum.
Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum pertengahan tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut yang lebih lama telah mengungkap frekwensi penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et al, 1987). Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibody yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai pada orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident, gagal pernapasan dan Lhympaclenophaty.
2.6.   Gejala HIV AIDS
1.      Gejala mayor
a.       BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b.      Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c.       Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d.      Demensia / HIV Ensefalopati
2.      Gejala minor
a.       Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b.      Dermatitis generalist
c.       Adanya herpes zoster yang berulang
d.      Kandidiasis orofaringeal
e.       Herpes simplex kronik progresif
f.       Limfadenopati generalist
g.      Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h.      Retinitis Cytomegalovirus
2.7.   Pemeriksaan diagnostik
1.         Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
          ELISA
          Western blot
          P24 antigen test
          Kultur HIV
2.         Tes untuk deteksi gangguan system imun.
          Hematokrit.
          LED
          CD4 limfosit
          Rasio CD4/CD limfosit
          Serum mikroglobulin B2
          Hemoglobulin
2.8.   Pengobatan
î  Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
1.      Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI’), mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2.      Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI’s) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3.      Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
î  Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
1.      Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2.      Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
î  Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomen dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.

 

2.9.   Konsep Asuhan Keperawatan

A.    Pengkajian

1.      Biodata Klien
2.      Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
§  Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limfoma, kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
§  Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital, protein liosing enteropati (peradangan usus)
3.      Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)
a)      Aktifitas / Istirahat
          Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
          Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
b)      Sirkulasi
          Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
          Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c)      Integritas dan Ego 
          Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
          Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d)     Eliminasi
          Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
          Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e)       Makanan / Cairan
          Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
          Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema
f)       Hygiene
          Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
          Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g)      Neurosensoro
          Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
          Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h)      Nyeri / Kenyamanan
          Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
          Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.
i)        Pernafasan 
          Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
          Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j)        Keamanan
          Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.
          Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
k)      Seksualitas
          Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
          Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
l)        Interaksi Sosial
          Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS.
          Tanda : Perubahan interaksi.
4.      Pemeriksaan Diagnostik
a)      Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
î  Serologis
          Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
          Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
          Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
          Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
          T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
          P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
          Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
          Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
          Tes PHS
Kapsul hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
î  Neurologis
          EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
          Tes Lainnya
          Sinar X dada
          Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
          Tes Fungsi Pulmonal
          Deteksi awal pneumonia interstisial
          Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
          Biopsis
          Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
          Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
î  Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic. Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
          Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
          Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
          Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
          Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.

B.     Diagnosa Keperawatan

1.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
2.      Resiko tinggi penularan infeksi pada bayi berhubungan dengan adanya kontak darah dengan bayi sekunder terhadap proses melahirkan.
3.      Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih sekunder terhadap diare
4.      Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
5.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
6.      Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.


C.    Rencana Keperawatan

No
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria hasil
Intervensi
Rasional
1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Pasien akan bebas infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam dengan kriteria hasil:
    Tidak ada luka atau eksudat.
    Tanda vital dalam batas normal (TD=110/70, RR=16-24, N=60-100, S=36-37)
    Pemeriksaan leukosit normal (6000-10000)
1.     Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2.     gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.
3.     Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.     Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.     Atur pemberian antiinfeksi sesuai order  
1.      Untuk pengobatan dini
2.      Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.
3.      Mencegah bertambahnya infeksi
4.      Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
5.      Mempertahankan kadar darah yang terapeutik
2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Infeksi HIV tidak ditransmisikan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama  3×24 jam dengan kriteria hasil:
    kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV
    Tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.
1.     Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2.     Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Gunakan masker bila perlu.
1.      Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini
2.      Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
3
Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih sekunder terhadap diare
Defisit volume cairan dapat teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam dengan criteria hasil:
    perut lunak
    tidak tegang
    feses lunak, warna normal
    kram perut hilang,
1.         Kaji konsistensi dan frekuensi  feses dan adanya darah.
2.         Auskultasi bunyi usus
3.         Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.         Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
1.      Mendeteksi adanya darah dalam feses
2.      Hipermotiliti mumnya dengan diare
3.      Mengurangi motilitas usus,  yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal
4.      Untuk menghilangkan distensi

D.    Implementasi

Didasarkan pada  diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai  berdasarkan NCP.

E.     Evaluasi

Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil


BAB III
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS. Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). Cara penularan HIVmelakukan penetrasi seks, melalui darah yang terinfeksi, dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi, wanita hamil. Penularan secara perinatal terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
Kelompok resiko tinggi: lelaki homoseksual atau biseks, orang yang ketagian obat intravena, partner seks dari penderita AIDS, penerima darah atau produk darah (transfusi), bayi dari ibu/bapak terinfeksi. Gejala mayor infeksi HIV adalah BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis, demensia / HIV ensefalopati. Gejala minor: batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalist, adanya herpes zoster yang berulang, kandidiasis orofaringeal, herpes simplex kronik progresif, limfadenopati generalist,
infeksi jamur berulang pada kelamin wanita, retinitis cytomegalovirus.
3.2.   Saran
Dengan dibuatnya makalah HIV pada ibu hamil ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan maternitas terutama pada ibu hamil yang juga menderita HIV.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top