Oleh: Bana Fatahillah
Sabtu kemarin (21/1/2023) saya baru saja mengkhatamkan
kitab Muqaddimah karya Imam Sanusi (w. 895 H) dengan beberapa mahasiswa. Majlis
ini berlangsung selama delapan pertemuan dengan satu pertemuan pengantar.
Sebagaimana namanya, Muqaddimah, yang
bermakna sebuah pengantar, buku ini hendak mengantarkan pembacanya dalam
persoalan akidah. Selain itu Mukaddimah juga merupakan pembuka untuk serial buku
akidah milik penulis.
Uniknya Mukaddimah tidak seperti buku akidah pemula
pada umumnya. Ia tidak didesain dengan susunan tiga
pilar utama pembahasannya, yaitu Ilahiyyat, nubuwwat dan sam’iyyat. Namun penulis meletakan delapan kaidah penting sebagai sebuah pengantar
keyakinan.
Fun fact-nya Imam Sanusi sejatinya tidak membagi
pembahasan ini bab per bab. Ia menulis lepas dari awal sampai akhir tanpa
pembatas apapun. Jika hendak diklasifikasikan, pembahasan yang dicantumkan berjumlah
sembilan. Namun agar mengikuti pola ulama yang menulis karyanya dalam 8 bab, sebagaimana
Ibnu Hisyam dalam Mughni Labib, karena mengambil keberkahan pintu surga
yang berjumlah delapan, saya pun mengkaji ini dalam 8 pembahasan di 8
pertemuan.
Delapan atau sembilan pakem ini -kalau diperhatikan secara kasat mata- ada beberapa yang tidak
berkaitan dengan akidah. Contohnya saja pembahasan pertama dan terakhir
seputar hukum dan pembagian perkataan kepada khabar dan insya. Namun jika
diperhatikan secara detail di sana tersisip pembahasan akidah secara implisit, dan
itulah yang membuatnya menarik.
Pembahasan hukum yang dijadikan pembuka karyanya
menyimpan nilai keyakinan. Hukum, sebagaimana yang didefinisikan, adalah menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau menafikannya. Ia seakan ingin menjelaskan bahwa keyakinan
itu bukan hanya dipersepsikan (tashawwur) tapi ditetapkan (tashdiq). Siapapun bisa mempersepsikan
Dzat Allah juga sosok Nabi Muhammad dalam benaknya. Tidak sedikit orang
di luar Islam yang mengetahui Nabi Muhammad. Namun untuk mengafirmasi, meyakini,
mengamini, mengiyakan bahwa “Allah adalah Tuhan”, “Nabi Muhammad adalah Rasul”, “surga dan neraka itu ada”, dsb, tidak semuanya bisa. Inilah maksud dari pembahasan
hukum yang disampaikannya, atau yang dalam dalam istilah mantiq dinamakan “tashdiq”
Selain itu –agaknya– ada hal lain yang hendak
disampaikan oleh Imam Sanusi dari persoalan hukum –meskipun saya belum
menemukan rujukan dari yang ingin saya sampaikan ini. Hal itu adalah ia hendak
membantah kaum Sofis, yang menolak seseorang mampu mengetahui hakikat sesuatu. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Nasafi
dalam pembuka kitabnya.
Penjelasannya begini. Pengetahuan itu dibagi dua, tashawwur dan tashdiq. Hukum itu tasdhiq, sebab ia menetapkan
sesuatu atau menafikannya. Logikanya bagaimana ingin menetapkan sesuatu
kalau sedari awal dirinya tidak meyakini bahwa sesuatu itu dapat diketahui. Jika mempersepsikannya saja (tashawwur)
sudah dinafikan, apalagi ingin menghukuminya atau menetapkannya (tashdiq).
Seakan
Imam Sanusi dengan pembahasan hukum ini ingin menjelaskan, Anda
bisa lo mengetahui bahwa Allah itu Ada, Nabi Muhammad itu Rasul, Surga
itu nyata, dsb. Sebab jika menghukuminya saja bisa, apalagi mengetahui
keberadaannya, mengetahui hakikatnya, yang dinafikan oleh para kaum Sofis. Dalam istilah Imam Nasafi yang sangat masyhur, “Sebuah
hakikat itu ada, dan mengetahuinya itu sangat bisa” (Haqiqatul Asyya’
Tsaabitah wal Ilmu Bihaa Mutahaqqiq) (wallahu a’lam)
Adapun pembahasan terakhir terkait khabar dan
insya –yang dianggap bukan pembahasan akidah—merupakan salah kaprah. Sebab pesan
Allah dan Nabi-Nya adalah perkataan yang harus diyakini. Maka sudah semestinya
kita mengetahui apa itu perkataan. Kapan perkataan dikatakan benar dan bohong. Perkataan itu berpotensi benar dan salah (yahtamil al-Shidiq wa al-Kadzib). Jika demikian, bagaimana dengan
perkataan Allah dan Rasul-Nya. Inilah poin penting yang hendak disamampaikan pada
bab terakhir.
Itu baru pembahasan awal dan akhir. Masih ada sejumlah
pembahasan yang sangat asyik dan menarik untuk dikaji, yang jika diperhatikan, itu
semua tidak tertera dalam sejumlah kitab akidah pemula. Seperti pembagian Syirik (‘anwa al-Syirk), pembagian
yang ada (aqsam Al-Maujuudaat), kelompok dalam persoalan perbuatan hamba (madzaahib
fi al-Af’al), pembagian yang mungkin (aqsam al-Mumkinaat) dan masih
banyak lagi.
Ada satu pembahasan yang bagi saya perlu
dibaca oleh muslim hari ini dari pakem Imam Sanusi ini. Hal itu adalah “Asas
kekafiran dan sebuah bidah”. Di sana Imam Sanusi menjabarkan sejumlah hal yang
membuat seseorang jatuh kepada sebuah bid’ah dan kesyirikan. Diantaranya adalah
ketidaktahuan atas ilmu bahasa hingga akhirnya menyalahartikan pesan
Allah dan Rasul-Nya. Juga fanatisme buta (Al-Taqliid Al-Radii’) sehingga menjadikan tolak ukur kebenaran adalah “sosok” bukan argumentasi dan dalil. Dan penyebab lainnya yang menjamur di masyrakat kita hari ini.
Idealnya –sebagaimana yang diterapkan Guru kami—buku
ini dikaji setelah pelajar mencicipi buku pemula dalam akidah dan ushul fikih. Dahulu
kami mengkajinya setelah mengkhatamkan buku Kharidah Bahiyyah dan Al-Waraqat
dalam ushul fikih. Sebab di sana ada istilah-istilah, yang jika sudah mencicipi
kedua ilmu ini, maka pemahamannya akan dikunci serta ditambah dengan tek-teks
imam Sanusi. Namun andai belum belajar pun rasanya ia akan
bisa mengikuti penjelasan buku ini. Tergantung bagaimana guru meramu penjelasannya.
Ada dua buku yang saya jadikan rujukan dalam mengajar, yaitu Syarah milik Imam Sanusi sendiri yang ditahqiq oleh Syekh Nizar Hamadi, seorang Ulama Tunis, juga Syarah Abu Ishaq Al-Andalusi yang berjudul Al-Mawaahib Al-Rabbaniyyah yang diberikan penejelasan oleh Syekh Jamal Faruq Al-Daqqaq, seorang ulama Al-Azhar. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
PP At-Taqwa, Depok
Rabu, 25 Januari 2023
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.