BAB LI’AN & QADZAF (MENUDUH ZINA)

BAB LI’AN & QADZAF (MENUDUH ZINA)


(Fasal) menjelaskan hukum qadzaf dan li’an.
(فَصْلٌ)
فِيْ أَحْكَامِ الْقَذَفِ وَاللِّعَانِ
Secara bahasa, li’an adalah bentuk kalimat masdar
yang diambil dari lafadz “al la’nu” yang berati jauh.
وَهُوَ لُغَةً مَصْدَرٌ مَأْخُوْذٌ مِنَ اللَّعْنِ أَيِ
الْبُعْدِ
Dan secara syara’ adalah beberapa kalimat
tertentu yang dijadikan sebagai hujjah
bagi orang yang terpaksa menuduh zina terhadap orang yang telah menodahi
kehormatannya dan mempertemukan cacat padanya.
وَشَرْعًا كَلِمَاتٌ مَخْصُوْصَةٌ جُعِلَتْ حُجَّةً لِلْمُضْطَرِ
إِلَى قَذَفِ مَنْ لَطَخَ فِرَاشَهُ وَ أَلْحَقَ الْعَارَ بِهِ
Ketika seorang laki-laki menuduh zina terhadap
istrinya, maka wajib baginya untuk menerima had qadzaf, dan akan dijelaskan
bahwa sesungguhnya had qadzaf adalah delapan kali cambukan.
(وَإِذَا
رَمَى) أَيْ قَذَفَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَا فَعَلَيْهِ حَدُّ الْقَذَفِ)
وَسَيَأْتِيْ أَنَّهُ ثَمَانُوْنَ جَلْدَةً
Kecuali lelaki yang menuduh zina tersebut mampu
mendatangkan saksi atas perbuatan zina wanita yang ia tuduh.
(إِلَّا
أَنْ يُقِيْمَ) الرَّجُلُ الْقَاذِفُ (الْبَيِّنَةَ) بِزِنَا الْمَقْذُوْفَةِ
Atau lelaki tersebut melakukan sumpah li’an
terhadap istrinya yang ia tuduh berzina.
(أَوْ
يُلَاعِنَ) زَوْجَتَهُ الْمَقْذُوْفَةَ
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “atau
ia berkenan melakukan sumpah li’an dengan perintah seorang hakim atau orang
yang hukumnya sama dengan hakim seperti muhakkam
(orang yang diminta untuk menjadi juru hukum).
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَوْ يَلْتَعِنُ بِأَمْرِ الْحَاكِمِ
أَوْ مَنْ فِيْ حُكْمِهِ كَالْمُحَكَّمِ
Proses
Li’an
Kemudian lelaki tersebut berkata di hadapan hakim
di masjid jami’ di atas mimbar di hadapan sekelompok orang minimal empat
orang, “aku bersaksi demi Allah bahwa
sesungguhnya aku termasuk golongan yang jujur atas tuduhan zina yang telah
aku tuduhkan terhadap istriku, fulanah yang sedang tidak berada di sini.”
(فَيَقُوْلُ
عِنْدَ الْحَاكِمِ فِيْ الْجَامِعِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِيْ جَمَاعَةٍ مِنَ النَّاسِ)
أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ (أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّنِيْ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا
رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ) الْغَائِبَةَ (فُلَانَةً مِنَ الزِّنَا)
Jika sang istri juga berada di tempat, maka
lelaki itu memberi isyarah pada istrinya dengan ucapan, “istriku ini.”
وَإِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً أَشَارَ لَهَا بِقَوْلِهِ زَوْجَتِيْ
هَذِهِ
Jika di sana terdapat anak yang ia putus  dari nasabnya, maka iapun harus menyebutkan
anak tersebut di dalam kalimat-kalimat sumpah li’an itu, maka ia berkata,
وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ وَلَدٌ يَنْفِيْهِ ذَكَرَهُ فِيْ
الْكَلِمَاتِ فَيَقُوْلُ:  
“dan sesungguhnya anak ini
hasil dari zina, bukan dari saya.”
(وَإِنَّ
هَذَا الْوَلَدَ مِنَ الزِّنَا وَلَيْسَ مِنِّيْ)
Lelaki yang sumpah li’an tersebut harus
mengucapkan kalimat-kalimat ini sebanyak empat kali.
وَيَقُوْلُ الْمُلَاعِنُ هَذِهِ الْكَلِمَاتِ (أَرْبَعَ
مَرَّاتٍ
Dan pada tahapan kelima, setelah hakim atau
muhakkam menasihatinya dengan memperingatkannya atas siksaan Allah di akhirat
dan sesungguhnya siksa Allah di akhirat jauh lebih pedih daripada siksa di
dunia, maka sang suami mengatakan, “dan
saya berhak mendapatkan laknat Allah swt jika saya termasuk orang-orang yang
bohong atas tuduhan zina yang saya tuduhkan pada istriku ini.”
وَيَقُوْلُ فِيْ) الْمَرَّةِ (الْخَامِسَةِ بَعْدَ أَنْ
يَعِظَهُ الْحَاكِمُ) أَوِ الْمُحَكَّمُ بِتَخْوِيْفِهِ لَهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ
فِيْ الْآخِرَةِ وَأَنَّهُ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا (وَعَلَيَّ لَعْنَةُ
اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ) فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ هَذِهِ مِنَ الزِّنَا
Dan ungkapan mushannif, “di atas mimbar di hadapan jama’ah” adalah sesuatu yang tidak
wajib dilakukan di dalam li’an bahkan hal itu hukumnya adalah sunnah.
وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِيْ جَمَاعَةٍ
لَيْسَ بِوَاجِبٍ فِيْ اللِّعَانِ بَلْ هُوَ سُنَّةٌ .
Konsekwensi
Li’an
Li’an yang dilakukan oleh seorang suami walaupun
sang istri tidak melakukan sumpah li’an, berhubungan dengan lima hukum :
(وَيَتَعَلَّقُ
بِلِعَانِهِ) أَيِ الزَّوْجِ وَإِنْ لَمْ تُلَاعِنِ الزَّوْجَةُ (خَمْسَةُ أَحْكَامٍ:)
Yang pertama, gugurnya had dari sang suami
maksudnya had qadzaf yang dimiliki oleh istri yang dili’an, jika memang sang
istri adalah wanita yang muhshan
(terjaga), dan gugurnya ta’zir jika sang istri bukan wanita yang muhshan.
أَحَدُهَا (سُقُوْطُ الْحَدِّ) أَيْ حَدِّ الْقَذَفِ
لِلْمُلَاعِنَةِ (عَنْهُ) إِنْ كَانَتْ مُحْصَنَةً وَسُقُوْطُ التَّعْزِيْرِ عَنْهُ
إِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُحْصَنَةٍ
Yang kedua, tetapnya hukum had atas sang istri,
maksudnya had zina baginya, baik ia wanita muslim ataupun kafir jika ia tidak
melakukan sumpah li’an.
(وَ)
الثَّانِيْ (وُجُوْبُ الْحَدِّ عَلَيْهَا) أَيْ حَدِّ زِنَاهَا مُسْلِمَةً كَانَتْ
أَوْ كَافِرَةً إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ
Yang ketiga, hilangnya hubungan suami istri.
(وَ)
الثَّالِثُ (زَوَالُ الْفِرَاشِ)
Selain mushannif mengungkapkan hal ini dengan
bahasa “perceraian untuk
selama-lamanya”
. Perceraian tersebut hukumnya sah / hasil dhahir batin,
walaupun sang suami yang melakukan sumpah li’an tersebut mendustakan dirinya.
وَعَبَّرَ عَنْهُ غَيْرُ الْمُصَنِّفِ بِالْفُرْقَةِ
الْمُؤَبَّدَةِ وَهِيَ حَاصِلَةٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَذَّبَ الْمُلَاعِنُ
نَفْسَهُ
Yang ke empat, memutus hubungan anak dari suami
yang melakukan sumpah li’an.
(وَ)
الرَّابِعُ (نَفْيُ الْوَلَدِ) عَنِ الْمُلَاعِنِ
Sedangkan untuk istri yang melakukan sumpah
li’an, maka nasab sang anak tidak bisa terputus dari dirinya.
أَمَّا الْمُلَاعِنَةُ فَلَا يَنْتَفِيْ عَنْهَا نَسَبُ
الْوَلَدِ
Yang kelima, mengharamkan sang istri yang
melakukan sumpah li’an untuk selama-lamanya.
(وَ)
الْخَامِسُ التَّحْرِيْمُ) لِلزَّوْجَةِ الْمُلَاعِنَةُ (عَلَى الْأَبَدِ)
Sehingga bagi lelaki yang melakukan sumpah li’an
tidak halal menikahinya lagi dan juga tidak halal mewathinya dengan alasan milku yamin, walaupun wanita tersebut
berstatus budak yang ia beli.
فَلَا يَحِلُّ لِلْمُلَاعِنِ نِكَاحُهَا وَلَا وَطْؤُهَا
بِمِلْكِ الْيَمِيْنِ وَ لَوْ كَانَتْ أَمَّةً وَاشْتَرَاهَا
Di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya
terdapat keterangan tambahan atas kelima hal ini.
وَفِيْ الْمُطَوَّلَاتِ زِيَادَةٌ عَلَى هَذِهِ الْخَمْسَةِ
Di antaranya adalah gugurnya status muhshan sang wanita bagi sang suami
jika memang sang wanita tidak melakukan sumpah li’an juga.
مِنْهَا سُقُوْطُ حَصَانَتِهَا فِيْ حَقِّ الزَّوْجِ
إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ
Sehingga, seandainya setelah itu sang suami
menuduhnya berbuat zina lagi, maka sang suami tidak berhak dihad.
حَتَّى لَوْ قَذَفَهَا بِزِنَا بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُحَدُّ
Li’annya
Sang Istri
Had zina bisa gugur dari sang istri dengan cara
ia membalas sumpah li’an, maksudnya melakukan sumpah li’an terhadap sang
suami setelah li’an sang suami sempurna.
(وَيَسْقُطُ)
الْحَدُّ (عَنْهَا بِأَنْ تَلْتَعِنَ) أَيْ تُلَاعِنَ الزَّوْجَ بَعْدَ تَمَامِ لِعَانِهِ
Di dalam li’annya dan sang suami hadir, maka sang
istri berkata, “saya bersaksi demi Allah
bahwa sesungguhnya fulan ini sungguh termasuk dari orang-orang yang dusta
atas tuduhan zina yang ia tuduhkan padaku.”
(فَتَقُوْلُ)
فِيْ لِعَانِهَا إِنْ كَانَ الْمُلَاعِنُ حَاضِرًا (أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ فُلَانًا
هَذَا لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِيْ بِهِ مِنَ الزِّنَا)
Wanita tersebut mengulangi ucapannya ini sebanyak
empat kali.
وَتُكَرِّرُ الْمُلَاعِنَةُ هَذَا الْكَلَامَ (أَرْبَعَ
مَرَّاتٍ
Pada tahapan kelima dari li’annya setelah hakim
atau muhakkam menasihatinya dengan
memperingatkan padanya akan siksaan Allah Swt di akhirat dan sesungguhnya
siksa-Nya di akhirat jauh lebih pedih daripada siksaan di dunia, maka wanita
tersebut berkata, “dan saya berhak
mendapat murka Allah Swt jika dia termasuk orang-orang yang jujur atas
tuduhan zina yang ia tuduhkan padaku.”
وَتَقُوْلُ فِيْ الْمَرَّةِ الْخَامِسَةِ) مِنْ لِعَانِهَا
(بَعْدَ أَنْ يَعِظَهَا الْحَاكِمُ) أَوِ الْمُحَكَّمُ بِتَخْوِيْفِهِ لَهَا مِنْ
عَذَابِ الله ِفِيْ الْآخِرَةِ وَأَنَّهُ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا (وَعَلَيَّ
غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ) فِيْمَا رَمَانِيْ بِهِ مِنَ الزِّنَا
Perkataan yang telah dijelaskan di atas tempatnya
adalah bagi orang yang bisa bicara.
وَمَا ذُكِرَ مِنَ الْقَوْلِ الْمَذْكُوْرِ مَحَلُّهُ
فِيْ النَّاطِقِ
Adapun orang bisu, maka ia melakukan sumpah li’an
dengan menggunakan isyarah yang bisa memahamkan orang lain.
أَمَّا الْأَخْرَسُ فَيُلَاعِنُ بِإِشَارَةٍ مُفْهِمَةٍ
Seandainya di dalam kalimat-kalimat li’an
tersebut, ia mengganti lafadz “asy sahadah” dengan lafadz “al halfu” seperti
ucapan orang yang melakukan sumpah li’an, “saya bersumpah demi Allah”, atau
mengganti lafadz “al ghadlab” dengan lafadz “al la’nu”, atau sebaliknya
seperti ucapan wanita yang melakukan sumpah li’an, “laknat Allah wajib atas
diriku” dan ucapan lelaki yang sumpah li’an, “murka Allah atas diriku”, atau
masing-masing dari lafadz “al ghadlab” dan “al la’nu” diucapkan sebelum  empat kalimat sahadat sempurna, maka li’an
dalam semua permasalahan ini tidak sah.
وَلَوْ أَبْدَلَ فِيْ كَلِمَاتِ اللِّعَانِ لَفْظَ الشَّهَادَةِ
بِالْحَلْفِ كَقَوْلِ الْمُلَاعِنِ أَحْلِفُ بِاللهِ أَوْ لَفْظَ الْغَضَبِ بِاللَّعْنِ
أَوْ عَكْسِهِ كَقَوْلِهَا لَعْنَةُ اللهِ عَلَيَّ وَقَوْلِهِ غَضَبُ اللهِ عَلَيَّ
أَوْ ذُكِرَ كُلٌّ مِنَ الْغَضَبِ وَاللَّعْنِ قَبْلَ تَمَامِ الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ
لَمْ يَصِحَّ فِيْ الْجَمِيْعِ .

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Sejarah Perkembangan Manusia





Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top