Uncategorized

ILMU NAHWU BAB : TAUKID DAN NAAT


التوكيد
BAB TAUKID
بِالنَّفْسِ
أوْ بِالعَيْنِ الاسْمُ أُكِّدَا  ¤   مَعَ
ضَمِيرٍ طَابَقَ المُؤكَّدَا
Kalimah Isim menjadi tertaukidi oleh lafazh taukid “an-Nafsi” atau
“al-’Aini” beserta ada Dhamir mencocoki pada Isim Muakkad.
وَاجْمَعْهُمَا
بِأفْعُلٍ إنْ تَبِعَا  ¤  مَا لَيْسَ وَاحِداً تكُن مُتَّبِعاً
Jama’kanlah kedua lafazh taukid tsb dengan wazan “AF’ULU” jika keduanya
tabi’ pada Isim selain mufrad (Mutsanna/Jamak), maka jadilah kamu Muttabi’
(pengikut yg benar). 
Taukid itu ada dua macam yaitu taukid lafdzi dan taukit makanawi.
Taukid maknawi ada dua macam  :
Pertama adalah lafadz yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang
berkaitan dengan lafadz yang ditaukidkan. Hal inilah yang dimaksud oleh dua
bait ini. Jenis ini mempunyai dua lafadz yaitu lafadz an-nafsu dan al-ainu.
Contoh :
جاء زيد نفسه                  zaid datang sendiri
Lafadz nafsuhu berkedudukan sebagai taukid yang mengukuhkan makna lafadz
zaidun, berfungsi melenyapkan anggapan lain yang mengatakana bahwa zaid
beritanya telah datang atau utusannya telah datang. Sep
erti contoh diatas :
جاء زيد عينه      zaid telah datang sendiri
وَكُلاً
اذْكُرْ فِي الشُّمُولِ وَكِلا ¤  كِلْتَا جَمِيعاً بِالضَّمِيرِ
مُوصَلَا
Ucapkanlah untuk taukid syumul (menyeluruh) dengan lafazh Kullu, Kilaa,
Kiltaa dan Jami’ yg disambung dengan dhamir.  
Jenis kedua dari taukid
maknawi yaitu lafadz yang digunakan untuk melenyapkan anggapan yang meniadakan
pengetian menyeluruh. Untuk tujuan itu 
digunakan lafadz kullun, kilaa, kiltaa dan jamiun.
Dikukuhkan dengan memakai
lafadz kullun dan jamiun sesuatu yang memiliki beberapa bagian, sedangkan
sebagian diantaranya dapat menduduki tempat sebagian yang lain. Seperti :
 جاء الركب كله  
      kafilah itu telah datang semuanya
               جاء الركب جميعه     kafilah itu seluruhnya telah datang
Tidak boleh mengatakan جاء زيد كله  
       
Lafadz kilaa diperuntukkan
bagi tasniyah mudzakar :
جاء زيدان كلاهم
Lafadz kiltaa diperuntukkan
bagi tasniyah muanas :
جاء الهندان كلتاهما
Masing-masing harus dimudhafkan kepada dhomir yang telah diketengahkan dalam
contoh-contoh tadi.
   
وَاسْتَعْمَلُوا
أيْضاً كَكُلٍّ فَاعِلَهْ  ¤  مِنْ عَمَّ فِي التَّوكِيدِ مِثْلَ
النَّافِلَهْ
Demikian juga mereka menggunakan wazan Faa’ilatu dari lafazh Amma (Aammatu)
seperti faidah Kullu (untuk syumul) didalam taukid. Serupa bunyi lafazh
Naafilatu. 
Orang-orang arab menggunakan ammatun untuk menunjukkan makna yang
menyeluruh sama dengan lafadz kullun lalu dimudhafkan kepada dhamir lafadz yang
ditaukidinya seperti :
جاءالقوم عامتهم    kaum itu sebagian
besarnya telah datang
Akan tetapi sedikit sekali dari kalangan ahli nahwu yang menganggapnya
sebagai salah satu bagian lafadz taukid . hanya imam sibawaih menganggapnya
sebgai salah satu huruf taukid. Penulis kitab ibnu aqil telah mengatakan
“karena mempunyai pengertian yang semisal dengan lafadz an-nafilah, hal ini
menunjukkan bahwa kemasukan lafadz ammatun” kedalam lafadz taukid mirip dengan
nafilah, karena kebanyakan ahli nahwu mengatakan :
وَبَعْدَ
كُلَ أَكَّدُوا بِأَجْمَعَا  ¤  جَمْعَاءَ أَجْمَعِيْنَ ثُمَّ جُمَعَا
Sesudah
lafadz kullun mereka mentaukidkan pula dengan lafadz ajma’a, jam’au, ajmaina
kemudian juma’a
Didatangkan sesudah lafadz kullun yaitu lafadz ajma’a dan lafadz-lafadz
sesudahnya dalam bait tadi untuk mengukuhkan pengertian menyeluruh. Untuk itu
dapat didatangkan lafadz ajma’a sesudah lafadz kulluhu, contoh :
جاء الركب كله اجمع  kafilah  itu seluruhnya telah datang semua.
Didatangkan lafadz jam’aauu sesudah lafadz kulluha :
جاءت القبيلة كلها جمعاء  
kabilah itu seluruhnya telah datang semua
Lalu dapat pula didatangkan
lafadz ajmaina sesudah lafadz kulluhum :
جاء الرجال كلهم اجمعون    laki-laki itu seluruhnya telah datang semua.
Dapat didatangkan lafadz jumau
sesudah lafadz kulluhunna :
جاء الهندات كلهن جمع   hindun-hindun itu seluruhnya telah datang
semua.

وَدُونَ كُلَ قَدْ يَجِيْء أَجْمَعُ  ¤  جَمْعَاءُ أَجْمَعُونَ ثُمَّ جُمَعُ
Terkadang selain kullun disebutkan lafadz ajmau,
jam’au, ajmaauuna kemudian lafadz jumau.
Terkadang orang-orang arab
menggunakan lafadz ajma’a untuk tujuan taukid tanpa didahului dengan lafadz
kulluhu, seperti :
جاء الجيش اجمع      bala tentara itu telah datang semuanya.
Lafadz jam’au terkadang
digunakan pula tanpa didahului oleh lafadz kulluha, seperti :
جاءت القبيلة جمعاء    kabilah itu semua telah datang.
Lafadz jamau terkadang
digunakan pula tanpa didahului oleh lafadz kulluha.
جاء القوم اجمعون   kaum itu semuanya telah datang
Lafadz jumau dapat pula
dipakai untuk tujuan taukid sekalipun tanpa didahului dengan lafadz kulluhunna
seperti :
جاء النساء جمع     wanita-wanita itu semuanya telah datang
Ibnu malik beranggapan bahwa
hal seperti yang tersebut diatas sedikit pemakainya.

وَإِنْ يُفِدْ تَوكِيْدُ مَنْكُورٍ قُبِل ¤   وَعَنْ
نُحَاةِ البَصْرَةِ المَنْعُ شَمِل
Apabila taukid ini memberi pengertian pengukuhan
terkadang isim nakiroh, masih tetap diterima, tetapi menurut ulama nahwu
bashrah hal ini termasuk diantara hal yang tidak diperbolehkan.
Menurut madzhab ulama nahwu basrah, tidak boleh
mentaukidkan isim nakiroh, apakah bersifat terbatas seperti lafadz yaumun,
lailatun, syarhun, haulun atau bersifat tidak terbatas
seperti lafadz waqtun,
zamanun, hiinun.
Menurut ulama kufah,
mentaukidkan isim nakiroh hukumnya dibolehkan karena taukid yang dimaksudkan
dapat memberikan faedah, contoh :
صمت شهرا كله  aku telah berpuasa selama sebulan penuh.
وَاغْنَ
بِكِلتَا فِي مُثَنًّى وَكِلاَ  ¤  عَنْ وَزْنِ فَعْلاَءَ وَوَزْنِ أَفْعَلاَ
Cukupkanlah dengan kilta dalam mustanna dan demikian
pula kilaa daripada wazan fa’laa-u dan wazan af’ala
Dalam pembahasan yang lalu
telah disebutkan, bahwa mustanna dikukuhkan maknanya dengan memakai lafadz
an-nafsu dan al-ainu, dengan killa serta kilta. Menurut madzab ulama nahwu
basroh, ungkapan taukid tidak boleh digunakan selain lafadz-lafadz tersebut. Untuk itu tidak dapat dikatakan
  :
جاء الجيشان اجمعان    
Sebagaimana tidak dapat dikatakan pula :
جاء القبيلتان جمعاوان
Cukup hanya mengandalkan
kilaa dan kiltaa sebagai pengganti dari yang lainnya. Akan tetapi ulama kuffah
memperbolehkan hal seperti  contoh
diatas.
وَإِنْ
تُؤكِّدِ الضَّمِيْرَ المُتَّصِل  ¤   بِالنَّفْسِ وَالعَيْنِ فَبَعْدَ المُنْفَصِل
Apabila dhamir yang muttasil ditaukidkan (dikukuhkan
maknanya) dengan memakai lafadz an-nafsi dan al-aini, maka ini dibolehkan
sesudah diadakan dhamir munfasil.
عَنَيْتُ
ذَا الرَّفْعِ وَأَكَّدُوَا بِمَا  ¤   سِوَاهُمَا وَالقَيْدُ لَنْ يُلتَزَمَا
Kami bermaksud dhamir muttasil yang marfu’ dan mereka
(ahli nahwu) mengukuhkan dengan selain keduanya (an-anfsu dan al-ainu)
sedangkan qaid (ikatan) ini tidak ditetapi lagi (oleh mereka).
Tidak diperbolehkan
mentaukidkan dhamir muttasil yang marfu’ dengan memakai lafadz al-ainu, kecuali
sesudah dikukuhkan terlebih dahulu dengan dhamir munfasil. Untuk itu harus
seperti berikut :
قوموا انتم انفسكم        berdirilah kamu sekalian semuanya
قوموا انتم اعينكم          berdirilah  kamu sekalian semuanya
Tidak boleh mengatakan
menjadi
قوموا انفسكم    secara langsung tanpa mengukuhkan dhamir
muttasil dengan dhamir munfasil terlebih dahulu.
Tetapi mentaukidkannya
dengan selain lafadz an-nafsu dan al-ainu, maka ketentuan tersebut tidak
diharuskan lagi. Untuk itu dapat mengatakannya seperti berikut :
قوموا كلكم    berdirilah kalian semuanya
قوموا انتم كلكم   berdirilah kamu sekalian semuanya.
Demikian pula ketentuan
ini tidak diharuskan lagi apabila lafadz yang mentaukidkan bukan dhamir rofa’.
Seumpamanya yang mentaukidkan dhamir yang manshub atau yang majrur.

وَمَا مِنَ التَّوكِيْدِ لَفْظِيُّ يَجِي ¤  مُكَرَّرَاً كَقَولِكَ ادْرُجِي ادْرُجِي
Taukid lafdzi adalah lafadz yang diulang-ulang,
seperti dalam perkataan udruji (naiklah-naiklah)
Bait ini menjelaskan
tentang bagian kedua dari jenis taukid, yaitu taukid lafdzi. Yang dimakksud
adalah mengulangi lafadz yang pertama untuk menonjolkan kepentingannya. Seperti
:
ادْرُجِي ادْرُجِي   naiklah-naiklah

وَلاَ تُعِدْ لَفْظَ ضَمِيْرٍ مُتَّصِل  ¤  إِلاَّ مَعَ اللَّفْظِ الَّذِيْ بِهِ وُصِل
Janganlah mengulangi sebutan lafadz dhamir muttasil,
kecuali bila menyebutkannya beserta lafadz yang muttasil dengangannya
Apabila bermaksud
mengulangi lafadz dhamir muttasil untuk tujuan taukid, hal ini tidak boleh
kecuali dengan satu syarat, yaitu hendaknya disambungkan denga lafadz yang
mentaukidi. Contoh :
مررت بك بك  aku telah bersua denganmu denganmu
Sehubungan dengan masalah
ini tidak boleh mengatakannya seperti :
مررت بكك

كَذَا الحُرُوفُ غَيْرَ مَا تَحَصَّلاَ ¤  بِهِ جَوَابٌ كَنَعَمْ وَكَبَلَى
Demikian pula taukid huruf selain untuk jawaban
seperti lafadz na’am dan bala
Demikian pula apabila
bermaksud mentaukidkan huruf yang bukan untuk jawaban, diharuskan mengulangi
huruf yang ada pada muakkid, lalu sambungkan disambungkan dengan muakkad.
Contoh :
ان زيداان زيدا قاءم    sesungguhnya zaid sesungguhnya zaid
berdiri.
Dalam hal ini tidak
boleh mengatakan
ان ان زيدا قاءم   
Apabila huruf taukid ini
berupa jawaban seperti lafadz na’am, bala, jairi, ajal, iy dan laa. Maka boleh
mengulangi sendiri. Untuk itu seandainya dikatakan
اقام زيد ؟   apakah zaid telah berdiri ? maka dapat
menjawab seperti berikut
نعم نعم   ya.. ya..

وَمُضْمَرَ الرَّفْعِ الَّذِي قَدِ انْفَصَل ¤  أَكِّدْ بِهِ كُلَّ ضَمِيْرٍ اتَّصَل
Dhamir rofa’ yang munfasil boleh digunakan
untuk mentaukidi semuanya dhamir yang muttasil
Dhamir rofa’ munfasil boleh digunakan untuk mentaukidi
semua dhamir muttasil. Apakah dhamir muttasil yang dimaksud dalam keadaan
marfu’ seperti :
قمت انت   engkau telah berdiri,
engkau berdiri.
Atau dalam keadaan manshub seperti :
اكرمتني انا    engkau telah
menghormatiku, aku sendiri
Atau dalam keadaan majrur :
مررت به هو      aku telah bersua
dengannya, dia sendiri.


العطف
BAB ATHAF
عطف
البيان
ATHAF BAYAN
الْعَطْفُ
إِمَّا ذُو بِيانِ أوْ نَسَقْ ¤ وَالْغَرَضُ الآن بَيانُ مَا سَبَقْ
Athaf terbagi: pertama Athaf Bayan, kedua Athaf Nasaq. Sasaran kali ini
menerangkan bagian Athaf yg pertama (Athaf Bayan). 
فَذُو
الْبَيَانِ تَابعٌ شِبْهُ الصِّفَهْ ¤ حَقِيقَةُ الْقَصْدِ بِهِ
مُنْكَشِفَهْ
Athaf Bayan adalah Tabi’ menyerupai sifat, yang-mana hakekat yang dimaksud
menjadi terungkap dengannya.   
Athaf ada dua macam yaitu
athaf nasaq dan athaf bayan. Athaf bayan adalah tabi’ yang jamid lagi
menyerupai sifat didalam menjelaskan perihal matbu’nya serta terikat oleh
lafadz sebelumnya, seperti :
اقسو بالله ابو حفص عمر     abu hafsh alias umar telah bersumpah dengan
nama Alloh.
Lafadz umaru merupakan athof
bayan karena berfungsi menjelaskan lafadz abu hafsh.
Dikecualiakan dari perkataan
pensyarah “jamid” yaitu sifat karena sifat adalah lafadz yang musytaq atau
mengandung ta’wil lafadz yang jamid. Lalu dikecualikan pula sesudah bentuk
taukid dan athof nasaq karena sesungguhnya kedua jenis ungkapan ini tidak
berfungsi menjelaskan lafdz yang diikutu keduanya. Dikecualikan pula dari hal
tersebut badal yang jamid, karena badal yang jamid bersifat menyendiri (bebas
dan tidak terikat)
فَأَولِيَنْهُ
مِنْ وِفَاقِ الأَوَّلِ ¤  مَا مِنْ
وِفَاقِ الأَوَّلِ النَّعْتُ وَلِي
Maka perlakukanlah athaf bayan menurut apa yang ada
pada lafadz yang pertama dengan perlakukan yang sama dengan naat terhadap
lafadz yang diman’utinya
Mangingat
athaf bayan itu mirip dengan sifat, maka diharuskan menyesuaikan diri dengan
matbu’nya, perihalnya sama dengan naat. Untuk itu harus disesuaikan dengan
matbu’nya baik dalam masalah ta’rif dan tankirnya, baik dalam masalah tadzkir
dan ta’nisnya dan baik dalam masalah ifrad, tasniyah dan jamaknya.

فَقَدْ يَكُونَانِ مُنَكَّرَيْنِ  ¤   كَمَا
يَكُونَانِ مُعَرَّفَيْنِ
Terkadang athaf dan ma’thuf kedua-duanya dalam bentuk
nakiroh dan terkadang pula kedua-duanya dalam bentuk malrifat
Sebagian
besara ulama nahwu berpendapat, bahwa athaf bayan dan matbu’nya kedua-duanya
nakirah, merupakan hal yang dilarang. Sedangkan seholongan hali nahwu, antara
lain adalah ibnu malik berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan. Dengan demikian
berarti keduanya memperbolehkan dalam bentuk nakirah, sebagaimana boleh
keduanya dalam bentuk makrifat. Menurut suatu pendapat diantara contoh athof
dan matbu’nya adalah firman Alloh SWT :
يوقد من شجرة مباركة زيتونة   yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya (yaitu) pohon zaitun. (an nur : 35)
Lafadz
zaitunatin adalah atof bayan bagi lafadz syajarotin.

وَصَالِحَاً لِبَدَلِيَّةٍ يُرَى ¤  فِي
غَيْرِ نَحْوِ يَا غُلاَمُ يَعْمُرَا
Athoaf bayan dapat dilihat dari segi kelayakannya
untuk dijadikan badal pada selain contoh “yaa ghulamu ya’muro” (hai pelayan
alias ya’muro)

وَنَحْوِ بِشْرٍ تَابِعِ البَكْرِيِّ ¤ وَلَيْسَ أَنْ يُبْدَلَ بِالمَرْضِي
                    
Selain contoh bisyrin yang menjadi tabi’ dari lafadz al-bakri, hal ini
tidak dapat dijadikan sebaga badal.
Setiap
lafadz yang dapat dijadikan athaf  bayan
dapat pula dijadikan sebagai badal. Contoh :
ضربت ابا عبد الله زيدا    aku telah memukul abu abdulloh alias si
zaid.
Dikecialikan
dari hal tersebut dua masalah yang didalamnya tabi’ hanya menjadi athof bayan
dan tidak dapat dijadikan sebagai badal yaitu :
Pertama,
hendaknya tabi’ dalam bentuk mufrod, makrifat lagi mu’rob. Sedangkan matbu’nya
berkedudukan sebagai munada (subyek yang dipanggil), contoh :
يا غلام يعمر     hai pelayan alias si ya’muro
Dalam
keadaan seperti diatas lafadz yakmuro ditentukan menjadi athof bayan. Dan tidak
dapat dijadikan sebagai badal. Karena badal itu disertai dengan niat mengulangi
amil. Lafadz yakmuro seharusnya dimabni dhomahkan, karena seandainya diucapkan
dengan memakai ya nida, maka barulah dapat dikatan sebagai badal.
Kedua,
hendaknya tabi’ terbebas dari al. sedangkan matbu’nya memakai al, lalu
dimudhafkan pula kepada sifat yang mengandung al. Seperti :
انا الضارب الرجل زيد   aku adalah orang yang memukul lelaki itu
alias si zaid.
Dalam
keadaan seperti contoh diatas, lafadz zaidin ditentukan hanya sebagai athaf
bayan, tidak boleh dianggap sebagai 
badal dari lafadz ar-rojuli. Karena sesungguhnya bentuk ungkapan badal
itu disertai dengan niat mengulangi amil, jika demikian berrati makna contoh
tadi adalah seperti
انا الضارب زيد     dan
hal itu tidak boleh, karena telah diketahui dalam bab idhofah, bahwa sifat
apabila dibarengi dengan al tidak boleh dimudhafkan kecuali hanya kepada lafadz
yang mengandung al atau dimudhafkan kepada lafadz yang dimudhafkan lagi kepada
lafadz yang n=mengandung al. Seperti :
انا الضارب
الرجل زيد
     aku adalah orang yang memukul lelaki itu
alias si zaid.
Contoh lain :
انا ابن االتارك
البكري بشر , عليه الطير ترقبه وقوفا
Aku adalah anak orang yang meninggalkan
bakar alias bisyr yang diatasnya terdapat burung (pemakan bangkai) selalu
menunggu kematiannya.
Lafadz bisyrin berkedudukan sebagai athaf
bayan dan tidak dapat dianggap sebagai badal.
Ibnu malik menyatakan وليس ان يبدل بالمرضي    (tidak dibenarkan bila dijadikan sebagai
badal)
Hal ini mengisyartkan, bahwa memperbolehkan lafadz bisyrin sebagai
badal, merupakan hal yang tidak disukai. Sehubungan dengan masalah ini dia
mengingatkan pada perbedaan pendapat antara imam al-farrad dan al-farisi.





عَطْفُ النَّسقِ
ATHAF NASAQ 

تَالٍ بحَرْفٍ مُتْبعٍ
عَطْفُ النَّسَقْ ¤ كَاخصُصْ بوُدٍّ وَثَنَاءٍ مَنْ صَدَقْ

Isim
tabi’ yg mengikuti dg huruf penghubung (antara Tabi’ dan Matbu’nya), demikian
definisi Athaf Nasaq. Seperti contoh “Ukhshush bi waddin wa tsanaa’in man
shadaqa” = Istimewakan..! dengan belas kasih dan sanjungan terhadap orang-orang
yg jujur. 
Athaf nasaq adalah tabi’ yang antara
ia dengan matbu’nya ditengai oleh salah satu huruf.
Contoh :
اخصص بود وثناء من صدق  
khususkanlah kecintaan dan pujianmu
kepada orang yang berteman denganmu.

فَالْعَطْفُ مُطْلَقاً
بِوَاوٍ ثُمَّ فَا ¤ حَتَّى أمَ أوْ كَفيكَ صِدْقٌ وَوَفَا

Athaf yg
mengikuti secara Mutlaq (lafazh dan Makna) yaitu dengan huruf Athaf Wawu,
Tsumma, Fa’, Hatta, Am, dan Aw. Seperti contoh “Fiika shidqun wa wafaa” = kamu
harus jujur dan menepati.   
Huruf athaf ada dua amcam yaitu :
Pertama, ma’tuf dan ma’tuf alaih secra
mutlak mempunyai kesamaan yang melaluinya, baik dari segi lafadz maupun
hukumnya.
Huruf yang dimaksud adalah
Wawu      seperti   جاء زيد و عمرو   
telah datang zaid dan amr.
Tsumma   seperti  جاء زيد ثم عمرو  
telah datang zaid kemudian amr.
Fa            seperti جاء زيد فعمرو  
telah datang zaid dan amr.
Hatta       seperti   قدم الحجاج حتى المشاة    
telah tiba jamaah haji itu dan orang-orang yang berjalan kaki
Am         seperti  ازيد عندك ام عمرو   
apakah orang yang disisimu itu zaid atau amr ?
Au         seperti 
جاء
زيد  او عمرو
 
telah datang zaid atau  amr.
Kedua, adalah huruf yang mengaitkan
antara ma’tuf dan ma’tuf alaih dari segi lafadznya saja.
Hal ini yang dimaskud dengan
perkataan :

وَأتْبَعَت لَفْظاً
فَحَسْبُ بَلْ وَلا ¤ لَكِنْ كَلَمْ يَبْدُ امْرُؤٌ لَكِنْ طَلَا

Sedangkan
huruf Athaf yg cukup mengikutkan secara lafazhnya saja, yaitu Bal, Laa dan
Laakin. Seperti contoh “Lam yabdu imru’un laakin tholaa” tidak tampak
seorangpun melainkan anak rusa.   
Ketiga
huruf
ini yang membuat lafadz yang kedua bersamaan dengan lafadz yang pertama dalam
hal I’robnya bukan dalan hal hukumnya, contoh :
ما قام زيد با عمرو     
zaid tidaklah berdiri melainkan amr.
جاء زيد لا عمرو        zaid telah datang bukan amr
لا تضرب زيدا لكن عمرا    
jangan engkau memukul zaid tetapi amr.

فاعْطِفْ بِوَاوٍ سَابِقَاً
أَو لاَحِقَاً
¤  فِي الحُكْمِ أَو
مُصَاحِبَاً مُوَافِقَاً

Athaf
kanlah dengan memakai wawu lafadz yanga akan menyusul atau yang mendahului
dalah hal hukum, atau lafadz yang berpengertian bersamaan lagi bersesuaian.

Huruf
wawu untuk menunjukkan muthlaqul jam’I menurut madzhab ulama nahwu bashrah.
Apabila
mengatakan
جاء
زيد و عمرو

zaid dan amr telah datang.
Hal ini menunjukkan kepada
pengertian kebersamaan antara zaid dan amr dalam hal kedatangannya. Adakalanya
kedatangan amr sesudah zaid atau datang datang sebelum zaid atau datang
bersamaan dengannya, sesungguhnya hal ini tidak jelas, kecuali jika ada qarinah
yang menunjuk kepada hal ini, seperti :
جاء زيد و عمرو و بعده  
telah datang zaid dan sesudah itu amr.
جاء زيد و عمروو قبله     telah datang zaid dan sebelum itu amr.
جاء زيد و عمروو معه     telah datang zaid dan amr secara bersamaan
Dengan demikian berarti huruf wawu
dapat dipakai sebagai huruf athaf untuk lafadz yang mempunyai pengertian akan
menyusul, yang mendahului dan yang bersamaan.
Manurut ulama nahwu kuffah, huruf
wawu ini dipakai untuk menunjukkan makana tertib, akan tetapi pendapat ini
dapat disanggah dengan mengemukakan contoh firman Alloh SWT :
ان هي الا حياتنا الدنيا نموت ونحيا
Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan
kita didunia ini, kita mati dan kita hidup. (Al-Muzammil : 37)


وَاخْصُصْ بِهَا عَطْفَ الَّذِي لاَ يُغْنِي ¤  مَتْبُوعُهُ كَاصْطَفَّ هذَا وَابْنِي

Khususkanlah
wawu ini untuk mengatofkan lafadz yang matbu’nya tidak dapat terlepas dari
tabi’nya, seperti isthaffa hadzawa ibni (bariskanlah orang ini dengan anakku)

 

Huruf athaf wawu mempunyai
tersendiri dari huruf-huruf athof yang lainya, yaitu dijadikan sebagai huruf
athaf untuk suatu hal dimana ma’thuf alaih tidak dianggap memberi pengertian
yang cukup kecuali dengan ma’tufnya, contoh :
اختصم زيد و عمرو      
telah bersengketa zaid dengan amr.
Seandainya dikatakan  اختصم زيد (telah bersengketa zaid), hal ini tidak
diperbolehkan. Sama dengan contoh diatas adalah lafadz-lafadz berikut :
اصطف هذا وابني   
bariskanlah orang ini dengan anakku.
Dalam keadaan seperti ini diatas
tidak boleh menggunakan huruf athaf fad an huruf athaf lainnya, kecuali wawu.


وَالفَاءُ لِلتَّرْتِيْبِ بِاتِّصَالِ ¤  وَثُمَّ لِلتَّرْتِيْبِ بِانْفِصَالِ

Huruf
athaf fa untuk menunjukkan makna urutan secara langsung dan tsumma untuk
menunjukkan makana urutan secara terpisah (tidak langsung)

Huruf
athaf fa untuk menunjukkan pengertian keterbelakangan ma’thuf atas ma’thuf
alaihnya secara muttasil (langsung) tanpa ada tenggang waktu. Sedangkan tsumma
untuk menunjukkan keterbelakangan ma’thuf atas ma’thuf alaihnya secara
terpisah, yakni memakai tenggang waktu. Contoh :
جاء زيد فعمرو  
zaid telah datang lalu amr.
جاء زيد ثم عمرو  
telah datang zaid kemudian amr.


وَاخْصُصْ بِفَاءٍ عَطْفَ مَا لَيْسَ صِلَه ¤  عَلَى الَّذِي اسْتَقَرَّ أَنَّهُ الصِّلَهْ

Khususkanlah
huruf athaf fa untuk mengathafkan lafadz yang tidak memiliki shilah
(penghubung) untuk dihubungkan kepada lafadz yang dapat ditetapkan bahwa ia
adalah shilah-nya.

 

Huruf
fa mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu dapat dijadikan sebagai huruf athaf
yang menghubungkan antara lafadz yang tidak layak untuk menjadi shilah karena
mengandung dhamir mausul dengan lafdz yang layak untuk dijadikan sebagai shilah
karena mengandung dhamir mausul.
Contoh
:
الذي
يطير فيغضب زيد الذباب
   hewan terbang yang membuat zaid marah adalah
lalat
Tidak
boleh mengatakan 
 ويغضب   atau   ثم
يغضب
 
karena huruf fa mengandung sababiyah. Karena itu keadaan rabith tidak
dibutuhkan sebab cukup dengan fa. Diperbolehkan mengatakan :
الذي
يطير فيغضب زيد الذباب
 
hewan
terbang yang membuat zaid marah karenany adalah lalat.
Karena
terdapar dhamir rabith yang menghubungkan antara shilah dan mausulnya.


بَعْضَا بِحَتَّى اعْطِفْ عَلَى ¤ كُلَ وَلاَ يَكُونُ إِلاَّ غَايَةَ الَّذِي
تَلاَ

Athafkanlah
dengan memakai hatta makna sebagian terhadap makna keseluruhan, dan tidaklah
makna yang dikandungnya kecuali merupaka tujuan dari lafadz yang mengirinya.

 

Disyaratkan
untuk lafadz yang diathafkan memakai hatta, hendaknya menjadi bagian dari
lafadz sebelumnya dan merupakan tujuan baginya dalam hal penambahan atau
pengurangan, seperti :
مات
الناس حتى الانبياء
   
manusia pasti akan mati hingga para nabi.


وَأَمْ بِهَا اعْطِفْ إِثْرَ هَمْزِ التَّسْوِيَهْ ¤ أَو هَمْزَةٍ عَنْ لَفْظِ
أَيَ مُغْنيَهْ

Dengan
am athafkanlah sesudah hamzah taswiyah, atau sesudah hamzah yang menggatikan
kedudukan lafadz ayyun.

Huruf
am ada dua jenis.
1.          
Am
muqathi’ah
2.          
Am
muttashilah
Am
muttashilah adalah am yang terletak sesudah hamzah taswiyah. Contoh :
سواء
علي اقمت ام قعدت
     bagiku sama saja, apakah kamu berdiri atau
duduk.
Juga
am yang terletak sesudah hamzah yang membutuhkan lafadz ayyun, contoh :
ازيد
عندك ام عمرو
       
apakah zaid yang ada disisimu ataukah amr ? makana yang dimaksud adalah
:
ايهما عندك      manakah diantara
keduanya yang berada disisimu ?


وَرُبَمَا أُسَقِطَتِ الهَمْزَةُ إِنْ ¤  كَانَ خَفَا المَعْنَى بِحَذْفِهَا أمِنْ

Terkadang
hamzah digugurkan apabila kesamaran maknanya dapat dihindari sekalipun dibuang.

 

Terkadang
hamzah tasywiyah dan hamzah yang menggantikan ayyun ini dibuang apabila
keadaannya aman dari kekeliruan pamahaman. Kedudukan am tetap muttashilah sama
halnya ketika hamzah masih ada. Contoh :
سواءعليهم
انذرتهم ام لم تنذرهم
Sama
saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak (Al-Baqarah : 6)
Bacaan
ayat ini dengan menggugurkan hamzah dari lafadz andzartahum.


وَبِانْقِطَاعٍ وَبِمَعْنَى بَل وَفَتْ ¤  إِنْ تَكُ مِمَّا قُيِّدَتْ بِهِ خَلَتْ

Am
ini dinamakan muqathi’ dan mengandung makna bal apabila terlepas dari
ikatan-ikatan tadi.

 

Dengan
kata lain, apabila am tidak didahului oleh hamzah tasywiyah dan tidak pula
didahului oleh hamzah yang mengandung makna ayyun, maka ia adalah am muqathiah.
Kala itu maknanya menunjukkan idhrab sama dengan makna yang dimiliki oleh
lafadz  bal. seperti :
لا
ريب فيه من رب العالمين . ام يقون افتراه
Tidak
adakeraguan didalamnya, (diturunkan) dari rabb swemesta alam, atau (patutlah) mereka
mengatakan “Muhammad membuat-buatnya” (yunus : 37-38)
Makna
yang dimaksud adalah : 
 بل يقون افتراه       


خَيِّرْ أَبِحْ قَسِّمْ باو وَأَبْهِمِ  ¤ وَاشْكُكْ
وَإِضْرَابٌ بِهَا أَيْضَاً نُمِي

Pilihlan,
perbolehkanlah, bagikanlah dengan memakai au dan ibhamkanlah serta ragukanlah
(dengan memakainya) dan terkadang pula dapat digunakan untuk makan idhrab.

 

Huruf
athaf au dapat dipakai untuk makna takhyir (memilih), seperti :
خذ
من مالي درهما او دينارا
       ambilah sebagian dari hartaku, dirham
atau dinar.
Dapat
pula dipakai untuk makan ibahah, contoh :
جالس
الحسن ام ابن سيرين
      
bergaullah dengan alhasan atau ibnu sirin.
Perbedaan
antara makna ibahah dan takhyir ialah, ibahah tidak ada larangan bila dihimpun,
sedangkan takhyir dilarang. Au dapat pula dipakai untuk makana taqsim
(pembagian).
Au
dapat dipakai pula untuk tujuan ibham terhadap pendengar (menyembunyikan maksud
yang sebenarnya terhadap pendengar). Seperti
جاء زيد  او عمرو   
Hal tersebut dikatakan apabila telah diketahui siapa
sebenarnya yang datang diantara keduanya. Dengan maksud menyembunyikan hal yang
sesungguhnya terhadap si pendengarnya.
Huruf athaf au juga dipakai untuk makna syak (ragu), seperti
جاء
زيد او عمرو
  
Huruf athaf au juga dipakai untuk makna idhrab.


وَرُبَّمَا عَاقَبَتِ الوَاوَ إِذَا  ¤ لَمْ
يُلفِ ذُو النُّطْقِ لِلَبْسٍ مَنْفَذَا

Terkadang au dipakai untuk
menggantikan wawu, yaitu apabila orang yang mengucapkannya merasa aman dari
kekeliruan pemahaman.

 

Terkadang au dipakai untuk
makna yang sama dengan wawu apabila keadaanya aman dari kekeliruan pemahaman,
seperti :
جاء الخلافة او كانت له
قدرا, كما اتى ربه موسى على قدر
Ia
menduduki tahta kekhalifahan dan memang kekhalifahan itu merupakan kepastian
baginya, sama halnya dengan nabi musa yang mendatangi rabbnya berdasar sesuatu
kepastian (takdir) baginya.

 


وَمِثْلُ أَو القَصْدِ إِمَّا الثَّانِيَهْ ¤  فِي نَحْوِ إِمَّا ذِي وَإِمَّا النَّائَيِهْ

Sama
maknanya dengan au, yaitu imam yang kedua sepeti dalam contoh ini, imam dzi
waimma naa iyyah (adakalanya orang ini atau orang yang jauh itu)

 

Atau
dengan kata lain, bahwa imam yang didahului oleh huruf yang semisal dengannya
dapat memberi pengertian yang sama dengan apa yang diberikan oleh au. Yaitu
adakalanya untuk makna takhyir seperti :
خذ
من مالي امل درهما واما دينارا
Ambillaj
sebagian dari hartaku baik yang dirham ataupun yang dinar.
Adakalahnya
dipakai untuk makna ibahah, contoh :
جالس
اما الحسن واما ابن سيرين
  
Pergalilah
alhasan atau ibnu syirin.
Adakalanya
dipakai untuk taqsim, contoh :
الكلمة
اما اسم و اما فعل واما حرف
Kalimah
itu adakalanya isim, atau fiil atau huruf.
Sebagian
dapat dipakai makna ibham dan syak, contoh :
جاء
اما زيد و اما عمرو
    telah
datang adakalanya zaid atau amr.


وَأَولِ لكِنْ نَفْيَاً أو نَهْيَاً وَلاَ ¤  نِدَاءً أو أَمْرَاً أوِ اثْبَاتَاً تَلاَ

Ikutilah
lakin dengan nafi atau nahi, dan laa dengan nida’ atau amar atau istbat.

Lafadz
lakin dipakai untuk tujuan athaf hanya sesudah nafi seperti :
ما
ضربت زيدا لكن عمرا 
       aku tidak memukul
zaid tetapi amr.
Atau
sesudah nahi, contoh :
لا
تضرب زيدا لكن عمرا 
       jangan memukul zaid
tapi amr.
Huruf
laa dipakai sebagai huruf athaf sesudah nida’ seperti :
يا
زيد لا عمرو
   hai zaid, bukan amr.
Dipakai
juga sesudah amar seperti :
  اضرب زيدا لكن عمرا        pukullah zaid jangan amr.
Sebagian
juga dapat dipakai sesudah kalam itsbat (bukan kalam nafi) seperti :
جاء
زيد لا عمرو
      zaid telah datang bukan amr.
Huruf
laa tidak boleh dijadikan sebagai athaf sesudah nafi, untuk itu tidak boleh
dikatakan  
جاء
زيد لا عمرو
 ما . lakin tidak boleh dijadikan huruf athaf
dalam kalam itsbat, untuk tidak boleh dikatakan :
جاء
زيد لكن عمرو
      


وَبَل كَلكِنْ بَعْدَ مَصْحُوبَيْهَا ¤ كَلَمْ أكُنْ فِي مَرْبَعٍ بَل تَيْهَا

Bal
sama dengan lakin sesudah kedua keadaan yang mengikutinya “lam akun fi marbain
bal taihan” (bukanlah aku berada dalam kebun tetapi padang sahara)


وَانْقُل بِهَا لِلثَّانِ حُكْمَ الأَوَّلِ ¤  فِي الخَبَرِ المُثْبَتِ وَالأَمْر الجَلِي

Pindahkanlah
hukum yang pertama kepada yang kedua melalui bal dalam kalam khabar yang
mutsbat, yang amar (kata perintah) yang jelas.

Kalam
nafi dan nahi dapat memakai athaf bal, dalam keadaan seperti itu lafadz bal
sama maknanya dengan lakin. Yaitu menetapkan hukum lafadz sebelumnya dan
mengukuhkan kebalikannya bagi lafadz sesudahnya, contoh :
ما
قام زيد بل عمرو
    
tidaklah zaid berdiri  tetapi amr.
لا
تضرب زيدا بل عمرا
  
jangan memukul zaid tetapi amr.
Lafadz
bal menetapkan makana nafi dan nahi yang telah mendahuluinya dan mengukuhkan
pekerjaan berdiri bagi bagi amr serta perintah untuk memukulnya.
Bal
dapat dipakai sebagai huruf athaf dalam khabar yang mustbat, dan amar dalam
keadaan seperti ini memberi faedah makna idhrab (tolakan) untuk lafadz yang
pertama, lalu mengalihkan hukum lafadz yang pertama kepada lafadz yang kedua.
Sehingga seakan-akan lafadz yang pertama merupakan hal yang tidak
disinggung-singgung lagi, contoh :
 قام زيد بل عمرو  zaid telah berdiri
bahakan amr
  اضرب زيدا بل عمرا        pukullah zaid bahkan amr.


وَإِنْ عَلَى ضَمِيْرِ رَفْعٍ مُتَّصِل ¤ عَطَفْتَ فَافْصِل بِالضَّمِيْرِ
المُنْفَصِل

Apabila
mengathafkan kepada dhamir rafa yang muttasil, maka pisahkanlah dengan dhamir
munfashil.

 

أَو فَاصِلٍ مَّا وَبِلاَ
فَصْلٍ يَرِدْ ¤ فِي النَّظْمِ فَاشِيْاً وَضَعْفَهُ اعْتَقِدْ

Atau
pemisah apapun dan sering didalam nadham (syair) hal ini tidak memakai pemisah,
tetapi yakinilah bahwa hal tersebut dianggap lemah.

 

Apabila
mengathafkan dhamir rafa yang muttasil dengan lafadz yang diathafkan kepadanya
dengan sesuatu. Kebanyakan pemisah ini berupa dhamir munfashil, seperti yang
terdapat pada firman Alloh :
لقد
كنتم انتم و اباؤكم في ضلال مبين
Sesungguhnya
kalian yakni kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesatuan yang nyata.
(al-anbiya : 54)
Dhamir
marfu’ yang mustatar dalam masalah ini sama kedudukannya dengan dhamir
muttasil, contoh :
اضرب
انت وزيد
     
pukullah oleh kamu dan zaid.
Ibnu
malik menyatakan :
وبلا
فصل يزد
   
sering kali dalam syair tidak memakai pemisah.
Hal
ini mengisyaratkan bahwa terkandung didalam kalam adham lafadz yang diathafkan kepada
dhamir tersebut tidak memakai pemisah lagi (langsung).
Hanya
sedikit hal semacam ini (tanpa pemisah) dalam kalam natsar.
Dapat
dsimpulkan dari pernyataan tadi, bahwa mengathafkan sesuatu lafadz kepada
dhamir marfu’ yang munfasil tidak membutuhkan pemisah lagi.  Demikian pula apabila dhamir manshub muttasil
dan munfasil. Contoh :
زيد
ضربته وعمرو
          zaid aku telah memukulnya dan pula
amr.
مااكرمت
الااياك وعمرا
       
tidaklah aku menaruh rasa hormat kecuali kepada kamu dan amr.


وَعَودُ خَافِضٍ لَدَى عَطْفٍ عَلَى ¤  ضَمِيْرِ خَفْضٍ لاَزِمَاً قَدْ جُعِلاَ

Mengulangi
huruf jar sewaktu diathafkan kepada dhamir yang dijarkan merupakan suatu
keharusan.


وَلَيْسَ عِنْدِي لاَزِمَاً إِذْ قَدْ أَتَى ¤ فِي النَّظْمِ وَالنَّثْرِ
الصَّحِيْحِ مُثْبَتَا

Tetapi
menurutku (penulis) bukan merupakan suatu keharusan sebab hal ini terkadang
disebutkan pula baik dalam kalam nastar maupun nadham dianggap sebagai hal yang
dibenarkan.

Kebanyakan
ulama  nahwu mengharuskan huruf
jar diulangi  apabila suatu lafadz diathafkan
kepada dhamir yang majrur. Karena secara idioms hal ini ada baik dalam kalam
nastar maupun kalam nadham. Yakni mengathafkan suatu lafadz kepada dhamir
majrur tanpa mengulangi huruf jar lagi. Contoh :
واتقوا
الله الذي تساءلون به والارحام
Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan (memakai) nama-Nya kalian saling meminta
satu sama lain. (an-nisa’ : 1)


وَالفَاءُ قَدْ تُحْذَفُ مَعْ مَا عَطَفَتْ  ¤  وَالوَاوُ
لاَ لَبْسَ وَهْيَ انْفَرَدَتْ

Huruf
athof fa’ dan wawu terkadang dibuang berserta lafadz yang diatofkan dengannya
karena tidak ada kekeliruan pemahaman, tetapi huruf atof wawu mempunyai
keistimewaan tersendiri.

بِعَطْفِ عَامِلٍ مُزَالٍ قَدْ بَقِي  ¤  مَعْمُولُهُ دَفْعَاً لِوَهْمٍ اتُّقِي

Yaitu
amil yang diatofkan dapat dibuang, sedangkan ma’mulnya masih tetap ada untuk
menolak anggapan yang bukan-bukan.

 

Terkadang
huruf atof fa berserta ma’tufnya dibuang karena adad dalil yang menunjukkan
kepadanya, sebagai contoh dalam firman Alloh :
فمن
كان منكم مريضا او على سفر فاعدة من ايام اخر
Jika
diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. (QS albaqarah : 184)
Makna
yang dimaksud adalah :
فافطر
فعليه فاعدة من ايام اخر
Lalu
ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditingggalkan itu
pada hari yang lain.
Lalu
lafadz aftoro dibuang berikut huruf fa yang berada didalamnya. Demikian pula
huruf atof wawu dpat dibuang sebagai contoh :
راكب
الناقة  طالحيحان
     pengendara unta itu
berikut (unta-untanya) kedua-duanya merasa payah.
Bentuk
lengkapnya adalah
راكب الناقة  و الناقة 
طالحيحان
 pengendara unta itu berikut (unta-untanya)
kedua-duanya merasa payah.
Tetapi
huruf atof wawu mempunyai keistimewaan tersendiri diantara huruf atof lainnya.
Yaitu bahwa ia dapat mengatofkan amil yang dibuang, tetapi ma’mulnya masih
tetap ada. Contoh :
اذا
ما الغانيات برزنا يوما وزججن الحواجب والعيونا
Apabila
wanita-wanita penyanyi itu mulai muncul disuatu hari dan menipiskan alisnya
serta (mencelaki) matanya.
Lafadz
al uyuuunu berkedudukan sebagai maf’ul sedangkan fiil ayng menjadi amilnya
dibuang. Bentuk lengkapnya adalah :
وكحلنا
العيون
     
dan menipisnya alisnya serta mencelaki matanya.
Fiil yang dibuang tersebut  diatofkan pada lafadz zajajna.


وَحَذْفَ مَتْبُوعٍ بِدَا هُنَا اسْتَبِحْ ¤  وَعَطْفُكَ الفِعْلَ عَلَى الفِعْلِ يَصِحّ

Diperbolehkan
pada bab ini membuang matbu’ yang sudah jelas. dianggap sah dalam bab ini anda
mengatofkan fiil pada fiil lainnya.

Terkadang
ma’tuf alaih dapat dibuang karena ada dalil yang menunjukkan pada
keberadaannya. Contoh dalam surat al-jatsiyah :
افلم
تكن اياتي تتلى عليكم
   
apakah belum ada ayat-ayatku yang belum dibaca pada kalian. (qs. Al
jatsiyah)
Kepanjangan
ayat tadi menurut imam zamaksyari adalh sebagai berikut :
  افلم تكن اياتي فلم تكن
تتلى عليكم
 
Apakah belum ada ayat-ayatku yang belum dibaca pada kalian lalu
ayat-ayat tadi tidak dibaca kepada kalian. (qs. Al jatsiyah)
Lalu
ma’tuf alaihnya dibuang yaitu
الم تءتيكم   
Lalu
imam malik mengatakan
وعطفك الفعل     
(dibolehkan
pada bab ini anda mengatofkan pada fiil   


وَاعْطِفْ عَلَى اسْم شِبْهِ فِعْلٍ فِعْلاَ ¤  وَعَكْسَاً اسْتَعْمِل تَجِدْهُ سَهْلاَ

Atofkanlah
fiil kepada isim yang menyerupai fiil dan begitu pula sebaliknyadapat anda
gunakan, niscaya anda akan menjumpai hal ini dengan mudah.

Fiil
boleh diatofkan kepada isim yang menyerupai fiil seperti kepada isim fail dan
lain-lainnya yang serupa dengan fiilnya. Hal ini diperbolehkan pula
kebalikannya yaitu mengatofkan isim kepada fiil yang menduduki tempat isim.
Contoh :
فابمغيرات
صبحا فاثرن به نقعا
Dan
kuda yang menyerang diwaktu pagi dengan tiba-tiba, maka ia menerbangkan debu.
(al-aadiyat : 3-4)
ان
المصدقين والمصدقات واقرضوا الله

Sesungguhnya orang-orang
yang membenarkan (Alloh dan Rasulnya) baik laki-laki maupun perempuan, dan
meminjamkan kepada Alloh. (al-hadid : 18)

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top