Allah berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu.” (Al-Anfal: 25)
Nabi juga menyatakan
“Segeralah beramal, karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap, seorang di waktu pagi sebagai mukmin dan masuk sore menjadi kafir atau di waktu sore sebagai mukmin, di waktu pagi menjadi kafir, ia menukar agamanya dengan harta benda dunia.” (HR. Muslim)
Demikian mengerikan fitnah-fitnah itu. Karenanya beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang benar-benar dijauhkan dari fitnah-fitnah dan yang diberi cobaan lalu bersabar.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 975)
Bahkan dalam lafadz yang lain beliau mengulang-ulang kalimat pertamanya sampai 3 kali.
Makna Fitnah
Apa yang dimaksud dengan fitnah?
Seorang ulama ahli tafsir Al Qur’an yaitu Asy-Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi rahimahullah. Beliau berkata: “
Penelitian Al Qur’an menunjukkan bahwa kata fitnah dalam Al Qur’an jika disebut secara mutlak memiliki 4 makna, yaitu membakar dengan api, cobaan dan ujian, hasil yang jelek dari cobaan, dan hujjah.” (Lihat Adhwa’ul Bayan 6/254-255)
Disebut pula dalam kamus-kamus bahasa Arab bahwa artinya
perbedaan-perbedaan pendapat manusia dan kegoncangan pemikiran mereka (Kamus Al-Muhith dan Al-Mu’jam Al-Wasith).
Dari uraian makna fitnah di atas, menjadi jelas gambaran-gambaran fitnah di dunia ini, di antaranya :
Pertama, banyaknya kelompok dan aliran yang menisbatkan diri mereka kepada Islam.
Kedua, pembantaian yang menimpa kaum muslimin di berbagai belahan dunia.
Ketiga, kedzaliman yang dilakukan oleh para umara (penguasa).
Keempat, kesimpangsiuran pendapat dalam perkara-perkara baru yang membutuhkan pembahasan para ulama dan lain-lain.
Dalam menghadapi fitnah-fitnah yang ada, Ahlus Sunnah wal Jamaah telah memberikan tuntunan berupa sikap yang bijaksana sehingga dapat menghalau fitnah-fitnah itu atau meminimalkannya. Di antara sikap yang sangat penting dalam hal ini adalah merujuk kepada para ulama, meminta bimbingan dan pengarahan mereka dalam menghadapinya.
Mengapa demikian? Kenapa perkara ini tidak diserahkan kepada masing-masing individu saja agar mereka menentukan sikap sendiri-sendiri?
Pertama, karena fitnah pada awal munculnya tidak ada yang mengetahui kecuali para ulama. Kalau sudah pergi baru orang-orang jahil ikut mengetahuinya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, menyikapi fitnah sangat diperlukan pertimbangan maslahat (keuntungan/manfaat) dan mafsadah (kerusakan) yang akan diakibatkan, terutama yang berkaitan erat dengan syariat. Dan yang sangat mengerti dalam masalah ini adalah para ulama. Juga peninjauan perkara itu dilihat dari sekian banyak sisi syariat yang tidak mungkin bagi orang awam bahkan pemula thalibul ilmi (penuntut ilmu agama) untuk memahami perkara yang sifatnya umum dan menyeluruh.
Keempat, Islam memerintahkan dan menganjurkan untuk bertanya kepada ahlu dzikir (ulama) pada permasalahan yang tidak diketahuinya. Allah berfirman:
“Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Kelima, mengembalikan perkara ini kepada orang-orang awam akan mengakibatkan terpecahnya persatuan kaum muslimin.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan, “
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan perkara-perkara perdamaian dan peperangan serta urusan-urusan yang sifatnya umum dan menyeluruh kembalinya kepada para umara dan ulama secara khusus. Dan tidak boleh masing-masing individu terlibat dalam masalah ini, karena yang demikian akan mengacaukan urusan dan memecah persatuan serta memberikan peluang kepada orang-orang yang memiliki tujuan jahat yang selalu menanti-nanti bencana untuk kaum muslimin.” (Lihat Qawa’id fitta’amul ma’al ulama’: 120-122)
Keenam, yang mampu menganalisa hakekat akibat dari fitnah adalah para ulama yang benar-benar kokoh dalam berilmu.
Ibnul Qayyim menjelaskan, “
Tidak setiap orang yang mengerti fiqh dalam bidang agama mengerti takwil, hakekat yang berakhir padanya sebuah makna. Yang mengetahui perkara ini khusus orang-orang yang kokoh dalam berilmu.” (I’lamul Muwaqqi’in 1:332 dari Madarikun Nadhar:163)
Dalam penjelasan ini terkandung sebuah kaedah beradab, yaitu jika ada pembahasan sebuah perkara, hendaknya :
diserahkan kepada ahlinya (dalam hal ini ulama)
jangan mendahului mereka. Itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan.
larangan terburu-buru menyebarkan berita saat mendengarnya.
berfikir sebelum berbicara, bila ada maslahatnya maka dia maju, bila tidak maka menahan diri.
sumber : Rujuk Kepada Ulama adalah Jalan Keluar dari Fitnah, Asy-Syriah edisi 1
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.