Juris, Kementerian Luar Negeri, Vol. 2 (2009)
Dari sisi Hukum Perjanjian
Internasional, maka Ratifikasi pada esensinya adalah Konfirmasi
Globalisasi Hubungan Internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan
persentuhan dan interaksi antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional di
Indonesia. Interaksi kedua bidang hukum ini semakin mempertajam pertanyaan
tentang arti lembaga “pengesahan” (ratifikasi, aksesi, acceptance, approval)
dalam kaitannya dengan status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional
Republik Indonesia.
Dari tataran teoritis dan praktis, pengertian lembaga pengesahan/ratifikasi
ternyata dipahami secara berbeda oleh kalangan ahli Hukum Tata Negara dan oleh
ahli Hukum Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi itu sendiri pada
hakekatnya berasal dari konsepsi Hukum Perjanjian Internasional yang se lalu
diartikan sebagai tindakan ‘konfirmasi’ dari suatu Negara terhadap perbuatan
hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda
persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Dari sisi Hukum Perjanjian maka
ratifikasi pada esensinya adalah konfirmasi. Konfirmasi ini dibutuhkan karena
pada era permulaan berkembangnya Perjanjian Internasional masalah komunikasi
serta jarak geografis antar Negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya
ruang bagi setiap Negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah
ditandatangani oleh pejabatnya. Namun demikian, lembaga ini pada perkembangan
selanjutnya juga mulai dikenal dan berkembang dalam hukum ketatanegaraan setiap
Negara yang digunakan untuk objek yang sama yaitu Perjanjian Internasional.
Lembaga pengesahan/ratifikasi dalam hukum ketatanegaraan selalu diartikan
sebagai tindakan persetujuan oleh suatu organ Negara terhadap perbuatan
Pemerintah untuk membuat perjanjian atau konfirmasi organ tersebut terhadap
penandatanganan suatu perjanjian oleh Pemerintahnya.
Bertolak dari perbedaan disiplin hukum tentang pengesahan/ratifikasi tersebut
diatas, maka secara tradisional, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional
selalu dilihat dari dua perspektif prosedur yang terpisah namun terkait, yaitu
Prosedur Internal (Nasional) dan Prosedur Eksternal (Internasional).
· Dari perspektif Prosedur Internal, pengesahan/ratifikasi Perjanjian
Internasional adalah masalah Hukum Tata Negara, yaitu Hukum Nasional Indonesia
yang mengatur tentang kewenangan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan
Perjanjian Internasional serta mengatur produk Hukum apa yang harus dikeluarkan
untuk menjadi dasar bagi Indonesia melakukan Prosedur Eksternal.
Sedangkan dari perspektif Prosedur Eksternal maka pengesahan/ratifikasi
Perjanjian adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian
Internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan. (The international act so named whereby a State
establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty)
yang diatur oleh Hukum Perjanjian Internasional.
“hukum tata Negara RI tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi
sebagai “persetujuan DPR” bukan “konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam pasal
11 uud 1945. namun dalam praktek ketatanegaraan ri, yang kemudian ditafsirkan
oleh undang-undang no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional,
pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi dpr” ketimbang
“persetujuan DPR”.
Para perumus Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Komisi Hukum
Internasional) menyadari adanya perbedaan ini dan bahkan mengakui bahwa kedua
perspektif ini selalu membingungkan. Komisi secara tegas menyatakan bahwa
“Since it is clear that there is some tendency for the international and
internal procedures to be confused and since it is only international procedures
which are relevant to international law of treaties, the Commission thought it
desirable in the definition to lay heavy emphasis on the fact that it is purely
the international act to which the terms ratification relate in the present
article.”[1]
Namun demikian, sekalipun membedakannya, relasi kedua prosedur ini cukup
jelas bagi Komisi. Pada bagian lain, Komisi menegaskan bahwa Prosedur Internal
harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya Prosedur Eksternal. Komisi lebih
lanjut menegaskan bahwa berlakunya perjanjian terhadap suatu Negara ditentukan
oleh Prosedur Eksternal bukan Prosedur Internal.
Jika dalam Prosedur Eksternal pengertian pengesahan/ratifikasi adalah
“konfirmasi” dari Negara maka pada Prosedur Internal pengertian ini dapat
berupa:
a. “Konfirmasi”, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan konfirmasi
terhadap perbuatan Pemerintah yang telah menandatangani suatu perjanjian, atau
b. “Persetujuan”, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan persetujuan
terlebih dahulu terhadap perjanjian yang akan ditandatangani oleh Pemerintah.
Hukum Tata Negara RI tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi
sebagai “persetujuan DPR” bukan “konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam Pasal
11 UUD 1945.[2] Namun dalam praktek ketatanegaraan RI, yang kemudian
ditafsirkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi DPR”
ketimbang “persetujuan DPR”. Itulah sebabnya pasal ini masih menyisakan
pertanyaan mendasar tentang “apakah DPR harus terlibat membuat perjanjian
sebelum ditandatangani atau hanya terlibat setelah perjanjian ditandatangani
oleh Pemerintah?” Dalam hal ini perbedaan pengertian “persetujuan” dengan
“konfirmasi” pada lembaga pengesahan/ratifikasi menjadi sangat relevan.
Permasalahan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan wewenang membuat
perjanjian, apakah wewenang eksklusif eksekutif atau tidak.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional per definisi
hanya mengatur tentang pengesahan/ratifikasi dalam perspektif Prosedur
Eksternal sehingga berkarakter “konfirmasi”, yaitu perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi
(ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan
(approval). Namun demikian Undang-Undang ini juga mengatur tentang persyaratan
internal (pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang atau Perpres) sebagai
dasar konstitusional untuk dapat melakukan pengesahan/ratifikasi dalam perspektif
eksternal. Dalam Undang-Undang dan praktek Indonesia, untuk Prosedur Eksternal
(yaitu penerbitan notification atau instrument of ratification/ accession /
acceptance/approval oleh Departemen Luar Negeri) hanya dapat dilakukan setelah
Prosedur Internal terpenuhi. Akibatnya, secara hakiki maka Undang-Undang ini
telah memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dengan “persetujuan DPR” pada
Pasal 11 UUD 1945 adalah “konfirmasi” yang berarti bahwa keterlibatan DPR
adalah untuk menerima atau menolak pengesahan/ratifikasi perjanjian yang sudah
dibuat oleh Pemerintah bukan untuk menyetujui perjanjian yang akan dibuat oleh
Pemerintah. Dari kekisruhan ini maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
tarik menarik untuk mengartikan pengertian pengesahan/ratifikasi antara Hukum
Tata Negara dengan Hukum Perjanjian Internasional. Pasal 11 UUD 1945 sebagai
produk Hukum Tata Negara bergesekan dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2000 yang
sangat dipengaruhi oleh Hukum Perjanjian Internasional. Dalam kaitan ini,
pandangan Prof. Bagir Manan bahwa “wewenang untuk melakukan hubungan luar
negeri termasuk membuat dan memasuki Perjanjian Internasional adalah kekuasaan
eksklusif eksekutif”[3] menjadi sangat relevan. Dalam hal ini maka
pengertian “persetujuan DPR” pada Pasal 11 UUD 1945 harus diartikan sebagai
“konfirmasi DPR” atas perbuatan hukum eksekutif.
salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam
Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, Sehingga persetujuan DPR
itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi
Pasal 11”…
Format Undang-Undang sebagai Output dari “Persetujuan DPR”: Formal atau
Prosedural?
Persoalan mendasar lainnya adalah apa output dari tindakan “persetujuan DPR” seperti
yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945? Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus
UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk
juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri
berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11”.[4] Dari
pandangan Muhammad Yamin tersebut maka sebenarnya “persetujuan DPR” dapat
mengambil bentuk apa pun dan hanya merupakan syarat formil untuk dibuatnya
suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam perkembangan praktek
ketatanegaraan Indonesia output dari “persetujuan DPR” ini telah mengambil
bentuk Undang-Undang. Perkembangan ini tercermin dari praktek yang timbul
menyusul Surat Presiden No. 2826/HK/1960 kepada Ketua DPR, yang selalu
menuangkan “persetujuan DPR” kedalam format Undang-Undang dan dalam praktek
istilah ini selanjutnya selalu diartikan secara baku sebagai
“pengesahan/ratifikasi”. Pemahaman ini kemudian terkristalisasi dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang secara
sengaja telah menafsirkan kata “persetujuan DPR” pasal 11 UUD 1945 sebagai
“pengesahan dengan bentuk Undang-Undang”. Namun tanpa disengaja Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 ternyata mendefinisikan istilah “pengesahan/ratifikasi”
sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian
Internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan.[5]
Sekalipun memakai definisi eksternal, Undang-Undang ini juga ternyata
mengartikan pengesahan/ratifikasi seperti yang dikenal dalam Prosedur
Internal (misalnya pemakaian istilah “pengesahan dengan Undang-Undang/Keppres”
sehingga tanpa disengaja telah menggunakan istilah yang sama untuk pengertian
yang sebenarnya berbeda.
Selanjutnya apa konsekeunsi dari Undang-Undang atau Perpres yang mengesahkan
suatu Perjanjian terhadap Hukum Nasional (aspek internal) ternyata telah pula
menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Masalah ini
telah menjadi perdebatan dalam kerangka pergulatan teori monisme-dualisme tentang
hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Konstruksi yang tepat perihal
ini (apakah monisme atau dualisme) belum tercermin dalam Hukum Tata Negara
Indonesia. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
ternyata juga tidak dimaksudkan untuk menyentuh masalah substansi aspek
internal dari pengesahan/ratifikasi ini.
Dituangkannya “persetujuan DPR” dalam format Undang-Undang/Perpres telah
melahirkan diskusi baru tentang apa arti Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan
tersebut, apakah “pengaturan” atau “penetapan”. Dengan formatnya sebagai
Undang-Undang/Perpres maka Hukum Nasional dewasa ini cenderung memperlakukan
Undang-Undang/Perpres ini sebagaimana layaknya produk legislasi yang dengan
demikian tunduk pada kaidah perundang-undangan. Dalam kaitan ini Prof. Bagir
Manan memberi pernyataan yang sangat menarik yaitu “Jadi ada semacam
kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan
sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain Perjanjian Internasional
diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan
Presiden/Peraturan Presiden).”[6] Dari tataran praktis, pemberian bentuk peraturan
perundang-undangan terhadap pengesahan Perjanjian Internasional telah
menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain:
a. Apakah Perjanjian Internasional yang diratifikasi oleh Undang-Undang/Perpres
dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang lebih tinggi?
b. Apakah suatu Undang-Undang tidak dapat mengakui eksistensi suatu Perjanjian
Internasional karena hanya diratifikasi dengan Perpres?
c. Apakah Perjanjian Internasional yang disahkan dengan Undang-Undang tidak
bisa langsung diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah atau Perpres?
d. Apakah Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan Perjanjian Internasional dapat
di judicial-review?
Jika diidentifikasi dan dipetakan maka secara garis besar setidak-tidaknya
terdapat dua pandangan yang secara dinamis hidup dalam dunia akademis dan
praktisi tentang arti Undang-Undang/Perpres pengesahan/ratifikasi, yaitu:
a. Pertama, pandangan yang menilai Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu
Perjanjian adalah produk Hukum Nasional (substantif) yang mentransformasikan
materi perjanjian ke dalam Hukum Nasional sehingga status perjanjian berubah
menjadi Hukum Nasional. Undang-Undang/Perpres ini telah memiliki efek normatif.
Norma yang diaplikasikan dalam Hukum Nasional adalah dalam karakternya dan
formatnya sebagai materi Undang-Undang/Perpres dan bukan dalam karakternya
sebagai norma perjanjian. Kelompok ini menilai tidak perlu lagi ada legislasi
baru untuk memberlakukan norma perjanjian kedalam Hukum Nasional (dualisme?).
Pendekatan ini tampaknya tercermin pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia yang pada pasal 7 ayat (2) menyatakan “ketentuan Hukum
Internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak
Asasi Manusia menjadi Hukum Nasional.
b. Kedua, pandangan yang menilai Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu
Perjanjian adalah bersifat prosedural yaitu hanya merupakan persetujuan
DPR/Presiden dalam jubah Undang-Undang/Perpres. Undang-Undang/Perpres ini tidak
memiliki efek normatif karena hanya bersifat penetapan bukan pengaturan.
Pandangan ini pada tahap selanjutnya akan terbagi dua, yaitu:
Pertama, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan
suatu Perjanjian adalah ”menginkorporasi” Perjanjian tersebut kedalam sistem
Hukum Nasional. Dengan inkorporasi ini maka Perjanjian Internasional dalam
karakternya sebagai norma Hukum Internasional telah memiliki efek normatif dan
mengikat di dalam Hukum Nasional. Keterikatan penegak hukum terhadap norma yang
dihasilkan adalah bersumber dari perjanjian itu sendiri dan bukan dari
Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan (monisme?). Pandangan ini tercermin
dalam praktek administrasi Negara misalnya dalam penerapan Konvensi Wina
1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 1/1982. Konvensi ini telah dijadikan dasar hukum bagi
Pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak serta fasilitas diplomatik lainnya
kepada para korps diplomatik di Indonesia. Dalam hal ini tidak diperlukan
transformasi kaidah Konvensi kedalam Hukum Nasional dan bahkan sampai saat ini
tidak ada legislasi nasional yang memuat kaidah konvensi ini.
·
“Apapun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan
dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan
konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip
“predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti
diplomat.”Kedua, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang
mengesahkan suatu Perjanjian hanya sekedar jubah persetujuan DPR/Presiden
kepada Pemerintah RI untuk mengikatkan diri pada tataran Hukum Internasional dan
belum mengikat pada tataran Hukum Nasional. Untuk itu masih dibutuhkan
legislasi nasional tersendiri untuk mengkonversikan materi perjanjian menjadi
materi Hukum Nasional. Tanpa legislasi nasional ini maka Indonesia sebagai
subjek Hukum Internasional hanya terikat pada tataran internasional, sedangkan
warganegaranya tidak terikat (dualisme?). Pandangan ini misalnya tercermin
dalam praktek Indonesia menyikapi UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 17/1985. Undang-Undang ini hanya bersifat prosedural sehingga
masih dibutuhkan suatu Undang-Undang lain yang mentransformasikan UNCLOS 1982
ke dalam Hukum Nasional, yaitu Undang-Undang No. 6/1996 tentang Perairan yang
pada hakekatnya adalah penulisan kembali (“copy paste”) pasal-pasal pada UNCLOS
1982. Undang-Undang No. 6/1996 inilah (bukan Undang-Undang No. 17/1985) yang
mencabut Undang-Undang No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia.
Permasalahan praktis yang muncul dewasa ini yang bersumber dari tarik menarik
antara perbedaan berbagai pandangan tersebut adalah adanya gagasan untuk
meningkatkan status Keppres No. 36 Tahun 1990 (yang meratifikasi Konvensi
tentang Hak Anak 1989) menjadi Undang-Undang dengan dalih bahwa kedudukannya
sebagai Keppres telah mempersulit untuk dikeluarkannya Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah guna mengimplementasikan Konvensi ini. Produk setingkat
Undang-Undang (seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak) tidak bisa merujuk atau mendasarkan pada Konvensi tentang Hak Anak dengan
alasan bahwa Konvensi ini berstatus Keppres. Pemikiran ini mewakili pandangan
yang melihat Keppres 36 Tahun 1990 sebagai produk substantif sebagaimana
layaknya suatu Keppres sehingga diberlakukan logika hirarki perundang-undangan.
Implikasi juridis dari peningkatan status ratifikasi ini akan muncul terhadap
Hukum Internasional. Dari sisi Hukum Internasional ratifikasi adalah pernyataan
“consent to be bound by a treaty” yang bersifat “eenmalig” (satu kali
saja/final) dan tidak melihat bagaimana Hukum Tata Negara mengatur mengenai
pernyataan ini. Dengan kata lain, pada saat Indonesia telah menyatakan
persetujuan untuk terikat pada Konvensi ini melalui ratifikasi, maka pada saat
itu pula Konvensi ini berlaku (entry into force) bagi Indonesia. Peningkatan
status ratifikasi (dari Keppres ke Undang-Undang) tidak akan dapat
mempengaruhi/mengubah status Konvensi vis a vis Indonesia. Dalam hal ini,
peningkatan status Keppres menjadi Undang-Undang tidak akan mungkin dilanjutkan
dengan penyampaian ratifikasi baru kepada Sekjen PBB karena “peningkatan
tingkat ratifikasi” tidak dikenal dalam Hukum Internasional.
Di lain pihak, pandangan kedua akan menolak gagasan peningkatan status
ratifikasi ini. Menurut mereka Keppres No. 36 Tahun 1990 bersifat prosedural
yang mengantar Indonesia menjadi terikat pada Konvensi tentang Hak Anak.
Pandangan bahwa Keppres ini hanya bersifat prosedural didasarkan pada fakta
hukum bahwa berlakunya Konvensi ini terhadap Indonesia tidak secara langsung
disebabkan oleh Keppres ini melainkan disebabkan oleh “instrument of
ratification” yang disampaikan oleh Indonesia kepada Depository (Sekjen PBB).
Berlakunya Konvensi terhadap Indonesia bukan pada tanggal berlakunya Keppres
melainkan pada tanggal diserahkannya “instrument of ratification” kepada
depository.
Berdasarkan padangan kedua ini maka Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak seharusnya tidak perlu merujuk Keppres ini namun langsung
merujuk pada Konvensi-nya. Menurut pandangan ini, seyogyanya tidak ada
persoalan untuk mengeluarkan produk legislasi (Undang-Undang atau Peraturan
Pemerintah) untuk mengimplementasikan Konvensi ini karena yang
diimplementasikan adalah Konvensi tentang Hak Anak (sebagai norma Hukum
Internasional yang telah berlaku bagi Indonesia) bukan Keppres No. 36 Tahun
1990 sebagai suatu produk legislasi.
Pandangan ini juga akan cenderung mengusulkan bahwa seyogyanya pada preamble
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyebutkan Konvensi-nya terlebih dahulu
sehingga berbunyi:
“…Mengingat Konvensi tentang Hak Anak 1989 yang disahkan melalui Keppres 36
Tahun 1990…”
Perlukah Politik Hukum tentang Pengesahan/Ratifikasi?
Pandangan-pandangan tersebut diatas tampaknya tidak selalu kaku dan terdapat
ruang untuk adanya variasi yang menggabungkan elemen masing-masing pendekatan.
Selain itu, tidak tertutup adanya pandangan lain yang mungkin belum terdeteksi
dan masih dikembangkan dalam dunia akademisi.
Apa pun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan
dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan
konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip
“predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat.
Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya untuk mewacanakan suatu politik hukum
tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang dapat menjawab
tentang arti dan fungsi pengesahan/ratifikasi khususnya terhadap status hukum
dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional.
Sekalipun Hukum Tata Negara Indonesia belum memberi ketegasan tentang arti dan
konsekuesi hukum dari suatu pengesahan/ratifikasi, setelah melalui pembahasan
dan kajian yang intensif dengan berbagai kelompok akademis tentang pengertian
pengesahan/ratifikasi ini maka kecenderungan kuat sebaiknya diarahkan pada
konstruksi pemahaman tentang pengesahan/ratifikasi sbb:
a. Pengesahan pada hakekatnya adalah the international act so named whereby a
State establishes on the international plane its consent to be bound by a
treaty yang diwujudkan melalui penerbitan instrument of ratification/accession
oleh Menteri Luar Negeri. Pengesahan ini harus dilihat sebagai proses yang
menginkorporasi materi Perjanjian Internasional ke Hukum Nasional.
b. Bahwa Pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang/Perpres harus dilihat
sebagai mekanisme internal hukum ketatanegaraan untuk memberikan landasan hukum
bagi Pemerintah c.q. Menteri Luar Negeri untuk mengikatkan Indonesia pada
perjanjian. Dalam hal ini, Undang-Undang/Perpres dimaksud adalah instrumen yang
memiliki efek prosedural bukan bukan efek normatif.
c. Dengan terikatnya Indonesia pada suatu perjanjian (melalui pengesahan
eksternal) maka materi perjanjian dimaksud telah mengikat baik pada tataran
internasional maupun dalam sistem Hukum Nasional dan tidak dibutuhkan legislasi
nasional untuk membuatnya mengikat dalam Hukum Nasional. Dalam hal ini yang
dibutuhkan hanya legislasi nasional yang mengimplementasikan (bukan yang
mentransformasikan) materi perjanjian.
d. Konstruksi ini sejalan dengan maksud perumus Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional pada waktu itu bahwa jika Perjanjian sudah
disahkan dengan perundang-undangan maka diasumsikan sudah mengikat dalam sistem
Hukum Nasional. Hal ini tercermin dari penjelasan Pasal 13 Undang-Undang No. 24
Tahun 2000: “Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu
Perjanjian Internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang
dapat mengetahui Perjanjian yang dibuat Pemerintah dan mengikat seluruh Warga
Negara Indonesia”.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.