Uncategorized

Empat prinsip meluruskan kesalahan



Bismillahirrahmanirrahim

EMPAT PRINSIP MELURUSKAN KESALAHAN
Salah dan lupa adalah sifat
yang melekat pada manusia. Tidak ada yang bisa menghindarinya kecuali atas
rahmat dan izin dari Allah. Oleh karenanya, agama tidak mengajari kita
bagaimana caranya menghilangkan kedua sifat tersebut, karena hal itu mustahil. Agama
hanya mengajari kita bagaimana berdamai dengan sifat-sifat alamiah kita
sendiri, dan meraih manfaat dari kekurangan-kekurangan yang ada. Kita tidak didorong
untuk menghapusnya secara mutlak, namun mengendalikannya secara wajar.

Jiwa manusia memang sangat rawan tercoreng aneka noda. Kecil atau besar,
sengaja atau tidak, tersembunyi atau terang-terangan, sendirian atau
berkelompok, manusia berpeluang terperosok dalam kesalahan. Masalahnya akan
sederhana jika Allah mengizinkan kita hidup dan mati begitu saja mengikuti
naluri seperti binatang. Namun, Allah telah memberi kita taklif, yakni
tanggung jawab berupa perintah dan larangan, dan meminta kita untuk bekerja
keras meluruskan hidup serta menjaga kesucian diri. Inilah konteks dari doa
Nabi Ibrahim: “Janganlah Engkau hinakan aku pada hari ketika mereka
dibangkitkan. (Yaitu) di hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(Qs.
asy-Syu’ara’: 87-89).
Oleh karenanya, Allah mengirim para Nabi dan Rasul. Diantara hikmahnya
adalah meluruskan kesalahan-kesalahan manusia dalam kehidupan ini. Ketika zaman
kenabian telah berakhir, maka tugas tersebut diwariskan kepada para ulama’ dan orangtua,
untuk membimbing generasi berikutnya mengenal Allah dan mengikuti jalan
kebenaran. Diantara prinsip yang diajarkan Al-Qur’an untuk meluruskan
penyimpangan manusia direkam dalam surah Az-Zumar: 53-55. Disana Allah
berfirman
: “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan
berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak
dapat ditolong (lagi). Ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya.”
Ada empat prinsip utama yang ditegaskan disini. Pertama,
memberi kabar gembira dan tidak membuat putus asa. Pada dasarnya, orang yang
melakukan dosa dan kesalahan sedang berada dalam kondisi lemah dan lengah.
Kalau bukan karena kelemahan dan kelengahannya, tidaklah mungkin syetan mampu
menggelincirkannya. Sebab, tipudaya syetan sebenarnya sangatlah lemah (lihat:
Qs. an-Nisa’: 76). Maka, tidak ada terapi mujarab bagi orang-orang seperti ini
selain membangun kembali kepercayaan diri dan pengharapannya. Dengan ini kita
berharap ia memiliki energi batin untuk bangkit dari keterpurukan dan melawan
godaan syetan.
Kedua dan ketiga, menuntun untuk kembali ke jalan Allah dan membimbing agar berkomitmen
kepada-Nya. Setelah tumbuh kemauan dalam batinnya, maka ia harus dituntun untuk
kembali ke jalan Allah dan berkomitmen kepada-Nya perlahan-lahan. Tentang hal
ini, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menulis dalam kitab al-Ghunyah, “Pertama-tama,
suruh mereka untuk meninggalkan kecenderungan menuruti kebiasaan dan tabiatnya
dalam segala hal.
Mulailah dengan kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan/longgar,
sehingga mereka bisa keluar dari belenggu dan dominasi kebiasaan serta
tabiatnya itu, dan akhirnya bisa beralih menjadi di bawah ikatan syari’at dan
pengabdian di dalamnya.
Kemudian, pindahkan mereka dari yang bersifat ringan/longgar itu
kepada yang bersifat lebih ketat
/berat sedikit demi sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang
bersifat
ringan/longgar tadi,
dan tempatkan sebagai gantinya sesuatu bagian lain yang bersifat
berat/ketat.
Jelasnya, tidak ada yang bisa membersihkan hati manusia kecuali Allah,
Dzat yang menciptakan hati dan memilikinya. Dengan kata lain, hanya ada satu
cara untuk membersihkan diri, yaitu: taat kepada-Nya. Al-Qur’an menyatakan: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan
itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya
tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya
tidak seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan
mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. An-Nur:
21)
Keempat, mengikuti
pilihan-pilihan tindakan terbaik. Ketika menafsirkan surah az-Zumar: 55, yakni
ayat yang memuat prinsip ini, al-Hafizh Ibnul Jauzi merujukkannya kepada
kalimat senada dalam surah al-A’raf: 145. Menurut para ulama’, dalam syariat
Islam terdapat bermacam-macam kebaikan. Sebagian lebih utama dibanding yang
lain. Kita diperintahkan untuk memilih mana yang paling utama, sesuai situasi-kondisi
yang ada. Misalnya, melakukan kebaikan adalah utama, dan menjauhi keburukan
juga utama, namun melakukan kebaikan jelas lebih tinggi nilainya. Membalas
dengan qishash dibenarkan dalam syariat, tetapi memaafkan pasti lebih
unggul. Memenuhi amal fardhu lebih utama dibanding nawafil (sunnah), dan
amalan nawafil tentu lebih baik dari yang mubah. Suatu ketika berpuasa bisa
menjadi pilihan terbaik, namun hal ini tidak berlaku ketika kita sakit berat.
Demikianlah seterusnya.
Jika kita melaksanakan prinsip-prinsip ini, maka hati yang semula
berpaling dari kebenaran akan kembali ke pangkuannya, dengan seizin Allah. Wallahu
a’lam.

[*] Alimin
Mukhtar. Jum’at, 05 Jum. Akhirah 1433 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang dan www.hidayatullah.com




Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top