dasar hukum haji

KITAB HUKUM-HUKUM HAJI


Haji secara bahasa adalah menyengaja. Dan secara
syara’ adalah menyengaja Baitul Haram guna melaksanakan ibadah.
وَهُوَ لُغَةً
الْقَصْدُ وَشَرْعًا قَصْدُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ لِلنُّسُكِ

Syarat-Syarat Wajib Haji
Syarat-syarat kewajiban haji
ada tujuh perkara.
(وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْحَجِّ
سَبْعَةُ أَشْيَاءَ)
Di dalam sebagian redaksi
menggunakan bahasa tujuh khishal.
وَفِيْ بَعْضِ
النُّسَحِ سَبْعُ خِصَالٍ
Yaitu Islam, baligh,
berakal, dan merdeka. Maka haji tidak wajib bagi orang yang memiliki sifat
kebalikan dari sifat-sifat tersebut.
(الْإِسْلَامُ وَالْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ
وَالْحُرِّيَّةُ) فَلَا يَجِبُ الْحَجُّ عَلَى الْمُتَّصِفِ بِضِدِّ ذَلِكَ
Dan wujudnya bekal dan wadah
bekal jika ia memerlukannya.
(وَوُجُوْدُ الزَّادِ) وَأَوْعِيَتِهِ
إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهَا
Dan terkadang ia tidak
memerlukannya, seperti orang yang dekat dengan negara Makkah.
وَقَدْ لَا
يَحْتَاجُ إِلَيْهَا كَشَخْصٍ قَرِيْبٍ مِنْ مِكَّةَ
Dan juga disyaratkan harus
ada air di tempat-tempat yang sudah biasa membawa air dari situ yang dijual
dengan harga standar.
وَيُشْتَرَطُ
أَيْضًا وُجُوْدُ الْمَاءِ فِي الْمَوَاضِعِ الْمُعْتَادِ حَمْلُ الْمَاءِ مِنْهَا
بِثَمَنِ الْمِثْلِ
Dan adanya kendaraan yang
layak bagi orang seperti dia, baik dengan membeli atau menyewa.
(وَ) وُجُوْدُ (الرَّاحِلَةِ)
الَّتِيْ تَصْلُحُ لِمِثْلِهِ بِشِرَاءٍ أَوِ اسْتِئْجَارٍ
Hal ini jika jarak seseorang
dengan Makkah mencapai dua marhalah atau lebih, baik ia mampu berjalan
ataupun tidak.
هَذَا إِذَا
كَانَ الشَّخْصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّةَ مَرْحَلَتَانِ فَأَكْثَرَ سَوَاءٌ قَدَرَ
عَلَى الْمَشْيْ أَمْ لاَ
Jika jarak di antara dia dan
Makkah kurang dari dua marhala
h dan ia mampu untuk
berjalan, maka wajib melaksanakan haji tanpa harus naik kendaraan.
فَإِنْ كَانَ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّةَ دُوْنَ مَرْحَلَتَيْنِ وَهُوَ قَوِيٌّ عَلَى الْمَشْيِ
لَزِمَهُ الْحَجُّ بِلَا رَاحِلَةٍ
Semua hal yang telah
disebutkan di atas disyaratkan harus melebihi dari hutangnya dan biaya orang
yang wajib ia nafkahi selama berangkat haji. Dan juga harus lebih dari rumah
dan budak yang layak baginya.
وَيُشْتَرَطُ
كَوْنُ مَا ذُكِرَ فَاضِلًا عَنْ دَيْنِهِ وَعَنْ مُؤْنَةِ مَنْ عَلَيْهِ مُؤْنَتُهُمْ
مُدَّةَ ذِهَابِهِ وَإَيَابِهِ وَفَاضِلًا أَيْضًا عَنْ مَسْكَنِهِ اللَّائِقِ بِهِ
وَعَنْ عَبْدٍ يَلِيْقُ بِهِ.
Dan sepinya jalan. Yang
dikehendaki dengan sepi di sini adalah dugaan aman di perjalanan sesuai
dengan apa yang terdapat pada setiap tempat.
(وَتَخْلِيَّةُ الطَّرِيْقِ) وَالْمُرَادُ
بِالتَّخْلِيَّةِ هُنَّا أَمْنُ الطَّرِيْقِ ظَنًّا بِحَسَبِ مَا يَلِيْقُ بِكُلِّ
مَكَانٍ
Jika seseorang tidak aman
pada diri, harta atau kemaluannya, maka bagiya tidak wajib untuk melaksanakan
haji.
فَلَوْ لَمْ
يَأْمَنِ الشَّخْصُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ بُضْعِهِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ
الْحَجُّ
Perkataan mushannif “dan memungkinkan untuk menempuh perjalanan”
terdapat di sebagian redaksi.
وَقَوْلُهُ
(وَإِمْكَانُ الْمَسِيْرِ) ثَابِتٌ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ
Yang dikehendaki dengan
mungkin ini adalah setelah menemukan bekal dan kendaraan, masih ada waktu
yang mungkin untuk digunakan berangkat haji dengan cara yang semestinya.
وَالْمُرَادُ
بِهَذَا الْإِمْكَانِ أَنْ يَبْقَى مِنَ الزَّمَانِ بَعْدَ وُجُوْدِ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ
مَا يُمْكِنُ فِيْهِ السَّيْرُ الْمَعْهُوْدُ إِلَى الْحَجِّ
Jika mungkin ditempuh, hanya
saja ia butuh menempuh dua marhala
h dalam jangka waktu sebagian
dari hari-hari yang sudah terbiasa, maka baginya tidak wajib melaksanakan
haji karena hal tersebut menyulitkan.
فَإِنْ أَمْكَنَ
إِلَّا أَنَّهُ يَحْتَاجُ لِقَطْعِ مَرْحَلَتَيْنِ فِيْ بَعْضِ الْأَيَّامِ لَمْ
يَلْزَمْهُ الْحَجُّ لِلضَّرَرِ.
Rukun-Rukun Haji
Rukun-rukun haji ada empat.
(وَأَرْكَانُ الْحَجِّ أَرْبَعَةٌ)
Salah satunya adalah ihram
disertainya niat, maksudnya niat masuk di dalam ibadah haji.
أَحَدُهَا
(الْإِحْرَامُ مَعَ النِّيَّةِ) أَيْ نِيَّةِ الدُّخُوْلِ فِي الْحَجِّ
Yang ke dua adalah wukuf di
Arafah.
(وَ) الثَّانِيِ (الْوُقُوْفُ
بِعَرَفَةَ)
Yang dikehendaki adalah
kehadiran orang yang ihram haji dalam waktu sebentar setelah tergelincirnya
matahari di hari Arafah, yaitu hari ke sembilan dari bulan Dzul Hijjah.
وَالْمُرَادُ
حُضُوْرُ الْمُحْرِمِ بِالْحَجِّ لَحْظَةً بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ يَوْمَ عَرَفَةَ
وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ
Dengan syarat orang yang
wukuf termasuk ahli untuk melakukan ibadah, bukan orang yang sedang gila dan
bukan orang yang epilepsi.
بِشَرْطِ
كَوْنِ الْوَاقِفِ أَهْلًا لِلْعِبَادَةِ لَا مَجْنُوْنًا وَ
لَا مُغْمَى عَلَيْهِ
Waktu wukuf tetap berlanjut hingga terbitnya fajar hari
raya kurban, yaitu hari ke sepuluh dari bulan Dzul Hijjah.
وَيَسْتَمِرُّ
وَقْتُ الْوُقُوْفِ إِلَى فَجْرِ يَوْمِ النَّحْرِ وَهُوَ الْعَاشِرُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ
Yang ke tiga adalah thawaf
di Baitulllah sebanyak tujuh kali thawafan.
(وَ) الثَّالِثُ (الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ)
سَبْعَ طَوَفَاتٍ
Saat tahwaf, ia memposisikan
Baitullah di sebelah kirinya dan memulai dari Hajar Aswad tepat lurus dengan
seluruh badannya saat berjalan.
جَاعِلًا
فْيْ طَوَافِهِ الْبَيْتَ عَنْ يَسَارِهِ مُبْتَدِئًا بِالْحَجَرِ الْأَسْوَدِ مُحَاذِيًا
لَهُ فِيْ مُرُوْرِهِ بِجَمِيْعِ بَدَنِهِ
Seandainya ia memulai thawaf
dari selain Hajar Aswad, maka thawaf yang ia lakukan tidak dianggap.
فَلَوْ بَدَأَ
بِغَيْرِ الْحَجَرِ لَمْ يُحْسَبْ لَهُ.
Rukun ke empat adalah sa’i
di antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
(وَ) الرَّابِعُ (السَّعْيُ بَيْنَ
الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ) سَبْعَ مَرَّاتٍ
Syaratnya adalah memulai
sa’i pertama dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwah.
وَشَرْطُهُ
أَنْ يَبْتَدِأَ فِيْ أَوَّلِ مَرَّةٍ بِالصَّفَا وَيَخْتِمَ بِالْمَرْوَةِ
Perjalanannya dari Shafa ke
Marwah dihitung satu kali, dan kembali dari Marwah ke Shafa juga dihitung
satu kali.
وَيُحْسَبُ
ذِهَابُهُ مِنَ الصَّفَا إِلَى الْمَرْوَةِ مَرَّةً وَعَوْدُهُ مِنْهَا إِلَيْهِ
مَرَّةً أُخْرَى
Shafa, dengan alif qashr di akhirnya, adalah tepi gunung
Abi Qubais.
وَالصَّفَا
بِالْقَصْرِ طَرْفُ جَبَلِ أَبِيْ قَبَيْسٍ
Dan Marwah, dengan terbaca
fathah huruf mimnya, adalah nama suatu tempat ya
ng sudah
di
kenal
di Makkah.
وَالْمَرْوَةُ
بِفَتْحِ الْمِيْمِ عَلَمٌ عَلَى الْمَوْضِعِ الْمَعْرُوْفِ بِمَكَّةَ
Masih ada rukun-rukun haji
yang tersisa, yaitu mencukur atau memotong rambut, jika kita menjadikan
masing-masing dari keduanya termasuk rangkaian ibadah haji. Dan ini adalah
pendapat yang masyhur.
وَبَقِيَ
مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ الْحَلْقُ أَوِ التَّقْصِيْرُ إِنْ جَعَلْنَا كُلًّا مِنْهُمَا
نُسُكًا وَهُوَ الْمَشْهُوْرُ
Jika kita mengatakan bahwa
masing-masing dari keduanya adalah bentuk perbuatan untuk memperbolehkan
hal-hal yang diharamkan saat haji, maka keduanya bukan termasuk rukun-rukun
haji.
فَإِنْ قُلْنَا
أَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا اسْتِبَاحَةَ مَحْظُوْرٍ فَلَيْسَا مِنَ الْأَرْكَانِ
Dan wajib mendahulukan ihram
dari semua rukun-rukun haji yang lain.
وَيَجِبُ
تَقْدِيْمُ الْإِحْرَامِ عَلَى كُلِّ الْأَرْكَانِ السَّابِقَةِ.
Rukun-Rukun Umrah
Rukun-rukun umrah ada tiga
sebagaimana yang terdapat di sebagian redaksi. Dan di dalam sebagian redaksi
ada empat perkara.
(وَأَرْكَانُ الْعُمْرَةِ ثَلَاثَةٌ)
كَمَا فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَفِيْ بَعْضِهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ
Yaitu ihram, thawaf, sa’i,
dan mencukur atau memotong rambut menurut salah satu dari dua pendapat, dan
ini adalah pendapat yang kuat sebagaimana keterangan yang telah lewat
barusan.
(الْإِحْرَامُ وَالطَّوَافُ وَالسَّعْيُ
وَالْحَلْقُ أَوِ التَّقْصِيْرُ فِيْ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ) وَهُوَ الرَّاجِحُ كَمَا
سَبَقَ قَرِيْبًا
Jika tidak menurut pendapat
yang kuat, maka keduanya bukan termasuk rukun umrah.
وَإِلَّا
فَلَا يَكُوْنُ مِنْ أَرْكَانِ الْعُمْرَةِ
Kewajiban-Kewajiban Haji
Kewajiban-kewajiban haji
selain rukun ada tiga perkara.
(وَوَاجِبَاتُ الْحَجِّ غَيْرُ
الْأَرْكَانِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ)
Miqat
Salah satunya adalah ihram
dari miqat, yang mencakup miqat zaman dan miqat makan.
أَحَدُهَا
(الْإِحْرَامُ مِنَ الْمِيْقَاتِ) الصَّادِقِ بِالزَّمَانِيِّ وَالْمَكَانِيِّ
Miqat zaman bagi haji adalah
bulan Syawal, Dzul Qa’dah, dan sepuluh hari bulan Dzul Hijjah.
فَالزَّمَانِيُّ
بِالنِّسْبَةِ لِلْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُوْ الْقَعْدَةِ وَعَشْرُ لَيَالٍ مِنْ ذِي
الْحِجَّةِ
Adapun miqat zaman bagi
umrah adalah sepanjang tahun adalah waktu yang bisa untuk melaksanakan ihram
umrah.
وَأَمَّا
بِالنِّسْبَةِ لِلْعُمْرَةِ فَجَمِيْعُ السَّنَةِ وَقْتٌ لِإِحْرَامِهَا
Miqat makan di dalam haji
bagi orang yang bermukim di Makkah adalah daerah Makkah itu sendiri, baik ia
penduduk asli Makkah atau pendatang.
وَالْمِيْقَاتُ
الْمَكَانِيُّ لِلْحَجِّ فِيْ حَقِّ الْمُقِيْمِ بِمَكَّةَ نَفْسُ مَكَّةَ مَكِيًّا
كَانَ أَوْ آفَاقِيًا
Adapun selain orang yang
bermukim di Makkah, maka miqat bagi orang yang datang dari Madinah Musyarrafah
adalah Dzul Hulaifah.
وَأَمَّا
غَيْرُ الْمُقِيْمِ فِيْ مَكَّةَ فَمِيْقَاتُ الْمُتَوَجِّهِ مِنَ الْمَدِيْنَةِ
الشَّرِيْفَةِ ذُوْ الْحُلَيْفَةِ
Bagi orang yang datang dari
Iram, Mesir dan Maroko adalah Juhfah.
وَالْمُتَوَجِّهِ
مِنَ الشَّامِ وَمِصْرَ وَالْمَغْرِبِ الْجُحْفَةُ
Bagi orang yang datang dari
dataran rendah Yaman adalah Yulamlam.
وَالْمُتَوَجِّهِ
مِنْ تِهَامَةِ الْيَمَنِ يُلَمْلَمَ
Bagi orang yang datang dari
dataran tinggi Hijaz dan Yaman adalah Qarn.
وَالْمُتَوَجِّهِ
مِنْ نَجْدِ الْحِجَازِ وَنَجْدِ الْيَمَنِ قَرْنٌ
Dan yang datang dari daerah
timur adalah Dzatu ‘Irq.
واَلْمُتَوَجِّهِ
مِنَ الْمَشْرِقِ ذَاتُ عِرْقٍ.
Lempar
Jumrah
Yang ke dua dari
kewajiban-kewajiban haji adalah melempa
r tiga jumrah.
(وَ) الثَّانِيْ مِنْ وَاجِبَاتِ
الْحَجِّ (رَمْيُ الْجِمَارِ الثَّلَاثِ)
Di mulai dari jumrah Kubra,
kemudian jumrah Wustha, lalu Jumrah Aqabah.
يَبْدَأُ
بِالْكُبْرَى ثُمَّ الْوُسْطَى ثُمَّ جُمْرَةِ الْعَقَبَةِ
Masing-masing jumrah di
lempar dengan tujuh kerikil satu persatu.
وَيَرْمِيْ
كُلَّ جُمْرَةٍ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَاحِدَةً بَعْدَ وَاحِدَةٍ
Seandainya ia melempar dua
kerikil sekaligus, maka dihitung satu.
فَلَوْ رَمَى
حَصَاتَيْنِ دَفْعَةً وَاحِدَةً حُسِبَتْ وَاحِدَةً
Jika melempar menggunakan
satu kerikil untuk melempar tujuh kali, maka dianggap mencukupi.
وَلَوْ رَمَى
حَصَاةً وَاحِدَةً سَبْعَ مَرَّاتٍ كَفَى.
Disyaratkan sesuatu yang
digunakan untuk melempar adalah batu. Maka selain batu seperti permata dan
gamping tidak mencukupi.
وَيُشْتَرَطُ
كَوْنُ الْمَرْمِيِّ بِهِ حَجَرًا فَلَا يَكْفِيْ غَيْرُهُ كَلُؤْلُؤٍ وَجَصٍّ
Mencukur
Rambut
Kewajiban ke tiga adalah
mencukur atau memotong rambut.
(وَ) الثَّالِثُ (الْحَلْقُ) أَوِ
التَّقْصِيْرُ
Yang afdlol bagi laki-laki
adalah mencukur. Dan bagi perempuan adalah memotong.
وَالْأَفْضَلُ
لِلرَّجُلِ الْحَلْقُ وَلِلْمَرْأَةِ التَّقْصِيْرُ
Minimal mencukur adalah
menghilangkan tiga helai rambut kepala dengan cara dicukur, potong, cabut,
bakar atau digunting.
وَأَقَلُّ
الْحَلْقِ إِزَالَةُ ثَلَاثِ شَعَرَاتٍ مِنَ الرَّأْسِ حَلْقًا أَوْ تَقْصِيْرًا
أَوْ نَتْفًا أَوْ إِحْرَاقًا أَوْ قَصًّا
Orang yang tidak memiliki
rambut kepala, maka bagi dia disunnahkan untuk menjalankan pisau cukur di
kepalanya.
وَمَنْ لَا شَعْرَ بِرَأْسِهِ يُسَنُّ لَهُ إِمْرَارُ الْمُوْسَى عَلَيْهِ
Rambut selain kepala baik
jenggot dan selainnya, tidak bisa menggantikan rambut kepala.
وَلَايَقُوْمُ
شَعْرُ غَيْرِ الرَّأْسِ مِنَ اللِّحْيَةِ وَغَيْرِهَا مَقَامَ شَعْرِ الرَّأْسِ.
Kesunahan-Kesunahan Haji
Kesunahan-kesunahan haji ada
tujuh.
(وَسُنَنُ الْحَجِّ سَبْعٌ)
Haji
Ifrad
Salah
satunya adalah ifrad. Yaitu
mendahulukan pelaksanaan haji sebelum melaksanakan umrah.
أَحَدُهَا
(الْإِفْرَادُ وَهُوَ تَقْدِيْمُ الْحَجِّ عَلَى الْعُمْرَةِ)
Dengan cara pertama ihram
haji dari miqatnya, dan setelah selesai melaksanakan haji kemudian ia keluar
dari Makkah menuju tanah halal terdekat lalu melakukan ihram umrah dan
melaksanakan amal-amalnya.
بِأَنْ يُحْرِمَ
أَوَّلًا بِالْحَجِّ مِنْ مِيْقَاتِهِ وَيَفْرُغَ مِنْهُ ثُمَّ يَخْرُجَ عَنْ مَكَّةَ
إِلَى أَدْنَى الْحِلِّ فَيُحْرِمُ بِالْعُمْرَةِ وَيَأْتِيْ بِعَمَلِهَا
Jika dibalik, maka dia bukan
orang yang melakukan haji ifrad.
وَلَوْ عَكَسَ
لَمْ يَكُنْ مُفْرِدًا



Talbiyah
Yang
kedua adalah membaca talbiyah. Disunnahkan
memperbanyak membaca talbiyah
selama menjalankan ihram.
(وَ) الثَّانِيَ (التَّلْبِيَّةُ)
وَيُسَنُّ الْإِكْثَارُ مِنْهَا فِيْ دَوَامِ الْإِحْرَامِ
Bagi
laki-laki sunnah mengeraskan suara bacaan talbiyahnya.
وَيَرْفَعُ
الرَّجُلُ صَوْتَهُ بِهَا
Lafadz talbiyah adalah, “ya Allah aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada
sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan
kenikmatan hanya milik-Mu Dan kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”
وَلَفْظُهَا
لَبّيْكَ اللهم لَبّيْكَ لَبَيْكَ لَاشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ
لَكَ وَالْمُلْكَ لَاشَرِيْكَ لَكَ
Ketika
selesai membaca tabiyah, hendaknya
ia membaca sholawat kepada baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
, dan meminta kepada Allah ta’ala agar diberi surga dan keridlaan-Nya, dan berlindung
kepada-Nya dari api neraka.
وَإِذَا
فَرَغَ مِنَ التَّلْبِيَّةِ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَسَأَلَ اللهَ تَعَالَى الْجَنَّةَ وَرِضْوَانَهُ وَاسْتَعَاذَ بِهِ مِنَ النَّارِ
Thawaf
Qudum
Yang ke
tiga adalah thawaf Qudum.
(وَ) الثَّالِثُ (طَوَافُ الْقُدُوْمِ)
Thawaf
Qudum dikhususkan bagi orang haji yang masuk Makkah sebelum melaksanakan
wukuf di Arafah.
وَيَخْتَصُّ
بَحاَجٍّ دَخَلَ مَكَّةَ قَبْلَ الْوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ
Sedangkan
bagi orang yang melaksanakan umrah, ketika ia melaksanakan thawaf umrah, maka
sudah mencukupi dari thawaf Qudum.
وَالْمُعْتَمِرُ
إِذَا طَافَ الْعُمْرَةَ أَجْزَأَ عَنْ طَوَافِ الْقُدُوْمِ
Mabit
Muzdalifah
Yang ke
empat adalah mabit di Muzdalifah.
(وَ) الرَّابِعُ (الْمَبِيْتُ
بِمُزْدَلِفَةَ)
Memasukkan
mabit di Muzdalifah di dalam golongan kesunahan adalah pendapat yang ditetapkan
oleh pendapatnya imam ar Rafi’i.
وَعَدُّهُ
مِنَ السُّنَنِ هُوَ مَا يَقْتَضِيْهِ كَلَامُ الرَّافِعِيِّ
Akan
tetapi keterangan yang terdapat di dalam tambahannya kitab ar Raudlah dan Syarh
al Muhadzdzab, bahwa sesungguhnya mabit di Muzdalifah adalah sesuatu yang
wajib.
لَكِنِ
الَّذِيْ فِيْ زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّ الْمَبِيْتَ بِمُزْدَلِفَةَ
وَاجِبٌ
Sholat
Sunnah Thawaf
Yang ke
lima adalah sholat dua rakaat thawaf setelah selesai melaksanakannya.
(وَ) الْخَامِسُ (رَكَعَتَا
الطَّوَافِ) بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهُ
Hendaknya
ia melaksanakan sholat tersebut di belakang maqam Ibrahim As.
وَيُصَلِّيْهُمَا
خَلْفَ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ
Sunnah
memelankan suara bacaan saat melaksanakan sholat tersebut di siang hari, dan
mengeraskan suara bacaan di malam hari.
وَيُسِرُّ
بِالْقِرَاءَةِ فِيْهِمَا نَهَارًا وَيَجْهَرُ بِهَا لَيْلًا
Dan
ketika tidak melaksanakan sholat tersebut di belakang maqam Ibrahim, maka
hendaknya sholat di Hijr Isma’il, jika tidak maka di dalam masjid, dan jika
tidak maka di tempat manapun yang ia kehendaki baik tanah Haram dan yang
lainnya.
وَإِذَا
لَمْ يُصَلِّهِمَا خَلْفَ الْمَقَامِ فَفِيْ الْحِجْرِ وَإِلَّا فَفِي الْمَسْجِدِ
وَإِلَّا فَفِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ شَاءَ مِنَ الْحَرَمِ وَغَيْرِهِ
Mabit
Mina
Yang ke
enam adalah mabit di Mina. Ini adalah pendapat yang disahkan oleh imam ar
Rafi’i.
(وَ) السَّادِسُ (الْمَبِيْتُ
بِمِنَى) هَذَا مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ
Akan
tetapi di dalam tambahan ar Raudlah, imam an Nawawi menshohikan hukum wajib.
لَكِنْ صَحَّحَ
النَّوَوِيُّ فِيْ زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ الْوُجُوْبَ
Thawaf
Wada’
Yang ke
tujuh adalah thawaf Wada’ ketika hendak keluar dari Makkah karena untuk
bepergian. Baik orang haji atau bukan. Baik bepergian jauh atau dekat.
(وَ) السَّابِعُ (طَوَافُ الْوَدَاعِ)
عِنْدَ إِرَادَةِ الْخُرُوْجِ مِنْ مَكَّةَ لِسَفَرٍ حَاجًّا كَانَ أَوْلَا طَوِيْلًا
كَانَ السَّفَرُ أَوْ قَصِيْرًا
Apa
yang telah disampaikan mushannif yaitu berupa hukum kesunahan thawaff Wada’
adalah pendapat marjuh (lemah),
akan tetapi menurut pendapat al adhhar hukumnya adalah wajib.
وَمَا ذَكَرَهُ
الْمُصَنِّفُ مِنْ سُنِّيَتِهِ قَوْلٌ مَرْجُوْحٌ لَكِنِ الْأَظْهَرُ وُجُوْبُهُ
Pakaian
Orang Ihram
Saat
ihram, menurut keterangan di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab, seorang
laki-laki wajib menghindari pakaian yang berjahit, di tenun, di kelabang, dan
dari selain pakaian yang berupa muza dan sandal.
(وَيَتَجَرَّدُ الرَّجُلُ) حَتْمًا
كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (عِنْدَ الْإِحْرَامِ عَنِ الْمَخِيْطِ) مِنَ
الثِّيَابِ وَعَنْ مَنْسُوْجِهَا وَعَنْ مَعْقُوْدِهَا وَعَنْ غَيْرِ الثِّيَابِ
مِنْ خُفٍّ وَنَعْلٍ
Dan
wajib bagi dia mengenakan jarik dan selendang berwarna putih yang masih baru,
jika tidak maka yang bersih.
(وَيَلْبَسُ إِزَارًا وَرِدَاءً
أَبْيَضَيْنَ) جَدِيْدَيْنَ وَإِلَّا فَنَظِيْفَيْنَ
Hal-Hal
Yang Diharamkan Saat Ihram
(Fasal)
menjelaskan hukum-hukum muharramatul
ihram
(hal-hal yang diharamkan saat ihram).
(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ مُحَرَّمَاتِ
الْإِحْرَامِ
Muharramatul ihram adalah
hal-hal yang haram sebab ihram.
وَهِيَ مَا
يَحْرُمُ بِسَبَبِ الْإِحْرَامِ
Ada
sepuluh perkara yang diharamkan bagi orang yang sedang melaksanakan ihram.
(وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُحْرِمِ
عَشْرَةُ أَشْيَاءَ)
Salah
satunya adalah mengenakan pakaian yang berjahit seperti ghamis, juba dan muza.
Mengenakan pakaian yang ditenun seperti baju jira. Atau pakaian yang digelung
seperti pakaian yang digelungkan ke seluruh badan.
أَحَدُهَا
(لَبْسُ الْمَخِيْطِ) كَقَمِيْصٍ وَقُبَاءٍ وَخُفٍّ وَلَبْسُ الْمَنْسُوْجِ كَدَرْعٍ
أَوِ الَمَعْقُوْدِ كَلَبَدٍ فِيْ جَمِيْعِ بَدَنِهِ
Yang ke
dua adalah menutup kepala atau sebagiannya bagi orang laki-laki dengan menggunakan
sesuatu yang dianggap sebagai penutup -secara ‘urf-seperti surban dan tanah
liat.
(وَ) الثَّانِيْ (تَغْطِيَّةُ
الرَّأْسِ) أَوْبَعْضِهَا (مِنَ الرَّجُلِ) بِمَا يُعَدُّ سَاتِرًا كَعِمَامَةٍ
وَطِيْنٍ
Jika
yang digunakan tidak dianggap sebagai penutup, maka tidak masalah seperti
meletakkan tangan di atas sebagian kepalanya. Dan seperti berendam di dalam
air, dan berteduh di bawah tandu yang berada di atas onta, walaupun sampai
menyentuh kepalanya.
فَإِنْ لَمْ
يُعَدَّ سَاتِرًا لَمْ يَضُرَّ كَوَضْعِ يَدِّهِ عَلَى بَعْضِ رَأْسِهِ وَكَانْغِمَاسِهِ
فِيْ مَاءٍ وَاسْتِظْلَالِهِ بِمَحْمِلٍ وَإِنْ مَسَّ رَأْسَهُ
Dan
menutup wajah atau sebagiannya bagi orang wanita dengan menggunakan sesuatu
yang dianggap penutup.
(وَ) تَغْطِيَّةُ (الْوَجْهِ) أَوْبَعْضِهِ
(مِنَ الْمَرْأَةِ) بِمَا يُعَدُّ سَاتِرًا
Bagi
seorang wanita wajib menutup bagian wajah yang tidak mungkin baginya untuk
menutup kepala kecuali dengan menutup bagian wajah tersebut.
وَيَجِبُ
عَلَيْهَا أَنْ تَسْتُرَ مِنْ وَجْهِهَا مَا لَا يَتَأَتَّى سَتْرُ جَمِيْعِ الرَّأْسِ
إِلَّا بِهِ
Bagi
seorang wanita diperkenankan untuk mengenakan cadar yang direnggangkan -tidak
sampai menyentuh- dari wajah dengan menggunakan kayu dan sesamanya.
وَلَهَا أَنْ
تُسْبِلَ عَلَى وَجْهِهَا ثَوْبًا مُتَجَافِيًا عَنْهُ بِخَشَبَةٍ وَنَحْوِهَا
Seorang
khuntsa, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Qadli Abu Thayyib, diperintah
agar menutup kepalanya, dan diperkenankan untuk mengenakan pakaian berjahit.
وَالْخُنْثَى
كَمَا قَالَهُ الْقَاضِيْ أَبُوْ الطَّيِّبِ يُؤْمَرُ بِالسَّتْرِ وَلَبْسِ الْمَخِيْطِ
Adapun
masalah fidyahnya, maka menurut pendapat jumhur
(mayoritas ulama’) bahwa sesungguhnya seorang khuntsa jika menutup wajah
atau kepalanya, maka tidak wajib fidyah karena masih ada keraguan. Namun jika
menutup keduanya, maka wajib fidyah.
وَأَمَّا
الْفِدْيَةُ فَالَّذِيْ عَلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ أَنَّهُ إِنْ سَتَرَ وَجْهَهُ أَوْ
رَأْسَهُ لَمْ تَجِبِ الْفِدْيَةُ لِلشَّكِّ وَإِنْ سَتَرَهُمَا وَجَبَتْ
Yang ke
tiga adalah menyisir rambut.
(وَ) الثَّالِثُ (تَرْجِيْلُ) أَيْ
تَسْرِيْحُ (الشَّعْرِ)
Begitulah
mushannif memasukkan hal tersebut termasuk dari hal-hal yang diharamkan.
كَذَا عَدَّهُ
الْمُصَنِّفُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ
Akan
tetapi keterangan di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab menyatakan bahwa
sesungguhnya menyisir rambut hukumnya makruh, begitu juga menggaruk rambut
dengan kuku.
لَكِنِ
الَّذِيْ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُ مَكْرُوْهٌ وَكَذَا حَكُّ الشَّعْرِ
بِالظُّفْرِ
Yang ke
empat adalah mencukur rambut, mencabut atau membakarnya.
(وَالرَّابِعُ حَلْقُهُ) أَيْ
الشَّعْرِ أَوْ نَتْفُهُ أَوْ إِحْرَاقُهُ
Yang dikehendaki
adalah menghilangkan rambut dengan cara apapun, walaupun ia dalam keadaan
lupa.
وَالْمُرَادُ
إِزَالَتُهُ بِأَيِّ طَرِيْقٍ كَانَ وَلَوْ نَاسِيًا
Yang ke
lima adalah memotong kuku, maksudnya menghilangkannya, baik kuku tangan atau
kaki dengan dipotong atau yang lainnya.
(وَ) الْخَامِسُ (تَقْلِيْمُ
الْأَظْفَارِ) أَيْ إِزَالَتُهَا مِنْ يَدٍّ أَوْ رِجْلٍ بِتَقْلِيْمٍ أَوْ غَيْرِهِ
Kecuali
ketika sebagian kuku orang yang sedang ihram pecah dan ia merasa kesakitan
dengan hal tersebut, maka baginya diperbolehkan untuk menghilangkan bagian
kuku yang pecah saja.
إِلَّا إِذَا
انْكَسَرَ بَعْضُ ظُفْرِ الْمُحْرِمِ وَتَأَذَّى بِهِ فَلَهُ إِزَالَةُ الْمُنْكَسِرِ
فَقَطْ
Yang ke
enam adalah wangi-wangian, maksudnya menggunakan wewangian secara sengaja
dengan sesuatu yang memang ditujukan untuk menghasilkan bauh wangi seperti
misik dan kapur barus.
(وَ) السَّادِسُ (الطِّيْبُ) أَيِ
اسْتِعْمَالُهُ قَصْدًا بِمَا يُقْصَدُ مِنْهُ رَائِحَةُ الطِّيْبِ نَحْوُ مِسْكٍ
وَكَافُوْرٍ
-menggunakan-
di pakaian dengan cara menemukan wewangian tersebut pada pakaian dengan cara
yang telah terbiasa di dalam penggunaannya. Dan -menggunakan- di badan,
bagian luar atau dalam seperti ia memakan wangi-wangian.
فِيْ ثَوْبِهِ
بِأَنْ يُلْصِقَهُ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الْمُعْتَادِ فِي اسْتِعْمَالِهِ وَفِيْ
بَدَنِهِ ظَاهِرِهِ أَوْ بَاطِنِهِ كَأَكْلِهِ الطِّيْبَ
Tidak
ada perbedaan pada orang yang menggunakan wewangian tersebut, antara orang
laki-laki atau perempuan, orang akhsyam
(indra pembaunya tidak berfungsi) atau tidak.
وَلَا فَرْقَ
فِيْ مُسْتَعْمِلِ الطِّيْبِ بَيْنَ كَوْنِهِ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً أَخْشَمَ كَانَ
أَوْ لَا
Dengan
ungkapan “secara sengaja” mengecualikan jika hembusan angin membawa wewangian
yang mengenai dirinya, atau ia dipaksa untuk menggunakannya, tidak tahu akan
keharamannya, atau lupa bahwa sesungguhnya ia sedang melaksanakan ihram, maka
sesungguhnya tidak ada kewajiban fidyah bagi dia.
وَخَرَجَ
بِقَصْدًا مَا لَوْ أَلْقَتْ عَلَيْهِ الرِّيْحُ طِيْبًا أَوْ أُكْرِهَ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ
أَوْ جَهِلَ تَحْرِيْمَهُ أَوْ نَسِيَ أَنَّهُ مُحْرِمٌ فَإِنَّهُ لَا فِدْيَةَ
عَلَيْهِ
Jika ia
tahu akan keharamannya dan tidak tahu akan kewajiban fidyahnya, maka tetap
wajib membayar fidyah.
فَإِنْ عَلِمَ
تَحْرِيْمَهُ وَجَهِلَ الْفِدْيَةَ وَجَبَتْ
Yang ke
tujuh adalah membunuh binatang buruan yang hidup di darat dan halal dimakan, atau
induknya ada yang halal dimakan seperti binatang liar dan burung.
(وَ) السَّابِعُ (قَتْلُ الصَّيْدِ)
الْبَرِّيِّ الْمَأْكُوْلِ أَوْ مَا فِيْ أَصْلِهُ مَأْكُوْلٌ مِنْ وَحْشٍ وَطَيْرٍ
Dan
juga haram memburunya, menguasainya, dan mengganggu bagian badan, bulu halus
dan bulu kasarnya.
وَيَحْرُمُ
أَيْضًا صَيْدُهُ وَوَضْعُ الْيَدِّ عَلَيْهِ وَالتَّعَرُّضُ لِجُزْئِهِ وَشَعْرِهِ
وَرِيْشِهِ
Yang ke
delapan adalah akad nikah.
(وَ) الثَّامِنُ (عَقْدُ النِّكَاحِ)
Maka
bagi orang yang sedang ihram, haram melakukan akad nikah untuk dirinya
sendiri atau orang lain dengan cara wakil atau menjadi wali.
فَيَحْرُمُ
عَلَى الْمُحْرِمِ أَنْ يَعْقِدَ النِّكَاحَ لِنَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهِ بِوَكَالَةٍ
اَوْ وِلَايَةٍ
Yang ke
sembilan adalah wathi yang dilakukan oleh orang yang berakal dan mengetahui
keharamannya, baik melakukan jima’ saat ihram haji atau umrah, di jalan depan
atau belakang, dengan laki-laki atau perempuan, istri, budak perempuan yang
di miliki atau dengan wanita lain.
(وَ) التَّاسِعُ (الْوَطْءُ) مِنْ
عَاقِلٍ عَالِمٍ بِالتَّحْرِيْمِ سَوَاءٌ جَامَعَ فِيْ حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فِيْ
قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثًى زَوْجَةٍ أَوْ مَمْلُوْكَةٍ أَوْ أَجْنَبِيَّةٍ
Yang ke
sepuluh adalah bersentuhan kulit selain bagian farji seperti menyentuh atau
mencium dengan birahi.
(وَ) الْعَاشِرُ (الْمُبَاشَرَةُ)
فِيْمَا دُوْنَ الْفَرْجِ كَلَمْسٍ وَقُبْلَةٍ (بِشَهْوَةٍ)
Adapun
bersentuhan kulit tidak dengan birahi, maka hukumnya tidak haram.
أَمَّا بِغَيْرِ
شَهْوَةٍ فَلَا يَحْرُمُ
Di
dalam semua hal tersebut, maksudnya hal-hal yang diharamkan yang telah disebutkan,
wajib membayar fidyah, dan akan dijelaskan di belakang.
(وَفِيْ جَمِيْعِ ذَلِكَ) أَيِ
الْمُحَرَّمَاتِ السَّابِقَةِ (الْفِدْيَةُ) وَسَيَأْتِيْ بَيَانُهَا
Hal-Hal
Yang Merusak Ihram
Jima’
yang telah dijelaskan di atas bisa merusak ibadah umrah yang disendirikan.
وَالْجِمَاعُ
الْمَذْكُوْرُ تَفْسُدُ بِهِ الْعُمْرَةُ الْمُفْرَدَةُ
Adapun
umrah yang berada di dalam kandungan haji Qiran,
maka hukumnya mengikuti haji, baik sah atau rusaknya.
أَمَّا
الَّتِيْ فِيْ ضِمْنِ حَجٍّ فِيْ قِرَانٍ فَهِيَ تَابِعَةٌ لَهُ صِحَّةً وَفَسَادًا
Adapun
jima’ bisa merusak haji ketika dilakukan sebelum tahallul awal, baik setelah
wukuf atau sebelumnya.
وَأَمَّا
الْجِمَاعُ فَيُفْسِدُ الْحَجَّ قَبْلَ التَّحَلُّلِ الْأَوَّلِ بَعْدَ الْوُقُوْفِ
أَوْ قَبْلَهُ
Sedangkan
jima’ yang dilakukan setelah tahallul awal, maka tidak sampai merusak status
haji.
أَمَّا بَعْدَ
التَّحَلُّلِ الْأَوَّلِ فَلَا يُفْسِدُ
-kewajiban
fidyah di atas tersebut adalah- kecuali akad nikah, karena sesungguhnya akad
nikah yang dilakukan tidak sah.
(إلَّا عَقْدَ النِّكَاحِ فَإِنَّهُ
لَايَنْعَقِدُ
Haji
tidak bisa rusak kecuali dengan wathi di bagian farji.
وَلَا يُفْسِدُهُ
إِلَّا الْوَطْءُ فِيْ الْفَرْجِ)
Berbeda
dengan bersentuhan pada bagian selain farji, maka sesungguhnya hal tersebut
tidak sampai merusak status haji.
بِخِلَافِ
الْمُبَاشَرَةِ فِيْ غَيْرِ الْفَرْجِ فَإِنَّهَا لَاتُفْسِدُهُ
Orang
yang ihram tidak diperkenankan keluar dari ihramnya sebab telah rusak, bahkan
baginya wajib untuk meneruskan amaliyah ihramnya yang telah berstatus rusak.
(وَلَايَخْرُجُ) الْمُحْرِمُ (مِنْهُ
بِالْفَسَادِ) بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْمُضِيُّ (فِيْ فَاسِدِهِ)
Di
dalam sebagian redaksi, tidak dicantumkan ungkapan mushannif “di dalam
ihramnya yang rusak” maksudnya ibadah haji atau umrah dengan cara
melaksanakan amaliyah-amaliyah yag masih tersisa.
وَسَقَطَ
فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ قَوْلُهُ فِيْ فَاسِدِهِ أَيِ النُّسُكِ مِنْ حَجٍّ أَوْ
عُمْرَةٍ بِأَنْ يَأْتِيَ بِبَقِيَةِ أَعْمَالِهِ



Ketinggalan
Wukuf di Arafah
Barang
siapa melaksanakan ihram haji dan ketinggalan wukuf di Arafah sebab udzur
atau tidak, maka wajib tahallul dengan melaksanakan amaliyah umrah.
(وَمَنْ) أَيِ الْحَاجُّ الَّذِيْ
(فَاتَهُ الْوُقُوْفُ بِعَرَفَةَ) بِعُذْرٍ وَغَيْرِهِ (تَحَلَّلَ) حَتْمًا (بِعَمَلِ
عُمْرَةٍ)
Maka ia
melakukan thawaf dan sa’i jika memang belum sa’i setelah thawaf Qudum.
فَيَأْتِيْ
بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ إِنْ لَمْ يَكُنْ سَعَى بَعْدَ طَوَافِ الْقُدُوْمِ
Dan
bagi dia, maksudnya orang yang ketinggalan wukuf di Arafah, wajib segera mengqadla’,
baik hajinya fardlu atau sunnah.
(وَعَلَيْهِ) أَيِ الَّذِيْ فَاتَهُ
الْوُقُوْفُ (الْقَضَاءُ) فَوْرًا فَرْضًا كَانَ نُسُكُهُ أَوْ نَفْلًا
Qadla’
hanya wajib dilakukan di dalam permasalahan ketinggalan wukuf yang tidak disebabkan
oleh hashr (tercegah).
وَإِنَّمَا
يَجِبُ الْقَضَاءُ فِيْ فَوَاتٍ لَمْ يَنْشَأْ عَنْ حَصْرٍ
Jika
seseorag tercegah untuk melakukan perjalanan, namun ia masih bisa melewati
jalan selain jalan yang terjadi pencegahan, maka wajib baginya untuk melewati
jalan tersebut, walaupun tahu bahwa dia tetap akan ketinggalan wukuf.
فَإِنْ أُحْصِرَ
شَخْصٌ وَكَانَ لَهُ طَرِيْقٌ غَيْرُ الَّتِيْ وَقَعَ الْحَصْرُ فِيْهَا لَزِمَهُ
سُلُوْكُهَا وَإِنْ عَلِمَ الْفَوَاتَ
Jika ia
meninggal dunia, maka tidak wajib diqadla’i menurut pendapat ashah.
فَإِنْ مَاتَ
لَمْ يُقْضَ عَنْهُ فِيْ الْأَصَحِّ
Bagi
dia -orang yang ketinggalan wukuf- di samping mengqadla’, juga wajib membayar
hadyah.
(وَ) عَلَيْهِ مَعَ الْقَضَاءِ
(الْهَدْيُ)



Meninggalkan
Rukun, Kewajiban dan Kesunahan Ihram
Di dalam
sebagian redaksi telah ditemukan keterangan tambahan.
وَيُوْجَدُ
فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ زِيَادَةٌ
Yaitu,
barang siapa meninggalkan rukun-rukun yang menjadi penentu sahnya haji, maka
dia tidak bisa berstatus halal / lepas dari ihramnya sehingga ia melaksanakan
rukun tersebut.
هِيَ (وَمَنْ
تَرَكَ رُكْنًا) مِمَّا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ الْحَجُّ (لَمْ يَحِلَّ مِنْ إِحْرَامِهِ
حَتَّى يَأْتِيْ بِهِ)
Rukun
tersebut tidak bisa digantikan dengan dam.
وَلَايُجْبَرُ
ذَلِكَ الرُّكْنُ بِدَمٍّ
Barang
siapa meninggalkan kewajiban dari kewajiban-kewajiban haji, maka wajib
membayar dam. Dan dam akan dijelaskan di belakang.
(وَمَنْ تَرَكَ وَاجِبًا) مِنْ
وَاجِبَاتِ الْحَجِّ (لَزِمَهُ الدَّمُ) وَسَيَأْتِيْ بَيَانُ الدَّمِ
Barang
siapa meninggalkan kesunahan dari kesunahan-kesunahan haji, maka dia tidak
berkewajiban apa-apa sebab meninggalkan kesunahan tersebut.
(وَمَنْ تَرَكَ سُنَّةً) مَنْ
سُنَنِ الْحَجِّ (لَمْ يَلْزَمْهُ بِتَرْكِهَا شَيْئٌ)
Dari
ungkapan matan, telah jelas
perbedaan antara rukun, wajib, dan sunnah.
وَظَهَرَ
مِنْ كَلَامِ الْمَتْنِ الْفَرْقُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْوَاجِبِ وَالسُّنَةِ

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Cara Mengusir Setan dan Iblis





Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top