Uncategorized

Menimbang manfaat dan bahaya nyanyian


Bismillahirrahmanirrahim

MENIMBANG MANFAAT DAN BAHAYA NYANYIAN

Yazid bin al-Walid an-Naqish berkata, “Wahai Bani
Umayyah, jauhilah nyanyian, sebab ia bisa mengurangi rasa malu, mengobarkan
syahwat, dan merusak muru’ah (kehormatan diri). Sungguh nyanyian itu tidak ada
bedanya dengan khamer, dan menjadikan orang berbuat seperti perbuatan orang
mabuk. Jika kalian memang tidak bisa menghindarinya, maka jauhkanlah nyanyian
itu dari perempuan karena nyanyian itu selalu mengundang perzinaan.” (Riwayat
al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan adz-Dzahabi dalam Tarikh-nya).

Yazid
bin al-Walid adalah khalifah Umawiyah ke-12 yang wafat tahun 127 H. Menurut Khayruddin
Zirikly dalam al-A’lam, beliau adalah pribadi yang shalih, wara’,
fasih lidahnya, dan berbadan kurus. Seruan diatas diungkapkan khalifah
kepada keluarga besarnya sendiri yang telah tenggelam dalam kemewahan dan
pesta, termasuk di dalamnya nyanyian dan minuman keras. Menurut para ahli
sejarah, tahun-tahun itu adalah zaman fitnah dan huru-hara politik di banyak
wilayah kekhilafahan. Ketika itu mental dan gaya hidup para pejabat sudah sangat
rusak, akibat kemewahan dan terjauh dari tuntunan agama.
Di
sisi lain, tahun-tahun itu adalah permulaan Abad II Hijriyah. Secara umum zaman
itu adalah Periode Shighar Tabi’in (kelompok terakhir dari generasi kedua kaum
muslimin, setelah Sahabat) dan Kibar Atba’ Tabi’in (kelompok awal generasi ketiga).
Di masa itu terdapat Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H), ‘Amr bin Dinar (w. 120 H),
Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 125 H), Hisyam bin ‘Urwah (w. 145 H), Abu Hanifah
an-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), dll. Mereka adalah
para ulama’ besar di masanya, dan diakui kepakarannya sepanjang zaman.
Sekilas,
kedua fakta ini terkesan sangat kontras. Namun, mari mencermatinya lebih dekat
lagi. Lihatlah, di zaman ketika para ulama’ besar masih hidup dan aroma Era Kenabian
pun belum sangat jauh dari ingatan masyarakat, pada kenyataannya sifat nyanyian
tetaplah sama. Karakteristik nyanyain di zaman kita pun sama persis dengan apa yang
dikatakan oleh khalifah Yazid bin al-Walid, lebih dari 1300 tahun silam. Bagaimana
jika beliau hidup di zaman kita, dan menyaksikan apa yang terjadi dewasa ini?
Banyak
kontroversi dalam bab ini. Ada fatwa yang membolehkan, membolehkan dengan
catatan, menganggapnya makruh, dan juga mutlak mengharamkannya. Terlebih,
ketika hampir seluruh handphone dan gadget yang kita beli di
pasaran telah terpasang konten-konten berbau musik dan nyanyian. Hampir seluruh
acara televisi dan radio pun tidak lepas darinya. Betapa sukarnya menyikapi masalah
ini, dan betapa repotnya untuk menghindar.
Namun,
ketika beragam fatwa dan komentar telah membuat orang awam seperti kita bingung;
dan status hukum-hukum fiqh menjadikan kita sukar menentukan sikap; maka ada
baiknya kita merenungi hakikat nyanyian itu sendiri, lalu menimbang-nimbang
manfaat dan madharratnya. Dalam konteks ini, pernyataan khalifah Yazid bin
al-Walid diatas kiranya sangat pantas dirujuk. Mari mengkaji bahaya dan
keuntungannya.
Bahaya
pertama nyanyian adalah mengurangi rasa malu. Padahal menurut Rasulullah, malu
adalah bagian dari iman (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). Dengan
kata lain, nyanyian akan mengikis iman kita perlahan-lahan, sedikit demi
sedikit, tanpa terasa.
Bahaya
kedua adalah mengobarkan syahwat. Ini tidak kalah besar ancamannya, sebab
bergolaknya syahwat selalu beriringan dengan berkurangnya akal sehat. Dalam Ihya’
Ulumiddin
, Imam al-Ghazali mengutip pernyataan Fayyadh bin Najih, “Jika
kemaluan seseorang telah terangsang, maka lenyaplah sepertiga akalnya – atau
(dalam riwayat lain): sepertiga agamanya.”
Bahaya
ketiga adalah merusak muru’ah, yakni kemuliaan pribadi yang membuat
seseorang dihormati dan tidak dilecehkan. Sungguh, ketika seseorang telah
kehilangan harga diri dan kehormatannya di mata orang lain, maka tidak ada lagi
kebaikan padanya. Bukan rahasia lagi, bahwa ketika bernyanyi banyak orang
bertingkah tidak karuan, mirip pemabuk, larut dalam luapan emosi, dan menjadi lupa
diri. Hakikat ini bukanlah omong kosong yang mengada-ada, namun fakta yang
dengan mudah dapat kita saksikan dalam konser-konser musik di belahan dunia
sebelah mana pun!
Lalu,
bahaya terakhir yang sangat mengerikan adalah: perzinaan. Ini mudah dipahami,
jika rangkaian tiga hal sebelumnya kita deretkan. Bila rasa malu telah lenyap,
syahwat berkobar dahsyat, dan muru’ah sudah tidak diperdulikan, maka seseorang
bisa melakukan apa saja tanpa perduli halal-haram. Terlebih, realitas
menunjukkan bahwa nyanyian-nyanyian yang beredar – dulu maupun sekarang –
hampir tidak ada yang tidak mengeksploitasi kemolekan para wanita, entah dari
segi suara, wajah, rambut, tubuh, dan segala hal yang berhubungan dengan
mereka.
Sejauh
ini, kita telah menyaksikan empat bahaya nyanyian yang mengancam kita. Mungkin ada
yang bertanya, mengapa tidak disebutkan juga manfaatnya? Untuk ini, Allah telah
mencontohkannya dalam kasus khamer, dengan berfirman: “Mereka bertanya
kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: di dalam keduanya terdapat dosa
besar dan manfaat-manfaat bagi manusia. Namun, dosanya lebih besar dari
manfaatnya.”
(QS. al-Baqarah: 219).
Jika
sesuatu hal diketahui akan mengikis iman, mengobarkan syahwat, menghapus muru’ah,
dan mendorong kepada perzinaan, maka apakah kita masih tega bertanya tentang
manfaatnya? Astaghfirullah! Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 01
Dzulhijjah 1433 H. Sudah dipublikasikan melalui Lembar Tausiyah.

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top