Oleh: Bana
Fatahillah
Dari sekian kota yang saya kunjungi Malang adalah yang
paling spesial. Bukan karena wisatanya, cuacanya, makanannya, atau si
“dia”. Namun karena pengalaman hidup dan
wejangan yang saya dapat dari Tokoh dan Kyai di sana.
Jujurly, tujuan inti saya adalah Ngawi. Ada selembar ijazah
yang harus saya ambil demi melanjutkan jenjang studi. Niat awalnya saya ke
Ngawi, ambil ijazah lalu pulang. Namun sepertinya Allah SWT punya rencana lain.
Di hari pulang mudik ke Depok, om saya meminta untuk ikut ke Malang. Hingga
akhirnya bisa mendapatkan momentum berharga ini.
Sejak dulu saya sudah memegang nasehat, bahwa duduk ngobrol face
to face dengan orang berpengalaman itu lebih banyak dapatnya ketimbang
duduk belajar di kelas. Bagaimana tidak, kita akan mendapatkan sesuatu yang
tidak ditemukan di buku manapun, yaitu Pengalaman Hidup. Apalagi kalau orangnya
alim. Anda seperti menghabiskan 4 semester hanya dalam 2-3 jam saja. Sebab bagaimanapun
media sosial menghubungkan seseorang, ia tidak akan mampu menggantikan tatap mata
ataupun sentuhan fisik.
Hari pertama (6/5/2022) saya sowan ke Dr. Khalili Hasib dan
Dr. Faris Khoirul Anam. Ibarat kue yang baru keluar dari Oven, mereka berdua
masih hangat²nya keluar dari Sidang Doktor. Mereka berdua memberikan pengalaman
bagaimana kesungguhan dalam menyelesaikan sebuah Disertasi. Yang pada intinya: kamu
harus mengorbankan semuanya!!
Ustadz Khalili memperoleh doktornya di UNIDA Gontor. Disertasinya membahas pemikiran
Imam Al-Ghazali tentang Hadsiyat. Dan memang sejak awal ia cukup banyak
mengkaji al-Ghazali. Kecintaan beliau pada Hujjatul Islam bisa dilihat dari pengajian
Ihya yang ditekuninya. Bahkan anaknya yang ketiga diberi nama persis seperti
ulama yang MenSyarah Ihya milik Al-Ghazali, yaitu Murtado Al-Zabidi.
Satu hal penting yang saya catat dari wejangan Ust Kholili ialah
soal trik jitu menulis. Tepatnya bagaimana tulisan bisa menarik dan selalu
segar. Ini ia dapatkan dari sosok Muhammad Baharun, Reporter Majalah Tempo yang
juga pendiri DALWA. Pada intinya, agar selalu menarik, tulisan itu harus ada “centelannya”
Centelan itu secara bahasa artinya kail. Sebagimna tugas
kail yang mengaangkat benda, centelan dalam sebuah tulisan juga bertujuan
mengangkat tulisan. Atau gampangnya Centelan ini membuat tulisan menjadi
“segar” dan aktual, sebab ia seperti sedang berbicara dengan realita, tidak hanya
berbicara di ruang hampa.
Semisal, jika Anda menulis tentang Konsep Imamah dalam Syiah
maka centelannya, misalnya, adalah kasus yang ada di daerah tertentu atau saat
peringatan Karbala. Kalau tulisan Anda hanya sebatas mengkritik konsep Imamah,
itu kurang menarik. Walaupun itu sah sah saja. Namun jika dikaitkan dengan
“centelan” tadi, ia seakan sedang berdialog dengan realita.
Ust Khalili juga menasehati tentang adab berbeda pendapat
dengan seorang guru. Katanya, jangan sampai perbedaan itu diangkat diruang
publik. Sebab itu akan menjadi kabar simpang siur. Dan lebih bahayanya lagi,
jika kritikan itu justru dipakai oleh musuh Islam. Akhirnya bisa gaduh, dan
Umat Islm sendiri nantinya yang akan rugi. Kalau serius ingin mengkritik maka
buatlah tulisan dan kirimkan ke yang bersangkutan dengan penuh rasa hormat.
Adapun Ust Faris, ia memperoleh doktoral di UIN Malang. Dan Kini
menjadi Dosen di Universitas Negri Malang dan Mengasuh PP Darul Faqih, Malang. Karya
tulisnya cukup banyak yang diantaranya Fikih Media Sosial dan Ada Bid’ah dalam
Masjid.
Satu hal yang saya catat dari lulusan Universitas Al-Ahgaf
ini, yaitu tentang bagaimana memuliakan dan memerhatikan tamunya. Sebagai Kyai
tersohor di daerahnya, tentu bukan satu dua yang datang sowan ke Rumahnya.
Bahkan saat saya datang, rumah beliau sudah dipenuhi dengan warga. Namun yang
saya perhatikan, tidak ada satupun dari tamu –sekalipun jumlahnya banyak– yang
tidak diajak berbicara. Satu persatu diajak berbicara dalam topik tertentu. Jika
ada yang belum dikenal, ia akan bertanya namanya, aktivitasnya, sekolahnya,
keluarganya dll.
Dan meskipun berdatangan hingga larut malam, ia tidak ada
sedikitpun menunjukan rasa bosan atau capek
di wajahnya. Hal ini tentu membuat para tamu, termasuk saya, merasa sangat
senang diajak ngobrol dengannya. Seakan kitalah satu-satunya yang ia perhatikan, bukan yang lain. Seketika saya ingat salah satu sifat Nabi yang membuat siapapun yang diajak
berbicara akan merasa bahwa dialah satu-satu nya orang yang diperhatikan. Inilah
yang harus dicontoh oleh kita semua
bersama K.H. Dr. Faris Khoirul Anam di kediaman beliau |
Di hari selanjutnya, saya sowan ke K.H Luthfi Bashori,
seorang Kyai Berpengaruh di daerah Singosari, Malang, yang merupakan murid dari
Abuya Sayyid Muhammad Alawi Maliki, yang juga Pendiri Ribath Al-Murtadho
Al-Islamiyyah juga Pengasuh Pesantren Imu Al-Quran (PIQ). Namun karena sering
tampil lewat NU Garis Lurus, beliau lebih dikenal dengan Label ini.
Kyai Luthfi adalah sosok yang produktif. Ke-produktif-an nya
terlihat dari jumlah tulisan-tulisanya, yang menurutnya, kalau dikumpulkan,
mungkin bisa melebihi imam karya Al-Ghazali. Bagaimana tidak, setiap dua hari
sekali ia menulis. Baik artikel pendek atau apapun. Sebagian sudah diterbitkan
menjadi buku, sebagian lain diarsipkan di situs pejuangislam.com. Belum lagi
videonya yang kini tersebar seantreo nusantara.
Terkait efek besar dari sebuah tulisan, beliau cerita bahwa
dlu ia pernah menulis sebuah artikel di buletin. Suatu hari ia pergi ke Sumenep
tempat kawannya dulu di Makkah. Daerahnya sangat plosok. Dan saat itu belum ada
media sosial. Saat solat di salah satu masjid disana, dan saat salam terakhir, ia tak sengaja melihat tulisan miliknya ada di masjid tersebut. Seketika Ia pun terheran², bagaimana
caranya tulisan ini bisa singgah ke daerah yang plosok ini. Dari situlah ia
yakin bagaimana kekuatan dan efek dari sebuah tulisan. Jika benar niat untuk dakwah, Allah lah yang akan menyebarkannya.
Prinsip beliau: Mau ada yang baca atau tidak, teruslah
menulis! Mau ada yang nonton atau tidak, maka rekam dan arsipkan di youtube! seorang Da’i harus pintar bermedia sosial. Begitu katanya.
Sebagai putra seorang tokoh NU, yaitu Alwi Bashori, Kyai Luthfi
sangatlah cinta kepada NU. kritikannya yg banyak digulirkan kepada PBNU tidak
lain adalah karena kecintaannya atas NU. Dan NU GL sendiri pun tidak seresmi
dan seserius yang dipikirkan banyak orang. Ia hanya sebatas antitesis dari
pemikiran menyimpang di tubuh NU.
Ada percakapan menarik Sebelum saya pamit pulang:
“Mas Bana, sampean iki kok NU banget?”
“loh taunya dari mana Yai?”
“Yaa biasanya orang² sowan, ya sowan aja, selese pulang, lah
kamu pake minta doa… itu NU banget itu.. ”
Dalam hati: owh gitu ya
“Yasudah, karena NU saya tambah hadiah bukunya… Sebab kalo
ga NU biasanya ga tak kasih buku yg ini (buku Sunni vs wahabbi karya
beliau)…”
Saya ngebantin: ternyata ada juga yang nganggep saya NU, sebab
biasanya di kalangan NU saya dikira salafi. hehe
Dan alhamdulillah lewat beliau juga, sanad ke Abuya Sayyid
Muhammad Alawi Maliki tersambung. Saya diijahkan semua karya-karya Abuya
sebagaimana beliau mengijazahkan Kyai Luthfi Bashori.
bersama K.H. Luthfi Bashori (Pengasuh Pesantren Ilmu Al-Quran, Malang) |
Sore harinya, di hari yang sama, sebelum meninggalkan malang,
saya sowan ke Ustadz Iqbal Vickry, salah satu guru saya di Gontor, yang kini
menjadi Direktur salah satu sekolah di Malang. Lama sudah saya tidak berjumpa
dengannya. Di Gontor ia adalah musyrif yang cukup favorit. Saat kelas 3 pernah
mengajar saya mahfuzot. metode mengajarnya, jika saat itu juga santri tidak
hafal mahfuzot yang diberikan, maka tidak boleh istirahat dan berjemur di depan
gedung kelas. Dalam bahasa anak Gontor, hal seperti itu SINAK GONDOK JIDDAN (bikin kesel banget).
Pesannya yang cukup penting adalah tentang bagaimana
menerapkan nilai gontor di lembaga pendidikan luar. Katanya, jangan sampai
meng-gontor-kan tempat kamu mengajar. Sebab Gontor sudah tumbuh dan berjalan 90
tahun. Itu waktu yang sangat lama. Tidak bisa seenak jidat diterapkan
simsalabim ke instansi di luar. jika ingin, maka tanamkan nilai itu secara
perlahan.
Dan sosok terakhir yang ingin saya ambil pengalaman nya
adalah om saya sendiri. Namanya Riza Rahman Hakim. Adik paling kecil dari aba
saya. Seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Malang. Pakar dalam bidang
perikanan. Sekarang menjalar ke bisnis ikan koi.
Tiga hari saya menginap di rumahnya. Banyak nasehat yang
disampaikan. Kadang saya tanya, kadang ia sampaikan dengan lepas. Dan salah
satu pesannya yang senantiasa saya ingat: kelak jika kamu –yakni saya– sudah
berkeluarga, maka jaga benar benar keluarga kamu. Itu adalah harta paling mewah
bagimu. Secuek²nya kamu dengan pasangan, jangan sampai sama sekali tidak
perhatian, Meskipun hanya tanya kabar, lagi dimana, lagi apa, dllnya. Sebab
Itu penting. Perindah terus komunikasimu dengan pasanganmu. Itulah yang akan
membuat cintamu terus tumbuh. Begitu katanya.
Saya memang belum berkeluarga, namun ini merupakan pelajaran penting. Keluarga adalah institusi paling penting dalam tubuh umat. Jika keluarga saja sudah rusak, bagaimana mau membenahi umat.
Tepat sore hari, Ahad, 8 Mei 2022, di bawah derasnya hujan
saya meninggalkan kota Malang. Di perjalanan saya merenung, persinggahan ini pastinya
bukanlah kebetulan. Ini semua sudah Allah atur sedemikian rupa. Yang terpenting
adalah apakah kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran atau tidak. itulah yang
sering diingatkan oleh Allah dalam al-Quran.
Sekian..
Depok,
11 Mei 2022
bersama Dr. Khalili Hasib (Peneliti INSISTS) |
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.