Uncategorized

Akidah Islam yang Tak Sesulit Itu




Oleh: Bana
Fatahillah
(Guru Pesantren At-Taqwa Depok)

Konsep akidah Islam dapat dicerna oleh akal. Sangat
logis. Namun bukan berarti Islam dibuat-buat oleh akal. Melainkan apa yang
datang dari wahyu sangat bisa dicerna oleh akal.

Istilah Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad,
akal dan wahyu seperti penglihatan yang sehat dan cahaya matahari. Keduanya
tidak bisa dipisahkan. Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk
al-Quran, seperti orang yang mencari cahaya tapi memejamkan matanya. Persis seperti
orang buta. Orang yang bertumpu pada akal saja, maka seperti berjalan di gelap
gulita meski matanya sehat. Keduanya memang harus diselaraskan.

Sejumlah pesan dalam Al-Qur’an memantik akal untuk berfikir,
terutama dalam persoalan akidah. Sebab akal merupakan karunia Allah yang
dengannya manusia dibebankan sejumlah kewajiban (taklif). Salah satunya
perintah untuk beriman. Selama akal Anda sehat, maka konsep akidah dalam Islam
yang mencakup Tuhan, Nabi dan hal-hal ghaib dapat dipahami dengan baik.   

Hal-hal Gaib,
Apakah Masuk Akal?

Poin ini banyak dipersoalkan, karenanya saya coba
dahulukan. Katanya, hal-hal yang tak dapat diindra oleh mata, termasuk Tuhan
itu sendiri, dianggap tidak masuk akal. Walhasil dinafikan.

Untuk menjawabnya, coba bedakan hal berikut:

(i) sesuatu mustahil secara akal (maa yastahiilu
aqlan
), dengan

(ii) di atas gapaian akal (fauqa mudrakaat al-Aql)

Diam dan bergeraknya Anda dalam satu waktu. Itu adalah
mustahil akal. Sepintar apapun seseorang, tidak mungkin bisa membayangkannya.
Nah, agama tidak datang pada hal pertama ini, namun kerap datang pada yang
kedua yaitu ‘di atas gapaian akal.

Penjelasannya begini. Hal-hal ghaib seperti malaikat
atau kehidupan setelah mati seperti surga, neraka, azab kubur dan lainnya
merupakan sesuatu mungkin secara akal. Coba Anda diam sejenak lalu renungkan.
Saya jamin akal anda akan mengiyakan itu semua.

Benar! Imajinasi akan hal itu terbatas. Sebab kemampuan
imajinasi adalah hasil dari apa yang yang pernah ia lihat. Andai orang
kelahiran 80-an dijelaskan tentang canggihnya Android, mereka akan mengiyakan, namun
tidak bisa mengimajinasikannya lebih dalam lagi. Sebab ia tidak punya
sampelnya.

Sama halnya dengan isra mikraj misalnya. Anda bisa
membayankannya. Namun gambaran itu tidak utuh. Sebab Anda tidak punya
sampelnya. Saat itulah akal berhenti membayangkannya dan cukup mempercayainya. Mengimaninya.
Inilah yang dimaksud fauqa mudrakaat al-Aql. Namun ingat, bukan berarti artinya
tidak masuk akal, lo!

Karenanya, jangan mengingkari keberadaan sesuatu hanya
karena tidak diketahui atau dilihat. Sebab pengetahuan dan penglihatan kita
terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Organ tubuh semut atau nyamuk misalnya.
Atau kehidupan dalam janin.  Pernahkah
anda melihat itu semua? Kendati demikian Anda tidak mengingkari keberadaannya.

Benar, Anda bisa mengimajinasikan hal-hal tersebut.
Sebagaimana Anda mengimajinasikan hal-hal setelah di akhirat kelak. Namun
imajinasi itu, sebagaimana yang disamapaikan barusan, ‘di atas’ kemampuan akal.
Sebab imajinasi manusia tidak mampu mencakup segala hal kecuali apa-apa yang
telah ia tangkap dengan indra.  

Konsep Tuhan

Konsep Tuhan dalam Islam jelas dan dapat dicerna oleh
akal. Terkait nama, Islam sudah mengenalkan nama Tuhannya (lihat Qs. Thaha:
14). Jika ada perbedaan tentang nama ini pun, seperti apakah lafadz tersebut musytaq
atau jamid. Bukanlah sesuatu yang esensial. Di bumi manapun, umat
Islam akan memanggil Tuhan yang sama, yaitu Allah. 

Keberadaan-Nya pun jelas. Allah ada meski tak dapat
diindra oleh mata. Sebab tidak semua yang ada harus tampak. Berapa banyak hal
diluar indra, namun kita meyakini keberadaannya. Akal dan ruh misalnya. Siapa
dari kita yang pernah melihat ruh. Namun kita percaya akan keberadaannya.

Alam raya adalah bukti keberadaan-Nya. Tidak mungkin
sesuatu ada dengan sendirinya, alias ujug-ujug ada. Atau sesuatu
menciptakan dirinya sendiri. Al-Quran memberi isyarat ini dalam sebuah ayat:

﴿ اَمْ
خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَۗ ﴾

Apakah mereka tercipta
tanpa asal-usul ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)?”
(Qs.
At-Thur: 35)

Pertanyaan ini bukan
hakiki, melainkan satu celaan. Allah ingin mencela mereka yang mengatakan bahwa
sesuatu ada dengan sendirinya –sekali lagi ada dengan sendirinya.

Jika ada coretan di tembok
sekolah. Lantas murid yang sudah terbukti bersalah mengatakan bahwa itu ada
dengan sendirinya. Maka bisa dipastikan Anda akan mengatakan itu adalah hal
yang mustahil.

Itu pertama. Kedua, itu
juga celaan atas mereka yang berkata sesuatu menciptakan dirinya sendiri. Sebab
kedua hal tersebut adalah mustahil. Setinggi apapun pangkat dan jabatan
seseorang, akalnya pasti akan mengatakan mustahil.

Dua inilah yang oleh Teolog
Muslim dirumuskan menajdi kaidah. Pertama, “istihālat al-Musabbab biduuni
Al-Sabab
” (kemustahilan adanya sesuatu tanpa sebab). Kedua, yaitu
kemustahilan sesuatu mengadakan dirinya sendiri, atau yang dinamakan “Al-Tarjīh
bidūn Murajjih Muhāl
”. Selagi akal yang diberikan Allah masih sehat, tidak
akan mampu menerima adanya sesuatu yang menciptakan dirinya sendiri.

Dzat-Nya Satu, Meski Banyak Sifat

Allah Maha Esa. Satu. Bukan dua ataupun tiga. Dzat
Allah tidak menyatu dengan apapun. Nama-nama Allah yang baik, atau asmaul
husna
bukanlah Dzat-Nya. Sifat-sifat yang kita kenal seperti qudrah,
iradah, sama’
bukan juga Dzat-Nya. Banyaknya sifat bukan berarti Dzatnya
banyak. Sekali lagi, Dzat Allah satu bukan dua.  

Sebagai pendekatan, Anda pasti bisa membayangkan Satu
Dzat, Pak Anis Baswedan misalnya, yang memiliki banyak sifat seperti ramah,
baik dan perhatian. Selama seseorang memiliki akal yang sehat, ia tentu tidak
akan bingung dengan konsep Keesaan Dzat Allah dengan sejumlah sifat-Nya.

Karenanya, tidak sedikit yang kebingungan dengan
konsep Tuhan yang berbilang. Apalagi jika dikatakan Tuhan satu dalam Esensi namun
3 dalam Pribadi. Ini jelas kontradiktif. Bagaimana percaya satu Tuhan namun di
sana Ada 3 Dzat, pribadi, hakikat atau apalah namanya.

Sedari awal al-Quran sudah menolak keberbilangan
Tuhan. Hebatnya, Al-Quran menyajikan argumentasi dialektis atas pendapat
keberbilangan bagi Allah. Ayat ini sangat rasional dan dapat dicerna oleh
akal. Coba perhatikan dua ayat berikut:

“Allah
tidak mengangkat anak dan tidak ada tuhan (yang lain) bersama-Nya. Jika
demikian, niscaya setiap tuhan itu akan membawa apa (makhluk) yang
diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang
lain
. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu” (Qs. 23: 91)

“Seandainya pada keduanya
(langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa.
Mahasuci Allah, Tuhan pemilik
ʻArasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (Qs. 21:22)

Gampangnya, jika yang satu
lebih berkuasa, berarti meniscayakan lemah bagi yang lainnya. Padahal lemah
bukan sifat Tuhan. Jika kuat bersama, itu meniscayakan kesia-siaan. Untuk apa
ada yang satu jika yang lain bisa melakukannya.

Inilah yang nanti
dirumuskan oleh para ahli Teolog Islam bahwa tidak ada sekutu bagi Tuhan dengan
teori bernama Burhan Al-Tamaanu’ dan Burhan Al-Tawaarud.

Nabi, Manusia yang Diberi Wahyu

Jika yang barusan tentang
Tuhan, maka ini soal utusan-Nya.

Jika ada utusan presiden
datang. Dalam dirinya terdapat bukti yang jelas bahwa ia adalah utusan. Ia
menyampaikan amanat Presiden bahwa Anda harus melakukan A, B dan C. Secara
logis, seseorang pasti percaya akannya. Jangankan Presiden, kepada utusan bos
saja kita patuh dan nurut.

Rasulullah Saw adalah
utusan Allah, bukan Allah itu sendiri. Manusia biasa yang bisa sedih, bahagia,
bahkan meninggal (lihat Qs. 25:7, 3: 144). Beliau bukan Tuhan, sebab Tuhan
tidak sama dengan ciptaan-Nya. Dia Kekal Abadi tak dibatasi ruang dan waktu. Bukan
juga Anak Tuhan. Sebab itu meniscayakan Tuhan yang juga ‘dilahirkan’. Dan itu
mustahil.  

Beliau hanyalah manusia biasa
yang diutus untuk menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan manusia agar
bahagia dunia dan akhirat.

Karenanya orang Islam tidak
pernah bingung soal siapa yang harus diikuti. Dalam urusan apapun. Karena role
modelnya adalah manusia juga. Dari hal-hal kecil –mohon maaf—seperti
membersihkan kotoran yang keluar dari badan, hingga urusan –mohon maaf— bagaimana
etika berhubungan badan. Semua ada contoh dan aturannya.

Paling-paling mereka yang
menolak Nabi Muhammad akan mengkritisi konsep wahyu yang diberikan. Bagaimana
mungkin manusia bisa mendengar malaikat yang berbeda alam dan dimensi. Maka tak
perlu bingung.

Teknologi hari ini sudah
bisa membuktikan. Bahwa kita bisa berbicara dengan mendengar suara tanpa
melihat sosoknya. Coba perhatikan praktik hipnotis, dimana seseorang bisa
dibawa pada dimensi yang tidak disadari orang sekitarnya. Jika hal demikian
saja dapat diamini dan dianggap masuk akal oleh orang-orang, mengapa konsep
wahyu Nabi tidak bisa?

 

Hotel
Assalam, Solo

Ahad, 3 Desember
2023


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top