Fabel

KISAH CICAK DAN BUAYA (oleh : aguskarianto)


gambar : agus karianto

             Dahulu kala, ada cecak hidup bertetangga dengan buaya. Si cecak punya kebiasaan jelek. Dia tidak pernah mensyukuri rezeki makanan yang didapatnya. Meskipun memperoleh rejeki banyak, dia selalu protes kepada siapa saja yang ditemuinya. Apalagi saat dia tidak mendapat rejeki secuil pun. Dia akan melampiaskan kemarahan kepada siapa saja yang ditemuinya. Cacian dan sumpah serapah selalu keluar dari mulutnya. Terkadang dia menyalahkan Tuhan. “Tuhan memang tidak adil,” katanya. “Kenapa aku cuma bertubuh kecil? Kenapa kakiku diberi lem perekat? Aku khan jadi sulit berlari mengejar mangsaku? Kenapa aku hanya bisa berjalan merayap di tembok-tembok? Sementara teman-temanku bisa berlarian di darat? Uuuhhhhh….memang Tuhan tidak adil dalam menciptakan aku,” gerutu si cecak.
            Malam itu, si cecak pergi mencari makanan. Namun, sejak sore hingga tengah malam  ia tidak mendapatkan makanan sepotongpun. Ia terus berkeliling ke setiap sudut tembok, namun sia-sia. Tidak ada sepotong makananpun yang dijumpainya.
            “Sialan!,” ia mulai menggerutu dalam hati. “Beginilah kalau kakiku dipenuhi  lem perekat. Aku kesulitan mencari makan. Uuuuhhhh……dasar!”
           Dan tidak jauh dari tempat si cecak mencari makanan, ada seekor buaya yang sejak tadi memperhatikannya. Si buaya tersenyum  melihat si cecak selalu menyesali nasibnya. “Tidak seharusnya dia berkata begitu,” kata si buaya. “Tuhan tidak pernah salah design dalam menciptakan semua makhluk-makhluk-Nya. Tuhan menciptakan makhluk-Nya tentu sudah disesuaikan dengan cara mereka akan memperoleh makanannya. ,” lanjut si buaya .

           “Hei, cicak…kenapa kamu selalu marah-marah begitu?” teriak si buaya. “Setiap hari kok kerjamu menyesali nasibmu melulu. Kamu sama sekali tidak pernah bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan tubuhmu.”
            Si cicak tidak menjawab pertanyaan buaya.  Sebaliknya, kedua matanya menatap tajam ke sekeranjang makanan yang ada di hadapan buaya. Melihat banyak makanan membuat air liurnya keluar.  Kemudian dia mencoba mendekati si buaya. Lalu dia mulai merayu si buaya agar memberikan sedikit makanan yang ada di hadapannya.
           “Waaaah…makananmu banyak sekali, pak buaya,” kata si cicak. “Bagi-bagi dong…aku sedang kelaparan, nih. Seharian belum mendapatkan makanan
           “Hah…kamu minta makananku?!,” teriak pak buaya. “Tidak bisaaa…tidak bisaaa…tidak boleeeeh! Sebab makanan ini bukan milikku. Aku cuma bertugas menjaganya saja. Buah-buah ini milik tuanku. Aku tidak berhak memberikan sebuahpun kepada siapa saja. Aku takut melanggar janji. Aku takut dianggap berkhianat. Aku takut dosa, kawan,” kata si buaya memberi alasan.
          “Yaaaaa….minta sebuah saja masa nggak boleh? Buah di hadapanmu khan banyak tentu kalau berkurang satu saja pasti tuanmu tidak akan tahu!
          “Eitsss…sekali tidak boleh ya tidak boleh…aku takut dianggap sebagai pengkhianat,” kata pak buaya.
          “Pak Buaya, aku sedang kelaparan, nih. Bukankah menolong teman yang sedang kelaparan akan mendapat pahala dari Tuhan. Ayo dong beri sebuah saja. Pasti Tuhan akan memberi pahala yang buaaannnyaaaakk kepadamu,” demikian rayu si cecak.
          “Waaahhh ya nggak bisa begitu, cicak! Kalau amanah ya tetap amanah. Apapun alasannya. Kamu jangan membuat aku melakukan perbuatan dosa, ya.”
          “Lhoooo…menolong teman yang sedang kelaparan kok dikatakan berbuat dosa ,” kata Cicak terus merayu.
          “Tapi makanan ini bukan milikku, cicaaaak!” kata pak buaya mulai jengkel. “Aku dilarang memberikannya pada siapapun. Apapun alasannya. Itu saja. Jadi aku takut melanggar sumpah. Apakah kamu tidak mengerti juga?”
          Si cicak semakin sewot. Seluruh rayuannya tidak bisa mengubah pendirian buaya. Ia masih mencari cara lain agar si buaya mau memberikan makanan yang dijaganya.
          “Hehehehe…iya dechhhh…waahhhh aku kagum terhadap keteguhan sikapmu menjaga amanah tuanmu, kawan,” kata cecak memulai rayuannya. “Aku mengaku salah dechhh….. Aku tadi cuma mau mengujimu saja, kok. Dan kini aku sadar, aku akan belajar kepadamu agar aku bisa memiliki sikap sepertimu. Aku ingin menjadi makhluk Tuhan yang punya sikap amanah sepertimu. Tapiiiii…. maukah kamu mengajariku, pak buaya?”

          “Heemmmmm,” si buaya agak curiga dengan perubahan sikap si cicak.

          “Benar, pak buaya. Aku merasa bersalah. Aku merasa berdosa mencoba membuat kamu jadi berkhianat. Sekarang aku ingin belajar darimu. Aku ingin punya pendirian kuat sepertimu. Aku ingin merobah sikapku yang salah. Aku ingin memiliki sikap amanah sepertimu. Aku ingin berubah, kawan.”
          Rupanya pak Buaya mulai luluh hatinya. Ia mulai merasa iba pada perobahan sikap si cecak. Ia akhirnya mulai percaya dan  hanya berpikir positif terhadap perubahan sikap si cecak. Oleh karena itu, ia menyatakan bersedia mengajari si cecak.
          “Terima kasih, pak buaya. Terima kasih….terima kasih….ayoooo… kita segera mempraktekkan pelajarannya sekarang saja ,” kata si cicak kegirangan.
           Pak buaya merasa senang dengan sikap si cecak yang penuh semangat ingin menjadi teman yang amanah dan memiliki tanggung jawabterkejut mendengar kegembiraan si cecak dan ingin langsung mempraktekkan saat itu juga.
          “Hah….mempraktekkannya sekarang juga?,” kata pak buaya keheranan. “Kenapa harus secepat itu kamu ingin belajar dariku?”
          “Yaaaa iyalah…khan aku kepingin secepatnya merobah sikap menjadi amanah sepertimu ! Kalau ditunda-tunda nanti aku bisa berobah pikiran.” kata si cicak.
           Si buaya berpikir, kalau si cecak berubah pikiran tentu ia tidak bisa lagi punya kesempatan merobah sikap jeleknya. Nah, mumpung ia bersemangat mau belajar maka ia menyetujui saja saran si cecak.
          “Baiklah kalau begitu,” kata buaya. “Kita mulai belajar darimana, kawan?”
          Si cecak tertawa senang. “Akhirnya aku bisa menjalankan tipu muslihatku,” pikir si cecak. Dia sebenarnya berpura-pura ingin belajar merobah sikap kepada pak buaya. Namun tujuan sebenarnya adalah ingin menguasai makanan yang sedang dijaga si buaya. Dan ternyata akal liciknya mulai menemui keberhasilan. Kemudian, dia menyarankan agar pelajaran pertamanya adalah belajar menjaga makanan yang ada dihadapan buaya.
         “Begini, Buaya. Aku ingin belajar memiliki sikap amanah dengan menjaga makanan di hadapanmu itu. Kamu bisa mengawasiku dari jauh. Bukankah kamu sudah lama menjaganya. Tentu kamu merasa capek, khan? Nah, sekarang kamu bisa istirahat. Biarlah makanan-makanan ini aku yang menjaganya.”
          Sebenarnya ada sedikit keraguan di hati pak buaya. Sebab dia harus pergi menjauhi makanan yang ia jaga dan ia harus mengawasinya dari kejauhan. Namun, ia percaya dan yakin bahwa  si cicak tidak mungkin berani berbohong padanya. Bukankah dia sudah insyaf dan mulai belajar memiliki sikap amanah? Lagian, dia hanyalah hewan kecil. Kalau sampai berani berbohong maka pak buaya akan memukul tubuh si cecak  dengan ekornya sampai tewas.
         “Tapi ada satu permintaanku, Cicak.” kata pak buaya. ” Bila sewaktu-waktu pemiliknya datang maka kamu harus berpura-pura menjadi aku lho…kamu harus memegang amanah. Jangan suka berdusta.” lanjut pak buaya. Pak buaya hanya mengawasinya dari kejauhan.

         “Iyaaaa…iyaaaa… pak buaya, ayo segeralah beristirahat di kejauhan sana!” bentak si cicak sambil berjalan menuju ke sekeranjang makanan di depannya.
         Si cicak tertawa dalam hati. Kini dia berhasil mengelabui pak buaya. “Dasar buaya tolol…akhirnya aku bisa menipunya,” pikir si cecak. Lalu si cicak mulai merencanakan menghabiskan makanan di hadapannya tanpa sepengetahuan pak buaya. Namun, ia masih menunggu kesempatan yang tepat yaitu pada saat pak buaya sudah tertidur.
         Beberapa saat kemudian ketika si buaya benar-benar sudah tertidur, lalu si cecak cepat-cepat mendekati sekeranjang makanan yang dijaganya. Dia mulai memilih makanan yang terlezat untuk disantapnya.
         Namun, ketika si cecak akan melaksanakan niatnya, tiba-tiba dari kejauhan datanglah seekor singa mendekat sambil bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak.
          “Hohoho…hihihi…hahahaha…huhuhuhuu…aku datang…aku dataaaaannngggg aku datang….Pak Buaya aku datang……pak buaya aku datang….Pak buaya aku mau mengambil makananku,” teriak pak singa.
        Si cicak nyalinya menjadi ciut melihat kedatangan si singa. “Hah …pemilik makanan ini ternyata Pak Singa? Gawaaatttt!!!! Bagaimana ini?!” pikir si cecak ketakutan. Maka niat ingin menghabiskan makanan di hadapannya akhirnya batal. Dia kini merasa ketakutan menghadapi pak singa. Ia berniat mau melarikan diri, namun tubuhnya bergetar ketakutan. Dia sulit menggerakkan kakinya. Dia berpikir kalau sampai pak singa tahu bahwa yang menjaga makanannya bukan pak buaya maka pak singa akan marah besar. Dan ia ingat pesan pak buaya bahwa bila pemiliknya datang maka ia harus berpura-pura menjadi pak buaya.
          “Tapi tubuhku kecil,” pikir si cecak. “Lalu bagaimana caranya agar aku bisa berpura-pura menjadi buaya dalam waktu sesingkat ini? Aduuuuhhhhh….gawat si singa semakin dekat saja.” kata si cicak makin resah dan ketakutan.
           Si cicak semakin kebingungan. Dan tanpa pikir panjang ia segera minum air sungai di hadapannya sebanyak-banyaknya. Dia berpikiran bahwa dengan minum air sebanyak-banyaknya maka tubuhnya akan membesar menyamai tubuh pak buaya. Dia tidak memikirkan  akibatnya. Dia cuma berusaha menyelamatkan diri dengan cara menyamai bentuk tubuh pak buaya.
          Namun, rupanya usaha si cicak berhasil. Kini tubuhnya nampak membesar berisi air. Tubuhnya sekilas nampak seperti tubuh pak buaya. Tapi, akibat memaksakan diri minum air sebanyak-banyaknya membuat daya tahan tubuhnya mulai melemah. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dan tidak berapa lama tubuhnya mulai mengambang di permukaan air. Ia telah mati sebelum bisa menikmati makanan yang dijaganya.
          Sementara itu, pak singa nampak senang melihat makanannya masih utuh.Tidak ada secuil makanan pun yang hilang. Dia bangga dengan sikap amanah pak buaya dalam menjaga makanannya. Dia senang dengan kejujuran pak buaya. Untuk itu, pak singa memberikan hadiah beberapa biji buah kepada pak buaya agar bisa dinikmati bersama keluarganya. Pak buaya gembira menerima hadiah sambil terus memandangi tubuh si cicak yang semakin menjauh terbawa arus sungai.

selesai

sumenep, 3 nopember 2012

moral cerita : Memegang amanah adalah perbuatan yang mulia. Sedang kelicikan akan membawa petaka
                     kepada siapapun yang melakukannya.


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Paling Populer

To Top