Kiai Basyir, Mursyid Bagi Kami
Oleh: Fathor Rahman Jm (dosen IAIN Jember)
Saat itu, pertengahan Juli tahun 2003, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Latee setelah sebelumnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren di Kecamatan Guluk-Guluk itu.
Keputusan itu saya ambil dengan pertimbangan di antaranya banyak alumni Annuqayah yang saya temui sebelumnya banyak memberikan pencerahan kepada saya dalam persoalan-persoalan sosial keagamaan. Kebanyakan gaya komunikasi alumni Annuqayah yang saya kenal saat itu juga sederhana, akrab, dan santun. Salah satu alumnus Annuqayah yang paling saya kenal baik waktu itu adalah KH. Abdul Muqit Arief, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, di mana saya menempuh pendidikan selama tiga tahun.
Dari Kiai Muqit inilah saya mendengar tentang kealiman dan kharisma KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad. Bahkan, saya tahu sendiri, ketika Kiai Muqit mendapatkan panggilan telepon dari Kiai Basyir, jawaban kiai Muqit sangat santun, nadanya rendah, dan sikapnya membungkuk. Seakan-akan Kiai Basyir berada di hadapannya. Dari situ saya dapat merasakan bahwa Kiai Basyir bukanlah tokoh kebanyakan, meskipun saya belum pernah melihat langsung sosok beliau. Hal yang sama juga saya alami ketika saya berjumpa dengan tokoh-tokoh hebat yang kebetulan alumnus Annuqayah.
Hari pertama di Annuqayah itu, kami bertiga, saya, kakak, dan paman saya, bermaksud “menitipkan dan memasrahkan” saya kepada Kiai Basyir untuk menjadi salah satu santri di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Latee.
Sebelum menuju kediaman Kiai Basyir, saya membayangkan sosok kiai yang kharismatik dengan penampilan yang luar biasa, dengan pelayanan yang tidak sederhana, dan menempati rumah yang mewah. Ternyata bayangan saya tersebut salah total setelah saya tahu kediaman kiai.
Kediaman kiai terletak di pojok barat daya mushalla dan belakang deretan pondok santri. Saya belum begitu yakin kiai dengan nama besar dan kharisma yang menggema ke penjuru negeri, kediamannya tidak lebih bagus dari asrama santri. Karenanya, waktu itu saya bertanya berkali-kali kepada beberapa santri untuk meyakinkan diri bahwa itu adalah kediaman kiai. Ternyata benar, itulah kediaman kiai. Meski tidak bagus dan mentereng, namun sangat bersih dan sejuk.
Di depan pintu gerbang, kami ucapkan salam. Ada seorang santri, mungkin abdi dalem, menjawab salam, menyambut, dan mempersilahkan kami masuk dan duduk di ruang tamu yang menyerupai langgar kecil.
Tidak lama berselang, seorang yang sudah sepuh, bersarung, memakai baju putih, dan peci putih. Sangat sederhana. Batin saya bertanya-tanya, apakah ini Kiai Basyir yang sangat terkenal dan ditakdhimi itu? Sejurus kemudian pikiran saya buyar lantaran pertanyaan dari orang di hadapan saya itu.
“Dari mana?” tanyanya dengan menggunakan bahasa Madura halus.
Kami jawab, “Dari Jember, Silo, Pace.”
Kami jawab, “Dari Jember, Silo, Pace.”
“Dekat dengan Kiai Jauhari dan Kiai Mahmud Toyyib, ya?” tanyanya singkat dengan tetap memakai bahasa Madura dan suara lirih.
Kami pun menjawab dengan singkat, “Engghi! ” dengan suara yang juga pelan.
Waktu itu dalam pikiran saya tetap penuh tanya. Saya lihat demikian juga dengan kakak dan paman saya. Begitupun ketika tuan rumah mengangkat kaleng kue dan menyuguhkan kue kepada kami, “Ngireng pondhut, dhe’er! (Ayo ambil, makan!” pintanya.
Kami pun mengambil kue itu dan setelah itu tuan rumah bergegas ke belakang dan meminta seseorang untuk menyediakan kopi bagi kami. Kami bertiga saling berpandangan. “Itu Kiai Basyir, ya?” kakak bertanya. Saya mengangkat kedua bahu saya tanpa kata, sedangkan paman saya menjawab, “Saya juga nggak tahu.”
Itulah kesan pertama saya berjumpa dengan guru yang luar biasa itu. Lantaran penampilan dan sikapnya yang sangat sederhana, saat itu kami tidak sadar sedang berhadapan dengan seorang ulama kharismatik, alim, istikamah, dan banyak melahirkan intelektual Islam di Nusantara.
Tidak hanya sampai di situ, beberapa bulan saya tinggal di Annuqayah, saya tahu, beliau menyiapkan sendiri keperluan-keperluan pribadinya; menjahit sendiri sandalnya, mencuci sendiri pakaiannya, dan memperbaiki sendiri jendela kamarnya yang kropos dimakan rayap. Dan selama saya mondok di sana sekitar lima tahun, saya belum pernah menjumpai beliau bolong mengimami salat berjamaah, kecuali beliau sedang sakit parah atau bepergian jauh.
Karena itu, saat ini saya bisa memahami ketika beberapa alumni Annuqayah, seperti Kiai Muqit Arief (Pengasuh PP Al-Falah Silo Jember dan Wakil Bupati Jember) dan Kiai Hodri Ariev (Pengasuh PP Bahrul Ulum Silo Jember, intelektual muda NU, dan pengurus RMI PBNU) menyatakan bahwa Kiai Basyir Abdullah Sajjad adalah mursyid bagi kami.
Selamat jalan, Kiai. Selamat jalan, mursyid kami. Akuilah kami sebagai santrimu hingga di akhirat nanti.
(*)
Beliau berusaha menyelsaikan sendiri keperluan keperluan di rumah beliau
Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/
Penerbit Buku Buku Islam.
Oleh: Rijal Mumazziq Z
(Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.