Demi Tata Krama Kepada Raja Konon di Zaman Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang ada cuma sungai atau kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja merasa perutnya sedang sakit, dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak kompromi. Seketika itu juga raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.
Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan. Dan Sudah masyhur di kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di khawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang raja. Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang raja.
Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh kocak Abu Nawas, Abu Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, sehingga sang raja tidak melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba – tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah terkejutnya, ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.
kontan saja hal itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan menangkap orang yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan santainya. Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan raja untuk di hukum.
Ketika di hadapkan pada raja, Abu Nawas memprotes pada raja kenapa dia di tangkap dan akan dihukum.
Raja pun menjawab : ”Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Nawas, perbuatanmu itu telah melecehkan privasiku, kamu telah menginjak – injak harga diriku, kamu memang tidak punya tata krama !!! bentak sang raja. “Berani – beraninya kamu berak di sebelah utaraku, sehingga kotoranmu mengenai badanku, selama ini tidak pernah seorangpun dari rakyatku berani melakukan perbuatan sepertimu” wahai Abu Nawas” Tambah sang raja dengan nada sangat kesal. “Kini kamu harus menerima hukuman dariku”
“Maaf, tunggu sebentar wahai raja ” sela Abu nawas. “Ada apa? tanya raja, “kali ini tidak ada lagi ampun bagimu Abu nawas” “Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya. “Saya melakukan itu semua, karena saya sangat menghormati engkau wahai raja” mendegar hal itu, raja harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh abu nawas.
“Lho perbuatan seperti itu , kamu bilang malah untuk menghormati aku???” tanya raja dengan ekspresi agak sedikit keheranan. “Ya benar raja ” jawab abu nawas dengan tegasnya. Rajapun semakin keheranan dan penasaran dengan abu nawas. “Baiklah kali ini aku kasih kamu kesempatan untuk menjelaskan alasannya, jika alasanmu tidak masuk akal maka aku tidak segan – segan untuk memperberat hukumanmu.”
“Baiklah raja, begini alasannya. Raja tahu, selama ini jika raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal , tidak ada satupun dari rakyat atau pengawal raja yang berani mendahului jalannya raja, begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan raja , posisi saya ketika berjalan tidak berani mendahului raja, itu saya lakuakan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada raja”
“Ya bagus, lha terus apa hubungannya dengan perbuatanmu yang sekarang ini??” tanya raja dengan nada semakin penasaran dengan akal cerdik abu nawas. “Begini raja, saya menghormati engkau tidak setengah – setengah, melainkan saya menghormati engkau dengan sepenuh hati . Ketika saya buang hajat , saya memilih di sebelah utara raja, dan sama sekali , saya tidak berani berak berada di sebelah selatan raja. Hal ini saya lakukan karena saya kuatir, jika saya berak di sebelah selatan raja, maka nanti kotoran saya berlaku tidak sopan kepada kotoran raja, karena sudah berani berjalan mendahuli kotoran raja.
sehingga saya memilih berak di sebelah utara, agar supaya kotoran saya tidak sampai mendahului kotoran raja. Ini semua saya lakuakan tidak lain, hanya demi Tata krama saya kepada kotoran raja. Terus terang wahai baginda, kotoran saya tidak berani mendahului kotoran raja, karena hal itu merupakan perbuatan su’ul adab. Ketika raja berjalan, saya tidak berani mendahului jalan raja, begitu juga ketika kotoran raja mengalir, maka kotoran saya pun tidak berani mendahului kotoran raja.
Ini semua saya lakuakn karena Sopan santun dan tata krama saya yang sepenuh hati kepada raja.” “Malah yang seharusnya diberi hukuman bukan saya wahai raja , melainkan rakyat engkau yang tidak punya tata krama, karena mereka berani berak di sebelah selatanmu, sehingga kotoran mereka mendahului kotoranmu. “ Mendengar penjelasan Abu nawas, raja pun tersennyum. dia tidak jadi marah dan menghukum Abu nawas, tetapi oleh sang raja Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal. Sejak kejadian itu, raja pun menginstruksikan kepada rakyatnya untuk berak di sebelah utara sang raja, demi menjaga kesopanan kepada kotoran sang raja.
Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu
Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar kepada shahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: “tidak mau ruku’ dan sujud dalam shalat.” … Lebih-lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa, … “khalifah yang suka fitnah!” … Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar syariat Islam dengan menebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung, ada seorang pembatunya yang nampaknya biasa-biasa saja (orangnya sangat besahaja) memberi saran, … hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu kepada Abu Nawas. Tak berapa lama, … Abu Nawas pun dipanggil dan digeret menghadap Khalifah, … Kini, ia menjadi pesakitan. “Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” .. tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, “Benar Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, “Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, … “Benar Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan suara yang menggelegar, “Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menerbarkan fitnah tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, … “Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya, kabar yang sampai padamu tidak lengkap, … kata-kataku diplintir, … dijagal, … seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, … “Apa maksudmu, jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya!”
Abu Nawas beranjak dari duduknya, dan menjelaskan dengan tenang, … “Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam shalat apa? … Waktu itu, aku menjelaskan tata-cara shalat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
… “Bagaimana soal aku yang suka fitnah?”, … tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, … “Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat al-Anfal, yang berbunyi “ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu.” Sebagai khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka “fitnah” (ujian) itu.” … Mendengar penjelasan Abu Nawas yang juga kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.
Rupa-rupanya kedekatan Abu Nawas dengan khalifah Harun al-Rasyid menyulut rasa iri dan dengki di antara pembatu-pembatu khalifah lainnya. Kedekatan hubungan ini nampak ketika Abu Nawas memanggil Khalifah Harun al-Rasyid dengan kata “ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan lagi seperti hubungan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutar-balikkan berita.
Perjalanan Abu Nawas dalam Pencarian Allah
Abu Nawas memang sudah terganggu akal fikirannya. Banyak persoalan mengenai mengenal diri masih belum terjawab. Makin banyak dia berusaha makin banyak lagi persoalan yang timbul. Sahabat handai sudah mula berkata-kata yang Abu Nawas kurang siuman.
Namun begitu Abu Nawas tidak mengindahkan mereka. Yang penting dia akan sampai ke matlamatnya yaitu mengenal diri dan Tuhannya. Kini Abu Nawas terus berusaha dan cuba menempatkan dirinya sebagai fakir iaitu orang yang berjalan mencari Tuhan.
Setiap hari dia berbaju putih dari kain yang agak kasar. Mengikat kepala dengan serban putih, berseluar putih dan bahkan segala-galanya putih. Kemana-mana dia berjalan kaki. Dia tahan tidak makan kerana dia beranggapan apabila kurang makan maka dia kan dapat mengawal nafsunya. Nafsu perlu dikawal untuk perjalanan bertemu Tuhan katanya. Setiap orang yang dijumpainya diajaknya senyum. Tingkah lakunya tidak ubah seperti cerita sufi di zaman Andalusia.
“Saya mesti bersih kerana Allah itu juga bersih. Saya juga mesti didalam keadaan berwuduk, sebab Allah adalah Maha Suci. Dan Allah juga Maha Pengasih, sebab itulah aku melihat orang dengan senyuman”.
Melihat tingkah lakunya yang demikian, maka orang-orang yang tidak mengerti sudah menilai Abu Nawas sebagai seorang sufi. Atau setidak-tidaknya orang berkata bahawa dia seorang ahli tasawwuf. Padahal dia baru bertarekat berjalan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang Guru Mursyid atau Syeikh, apalagi tidak merujuk kepada Al Qur’an dan Hadith sebagai pegangan utama. Sudah pasti dia akan sesat jalan. Bahkan fikirannya terganggu seperti orang yang kurang siuman.
Didalam perjalanan ini, ada juga orang yang meminum air tongkat gurunya dan bahkan ada yang menginap tujuh hari tujuh malam di makam guru. Itu pun sudah dilakukan oleh Abu Nawas. Abu Nawas sudah semakin jauh dari tujuan asalnya. Namun begitu, Abu Nawas masih tetap pada pendiriannya bahawa menginap di makam para Wali sebagaimana orang lain melakukannya mungkin ada kebenarannya.
Dengan tiba-tiba dia berteriak, “Memang gila !”. Orang-orang yang berada disekelilingnya terperanjat dan melihat kepadanya. “Apanya yang gila Abu ?” Tanya mereka yang sama-sama menginap di makam wali itu. “Cuba kamu lihat ayat ini”, tunjuk Abu Nawas kepada mereka tentang sepotong ayat dari tafsif Al Qur’an yang dipinjamnya dari penjaga kunci makam tersebut.
“Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan kami mengetahui apa-apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Qaf, 50:16)
“Jadi kenapa ?”, tanya mereka yang hadir. “Memang kamu semua lembab fikiran ! Kan ayat ini mengatakan bahawa pada setiap umat manusia ada Allah. Pada saya ada Allah, pada kamu juga ada Allah. Bukankah Allah menjadi Maha Banyak. Padahal semua guru mengatakan bahawa Allah itu Maha Esa”.
Mereka semua tercengang dan terdiam. Didalam hati masing-masing mereka berkata betul juga kata orang gila ini. Yang lain-lainnya ada juga berpendapat tidak mungkin Allah itu banyak. Kalau Allah itu banyak, maka Allah akan bergaduh sesama sendiri. Bukankah Nabi Ibrahim pernah bertanya soalan yang sama kepada bapanya. Yang hadir semua berfikir dan ada yang akan bertanya kepada gurunya nanti.
Bagi Abu Nawas bertambah lagi satu penyakit dalam dirinya. Pertanyaan yang tersimpan dan tidak terjawab akan membuatkan seseorang semakin terganggu saraf pemikirannya. Namun begitu yang semakin parah adalah apabila orang awam sudah mula menghormati Abu Nawas sebagai seorang Syeikh. Kata mereka memang orang-orang yang hampir dengan Tuhan tidak boleh difahami dan selalu bersikap eksentrik.
Ketika Abu Nawas asyik termenung memikirkan persoalannya, tiba-tiba dari sebelah kanan datang seseorang berbisik kepada Abu Nawas. “Bermohonlah kepada Allah untuk mendapatkan kemudahan dan bimbingan. Mudah-mudahan nanti seorang Guru akan datang untuk menjawab pertanyaan yang merungsingkan kamu”. Kemudian orang itu terus menghilang.
RENUNGAN:
Ambillah pelajaran yang betul dari perjalanan Abu Nawas ini. Gilaplah cermin diri kita untuk kembali kepada Tuhan.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menjelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. “Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama.”
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon menurut pandangan orang yang awam tetapi bukanlah sebuah lelucon bagi seorang Wali Allah, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.