Oleh : Devi Candra Lestari
Perkenalkan nama saya Devi Candra Lestari,
mahasiswi jurusan akhir yang sedang berusaha meraih gelar untuk membanggakan
kedua orang tua di salah satu universitas terbaik di Indonesia, Universitas
Gadjah Mada dan mengambil jurusan S1 Kehutanan. Pandemi COVID-19 yang tiba-tiba
saja merebak di seluruh dunia memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
berbagai aspek kehidupan, salah satunya akademik. Ya, semua mulai dilakukan
secara daring, bahkan untuk mahasiswa akhir yang harus melakukan penelitian
untuk memperoleh gelar sarjana pun harus benar-benar mempertimbangkan banyak
hal, karena saya yakin kesehatan menjadi prioritas utama di masa seperti
sekarang ini. Dengan melakukan beberapa konsultasi bersama dosen pembimbing
skripsi, akhirnya saya mengambil topik penelitian yang dapat dilakukan secara
daring. Hal ini memang memudahkan saya dalam menyelasaikan tugas akhir saya,
akan tetapi hal ini membuat saya membuang kesempatan melihat dunia lebih luas
dengan alasan “ke lapangan untuk ambil data skripsi”. Hampir setahun saya hanya
“menganggur” di rumah hingga akhirnya seorang kakak tingkat memberikan tawaran
sebagai relawan di Swaraowa, sebuah lembanga swadaya masayarkat yang bergerak di bidang pelestarian hutan untuk jenis-jenis Owa di Indonesia . Kesempatan relawan ini untuk membantu seorang mahasiswi S2 Institute Pertanian Bogor (IPB) yang mendapat beasiswa dari Swaraowa, yang sedang mengambil
data thesis bertemakan bioacoustic Owa Jawa. Setelah banyak menimbang
dengan keyakinan bahwa belum tentu kesempatan seperti ini akan datang lagi,
saya akhirnya mendaftarkan diri sebagai relawan di SwaraOwa.
Nur Aoliya (Kiri) dan Saya ( kanan) |
Namanya Nur Aoliya, saya memanggilnya Mbak
Lia, ketertarikannya
terhadap primata membuatnya memilih Owa Jawa sebagai obyek penelitian untuk
tugas akhirnya, baik saat sedang berusaha memperoleh gelar sarjana saat S1, dan juga untuk saat ini. Pengetahuan yang luas tentang primata dan
pengalamannya dalam hal konservasi dan rehabilitasi primata membuatnya memiliki
banyak cerita yang menarik untuk didengarkan. Penelitiannya kali ini
dimaksudkan untuk mengetahui variasi greatcall suara Owa Jawa di daerah
pegunungan dieng. Greatcall disini adalah lengkingan suara keras yang
dihasilkan oleh owa betina dewasa, Suara ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut
merupakan teritori suatu kelompok Owa Jawa yang harus mereka pertahankan dari
kelompok lainnya. Variasi akan terbentuk dari berbagai kondisi yang berbeda di
tiap titik pengambilan data.
recorder dan shotgun mic |
Apabila fotografer memerlukan kamera untuk
mendapatkan targetnya, kami memerlukan sebuah senjata yaitu perekam suara, Linear
Pulse Code Modulation– PCM dengan device tambahan shotgun microphone yang khusus untuk
digunakan merekam suara satwaliar (baca
disini tentang shotgun mic). Alat ini mampu merekam suara Owa Jawa yang
terdengar bahkan hingga radius ratusan meter. Nantinya hasil rekaman dari alat
ini akan di analisis kembali, divisualisasikan sehingga dapat diketahui sonogram
greatcall Owa Jawa di tiap titik pengambilan data-Listening Posts (LPs). Alat ini cukup mudah
digunakan, hanya saja dalam menggunakannya perlu menghindari kebisingan seperti
suara kendaraan bermotor, suara sumber air yang cukup deras, dan hal lain yang
mampu mengganggu kualitas suara dari Owa Jawa itu sendiri. Selain rekaman
suara, estimasi jarak dan sudut sumber suara Owa Jawa juga diperlukan untuk
mengidentifikasi jumlah kelompok Owa Jawa yang ada. Biasanya, satu kelompok
berisi 4 hingga 6 ekor owa yang terdiri dari owa jantan, owa betina, dan
anak-anak mereka.
Lutron digital Anemometer,Hygrometer, Termometer and lightmeter |
Garmin GPS Handheld |
measuring tape |
Pengambilan data juga dilakukan untuk
data-data lain, seperti data kondisi lingkungan dan juga data vegetasi. Data
kondisi lingkungan diambil tiap jam, mulai dari pengamatan dimulai hingga
berakhir sekitar pukul 12.00 siang. Data yang diambil berupa data suhu,
kelembaban, kecepatan angin, intensitas cahaya, dan kondisi cuaca. Data
vegetasi diambil satu kali di tiap lokasi dengan data-data yang diperlukan
dalam pembuatan diagram profil pohon. Data-data tersebut akan menunjukkan
kondisi yang berbeda di tiap lokasi pengambilan data yang nantinya dapat
digunakan sebagai faktor penentu variasi greatcall suara Owa Jawa.
mbak Lia sedang mengambil data vegetasi |
Saya berkesampatan untuk membantu Mbak Lia
mengambil data di 2 lokasi, karena lokasi lain telah selesai dilakukan
pengambilan data. Lokasi pertama berada di Desa Tombo, Kec. Bandar, Kab.
Batang. Selama di Desa Tombo, kami menginap di rumah Pak Saatu. Beliau
merupakan kepala dusun yang juga bekerja sebagai petani padi. Beliau tinggal
bersama istri, anak, dan juga 2 cucunya.
Salah satu hal menarik yang saya dapatkan dari
tinggal di rumah Pak Saatu adalah hangatnya kasih sayang di lingkup keluarga
telah membentuk tata karma yang baik untuk anaknya. Apa yang terlintas dalam
pikiran anda apabila mendengar tingkah laku anak kecil “jaman now”? Mungkin beberapa akan mengatakan
hilang unggah-ungguhnya, atau bahkan beberapa akan mengatakan hilang Jawa-nya
(karena saya berasal dari Jawa). Hal ini membuat saya akhirnya memutuskan untuk
memulai memperkenalkan diri menggunakan Bahasa Indonesia, bahasa nasional kita,
kepada kedua cucu Pak Saatu. Mendengar jawaban mereka, saya menjadi malu. Tata
bahasa mereka, jauh lebih baik dibandingkan dengan saya. Bahkan sering kali
saya dibuat kebingungan ketika menjawab pertanyaan mereka. Dalam benak saya,
saya berfikir, “ setidaknya, Bahasa Krama saya harus sama halusnya lah dengan
merek,” tapi eksekusinya, saya hanya bisa menambal beberapa kosakatamenggunakan
Bahasa Nasional karena sayapun bingung harus berbicara apa. Sebenarnya, mereka
juga telah mengetahui teknologi seperti halnya kita, akan tetapi lingkungan yang
terus menjaga tradisi membuat mereka secara sukarela akhirnya juga ikut
mengamalkan tradisi tersebut.
Semburat jingga, pagi di Desa Tombo. Foto Nur Aoliya |
LPs (Listening post ) di desa tombo, dihadapkan pada |
oleh Mbah Dasto, yang kebetulan lokasi kebun kopinya cukup dekat dengan lokasi
pengambilan data kami. Jarak dari desa menuju lokasi pengambilan data kami
cukup jauh, terlebih lagi kami juga masih harus berjalan sekitar 30 menit lamanya.
Kenyataan itu menuntut kami untuk berangkat pagi-pagi sekali untuk bisa
mencapai titik sebelum pukul 06.00, waktu awal pengambilan data. Berangkat pagi
ternyata tidak sepenuhnya memberatkan. Kami selalu disambut semburat jingga
pagi Desa Tombo yang hangat dan juga sekelompok ibu-ibu pemetik teh yang
tersenyum ramah, bergegas menuju kebun
teh dengan tas dan caping mereka. Penduduk desa ini mayoritas merupakan pemetik
teh, petani kopi dan juga petani padi, karena menurut Pak Saatu, desa ini
sangat tidak cocok digunakan sebagai lahan perkebunan karena masalah hama yang
cukup merepotkan.
sedang merekam suara owa di lokasi LPs |
Suara Owa Jawa beberapa kali
terdengar di lokasi ini. Akan tetapi, saya, yang sama sekali belum pernah
melihat Owa Jawa secara langsung sangat ingin melihatnya. Satu hari, dua hari,
harapan saya pupus dan ini berlanjut hingga hari terakhir. Tak satupun terlihat
Owa Jawa yang terlihat, Suara-suara yang terdengar memang berasal dari lokasi
yang cukup jauh dari lokasi pengambilan data kami. Pengambilan data akhirnya
diakhiri, dan kami akhirnya berpindah ke lokasi selanjutnya yaitu di Desa
Kalitengah, Kec. Blado, Kab. Batang.
ikut memetik teh, di perkebunan di sekitar lokasi pengamatan
|
Kami akhirnya bertemu keluarga baru di
Desa Kalitengah ini. Desa Kalitengah merupakan daerah wisata yang cukup ramai
dikunjungi pelancong yang ingin menikmati keindahan kebun teh dan juga
menikmati secangkir kopi khas daerah ini. Kami menginap di rumah Pak Sis selama
di desa ini. Karena lokasi ini lokasi baru, kami melakukan observasi lapangan
selama 2 hari untuk menentukan lokasi pengambilan data. Kami membuka telinga
lebar-lebar untuk dapat menemukan suara Owa Jawa sebagai target baru untuk bisa
direkam suaranya. Setelah melakukan pencarian, akhirnya kami mendapatkan lokasi
pengamatan yang baru, yaitu di sebuah punggungan dekat desa yang berhadapan
langsung dengan bukit-bukit dan lembah yang masih sangat rimbun hutannya. Data
yang kami peroleh di desa ini tidak jauh berbeda dengan Desa Tombo. Suara Owa
Jawa beberapa kali terdengar, tapi tidak satupun Owa Jawa yang terlihat. Akan
tetapi, dibandingkan dengan Desa Tombo, suara Owa Jawa di lokasi ini lebih
jarang terdengar.
bentang hutan di LPs Kalitengah. Foto Arif Setiawan |
Akhirnya setelah 8 hari di lapangan,
pengamatan pun selesai. Kami kembali ke Kec. Doro, menuju kontrakan salah satu
rekan kami yang juga bekerja di Yayasan SwaraOwa, saya memanggilnya Mbak Alif.
Kami menginap untuk satu malam, dan besoknya, kami memutuskan untuk jalan-jalan
ke Petungkriyono, melihat-lihat kalau-kalau saya beruntung bisa berjumpa dengan
Owa Jawa yang sampai hari terakhir pengamatan belum pernah secara langsung melihatnya.
Owa jawa yang kami jumpai di Petungkriyono |
Perjalanan menuju Petungkriyono sangat
menyenangkan. Udara yang masih terasa segar dan pemandangan yang indah cukup
menghibur saya. Hingga akhirnya, kami berhenti di sebuah spot wisata yang
memang sudah tidak beroperasi lagi. Beruntungnya, setelah kami memarkirkan
motor, terlihat Owa Jawa sedang bergelantungan tepat di atas kami. Selain itu,
kami juga bertemu sekelompok lutung yang sedang “bersantai” di sebuah pohon. Di
lokasi ini, juga terdapat banyak burung yang berterbangan dan berkicauan.
Atraksi utama dari spot wisata ini yaitu air terjun. Setelah dirasa cukup puas
melihat satwa-satwa yang ada, akhirnya kami memutuskan tracking menuju air
terjun tersebut. Setelah sampai, semburan air yang sangat dingin, bebatuan
sungai, dan air yang tumpah dari ketinggian, telah menyambut kami. Pemandangan
yang cukup menakjubkan. Kami mengabadikan beberapa momen di lokasi ini untuk
memnandakan bahwa kami pernah mengunjungi lokasi ini. Rasa penasaran akan
bentuk Owa Jawa secara langsung dan rasa lelah yang ditimbun selama pengamatan
akhirnya terbayarkan dengan apa yang kami dapatkan di sini. Semoga, kedepannya
lokasi ini dapat kembali dibuka sebagai salah satu destinasi spot forest healing yang tidak hanya
mengunggulkan air terjunnya, tetapi juga keindahan alam dan satwanya.
air terjun di Petungkriyono. Foto Alfah Dina |
Banyak hal yang saya dapatkan selama
perjalanan kali ini. Jiwa sosialisasi saya dituntut untuk terbangun kembali
setelah sempat “mati” selama “menganggur” di masa Pandemi COVID-19 ini.
Unggah-ungguh dan tata karma kembali diasah karena saya juga harus bisa berbaur
dengan masyarakat setempat agar kami sama-sama nyaman untuk dapat tinggal
bersama. Pengalaman baru juga didapatkan, karena saya baru benar-benar
mempraktikan di lapangan bagaimana sebenarnya mengamati primate, terkhusus Owa
Jawa. Ilmu-ilmu yang hanya bisa didapatkan selama kita berada di lapangan,
bukan saat kita hanya duduk dan mendengarkan ketika di kelas. Kapasitas diri
menjadi lebih meningkat dan juga kesempatan ini membuka kesempatan saya untuk
membuka jejaring konservasi lebih lebar lagi.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.