Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu
Negara oleh karenanya pembuatan Perjanjian Internasional yang merupakan salah
satu dari aktivitas penyelenggaraan Negara sudah seharusnya didasarkan
ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi
sebagai pondasi dalam penyusunan sistem Hukum Tata Negara, oleh karena itu
pembuatan Perjanjian Internasional juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi.
Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik diantara pakar hukum
maupun praktisi penyelenggara Pemerintahan Negara mengenai dasar konstitusional
yang mengatur pembuatan Perjanjian Internasional. Perbedaan yang menyebabkan
pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis
dalam memberi dasar pengaturan tentang Perjanjian Internasional.
Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional,
18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan
dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan Perjanjian Internasional
menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman.
mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam
sistem terdapat: “there are wholes; they have elements and those elements have
relations which form structure”. Lebih lanjut dinyatakan: “Source-based system
has legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority
or validity to higher rules. These relations are clasically formed into a
pyramidal and hierarchal structure with one ultimate rule, ‘basic norm’ or
‘legal science fiat’ at the top. The wholeness factor is provided by the
structure itself and by its function of providing the authoritative basis for
all law in community”. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagaimana di
atas uraian di bawah ini akan ditinjau dari Perjanjian Internasional dalam UUD
1945.
Dasar Hukum
Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami
perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan
Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan
Undang-Undang.
Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan
didalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji
lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian
Internasional.
Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara
yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem
UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila
dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi
pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini
yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.
“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa
apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan
keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu
berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau
kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.”Pasal 11
sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: “Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD
ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa
dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah
perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut
dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan
Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah
perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan
Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD
setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke
DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai
Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD,
Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum
perubahan);
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III
menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam
sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan
Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang
melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya
Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara
dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya.
Bentuk Hukum
Sebuah Perjanjian Internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan
kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar Negara yang
membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkan
kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa
yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihak
Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan
mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal
11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden lah yang akan menyatakan, membuat
perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secara
hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak
lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain
tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk
mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan
dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yang
ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam
sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi
dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden.
Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR.
Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk
hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus
berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum
tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang
disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhi
apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
Negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentuk
hukum Undang-Undang.
“Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak
berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme
internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi
pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan
bukan pengesahan Undang-Undang.”Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka
artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan
Undang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum.
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai
karakteristik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu
konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan
kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus
mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan
perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau
proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu
yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh
hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan
kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan
secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu Rancangan
Undang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian
dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama
antara ke dua belah pihak.
Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara Negara
Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah
janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan Perjanjian
Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelah
menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut
dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalah
pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui
hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat
mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan Undang-Undang
menimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional
sedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang
berada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral
disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara
lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena
digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan
adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.
Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakah
sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak
suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain.
Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan
berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut
tidaklah tepat karena perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yang
setara kedudukannya.
”Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya
segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus
diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.”Hal berikutnya
menyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuah
Perjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah
penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh
para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar
pihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, maka
diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran.
Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskah
otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian
Internasional dituangkan dalam bentuk hukum Undang-Undang dan kemudian karena
suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalam Undang-Undang apakah
kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam
lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan
menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakui
bahwa lampiran yang terdapat dalam Undang-Undang Indonesia sebagai naskah
otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah Perjanjian
Internasional yang dilampirkan dalam Undang-Undang ternyata tidak diakui
sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimana
mestinya.
Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya
segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus
diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam
ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang
dan wajib diundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus
ini. Presiden telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan
kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku
adalah mekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5)
menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut
menjadi Undang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut
materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan
evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam
Perjanjian Internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan
kemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya
ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yang
demikian.
Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam
kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harus
dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau
memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel.
Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional
dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan Undang-Undang. Dalam banyak
Undang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan
Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk Undang-Undang, sebagai misal
pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia,
dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di
Negara lain tidak selalu memberi bentuk Perjanjian Internasional sebagai
Undang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusi
bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat
dan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undang
dibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat
Negara tersebut.
Persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional
Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum
Nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat
Perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang
berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk
mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat
Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal
konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasional
ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks
hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan perjanjian
dengan Indonesia.
“… dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa
apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh
elemen yang diwakilinya, baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini
tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.”Apabila
secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara
konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan
perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga
Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut.
Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal
bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat
seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan
ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.
Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan
haknya untuk melakukan hubungan dengan Negara lain dalam hal ini membuat suatu
perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar
rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat
tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara
lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya
persetujuan DPR apabila Presiden membuat ”Perjanjian Internasional lainnya”
yang: (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau
pembentukan Undang-Undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah
terkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak
bisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD
mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain
(demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR.
Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang
maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk
menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya.
Pengertian “yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan
perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian
Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek
Hukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa
perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan
DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perlu
digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal
dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik Hukum
Internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan
persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2)
UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran
perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena
menyangkut kepentingan bangsa.
Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasional
yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena
pihaknya bukan Negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah
tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau
mengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian
yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian
tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan
pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus
perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara Negara
Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court
of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena
perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan
menjadi bagian Hukum Publik Internasional.
Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan
mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum
publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda
sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetap
mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelas akan mengurangi
kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.
Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional
“Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak
selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah
pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai
satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar
negeri.”Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum
yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak
ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari
kewajiban untuk terikat adalah kehendak masing-masing pihak. Disisi lain
masing-masing Negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang
menetapkan lembaga atau organ Negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili
Negara tersebut dalam berhubungan dengan Negara lain. Perjanjian Internasional
yang lahir atas dasar kesepakatan ini menempatkan para pihak dalam posisi
setara dan oleh karenanya perjanjian internasional mempunyai dasar “good faith”
antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair
menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu
pihak berkebaratan maka dapat menolak, atau membuat suatu kesepakatan baru yang
kemudian disepakati bersama. Apabila suatu Perjanjian Internasional membebani
kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya
sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian
Internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good
faith and mutual trust” antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda”
menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi
internal Negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Internasional, ada
kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh lembaga atau organ Negara yang secara hukum diberi wewenang
oleh konstitusi untuk mewakili Negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau
Negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga Negara yang lain
termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada
Perjanjian Internasional yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan
prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar
pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena
kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan
perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya
itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya Perjanjian
Internasional tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap
memberikan akibat hukum Perjanjian Internasional di dalam negeri, asas pacta
sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas reciprocity yaitu bahwa pelaksanaan
Perjanjian Internasional tersebut di Indonesia akan digantungkan pada
pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bersangkutan di Negara lain sebagai
pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara reciprocity ini dapat
dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada Negara yang bersangkutan melalui
jalur diplomatik. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan
nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai Perjanjian Internasional hanya
membebani kewajiban secara sepihak saja.
“Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim
untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian
Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian
Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara
konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu
Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.”
Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak
selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah
pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai
satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri. Apabila
Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka
sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional
karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi.
Pemberian tempat Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional merupakan
salah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnya
dalam Konvensi Wina mengenai the Law of Treaty, dasar mengikat Perjanjian
Internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan Perjanjian
Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kalau toh Indonesia belum
pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tidak berarti bahwa
Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan Perjanjian Internasional
dalam hukum nasionalnya. Bagi Negara yang tidak pernah melakukan akseptasi
terhadap the Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan Perjanjian
Internasional dengan Negara lain dan menerima ketentuan the Law Treaty sebagai
acuannya, maka the Law Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah
menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber Hukum
Internasional.
Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan
Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber
hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada
kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang
dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil,
yaitu peraturan perundang-undangan yang ada. Sementara itu Hakim dilarang
menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur,
oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim dapat dilakukan
dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu
diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat
yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena
dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan
nasional tetapi juga di masyarakat Internasional. Perjanjian Internasional yang
bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh Negara-Negara di
dunia, maka secara substantif dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan
yang diterima oleh banyak Negara, oleh karenanya Hakim nasional dapat mengambil
substansi yang terdapat dalam Perjanjian Internasional tersebut sebagai sumber
hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu Perjanjian
Internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk
kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa
telah banyak Negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan
demikian banyaknya Negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa
substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil,
dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh Hukum
Nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Disamping
sumber hukum materiil, Hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber
hukum formil, yang utamanya adalah Undang-Undang. Sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, Hakim bahkan wajib untuk mendasarkan putusannya pada Undang-Undang.
Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim
untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian
Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan
Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang
secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional
yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum,
Perjanjian Internasional atau Traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang
terpisah dari Undang-Undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi
ratifikasi Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-Undang mengesankan
seolah-olah kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum didasarkan
atas bentuk formil Undang-Undang pada hal bukan. Status Perjanjian
Internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan
Perjanjian Internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika
menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau Statute yang dibuat oleh
Congress merupakan sumber hukum bagi Hakim, sedangkan Perjanjian Internasional
tidak dituangkan dalam bentuk Law atau Statute yang dibuat oleh Congress,
tetapi Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat,
namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa Perjanjian Internasional
sebagai the law of the land. Meskipun Perjanjian Internasional karena sifatnya
dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun
untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang
terdapat dalam Perjanjian International. Sangatlah mungkin bahwa norma yang
ditimbulkan oleh pasal-pasal dari Perjanjian Internasional mempunyai daya ikat
atau daya berlaku yang berbeda.
sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau Article 111 dari Convention on
Recognition and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi:
“Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them
in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied
upon under the condition laid down in the following article”. Apabila Konvensi
ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat
maka seharusnya Hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan
pelaksanaan putusan arbitrase asing asalkan dilaksanakan “under the condition
laid down in the following article” sebagaimana disyaratkan Article 111
tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari Article
yang terdapat dalam United Nations
“Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim
dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian
Internasional.”
Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam Undang-Undang No.
7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment
menyatakan “Subject to its constitution and the fundamental principles of its
legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and
other measures as may be necessary to establish as a criminal offence when
committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in
the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation
to his or her lawful income.” Pasal ini tidak dapat diterapkan oleh Hakim
karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkah
legislatif lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai
perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat publik yang sangat
mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan
dengan gaji resminya. Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional
diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya
dengan Perjanjian Internasional.
Dr. Harjono, sh., m.cl.
· S1, Sarjana Hukum (S.H.) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1977;
· S2, Master of Comparative Law (M.C.L.) School of Law, Southern Methodist
University, Dallas-USA, 1981;
· S3, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1994.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan Hukum Perjanjian Internasional
dapat disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut:
Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, Perjanjian
Internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden
adalah wakil Negara dalam berhubungan dengan Negara lain.
a. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa
bentuk hukum ratifikasi Perjanjian Internasional adalah Undang-Undang, oleh
karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan
bersama dalam pembuatan Undang-Undang.
b. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk
Perjanjian Internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR
untuk memutuskan hal-ha1 yang berakibat pada beban negara atau yang
mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan Undang-Undang, bukan
didasarkan atas pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan privat.
c. Perjanjian Internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi
sumber hukum dalam Hukum Nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan
konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk Undang-Undang, sehingga Perjanjian
Internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum Undang-Undang.
d. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang
terdapat Perjanjian Internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self
executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan.
e. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam bentuk atau wadah Undang-Undang
menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang
baru.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.