Saya ada janji dengan teman banker untuk meeting di sebuah Hotel. Dengan menggunakan taksi saya menuju tempat meeting itu. Saya merasakan kendaraan berjalan dengan lambat dan tidak stabil.
“ Bapak engga apa apa ? Tanya saya dengan kawatir.
“ Eh ya pak. Engga apa apa.” Kata supir dengan terkejut.
“ Kenapa jalannya lambat.?
“ Ya pak. Maaf saya sempat bengong tadi. Baik pak. “ katanya kendaraan kembali melaju dengan agak cepat.
“ Bengong kenapa ?
“ Hmmm “ Terdengar seperti ragu untuk mengatakannya. Saya diamkan saja.
“ Saya bingung dengan anak saya. ” katanya kemudian. ” Sudah saya bilang engga usah melanjutkan ke universitas. Tetapi dia tetap ngotot juga. Seminggu lalu dia diterima di universitas negeri. Saya engga punya uang untuk bayar.” Katanya. Saya diam saja. Bayangan saya ada seorang anak yang sedang bertarung dengan nasibnya. Untuk masa depannya. Tanpa sedikitpun mengkhawatirkan akan keadaan ayahnya yang tidak ada uang. Tekadnya untuk sekolah lebih karena ingin perubahan terhadap nasib keluarganya.
“Anak bapak terima dimana ? Tanya saya kepada supir taksi.
‘ Ini pak. “ Kata supir taksi itu memperlihatkan dokumen kepada saya. Itu dokumen dari universitas yang menyatakan putranya lulus test. Dan syarat yang harus dipenuhi.
“ Pak, ini ada uang dollar. Bapak tukar di money changer. Jumlahnya cukup untuk bayar uang kuliah anak bapak” Kata saya ketika hendak turun. Di tas saya memang selalu ada uang dollar.
“ Dan ini ongkos taksi saya.” sambung saya. Keluar dari taksi itu. Supir taksi itu mengejar saya “ Kenapa bapak bantu saya?
“ Bukan saya. Tetapi Tuhan. Itu uang titipan Tuhan. Semoga bermanfaat. Saya doakan agar anak bapak bisa terus kuliahnya.”
Supir taksi itu menyalami saya dengan airmata berlinang. Saya pun berlalu. Bagi saya, putranya pantas mendapatkan itu. Dan selanjutnya tentu proses tidak mudah bagi dia yang miskin untuk jadi sarjana. Ayahnya memang mengeluh dengan keadaan tetapi tidak menadahkan tangan. Itu pesan cinta dari Tuhan kepada saya. Dan lagi putranya terima di perguruan tinggi Negeri. Tidak mudah orang bisa masuk PTN. Lah saya aja gagal.
***
Saat saya datang, Aling sudah lebih dulu datang bersama banker. Saya hanya mendengar saja.Yang bicara Aling. Usai pertemuan, saya minta uang cash ke Aling. Karena uang tunai di tas selempang saya habis. Aling serahkan uang tunai satu ikat yang masih ada seal bank.
“ Tadi saya berikan uang ke supir taksi untuk bantu uang kuliah anaknya. “ kata saya.
“ Semua ? Aling berkerut kening.
“ Ya berapa yang ada di tas, itulah yang saya berikan” Kata saya polos.
“ Kenapa segitunya. ?
“ Orang tua saya menasehati saya. Ada tiga hal yang kalau orang datang minta tolong tidak boleh menghindar, yaitu bayar sewa rumah, bayar biaya pendidikan, bayar biaya kesehatan.”
“ Mengapa ?
“ Karena dia menggadaikan kehormatannya. Kehormatan itu diberikan Tuhan kepada dirinya. Karena tidak ada lagi yang dia miliki maka itulah yang dia gadaikan. Kalau sampai saya tolak maka itu sama saja saya menolak kehadiran Tuhan. Tak pantas saya menyembah Tuhan. Saya bukan orang kaya. Juga bukan orang mudah keluar uang untuk hal yang engga jelas. Tetapi untuk tiga hal itu, saya tidak bisa menolak.”
Aling termenung.
“ Sejak berlakunya UU No. 12/2012 memang terasa mahal uang kuliah. Mahalnya UKT tentu ada hitungannya. Tetapi jelas hitungannya laba. ” Kata saya.
“ Padahal kalau berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 53 ayat (3) walau berstatus badan hukum namun tidak boleh keluar dari prinsip nirlaba. Status badan hukum itu lebih kepada cara mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan, ya sejalan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. “ Kata Aling.
“ Namun sejak UU No.12 Tahun 2012, Pendidikan Tinggi menjelma menjadi lembaga kapitalis.. Entah apa landasan konstitusi dari UU ini. “Kata saya.
” Nah kalau begitu adanya. Sudah seharusnya Perguruan Tinggi negeri maupun swasta berpikir smart menyiasati sistem pendidikan yang ada sekarang. “
” How ? tanya saya antusias ingin tahu solusi.
” Ya ubah bisnis model. Jangan lagi bergantung 100% kepada uang kuliah saja. Tetapi diversifikasi kepada jasa riset, media sains dan vokasi. Tentu syaratnya kampus harus punya spesialisasi bereputasi nasional dan internasional. Misal UI, reputasi bidang ekonomi. ITB bidang Teknik. Cobalah create bisnis yang bisa jadi sumber income bagi Kampus. Dan ini engga perlu ongkos mahal. Mahasiswa bisa dilibatkan dalam bisnis process, yang juga bisa sebagai proses belajar bagi mereka.” Kata Aling menyampaikan solusi praktis.
“ Tepat sekali. Saya tidak pernah masuk Perguruan tinggi dan pasti tidak sarjana. Tetapi saya punya sertifikat kursus dari Universitas kelas dunia seperti Cambridge di London, Erasmus university Rotterdam, Finance and baking di PolyU, Hong kong. Biayanya memang mahal tetapi untuk orang bisnis yang butuh berkembang, biaya itu tidak ada masalah. Sumber income universitas dari kursus atau vokasi ini tidak kecil. Sangat besar. Pesertanya dari seluruh dunia.
Perusahaan saya di Hong Kong juga kontrak dengan kampus dalam hal desk research berkaitan dengan perkembangan teknologi terupdate. Perusahaan dikenakan biaya tetap bulanan sedikitnya USD 200 untuk dapatkan buletin setiap bulan. Buletin dikirim via email dan bisa juga di download lewat web. Dan biaya khusus sesuai dengan luasnya cakupan desk riset. Salah satu kampus di inggris, punya 400.000 member korporat sebagai clients. Hitung aja berapa per bulan mereka dapat income member fee
Nah biasanya kampus menawarkan program filantropi kepada clients Corporate untuk ambil bagian dalam subsidi biaya pendidikan. Umumnya promosi filantropi ini dibantu oleh almamater. Corporate tidak keberatan selagi data mahasiswa valid dan dilaporkan perkembanganya secara terupdate. Apalagi tawaran beasiswa itu termasuk paket rekruitmen terhadap mahasiswa setelah lulus. Bagi corporate, subsidi beasiswa lewat CSR itu cara mudah dan murah dapatkan SDM berkualitas.” Kata saya.
” Jadi kalau dikelola dengan baik atau well organise, diversifikasi income itu sangat besar bagi kampus. Bahkan bisa lebih besar dari bersandar kepada uang iuran kuliah. Ya, kampus di era sekarang seharusnya dikelola secara modern, dan itu 60% lebih income berasal dari jasa desk riset, media sains, vokasi” Kata Aling menyimpulkan.
“Apa Universitas engga mikir solusi. Kan mereka well educated. ” Aling menggeleng gelengkan kepala. Sepertinya dia membayangkan masa depan anak anak dari sistem pendidikan yang ada. Entah bagaimana kelak. Seharusnya tidak perlu terjadi mahasiswa gagal jadi sarjana hanya karena tidak ada biaya. ” Dampak biaya UKT yang mahal, membuat Angka Partisipasi Kasar Perguruan atau APK akan drop. APK pada 2024 yakni 39% something di bawah rata-rata global yang 40%. Bahkan, lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Artinya, masih ada 67% siswa lulusan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi.” Sambung Aling.
” Sementara SD dan sekolah lanjutan dari sistem pendidikan yang kita jalankan kualitasnya rendah. Tahun 2022, survey PISA yang dirilis OECD, skor kemampuan matematika pelajar Indonesia sebesar 366 poin, menempati urutan keenam di Asia Tenggara. Namun, skor ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 secara global, termasuk dalam 12 terbawah. Dibanding negara-negara ASEAN lain, Indonesia kalah dengan Thailand, Malaysia dan Brunei Darussalam. Masa depan yang suram memang. Tamat SLTA low grade. Mau kuliah mahal ” kata saya. Dan akhirnya dia terdiam dan saya termenung.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.