sejarah memang sejak zaman Nabi Muhammad hingga khulafaur rasyidin istilah
tasawuf tidak pernah disebut tasawuf bahkan belum ada istilah tersebut.
Sehingga hal ini menyebabkan banyak dijadikan alas an para pengkritik sufi atau
kelompok yang menolak adanya tasawuf , karena istilah
itu tidak pernah terdengar selama masa hidup Nabi Muhammad, atau mereka yang hidup
setelahnya, atau mereka yang hidup setelahnya, bahkan ada yang berpendapat bahwa
istilah ini hanya dibuat-buat saja.
tasawuf baru digunakan pada pertengahan abad ke-2 H. Orang yang pertama kali
menggunakan istilah ini adalah Abu Hasyim Al-kufi dengan cara
meletakkan kata ash-shufi di akhir namanya. Walaupun sebenarnya sebelum
dirinya telah banyak orang yang ahli dalam hal zuhud, wara’, tawakkal, dan
mahabbah.
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang dapat
berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Selain itu, tasawuf
dapat menjadikan agama lebih dihayati serta dijadikan sebagai suatu kebutuhan
bahkan suatu kenikmatan.
Pembahasan
Ihya
Ulumuddin berasal dari kegelisahan seorang ulama Hujjatul Islam yakni al-Imam
Abu Hamid al-Ghazali, betapa tidak sebab ilmu agama (ulumuddin) pada waktu itu tidak
lebih dari “baju usang” yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang,
kebanyakan dari mereka lebih memilih tergila-gila oleh kecantikan ilmu positif,
filsafat dan kalam yang berasal dari luar Islam. Yang pada masa itu oleh para
penguasa melakukan import ilmu dari luar islam sehingga lambat laun, tanpa
sadar, kepekaan umat terhadap ilmu islam mulai memudar, kepercayaan diri mereka
menurun drastis, harga diri mereka telah hilang, dan dibayar mahal dengan
gengsi yang tinggi akan ilmu-ilmu yang dibawa dari luar itu dan menganggap
bahwa mempelajari ilmu agama yang dibawa oleh Nabi saw merupakan yang
“memalukan”, tidak bermanfaat bahkan dianggap menghalang-halangi kemajuan
peradaban manusia, karena terlalu jauh dengan kenyataan kehidupan umat manusia
sebenarnya.
Pengarang
dari kitab ini adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.
Beliau lahir di di kota Thuss dalam wilayah Khurasan, Iran.[1]
Pada tahun 450 H/1058 M. Beliau adalah seorang tokoh pemikir islam yang
menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), ”Hiasan Agama” (Zainuddin),
“Samudra yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq) dan lain-lain.
Kitab
Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya fenomenal yang menjadi inti sari
dari seluruh karya Imam Al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulumuddin berarti
menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Sebagaimana judulnya kitab ini berisi
tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntut umat Islam, tidak berorintasi pada
kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama[2]
Awal
mula al-Ghazali menulis kitab ini ketika ia mulai menjadi rektor di Universitas
Nizamiyah. Disini beliau dipenuhi pengaruh yang mengarah pada materialis. Tak
butuh yang lama pengaruh itu mulai masuk pada dirinya, karena kemudian timbul gejolak
pada batinnya, pergolakan dan pertentangan antara “ilmu dan amal”. Gejolak
dalam batinnya ini yang membuat dirinya jatuh sakit, hingga para dokter
mengatakan tak bisa mengobati sakitnya Selama waktu penyembuhan dirinya dipenuhi
keraguan akan perkerjaannya hingga akhirnya keluar pada tahun 488 M dan pergi
ke Damaskus. disana dia menghabiskan sekitar dua tahun merenung, membaca dan
menulis tentang tasawuf sebagai cara hidup. Maka ia berusaha menyembuhkan
penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri. Diobatinya penyakit itu dengan
melindungkan dirinya kepada Allah, mohon bantuan dan pertolongannya agar
disembuhkannya, dan agar penyakit itu lepas dari dirinya. Akhirnya berkat
anugrah Allah, sakitnya menjadi sembuh, bahkan ia mendapat ilham dan petunjuk
dari-nya.[3]
Selama
hampir dua tahun, Al-Ghazali menjadi hamba Allah dan mampu mengendalikan hawa
nafsunya. Dia menghabiskan waktunya untuk berdoa, beribadah, dan ittikaf di sebuah
masjid di Damaskus. Setelah terus berdzikir sepanjang waktu dan terus bertaqarrub
kepada Allah. Kemudian Al-Ghazali pindah ke Baitul maqdis, disana dirinya
selalu merenung, membaca dan menulis karya, puncaknya adalah kitab “Ihya’
Ulumuddin”. Selanjutnya, kitab itu disusun pada waktu ketika umat Islam sedang
teledor terhadap ilmu agama, yaitu setelah Al-Ghazali kembali dari rasa
keragu-raguan dengan tujuan utama untuk menghidupkan kembali ilmu agama. Hal
ini karena Ketika itu, umat islam acuh terhadap ilmu-ilmu Islam dan mereka lebih
asyik dengan filsafat barat. Oleh karena itu, Al-Ghazali tergerak untuk
membersihkan hati umat dari kesesatan.
Kitab
Ihya Ulumudin (احياة العلوم
الدين) berisi tentang aturan dan prinsip dalam penyucian jiwa: seruan
kesucian jiwa dalam agama, sifat takwa, konsep zuhud, cinta sejati, menjaga
hati dan jiwa, Selalu menanamkan keikhlasan dalam beragama. Isi lain dari buku
ini antara lain perlunya mencari ilmu, pentingnya ilmu, bahayanya tidak
memiliki ilmu, penjagaan thaharah dan Salat, Al-Qur’an, Dzikir, penanganan
shalat, penerapan moralitas agama, dll. menangani masalah dasar dari Umat
Islam dalam berbagai aspek kehidupan, hakikat persaudaraan, tuntunan untuk
meningkatkan akhlak, cara-cara mengendalikan hawa nafsu, bahaya lisan,
pencegahan iri hati dan emosi, zuhud, pendidikan syukur dan kesabaran,
Penghindaran Kesombongan, Dorongan untuk Selalu Bertaubat Pentingnya Kedudukan
Tauhid, Pentingnya Niat dan Kejujuran, Konsep Kedekatan dengan Allah
(Muraqaba), Perenungan, Mengingat Kematian dan Rahmat Allah, Mencintai
Rasulullah.
Pembahasannya
dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi menjadi 10 pasal.[4]
Yaitu: pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang
adat istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan
(rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal
(rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah
ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, tasawuf kemudian menjadi
salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari
Islam.[5]
· Rubu ibadat merupakan
pembahasan mengenai pengantar mengenai ilmu secara sistematis dan sederhana,
ilmu Tauhid secara mendalam, dan rahasia-rahasia ibadah lengkap dengan sudut
pandang fiqih.
·
Rubu al-Adat,
membicarakan mengenai adab-adab sehari-hari sampai kepada adab kenabian.
· Rubu
al-Muhlikat mulai menyentuh sisi spritual dengan membahas keajaiban hati,
metode riyadhah (latihan spritual), serta pengkajian terhadap penyakit-penyakit
spritual sesuai dengan al-Qur’an.
·
Rub’ul Munjiyat
membicarakan maqamat dan aḥwal para sufi sesuai dengan keterangan-keterangan
yang bersifat syari dan aqli.
Adapun
motivasi al-Ghazali menulis kitab Iḥya sedemikian
sistematis karena dua hal, seperti yang dikatakan oleh dirinya sendiri.
Pertama, sistematika dan kajian semacam itu adalah sesuatu yang dharuri
(penting). Sebab ada dua jenis ilmu yang dapat mengantarkan kepada ilmu tentang
akhirat yaitu muamalah dan mukasyafah.
Motivasi
kedua, keinginan al-Ghazali untuk menyembuhkan “penyakit hati” dan mengajarkan
ilmu fiqih kepada fuqoha’. Ini karena kebanyakan dari mereka cenderung
memiliki keinginan duniawi seperti pamer dan mencari ketenaran. Dengan sistem
di atas, khususnya pada rubu al-Ibadah sangat mempengaruhi dunia fiqh, lambat
laun mereka dapat menyerap ajaran-ajaran spiritual.
Meskipun
kitab ini merupak inti sari seluruh karya Imam Al-Ghazali kitab ini tidak lepas
dari kritik para kelompok anti tasawuf menurut mereka Al-Ghazali enggan
menggunakan hadits ahad dalam menetapkan akidah. Menurutnya, masalah aqidah harus didasarkan
pada keyakinan dan bukan dugaan dan, sesuatu yang dhanni tidak boleh diamalkan
dan dijadikan hukum. Kajian Muhammad al-Ghazali terhadap Hadits Nabi
menitikberatkan pada kritik terhadap matan, dalam memaknai hadist[6]
Ditulis oleh : Muhammad Bahtiar Harsaputra
[1] Afzainizam, M. (2018). “Menyoal
Otentitas Hadis dalam Kitab Ihya Ulumuddin.”. Institutional Repository
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] In’amul, H., & Ahmad, A. R.
(2020). Polarisasi Sufistik Dan Hadis Pada Popularitas Ihya’ ‘Ulumuddin Di
Nusantara. Riwayah : Jurnal Studi Hadis.
[3] Dr. Ngainun Na’im, M. A. (2016). the
Perspective of Learning Al-Ghazali. UIN Satu Tulungagung Institutional
Repository.
[4] AL-GHAZALI, P. I., & IHYA’ULUMIDDIN, D. K. A. Riwayat Hidup
Imam Al-Ghazali 1. Biografi Imam Al-Ghazali.
[5] Hadi, A. (2016). AJARAN TASAWUF Al
GAZALI DALAM INTETEKTUALITAS. PROSIDING HASIL PENELITIAN DOSEN UNISKA TAHUN.
[6] Basid, A. (2017). Kritik Terhadap
Metode Muhammad Al-Ghazali dalam Memahami Hadits Nabi Muhammad Saw. KABILAH:
Journal of Social Community 2.1.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.