Uncategorized

Jika kauturuti mayoritas orang, mereka akan menyesatkanmu (Qs. al-An'am: 114-121)




Bismillahirrahmanirrahim


JIKA KAUTURUTI MAYORITAS ORANG, MEREKA AKAN MENYESATKANMU
 

(Qs. al-An’am: 114-121)

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي
حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ
الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُونَنَّ
مِنَ الْمُمْتَرِينَ (114)
Artinya, “Maka patutkah aku mencari
hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an)
kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan Kitab kepada
mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan
sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”


Diriwayatkan, bahwa asbab
nuzul
ayat ini adalah perkataan kaum kafir Quraisy kepada Nabi
r, “Tunjuklah seorang
hakim (yang memutuskan perkara) antara kita denganmu. Terserah kamu, apakah
dari para pendeta Yahudi atau Nasrani, agar mereka memberitahu kami perihal
dirimu dalam kitab-kitab mereka yang memuat perihal dirimu.” Maka, turunlah
ayat ini, yang mencela pilihan mereka, sebab sungguh tidak pantas mencari hakim
lagi selain Allah jika Allah telah memutuskan perkara-Nya. Ini adalah kekufuran
yang sangat nyata. Sikap serupa ditunjukkan sebagian orang – dewasa ini – yang mencoba
mencari-cari “hukum alternatif” selain hukum Allah, terutama tatkala melihat
bahwa kepentingan dan rencana mereka tidak bisa terakomodir di dalamnya. Pada
dasarnya, mereka tidak percaya kepada hukum Allah, dan hendak menjadikan hawa
nafsu serta selera pribadinya sebagai tuhan. Nafsu itulah tuhan dan agama
mereka yang sebenar-benarnya. Na’udzu billah!
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ
صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(115)
Artinya, “Telah sempurnalah kalimat
Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah
kalimat-kalimat-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Menurut para ahli tafsir, yang
dimaksud “kalimat Tuhanmu” adalah: (a) Al-Qur’an, (b) keputusan perkara
dan segala jumlah/bilangan yang telah ditetapkan-Nya, (c) janji, ancaman,
pahala dan siksa-Nya. Maka, jika sudah ditetapkan oleh Allah, tidak ada lagi
pergantian dan perubahan, kecuali jika Allah sendiri yang menghendakinya. Sedangkan
yang dimaksud “benar dan adil” adalah: (a) benar dalam berita yang
diinformasikannya dan adil dalam keputusan serta ketentuan-Nya; (b) benar dalam
semua janji dan ancaman-Nya, adil dalam perintah dan larangan-Nya. Lalu, makna
dari “tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya” adalah:
(a) tidak ada seorang pun yang bisa mengurangi atau menambahinya, dan pasti
ketahuan sehingga segera bisa disingkirkan; (b) tidak ada pengingkaran atas
janji-Nya, dan tidak ada yang akan mengubah hukum-Nya.
Tentu saja, sebagai konsekuensi,
tidaklah layak bagi manusia untuk membuat-buat sendiri keputusan yang berkenaan
dengan agama-Nya tanpa ada dasar yang benar. Misalnya, jumlah bilangan shalat
dan puasa Ramadhan sudah dipastikan oleh Allah, baik melalui Al-Qur’an maupun
sunnah Nabi
r, maka kita tidak boleh
menambah atau mengurangi. Demikian juga jenis, tatacara, waktu, dan lain sebagainya.
Pahala atau ancaman siksa juga
hanya Allah sendiri yang tahu, maka kita tidak bisa mengarangnya sendiri,
misalnya – dalam sebagian buku tentang amalan-amalan harian – disebutkan bahwa
“siapa yang membaca kalimah ini-itu, sekian kali, maka dia akan mendapat pahala
sekian-sekian.” Jika tidak ada dasar yang benar, maka pernyataan semacam ini
termasuk kebohongan atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Catatan: Dalam Al-Qur’an dikenal nasikh-mansukh
(ayat yang menghapus/ayat yang dihapus), namun semua itu bukan atas
kehendak Rasulullah
r atau manusia yang lain. Nasikh-mansukh
adalah bagian dari kehendak Allah untuk mewujudkan rahmat-Nya kepada
orang-orang yang beriman. Misalnya, ayat 89 surah an-Nahl, “Dan dari buah
korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezeki yang baik.
Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang memikirkan.”
Terkait ayat ini, rizki yang tetap
dihalalkan adalah buah-buahan dan juga jus yang diperas darinya, akan tetapi
yang telah berubah menjadi minuman keras maka tidak diperbolehkan, karena
dihapus (nasakh) oleh ayat 90 surah al-Ma’idah, “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbtatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Wallahu a’lam.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ
فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ
هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ (116) إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (117)
Artinya, “Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia
lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.”
Disebutkan, bahwa asbab nuzul-nya
adalah perkataan sebagain kaum kafir Quraisy kepada kaum muslimin waktu itu,
“Mengapa kalian mau memakan binatang yang kalian bunuh sendiri, tetapi tidak
mau memakan binatang yang dibunuh oleh Tuhan kalian sendiri?” – yakni, yang
mati sendiri tanpa disembelih. Maka, turunlah ayat ini, yang meminta kaum
muslimin untuk teguh pada ajaran Allah dan Rasul-Nya dan tidak perduli pada
komentar serta ejekan orang.
Maksud dari “menuruti
kebanyakan orang”
adalah: (a) memakan bangkai, (b) memakan binatang yang
disembelih untuk berhala, (c) menyembah berhala, (d) mengikuti agama dan
tradisi nenek-moyang yang tidak ada dasarnya. Yang dimaksud “kebanyakan
orang”
disini adalah orang kafir, bukan sesama muslim yang lurus
kehidupannya. Sebab, dalam sebuah hadits dinyatakan, “Janganlah kalian
menjadi orang yang tidak punya sikap dan pendirian. (Yakni), kalian berprinsip:
‘jika orang lain baik maka saya pun baik, namun jika mereka berbuat zhalim maka
sayapun ikut berbuat zhalim’. Sebaliknya, teguhkan jiwa kalian! Jika orang lain
berbuat baik, maka kalian pun berbuat baik. Namun jika mereka berbuat zhalim,
maka kalian jangan ikut berbuat zhalim pula.”
(Hadits riwayat at-Tirmidzi,
dan menurut beliau: hasan-gharib).
Dalam ayat diatas dinyatakan
bahwa mereka hanya mendasarkan agamanya pada prasangka. Mungkin orang akan
bertanya, “Bagaimana mungkin Allah menyiksa orang yang hanya berprasangka dalam
berbuat syirik, tanpa benar-benar yakin dalam kekufurannya itu?” Menurut
az-Zajjaj, masalahnya adalah, mereka itu disiksa bukan karena prasangka dan
ketidaktahuannya, namun karena keengganan mereka untuk belajar dan mencari
ilmu, puas dengan mengekor hawa nafsu dan kejahilannya. Wallahu a’lam.
Dikisahkan, bahwa Sa’id bin al-Musayyib melihat seseorang mengerjakan shalat
dua rakaat setelah ‘ashar, dan ia memperbanyaknya. Ia ditegur oleh Sa’id dan
diminta untuk tidak mengulanginya lagi, karena Rasulullah
r pernah melarangnya. Orang itu lalu bertanya, “Wahai Abu
Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?” Dijawab, “Tidak, akan
tetapi Allah akan menyiksamu karena (engkau) menyalahi sunnah.” (Riwayat
ad-Darimi, isnad-nya jayyid).
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ (118)
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ
إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ (119) وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ
الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ (120) وَلَا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ
الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ
إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (121)
Artinya, “Maka
makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya. [*] Mengapa kamu tidak
mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan
hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas. [*] Dan tinggalkanlah dosa yang
nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak
akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah
kerjakan. [*] Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Menurut riwayat, mirip dengan ayat terdahulu, sabab nuzul-nya
adalah: ketika Allah mengharamkan bangkai, maka kaum musyrikin berkata kepada
kaum muslimin, “Kalian mengaku menyembah Allah, maka apa pun yang dibunuh –
yakni, dimatikan – oleh Allah lebih layak kalian makan dibanding apa yang
kalian bunuh sendiri.” Maksud mereka adalah: bangkai.
Apa yang diharamkan Allah sudah dirinci, maka memakan
binatang yang disembelih atas nama Allah tidak perlu dipersoalkan lagi, hanya
gara-gara mengikuti saran dan kritikan orang kafir. Yang dimaksud “dirinci oleh
Allah” adalah apa yang disebutkan di permulaan surah al-Maidah, yaitu: bangkai,
darah, daging babi, binatang yang disembelih untuk selain Allah,
yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat disembelih, dan yang disembelih untuk
berhala.
Yang dimaksud “hendak menyesatkan (orang lain)” adalah
mereka mengajak dan memprovokasi orang lain agar juga sesat. Mereka sendiri
telah sesat, dan lalu menjadi biang kesesatan bagi orang lain.
Yang dimaksud “dosa” disini adalah: (a) perzinaan,
baik semubunyi-sembunyi maupun terang-terangan; sebab di zaman jahiliyah dulu,
zina sembunyi-sembunyi itu dianggap tidak apa-apa; (b) dosa terang-terangan
adalah menikahi orang yang mempunyai hubungan mahram, seperti ibu, anak,
saudara, dan lain-lain; sedang dosa tersembunyi adalah berzina; (c) segala
maksiat, dan secara khusus dalam hubungan dengan kaum kafir di masa Nabi
r adalah thawaf telanjang di sekeliling Ka’bah (yakni, dosa
terang-terangan), dan berzina (dosa sembunyi-sembunyi).
Yang dimaksud “kefasikan” adalah keluar dari ketaatan
dan tuntunan agama. Yang dimaksud “syetan-syetan” adalah: (a) dari
golongan jin, (b) sesama manusia yang kufur.
Wallahu a’lam.
(*) Kamis, 11 Rabi’ul Awwal 1431 / 25 Februari 2010. Didasarkan pada Tafsir Zadul Masir karya al-Hafizh Ibnul Jauzi, dan dilengkapi sumber-sumber lain.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top