Dalam disiplin
ilmu nahwu, pembahasan kata (isim), verba (fiil), dan huruf (harf)
– yang membentuk suatu kalimat (kalam), adalah hal yang mendasar dalam
mempelajarinya. Terkait definisi, Imam Hasan al-Kafrawi, dalam Syarh
Ajrumiahnya mengatakan bahwa isim adalah sebuah kata yang mempunyai makna
teersendiri dan tidak terikat pada ketiga zaman yang ada – sekarang (haal),
lampau (maadi), dan yang akan datang (mustaqbal).
ilmu nahwu, pembahasan kata (isim), verba (fiil), dan huruf (harf)
– yang membentuk suatu kalimat (kalam), adalah hal yang mendasar dalam
mempelajarinya. Terkait definisi, Imam Hasan al-Kafrawi, dalam Syarh
Ajrumiahnya mengatakan bahwa isim adalah sebuah kata yang mempunyai makna
teersendiri dan tidak terikat pada ketiga zaman yang ada – sekarang (haal),
lampau (maadi), dan yang akan datang (mustaqbal).
Berbeda dengan isim, verba (fi’il) adalah sebuah kata yang
mempunyai makna tersendiri dan terikat pada ketiga zaman yang ada. Adapun
huruf, ia adalah sebuah kata yang mempunyai makna bila dihadirkan bersama kata
lain dan tidak terkait ketiga zaman yang ada. Dan setiap perkataan dalam bahasa
Arab, tidak akan keluar dari tiga hal tersebut.
mempunyai makna tersendiri dan terikat pada ketiga zaman yang ada. Adapun
huruf, ia adalah sebuah kata yang mempunyai makna bila dihadirkan bersama kata
lain dan tidak terkait ketiga zaman yang ada. Dan setiap perkataan dalam bahasa
Arab, tidak akan keluar dari tiga hal tersebut.
Sebelum membahas
tanda-tanda yang menunjukkan pada isim, fiil, dan harf, Imam Asymawi dalam hasyiyah
Ajrumiyyanya menyebutkan hukum dari
ketiga hal tersebut. Ia mengatakan bahwasanya hukum asal dari isim adalah mu’rob,
artinya keadaan harakat pada akhir kata tersebut dapat berubah – dari fathah,
kasrah, dhammah ataupun sukun . Sementara hukum asal dari
fiil adalah mabni, yaitu keadaan harakat akhir pada sebuah kata yang
bersifat permanen atau tetap dan tidak bisa berubah, begitu juga dengan huruf.
tanda-tanda yang menunjukkan pada isim, fiil, dan harf, Imam Asymawi dalam hasyiyah
Ajrumiyyanya menyebutkan hukum dari
ketiga hal tersebut. Ia mengatakan bahwasanya hukum asal dari isim adalah mu’rob,
artinya keadaan harakat pada akhir kata tersebut dapat berubah – dari fathah,
kasrah, dhammah ataupun sukun . Sementara hukum asal dari
fiil adalah mabni, yaitu keadaan harakat akhir pada sebuah kata yang
bersifat permanen atau tetap dan tidak bisa berubah, begitu juga dengan huruf.
Dalam menulis syarh
atau hasyiyah, para ulama banyak yang menyelipkan beberapa pertanyaan
terkait kaidah dalam bentuk metodologi dialog (tariqat al-Muqaawalah).
Ini bertujuan untuk melatih para penuntut ilmu dalam memahami teks dan
membangun kerangka berfikir yang baik. Biasanya mereka memulai dengan kata “fain
qulta”, “qultu”, “fain qiila”, “qulna”, dan lainnya. Selanjutnya, dari kaidah diatas munculah pertanyaan,
“kenapa hukum asal pada isim adalah mu’rob, begitu juga dengan fiil, kenapa
asal hukumnya adalah mabni?”.
atau hasyiyah, para ulama banyak yang menyelipkan beberapa pertanyaan
terkait kaidah dalam bentuk metodologi dialog (tariqat al-Muqaawalah).
Ini bertujuan untuk melatih para penuntut ilmu dalam memahami teks dan
membangun kerangka berfikir yang baik. Biasanya mereka memulai dengan kata “fain
qulta”, “qultu”, “fain qiila”, “qulna”, dan lainnya. Selanjutnya, dari kaidah diatas munculah pertanyaan,
“kenapa hukum asal pada isim adalah mu’rob, begitu juga dengan fiil, kenapa
asal hukumnya adalah mabni?”.
Untuk menjawab
pertanyaan diatas, kita tidak perlu mengundang pakar nahwu, membuka al-Kitab
milik Sibaweih, juga kitab-kitab besar dalam nahwu seperti al-Kassyaf, al-Khasais,
Al-Mufasshol, al-Tashil, al-Kaafiyah, al-Syaafiyah,
dan lainnya, atau berfikir terlalu lama dengan pertanyaan ini. Yang kita
butuhkan hanyalah memahami dengan baik sebuah kaidah bahasa (qawaid al-Lughawiyyah)
yang berbunyi :
pertanyaan diatas, kita tidak perlu mengundang pakar nahwu, membuka al-Kitab
milik Sibaweih, juga kitab-kitab besar dalam nahwu seperti al-Kassyaf, al-Khasais,
Al-Mufasshol, al-Tashil, al-Kaafiyah, al-Syaafiyah,
dan lainnya, atau berfikir terlalu lama dengan pertanyaan ini. Yang kita
butuhkan hanyalah memahami dengan baik sebuah kaidah bahasa (qawaid al-Lughawiyyah)
yang berbunyi :
ما جاء عن أصله لايسأل عن مجيء أصله. وإذا
خرج عن أصله فلتسأل عن سبب خروجه
خرج عن أصله فلتسأل عن سبب خروجه
“Sesuatu, apabila datang atau terjadi dengan aslinya,
maka jangan kau tanyakan sebab terjadinya hal tersebut. Namun apabila sesuatu
tersebut keluar dari keasliannya, maka pertanyakanlah sebab dari keluarnya hal
tersebut”
maka jangan kau tanyakan sebab terjadinya hal tersebut. Namun apabila sesuatu
tersebut keluar dari keasliannya, maka pertanyakanlah sebab dari keluarnya hal
tersebut”
Mari kita cocokan
kaidah diatas pada permasalahan isim dan fiil. Asal dari isim adalah mu’rob,
dan apabila keluar dari keasliannya, maka harus dicari sebabnya. Ternyata
benar, ketika diteliti, ada beberapa isim yang bersifat mabni, seperti isim dhomir
(هو,هن), isyarat (إِنْ) , dan maushul
(الذي,التي) . Maka, tugas kita adalah mencari sebab keluarnya isim dari
keasliannya. Alhasil, ditemukan bahwa salah satunya karena isim menyerupai fiil
dari segi jumlah huruf dan makna, maka ia mengambil hukum fiil yaitu mabni.
(selengkapnya lihat, Ibnu Aqil, Syarh ala al-Alfiyah).
kaidah diatas pada permasalahan isim dan fiil. Asal dari isim adalah mu’rob,
dan apabila keluar dari keasliannya, maka harus dicari sebabnya. Ternyata
benar, ketika diteliti, ada beberapa isim yang bersifat mabni, seperti isim dhomir
(هو,هن), isyarat (إِنْ) , dan maushul
(الذي,التي) . Maka, tugas kita adalah mencari sebab keluarnya isim dari
keasliannya. Alhasil, ditemukan bahwa salah satunya karena isim menyerupai fiil
dari segi jumlah huruf dan makna, maka ia mengambil hukum fiil yaitu mabni.
(selengkapnya lihat, Ibnu Aqil, Syarh ala al-Alfiyah).
Begitu juga fiil, yang asalnya
bersifat mabni. Ternyata ketika dilihat, fiil mudhori yang bersifat mu’rob hadir
dan menggugurkan sifat keasliannya. Maka dari sini kita harus mencari
sebab-sebab yang menjadikan fiil keluar dari keasliannya. Alhasil, didapatkan
bahwa salah satunya adalah keserasiannya dengan isim dari segi makna.
(selengkapnya lihat Zaini Dahlan, Risaalah fi i’raabi jaa Zaidun, Daar
el-Adab, Kairo : 2016, hal. 22-23). Mungkin, dari dua sebab (‘illah)
diatas, kita bisa memahami sedikit pesan Baginda Rasulullah yang mengatakan : “Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian darinya” (H.R
Abu Daud).
bersifat mabni. Ternyata ketika dilihat, fiil mudhori yang bersifat mu’rob hadir
dan menggugurkan sifat keasliannya. Maka dari sini kita harus mencari
sebab-sebab yang menjadikan fiil keluar dari keasliannya. Alhasil, didapatkan
bahwa salah satunya adalah keserasiannya dengan isim dari segi makna.
(selengkapnya lihat Zaini Dahlan, Risaalah fi i’raabi jaa Zaidun, Daar
el-Adab, Kairo : 2016, hal. 22-23). Mungkin, dari dua sebab (‘illah)
diatas, kita bisa memahami sedikit pesan Baginda Rasulullah yang mengatakan : “Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian darinya” (H.R
Abu Daud).
Kalau contoh ini masih kurang jelas untuk menguatkan kaidah diatas
– disamping ada yang belum mempelajarinya, maka saya akan
kuatkan dengan tiga contoh lain diluar pembahasan nahwu :
– disamping ada yang belum mempelajarinya, maka saya akan
kuatkan dengan tiga contoh lain diluar pembahasan nahwu :
(1)
Kewajiban
seorang anak adalah patuh dan tunduk terhadap orang tuanya. Maka, jika ada
seorang anak yang selalu berbakti kepada orang tuanya, kita tidak perlu
mempertanyakannya- karena itulah dasar kewajibannya. Namun, apabila ada anak
yang durhaka pada orangtuanya, justru
itulah yang dipertanyakan sebab mengapa
hal ini bisa terjadi.
Kewajiban
seorang anak adalah patuh dan tunduk terhadap orang tuanya. Maka, jika ada
seorang anak yang selalu berbakti kepada orang tuanya, kita tidak perlu
mempertanyakannya- karena itulah dasar kewajibannya. Namun, apabila ada anak
yang durhaka pada orangtuanya, justru
itulah yang dipertanyakan sebab mengapa
hal ini bisa terjadi.
(2)
Tujuan
mahasiswa Indonesia datang ke al-Azhar adalah untuk belajar. Maka, jika ada
mahasiswa yang tekun belajar, ikut majlis keilmuan, dan selalu membaca buku,
kita tidak usah mempermasalahkannya, dan berkata, “ente belajar mulu”,
karena itu adalah tujuan aslinya. Namun sebaliknya, jika ada mahasiswa al-Azhar
yang tidak pernah belajar, tidak hadir di majlis keilmuan, maka orang-orang
inilah yang harus dipertanyakan sebab mereka seperti itu.
Tujuan
mahasiswa Indonesia datang ke al-Azhar adalah untuk belajar. Maka, jika ada
mahasiswa yang tekun belajar, ikut majlis keilmuan, dan selalu membaca buku,
kita tidak usah mempermasalahkannya, dan berkata, “ente belajar mulu”,
karena itu adalah tujuan aslinya. Namun sebaliknya, jika ada mahasiswa al-Azhar
yang tidak pernah belajar, tidak hadir di majlis keilmuan, maka orang-orang
inilah yang harus dipertanyakan sebab mereka seperti itu.
(3)
Kewajiban
seorang hamba adalah menaati perintah Tuhannya. Apabila ada seseorang yang
tidak mengerjakan larangan Allah, jangan dikatakan “sok alim”, karena
itu adalah kewajibannya sebagai hamba. Ketika ia melanggar semua larangan-Nya
lah justru yang perlu dipertanyakan.
Kewajiban
seorang hamba adalah menaati perintah Tuhannya. Apabila ada seseorang yang
tidak mengerjakan larangan Allah, jangan dikatakan “sok alim”, karena
itu adalah kewajibannya sebagai hamba. Ketika ia melanggar semua larangan-Nya
lah justru yang perlu dipertanyakan.
Gagasan Kaum Skeptis dan Keruntuhannya
Dalam makalahnya
yang berjudul “Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan : Refleksi Historis-Filosofis”
yang disampaikan dalam orasi ilmiahnya pada peringatan ulang tahun ke-13
Institue for the Study Islamic Thought and Civilizations (INSISTS),
Dr.Syamsudin Arif menjelaskan bahwasanya orang-orang yang mengingkari kebenaran dan bersifat
negatif terhadap ilmu, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
(i) Skeptisisme, (ii) Relativisme, (iii) Agnositisme. (lihat Orasi Ilmiah Syamsuddin
Arif, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan ; Refleksi Historis-Filosofis,
Jakarta : 2016)
yang berjudul “Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan : Refleksi Historis-Filosofis”
yang disampaikan dalam orasi ilmiahnya pada peringatan ulang tahun ke-13
Institue for the Study Islamic Thought and Civilizations (INSISTS),
Dr.Syamsudin Arif menjelaskan bahwasanya orang-orang yang mengingkari kebenaran dan bersifat
negatif terhadap ilmu, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
(i) Skeptisisme, (ii) Relativisme, (iii) Agnositisme. (lihat Orasi Ilmiah Syamsuddin
Arif, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan ; Refleksi Historis-Filosofis,
Jakarta : 2016)
Kita akan bahas
salah satunya, yaitu skeptisisme, dan mengorelasikannya dengan kaidah diatas. Skeptisisme
merupakan sikap meragukan kebenaran suatu peryataaan secara mendasar dan
menyeluruh. Orang skeptis ini biasanya suka curang, atau bersifat sok skeptis.
Sebagai pengalaman, salah satu teman dibangku kuliah saya dulu mengatakan
bahwasanya dirinya skeptis. Ia tidak percaya pada adanya perintah Allah, pahala
amalan, surga, neraka, dan lainnya. Ia
mengatakan, “gue tuh masih ragu dan ga percaya sama yang beginian
ban”. Bahkan dia secara terang menyatakan dirinya skeptis.
salah satunya, yaitu skeptisisme, dan mengorelasikannya dengan kaidah diatas. Skeptisisme
merupakan sikap meragukan kebenaran suatu peryataaan secara mendasar dan
menyeluruh. Orang skeptis ini biasanya suka curang, atau bersifat sok skeptis.
Sebagai pengalaman, salah satu teman dibangku kuliah saya dulu mengatakan
bahwasanya dirinya skeptis. Ia tidak percaya pada adanya perintah Allah, pahala
amalan, surga, neraka, dan lainnya. Ia
mengatakan, “gue tuh masih ragu dan ga percaya sama yang beginian
ban”. Bahkan dia secara terang menyatakan dirinya skeptis.
Sekarang, pertanyaannya adalah, “Kenapa mereka hanya ragu pada hal
yang berbau agama”. Kalau dia adalah “skeptis sejati”, seharusnya ia menanyakan
pada ibu-ibu warteg, apakah makanan ini benar-benar halal, higenis, serta layak
dimakan, pada setiap kali ia makan disana. Atau setiap kali dosen mengajar, ia
harus meragukannya, lalu bertanya, “apakah anda benar-benar dosen, kalau ia,
mana sertifikasi izin mengajar sebagai dosen”, serta meragukan kebenaran setiap
informasi yang disampaikannya. Dan yang lebih nampak, harusnya ia bertaya pada
orang tuanya, “apakah saya ini benar-benar anak bapak ibu, atau saya ini bayi
yang tertukar”. Inilah kenapa saya bilang orang skeptis suka curang dan sok
skeptis.
yang berbau agama”. Kalau dia adalah “skeptis sejati”, seharusnya ia menanyakan
pada ibu-ibu warteg, apakah makanan ini benar-benar halal, higenis, serta layak
dimakan, pada setiap kali ia makan disana. Atau setiap kali dosen mengajar, ia
harus meragukannya, lalu bertanya, “apakah anda benar-benar dosen, kalau ia,
mana sertifikasi izin mengajar sebagai dosen”, serta meragukan kebenaran setiap
informasi yang disampaikannya. Dan yang lebih nampak, harusnya ia bertaya pada
orang tuanya, “apakah saya ini benar-benar anak bapak ibu, atau saya ini bayi
yang tertukar”. Inilah kenapa saya bilang orang skeptis suka curang dan sok
skeptis.
Menurut Dr.Syam, skeptis itu berbeda dengan sifat mencari tau. Ia
memeberi contoh seperti kejadian nabi Ibrahim. Ketika Allah bertanya, “Apakah
kau tidak percaya?” (qaala awalam tu’min) , ia menjawab, “sudah tentu
[aku percaya] akan tetapi [aku bertanya] supaya hatiku tentram (balaa
walakin liyatmainna qalbii). Ini sama halnya dengan orang yang bertanya
keaslian sebuah madu, ketika membelinya. Bukan berarti ia skeptis. Karena
kelak, ketika ia tenang karena sudah tau madu tersebyt asli, ia akan membelinya. Ini semua berbeda dengan orang
yang skeptis. Sampai madu itu dibuktikan keasliannya melalui laboratorium pun
ia tidak akan percaya.
memeberi contoh seperti kejadian nabi Ibrahim. Ketika Allah bertanya, “Apakah
kau tidak percaya?” (qaala awalam tu’min) , ia menjawab, “sudah tentu
[aku percaya] akan tetapi [aku bertanya] supaya hatiku tentram (balaa
walakin liyatmainna qalbii). Ini sama halnya dengan orang yang bertanya
keaslian sebuah madu, ketika membelinya. Bukan berarti ia skeptis. Karena
kelak, ketika ia tenang karena sudah tau madu tersebyt asli, ia akan membelinya. Ini semua berbeda dengan orang
yang skeptis. Sampai madu itu dibuktikan keasliannya melalui laboratorium pun
ia tidak akan percaya.
Untuk meruntuhkan gagasan kaum skeptis ini, kita perlu menarik
kaidah yang telah kita bahas diawal sebagai komparasi setiap problematika. Kalau diatas kita katakan bahwa segala sesuatu
yang datang dengan aslinya tidak perlu dipertanyakan, maka segala kebenaran
yang didapat dari pengetahuan yang bersifat a priori (al-badahiyyat),
indrawi (al-hissiyyat), atau hal yang didengar (al-Sam’iyyat)
tidak akan bisa diubah dan tidak perlu dipertanyakan. Pertanyaan seperti,
“kenapa api itu panas”, “kenapa garam itu asin”, “kenapa gula itu manis”, atau “kenapa ada surga dan neraka”, seharusnya
tidak perlu dipertanyakan. Kalau saya katakan “Allah adalah Tuhan kita”, maka
tidak perlu bertanya, “kenapa Allah itu Tuhan kita”. Atau mempertanyakan
tentang kewajiban sholat, setelah dikatakan, “Shalat fardhu itu hukumnya
wajib”. Kalau ada yang mengatakan, “Allah itu bukan Tuhan kita”, atau
mengatakan, “Shalat fardhu itu hukumnya boleh-boleh saja”, itulah yang perlu
dipertanyakan.
kaidah yang telah kita bahas diawal sebagai komparasi setiap problematika. Kalau diatas kita katakan bahwa segala sesuatu
yang datang dengan aslinya tidak perlu dipertanyakan, maka segala kebenaran
yang didapat dari pengetahuan yang bersifat a priori (al-badahiyyat),
indrawi (al-hissiyyat), atau hal yang didengar (al-Sam’iyyat)
tidak akan bisa diubah dan tidak perlu dipertanyakan. Pertanyaan seperti,
“kenapa api itu panas”, “kenapa garam itu asin”, “kenapa gula itu manis”, atau “kenapa ada surga dan neraka”, seharusnya
tidak perlu dipertanyakan. Kalau saya katakan “Allah adalah Tuhan kita”, maka
tidak perlu bertanya, “kenapa Allah itu Tuhan kita”. Atau mempertanyakan
tentang kewajiban sholat, setelah dikatakan, “Shalat fardhu itu hukumnya
wajib”. Kalau ada yang mengatakan, “Allah itu bukan Tuhan kita”, atau
mengatakan, “Shalat fardhu itu hukumnya boleh-boleh saja”, itulah yang perlu
dipertanyakan.
Dari fiil dan isim, kita mengetahui bahwasanya kebenaran itu adalah
ada dan tidak perlu diingkari. Kalau saya bilang Al-Azhar di Kairo, maka jangan
bertanya lagi ya. Karena dewasa ini kaum-kaum neo-skeptis sudah bermunculan dan berbangga
dengan gagasannya. Mereka itu semu, hancur, dan tak logis. Sampai kapanpun
mereka akan terus bertanya “mengapa” dan “apa” terhadap kenyataan yang ada. dan
tugas kita adalah menjawabnya. Kalau masih berlanjut, maka kita harus “mendiamkannya”,
karena kebodohan mereka, akan membuat kita merasa bodoh dengan menjawabnya. Wallahu a’lam bisshowab.
ada dan tidak perlu diingkari. Kalau saya bilang Al-Azhar di Kairo, maka jangan
bertanya lagi ya. Karena dewasa ini kaum-kaum neo-skeptis sudah bermunculan dan berbangga
dengan gagasannya. Mereka itu semu, hancur, dan tak logis. Sampai kapanpun
mereka akan terus bertanya “mengapa” dan “apa” terhadap kenyataan yang ada. dan
tugas kita adalah menjawabnya. Kalau masih berlanjut, maka kita harus “mendiamkannya”,
karena kebodohan mereka, akan membuat kita merasa bodoh dengan menjawabnya. Wallahu a’lam bisshowab.
Kairo, Jl.Muhammad Abduh, Darrosah
Rabu, 5 April 2017
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.