Oleh: Sindhunata
Kolonisasi Baru
Paham kesatuan mitis yang mempengaruhi lahirnya konsep negara itu kiranya perlu dikoreksi secara mendasar. Konsep negara integral itu mengandung bahaya totaliterisme, yang sudah terbukti hampir lima puluh tahun ini. Lebih dari itu, konsep itu sudah terlalu usang untuk ikut berlomba dalam tataran globalisasi, yang makin hari makin menuntut spesifikasi dan pluralirasi.
Jangankan menurut kaidah negara modern, menurut teori nasionalisme yang tua pun, konsep negara integral itu sudah juga ketinggalan. Menurut pemikir Perancis, Ernest Renan (1823-1892), kategori ras, bahasa, agama, kepentingan bersama, bahkan letak geografis tertentu belumlah cukup untuk membentuk suatu nation. Nation tidak hanya menyertakan unsur-unsur obyektif, tetapi juga unsur subyektif. Dasar sebuah nation adalah pengolahan bersama atas pengalaman kolektif baik di masa lampau maupun masa kini, pengenangan bersama akan upaya yang sudah lama diusahakan, pengenangan akan perasaan senasib sepenanggungan, dan pengenangan akan tokoh-tokoh besar, yang membuat kita menjadi seperti sekarang. Semuanya ini harus dikerjakan terus-menerus.
Renan mengatakan, nation sesungguhnya senantiasa dihadapkan pada tindakan untuk memilih dan memutuskan. Semacam plebisit adalah norma yang tiap hari harus dijalankan, sebagaimana setiap individu harus mengaktualisasikan dirinya setiap hari lewat pengambilan keputusan dan pilihan. Jadi nation itu tidak hanya mengacu pada masa lalu, tetapi juga masa depan. Pilihan masa depan mengharuskan kita berani memutus warisan masa lalu yang tidak relevan. Nation bukan pengertian yang stabil, tetapi dinamis, karenanya juga dapat berubah.
Pengertian nation yang kita punyai sangatlah stabil. Pengertian itu hanya mengacu pada masa lampau, dan mempertahankan apa yang diperoleh dari masa lampau itu sebagai suatu stabilitas, yakni kesatuan yang tak boleh ditawar lagi. Isu negara federal dianggap keliru, karena akan membahayakan stabilitas. Tak banyak argumen baru, mengapa kita harus mati-matian mempertahankan kesatuan, kecuali bahwa negara kesatuan itu adalah warisan bangsa. Padahal mungkin saja, pencarian-pencarian baru, termasuk alternatif negara federal, justru akan memperkuat dan memperkaya kesatuan itu. Dalam pemikiran Renan, memang kesatuan yang mau mencari kemungkinan baru akan jauh lebih kuat dan menjamin, daripada kesatuan yang masih mandek dan buntu.
Ditinjau dari segi etnologi, ide negara kesatuan integral juga kurang dapat dipertanggungjawabkan. Ide itu lebih mementingkan makrokosmos, kurang melihat eksistensi mikrokosmos. Padahal, integrasi warga negara itu dimulai pada mikrokosmos, bukan pada makrokosmos nasional. Akar pada yang lokal itulah pengandaian bagi suatu kewarganegaraan nasional.
Sebenarnya di zaman kerajaan, integralisme negara itu sudah tidak stabil. Zaman Mataram, sudah sering terjadi pembeontakan dari mancanegara dan pasisiran. Maklum, negara yang padang obore itu sering hanya ritualisasi kemegahan di pusat dan tidak menyalakan kesejahteraan dan kewibaannya secara konkret sampai ke mikrokosmos-mikrokosmos pasisiran maupun mancanegara.
Orde Baru pun sesungguhnya adalah rapuh, karena tidak mempertahankan mikrokosmos-mikrokosmos dalam negara. Begitu Soeharto di-lengser-kan, Orde Baru pun sudah tidak lagi padang obore. Serentak mikrokosmos-mikrokosmos yang selama Orba tidak diberi kesempatan untuk bereksistensi, kini “memberontak” untuk menyatakan diri. Gelombang anti Jawa kiranya perlu dimengerti sebagai protes mikrokosmos yang telah dihomogenkan oleh kekuasaan di tingkat makrokosmos itu.
Meminjam istilah Jurgen Habermas, integralisme itu telah membuat Kolonisierung der Lebenwelt (kolonisasi lingkungan hidup) mereka-mereka yang ada dalam mikrokosmos. Lewat sistem ekonomi, sistem pembangunan dan sistem birokrasinya, negara telah mengkolonisasikan sub sistem-sub sistem masyarakat di tingkat mikro, bahkan sampai ke tingkat batin individu-individu. Kebebasan individu ditekan. Kelompok-kelompok di tingkat mikro tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri. Kolonisasi diam-diam menciptakan bom waktu yang tinggal meledak. Dan bom waktu itu mulai meledak. Ledakannya justru lewat saluran-saluran kategoristis yang diciptakan oleh Orba sendiri, yakni saluran SARA. Ternyata, integralisme negara yang katanya untuk menjaga kesatuan itu sebenar-nya adalah penyulut bagi pecahnya kerusuhan antar-etnis yang sempat merebak belakangan ini.
Estetifikasi politik
Kritik lain terhadap paham negara integralistik perlu dikemukakan sehubungan dengan pikiran Soepomo. Bahwa paham kekeluargaan dan staatside-nya mengacu pada Khositu Dai Nippon di bawah Tenno Heika. Paham negara integral yang kekeluargaan itu memang cocok dengan negara kekaisaran Jepang.
Dalam bukunya Ways of Thinking of Eastern Peoples (1993), Hajime Nakamura mengatakan, alam pikiran Jepang kuno memang sangat mengataskan negara di atas segalanya. Hal itu tampak misalnya dalam karya penulis Shinto, Chikafusa Kitabake (1293-1354), yang mengklaim bahwa Nippon adalah nation yang ilahi, turunan dewi matahari. Nakamura mengingatkan, orang-orang Jepang di masa mendatang harus sadar akan bahaya ultransionalis yang ada pada dirinya.
Pengebawahan individu di bawah negara seperti di atas jelas-jelas telah terjadi di Indonesia karena paham negara kekeluargaan Soepomo itu. Soetan Sjahrir tidak setuju dengan paham itu, karena paham tersebut mengecualikan kebebasan individu. Tanpa kebebasan, tak mungkin individu beertanggung jawab. Padahal hanya dengan tanggung jawab, kita dapat membangun negara secara bersama-sama.
Kecuali mengacu pada Khositu Dai Nippon di bawah Tenno Heika, paham integralistik Soepomo juga pada unsur-unsur Nazi Jerman. Unsur Nazi yang diacunya yakni, ein totaler Fuhrerschaft (persatuan pimpinan dan rakyat) dan das Ganze der politischen Einheit des Volker (totalitarisme negara). Pada zaman Soepomo, memang belum ada kritik tajam terhadap paham Nazi. Tetapi jika dibaca dalam konteks sekarang, acuan itu sangat mengejutkan. Sebab sekarang atas alasan politik apa pun, paham Nazi tidak dapat dibenarkan secara moral oleh siapa pun. Maka acuan pada paham tersebut kiranya juga harus dikoreksi, jika kita ingin mempunyai landasan pemikiran tentang UUD ’45 yang tidak cacat secara moral di masa-masa mendatang.
Unsur Nazi yang paling ditakuti juga oleh orang-orang Jerman sendiri adalah sifat rasismenya. Hitler mengagungkan kebudayaan Jerman di atas segalanya. Ia ingin, bahwa bangsa Jerman mengupayakan suatu kultur yang mengatasi kultur bangsa mana pun. Atas dasar itu, Jerman dipredestinasikan untuk membentuk suatu bangsa yang besar. Dan bangsa ini harus melebarkan sayapnya, dan dalam pelebaran itu meniadakan bangsa-bangsa yang lebih rendah kulturnya. Tak mungkinlah faham nasionalis ekstrem yang rasis diupayakan, jika tak ada penguasa yang otoriter. Maka nasionalisme ekstrem yang rasis itu harus menjadi fasis.
Kendati pun spontan kita akan menyangkali, dua bahaya terakhir itu patut diwaspadai oleh kultur Jawa, yang melatarbelakangi paham integralisme negara kita. Patut diingat, kebudayaan Jawa menganggap dirinya sebagai kebudayaan adi luhung. Seni nasional, sekurang-kurangnya dalam hal kuantitas, menunjukkan betapa seni Jawa itu dominan, lebih dominan daripada kebudayaan lainnya. Secara kuantitatif, orang-orang di luarJawa jadi lebih paham dengan seni Jawa. Sementara orang Jawa kurang paham dengan seni di luar Jawa. Pengaruh budaya yang menganggap dirinya adi luhung tidak hanya terwujudkan dalam pentas seni, tetapi juga dalam pentas politik nasional. Dalam istilah Frans-Magnis Suseno (1999), hal itu disebut “jawanisasi tatakrama komunikasi nasional”.
Jawanisasi macam itu terlihat dalam ungkapan-ungkapan hirarkis dalan tata krama politik. Orang memakai “Bapak” dan “Ibu” daripada “saudara” atau “saudari” atau “bung”. Daripada “datang” orang bicara “rawuh”, daripada “memberitahu” orang memakai kata “maringi dawuh”. “Tepa selira” juga telah menjadi tata krama politik Orde Baru. Celakanya, bukan atasan yang harus tahu diri, tetapi bawahan yang harus tahu diri terhadap atasannya. Magnis Suseno mengatakan, Jawanisasi tatakrama komunikasi nasional itu sebagai salah satu defisit budaya politik kita. Di masa reformasi ini, kita harus mengatasi defisit itu.
Dalam pemikiran Theodor Ardono, jawanisasi macam itu disebut sebagai “estetifikasi kehidupan politik”. Sementara estetifikasi macam itu sebenarnya adalah sebentuk penidasan individu oleh masyarakat. Dengan estetifikasi politik itu diupayakan suatu penyeragaman kesadaran dan tingkah laku dalam masyarakat. Rezim Nazi jelas-jelas mempraktekkan estetifikasi politik tersebut. Estetifikasi ini mempunyai pengandaian yang sangat rasis. Yakni, ras itu mendahului kultur. Kesadaran akan ras akan juga membentuk kesadaran akan kultur. Dan hanya dengan ras yang unggul dapat membentuk kultur yang unggul. Sudah selayaknya kultur yang unggul mengestetifikasikan kehidupan, termasuk kehidupan politik.
Kita boleh menolak, bahwa kebudayaan Jawa telah menjajah kebudayaan lainnya. Tetapi kiranya kita tak bisa menolak, bahwa telah terjadi estetifikasi politik nasional oleh kebudayaan Jawa. Hal ini makin diperkuat, jika kita mengamati kenyataan, bahwa penguasa sentral yang Jawa selama Orba cenderung memasang aparat Jawa, baik sipil maupun tentara, di wilayah-wilayah yang jauh dari sentral kekuasaan. Birokrasi Jawa melingkupi daerah mana saja di luar Jawa. Dan birokratisasi itu sangat dimungkinkan, karena penguasa pusat memasang kekuatan tentara sampai ke pelosok-pelosok. Militerisme Orba untuk mempertahankan kekuasaan pusat yang totaliter itu adalah upaya-upaya yang lazim dikerjakan oleh rezim fasis. Sistem yang nyaris fasis memang sangat menjamin dalam menjalankan estetifikasi politik Orba, yang didominasi kebudayaan Jawa itu.
Oposisi kultural
Demikianlah penjelajahan sepintas tentang potensi-potensi negatif dalam budaya Jawa, yang mungkin bisa memancing prasangka-prasangka non-Jawa terhadap Jawa. Suatu analisis dan studi kebudayaan yang menyeluruh dan mendalam kiranya perlu dilakukan, agar kita bisa makin mengetahui sentimen-sentimen non-Jawa terhadap Jawa. Pengetahuan itu sangat perlu untuk menghindarkan konflik yang bisa amat destruktif bagi kepentingan bangsa. Di masa-masa mendatang tidak mustahil, bahwa medan konflik itu akhirnya menjadi sangat vulgar, yakni masalah eksistensi etnis non-Jawa menghadapi etnis Jawa. Maklum, di balik ke adiluhungannya, kebudayan Jawa diam-diam menyimpan potensi rasis dan fasis.
Dari segi kebudayaan, pokok keprihatinan di era reformasi ini bukan hanya pembersihan KKN, pengadilan Soeharto, amandemen batang tubuh UUD ’45 dan penghapusan Dwifungsi ABRI, tetapi juga de-Jawanisasi politik kita. Amandemen UUD ’45 dan penghapusan Dwifungsi ABRI perlu ditinjau tidak hanya dari segi politik, tetapi juga dari segi budaya. Kita perlu memberi latar belakang yang lebih luas bagi UUD, lebih daripada sekadar latar belakang Jawa saja. Dwifungsi ABRI pun perlu dianalisis dari segi budaya Jawa yang bisa tergoda untuk menjadi fasis.
Kita tidak boleh membiarkan konflik Jawa-non-Jawa sampai pecah dalam masyarakat. Untuk itu konflik tersebut perlu dikultivasi, dan sarana bagi kultivasi itu adalah parlemen. Sulit diharapkan bahwa kebudayaan Jawa dapat mengoreksi dirinya sendiri. Kebudayaan itu perlu dikoreksi dari luar. Dan ini hanya mungkin, jika dalam parlemen ada kekuatan oposisi yang bisa membawakan kepentingan dan kebudayaan non-Jawa. Maka oposisi sungguh diperlukan tidak hanya dari segi politik tetapi juga dari segi budaya. Kita memerlukan oposisi kultural terhadap kebudayaan Jawa.
Polarisasi yang dihasilkan oleh Pemilu 1999 kiranya boleh kita jadikan sebagai hikmah yang positif. Secara gampangan, orang bilang sekarang ada polarisasi Jawa dan non-Jawa dalam peta kekuatan partai-partai. PDI-P di Jawa, dan Golkar di luar Jawa. Jika patuh pada electoral process, biarlah PDI-P yang kuat di Jawa mendapat kesempatan untuk mengambil inisiatif membentuk pemerintahan. Golkar yang kuat di luar Jawa tepat menjadi kekuatan oposisi, dengan titik berat perjuangan kepentingan di luar Jawa. Demikianlah akan terjadi kekuatan-kekuatan parlementer yang real, yang secara dialektis dapat melakukan wacana-wacana politik dan kebudayaan, agar de-Jawanisasi politik kita terlaksanan dengan damai dan demokratis.
Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis. Tulisan ini disunting dari makalah penulis untuk diskusi “Prasangka Jawa-Non Jawa dalam Politik dan Kebudayaan Indonesia”, yang diselenggaraka Institut Studi Arus Infromasi di Jakarta.
Sumber: Kompas, 23 Juli 1999
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.