Urgensi Tholabu al-Ilmi menuju Ilmu Naafi
Oleh : Bana
Fatahillah
“Jadilah kalian orang yang berilmu, atau orang yang belajar akan
(ilmu), atau orang yang mendengarkan (ilmu), atau orang yang senang dengan
(majlis-majlis ilmu). Dan janganlah kamu menjadi yang kelima, maka kalian akan
hancur”, (H.R Abu Daud). Begitulah
salah satu sabda baginda Nabi Muhammad SAW. Dari hadist tersebut dapat ditarik
kesimpulan, bahwa Rasulullah menyuruh
umatnya untuk menjadi orang yang berilmu. Kalau tidak bisa pada posisi tersebut,
maka Rasul melarang kita untuk menjadi yang kelima. Apa yang kelima itu, mereka yang tidak belajar akan ilmu, tidak
mendengarkan akan ilmu, atau sampai tidak mencintai majlis-majlis keilmuan yang
ada. Maka kata Rasul, kelak kau akan hancur (fatahlik).
(ilmu), atau orang yang mendengarkan (ilmu), atau orang yang senang dengan
(majlis-majlis ilmu). Dan janganlah kamu menjadi yang kelima, maka kalian akan
hancur”, (H.R Abu Daud). Begitulah
salah satu sabda baginda Nabi Muhammad SAW. Dari hadist tersebut dapat ditarik
kesimpulan, bahwa Rasulullah menyuruh
umatnya untuk menjadi orang yang berilmu. Kalau tidak bisa pada posisi tersebut,
maka Rasul melarang kita untuk menjadi yang kelima. Apa yang kelima itu, mereka yang tidak belajar akan ilmu, tidak
mendengarkan akan ilmu, atau sampai tidak mencintai majlis-majlis keilmuan yang
ada. Maka kata Rasul, kelak kau akan hancur (fatahlik).
Rasulullah bersabda dalam salah satu
hadisnya, “kullu ummati yadkhuluun al-jannata illa man abaa”, lalu para
sahabat bertanya, qaluu : “faman ya’ba ya rasulallah ?”. qaala
:“man athoo’anii dakhala al-jannah, faman ashoonii faqod abaa”. Mereka
yang berbuat maksiat itulah yang tidak masuk surga. Rasulullah menjelaskan
bahwasanya manusia tidak akan melakukan sebuah maksiat atau sebuah kesalahan,
melainkan karena ada 4 faktor didalam dirinya. Selama 4 faktor ini ada pada
diri manusia, maka ia akan mengerjakan maksiat.
hadisnya, “kullu ummati yadkhuluun al-jannata illa man abaa”, lalu para
sahabat bertanya, qaluu : “faman ya’ba ya rasulallah ?”. qaala
:“man athoo’anii dakhala al-jannah, faman ashoonii faqod abaa”. Mereka
yang berbuat maksiat itulah yang tidak masuk surga. Rasulullah menjelaskan
bahwasanya manusia tidak akan melakukan sebuah maksiat atau sebuah kesalahan,
melainkan karena ada 4 faktor didalam dirinya. Selama 4 faktor ini ada pada
diri manusia, maka ia akan mengerjakan maksiat.
Faktor yang pertama adalah “al-jahlu”
atau kebodohan. Yang kedua adalah “do’fu al-iiman”, atau lemahnya iman. Perbedaannya
dengan yang pertama yaitu, pada kategori lemahnya iman, bisa saja seseorang
sudah memiliki ilmu yang cukup, namun karena lemah imannya ia berbuat maksiat.
Adapun yang pertama, ia sudah jelas tidak mengetahui apapun akan ilmu. Oleh
karena itu faktor kedua ini dapat diatasi dengan “murooqobatullah”, merasa
selalu diawasi oleh Allah SWT, agar terhindar dari perbuatan maksiat. Yang
ketiga adalah tuul al-amal, atau terlalu banyak angan-angan, layaknya ia
megatakan “gue kan masih muda, tobat mah entaran aja”, sehingga
ia merasa selalu dapat berbuat maksiat.. Faktor ini dapat diatasi dengan dzikr
al-maut, atau selalu mengingat kematian. Dan yang terakhir adalah aklu
al-haraam wa al-syubuhat.
atau kebodohan. Yang kedua adalah “do’fu al-iiman”, atau lemahnya iman. Perbedaannya
dengan yang pertama yaitu, pada kategori lemahnya iman, bisa saja seseorang
sudah memiliki ilmu yang cukup, namun karena lemah imannya ia berbuat maksiat.
Adapun yang pertama, ia sudah jelas tidak mengetahui apapun akan ilmu. Oleh
karena itu faktor kedua ini dapat diatasi dengan “murooqobatullah”, merasa
selalu diawasi oleh Allah SWT, agar terhindar dari perbuatan maksiat. Yang
ketiga adalah tuul al-amal, atau terlalu banyak angan-angan, layaknya ia
megatakan “gue kan masih muda, tobat mah entaran aja”, sehingga
ia merasa selalu dapat berbuat maksiat.. Faktor ini dapat diatasi dengan dzikr
al-maut, atau selalu mengingat kematian. Dan yang terakhir adalah aklu
al-haraam wa al-syubuhat.
Bukan karena ketidaksengajaan baginda
Nabi SAW menaruh “kebodohan” (al-jahlu)
atau ketidaktahuan sebagai faktor pertama yang menyebabkan seseorang melakukan
maksiat atau kesalahan. Seseorang yang tidak tahu akan hukum wajibnya sholat
dan puasa, maka ia akan meninggalkannya. Oleh karena itu faktor yang pertama
dapat diatasi dengan “tholabu al-ilmi”.Rasulullah pun menjadikan Tholabu
al-ilmi sebagai sesuatu kewajiban. Beliau bersabda, “Tholabu al-ilmi
fariidhotun ‘ala kulli muslimin wa al-muslimaat”.
Nabi SAW menaruh “kebodohan” (al-jahlu)
atau ketidaktahuan sebagai faktor pertama yang menyebabkan seseorang melakukan
maksiat atau kesalahan. Seseorang yang tidak tahu akan hukum wajibnya sholat
dan puasa, maka ia akan meninggalkannya. Oleh karena itu faktor yang pertama
dapat diatasi dengan “tholabu al-ilmi”.Rasulullah pun menjadikan Tholabu
al-ilmi sebagai sesuatu kewajiban. Beliau bersabda, “Tholabu al-ilmi
fariidhotun ‘ala kulli muslimin wa al-muslimaat”.
Terdapat sebuah cerita menarik. Dahulu ada seorang pengawal datang kepada raja guna melaporkan bahwasanya akan
ada tamu yang hadir dari Negri lain. Maka sang raja pun memberikan kepada
pengawal tersebut sebuah surat perintah yang bertuliskan huruf alif , qof
(tanpa titik), ta (tanpa titik), dan lam. Setelah menerima itu, sang pengawal kembali
menemui tamu tersebut lantas
membunuhnya. Ketika ia melaporkan pekerjaannya kepada sang raja, ia pun
dimarahi dan dijatuhi hukuman atas perbuatannya. Ternyata, karena ketidaktahuannya, ia membaca surat itu
dengan kalimat “uqtul” (bunuhlah). Padahal raja tersebut menyuruh ia
menerima tamu tersebut dengan kalimat “aqbil” (terimalah).
ada tamu yang hadir dari Negri lain. Maka sang raja pun memberikan kepada
pengawal tersebut sebuah surat perintah yang bertuliskan huruf alif , qof
(tanpa titik), ta (tanpa titik), dan lam. Setelah menerima itu, sang pengawal kembali
menemui tamu tersebut lantas
membunuhnya. Ketika ia melaporkan pekerjaannya kepada sang raja, ia pun
dimarahi dan dijatuhi hukuman atas perbuatannya. Ternyata, karena ketidaktahuannya, ia membaca surat itu
dengan kalimat “uqtul” (bunuhlah). Padahal raja tersebut menyuruh ia
menerima tamu tersebut dengan kalimat “aqbil” (terimalah).
Nurcholis
Majid, yang akrab dengan panggilan Cak Nur, Tokoh liberal di Indonesia,
mengatakan dalam bukunya “Fiqih Lintas Agama”, bahwa al-Quran harus selalu
dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya dimana dan kapan
saja, menurut ia, hal itu disebabkan bagaimana kesamaannya dengan penyesuaian teks dan isi al-Qur’an pada budaya
dan lingkungan Arab. Dan sejatinya cak Nur terlalu terburu-buru mengatakan
seperti ini, serta salahnya pemahaman Cak Nur terhadap ilmu asbaabu
al-nuzuul yang dipahami oleh kaum muslimin selama ini dalam bidang ushul
fiqih. (Lihat, Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia ; fakta,
gagasan, kritik, dan solusinya, (Jakarta: Gema Insani, 2015) hal.41)
Majid, yang akrab dengan panggilan Cak Nur, Tokoh liberal di Indonesia,
mengatakan dalam bukunya “Fiqih Lintas Agama”, bahwa al-Quran harus selalu
dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya dimana dan kapan
saja, menurut ia, hal itu disebabkan bagaimana kesamaannya dengan penyesuaian teks dan isi al-Qur’an pada budaya
dan lingkungan Arab. Dan sejatinya cak Nur terlalu terburu-buru mengatakan
seperti ini, serta salahnya pemahaman Cak Nur terhadap ilmu asbaabu
al-nuzuul yang dipahami oleh kaum muslimin selama ini dalam bidang ushul
fiqih. (Lihat, Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia ; fakta,
gagasan, kritik, dan solusinya, (Jakarta: Gema Insani, 2015) hal.41)
Begitulah
contoh ketidaktahuan yang menyebabkan pada sebuah kesalahan. Tentunya masih
banyak kesalahan-kesalahan lain yang membuat manusia terjerumus pada kesalahan.
Al-naasu a’daau maa jahiluu, manusia adalah musuh dari kebodohan yang
ada. Hakikat dari manusia adalah ingin mengetahui sesuatu. Maka apabila
seseorang tidak mencari sebuah ilmu untuk menghapuskan ketidaktahuan dalam
dirinya, kelak ia akan terjerumus pada sebuah kesalahan.
contoh ketidaktahuan yang menyebabkan pada sebuah kesalahan. Tentunya masih
banyak kesalahan-kesalahan lain yang membuat manusia terjerumus pada kesalahan.
Al-naasu a’daau maa jahiluu, manusia adalah musuh dari kebodohan yang
ada. Hakikat dari manusia adalah ingin mengetahui sesuatu. Maka apabila
seseorang tidak mencari sebuah ilmu untuk menghapuskan ketidaktahuan dalam
dirinya, kelak ia akan terjerumus pada sebuah kesalahan.
Kita bisa lihat bagaimana sosok
Nabi Ibrahim yang duduk memandangi matahari disiang hari hingga munculnya
bulan di malam hari hanya untuk mengetahui siapakah Tuhan pencipta alam semesta
ini yang harus ia sembah. Dan tak lupa pribadi nabi Musa yang sabar diperingati
oleh nabi Khidir dalam mencari sebuah ilmu yang belum ia ketahui. Begitu juga
para ulama ulama terdahulu yang mengembara ke banyak Negri untuk mendapatkan
ilmu. Ulama-ulama hadist yang pergi meninggalkan Negrinya hanya untu
mendapatkan satu hadist.
Nabi Ibrahim yang duduk memandangi matahari disiang hari hingga munculnya
bulan di malam hari hanya untuk mengetahui siapakah Tuhan pencipta alam semesta
ini yang harus ia sembah. Dan tak lupa pribadi nabi Musa yang sabar diperingati
oleh nabi Khidir dalam mencari sebuah ilmu yang belum ia ketahui. Begitu juga
para ulama ulama terdahulu yang mengembara ke banyak Negri untuk mendapatkan
ilmu. Ulama-ulama hadist yang pergi meninggalkan Negrinya hanya untu
mendapatkan satu hadist.
Peradaban islam adalah peradaban ilmu.
Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Kita bisa memperhatikan
bagaimana Rasulullah menyulap bangsa Arab, dari yang tidak tau apa-apa akan
ilmu (masa jahiliyyah), menjadi bangsa yang haus akan ilmu, haus akan
menulis, membaca, dan menghafal. Setiap kali Rasul menyampaikan ayat Allah,
atau perkataannya, para sahabat berburu untuk mencatatnya diberbagai lembaran,
lalu segera dihafalkan. Para sahabat pun dahulu diutus ke berbagai daerah untuk
belajar disana. Seperti halnya Zaid bin Tsabit yang disuruh belajar bahasa
ibrani di Persia.
Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Kita bisa memperhatikan
bagaimana Rasulullah menyulap bangsa Arab, dari yang tidak tau apa-apa akan
ilmu (masa jahiliyyah), menjadi bangsa yang haus akan ilmu, haus akan
menulis, membaca, dan menghafal. Setiap kali Rasul menyampaikan ayat Allah,
atau perkataannya, para sahabat berburu untuk mencatatnya diberbagai lembaran,
lalu segera dihafalkan. Para sahabat pun dahulu diutus ke berbagai daerah untuk
belajar disana. Seperti halnya Zaid bin Tsabit yang disuruh belajar bahasa
ibrani di Persia.
Disamping
pentingnya menuntut ilmu, kita harus tau
apa itu ilmu naafi, atau ilmu yang bermanfaat bagi kita. Kita selalub
bermunaja kepada Allah SWT dengan doa, “Allahumma inna nas’aluka ‘ilman
naafi’an wa rizqon waasi’an wa ‘amalan mutaqobbalan”.Ya Allah sesungguhnya
kami meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan rizqi yang lapang serta amalan
yang selalu dikabulkan. Namun, bagaimanakah ilmu naafi yang disebutkan
dalam doa diatas. Serta apa yang dimaksud dengannya.
pentingnya menuntut ilmu, kita harus tau
apa itu ilmu naafi, atau ilmu yang bermanfaat bagi kita. Kita selalub
bermunaja kepada Allah SWT dengan doa, “Allahumma inna nas’aluka ‘ilman
naafi’an wa rizqon waasi’an wa ‘amalan mutaqobbalan”.Ya Allah sesungguhnya
kami meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan rizqi yang lapang serta amalan
yang selalu dikabulkan. Namun, bagaimanakah ilmu naafi yang disebutkan
dalam doa diatas. Serta apa yang dimaksud dengannya.
Menurut Prof.al-Attas, penulis buku “Islam and Secularism“
serta filosof kontemporer berdarah melayu, mengatakan bahwa kerusakan utama
pada umat muslim saat ini dikarenakan karena loss of adab. dan yang
menjadikan mereka kehilangan adab atau loss of adab adalah false
knowledge. Karena ilmu yang salah inilah ia tidak menjadi
bermanfaat, lalu akan mengantarkan manusia itu pada kesalahan
bertindak, berfikir, dan beramal. Syeikh Abdussomad al-Falimbani dalam bukunya Hidayat
al-Saalikin mendefinisikan al-Ilmu al-Naafi sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Bidaayatu al-Hidayah, yaitu
:
serta filosof kontemporer berdarah melayu, mengatakan bahwa kerusakan utama
pada umat muslim saat ini dikarenakan karena loss of adab. dan yang
menjadikan mereka kehilangan adab atau loss of adab adalah false
knowledge. Karena ilmu yang salah inilah ia tidak menjadi
bermanfaat, lalu akan mengantarkan manusia itu pada kesalahan
bertindak, berfikir, dan beramal. Syeikh Abdussomad al-Falimbani dalam bukunya Hidayat
al-Saalikin mendefinisikan al-Ilmu al-Naafi sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Bidaayatu al-Hidayah, yaitu
:
العلم النافع هو ما يزيد في خوفك من الله
تعالىى ويزيد في بصيرتك بعيوب نفسك ويزيد في معرفتك بعبادة ربك عزّ وجلّ ويقلل من رغبتك
في الدنيا ويزيد في رغبتك في الاخرة ويزيد في بصيرتك بافات أعمالك حث تحرز منها
ويطلعك على
تعالىى ويزيد في بصيرتك بعيوب نفسك ويزيد في معرفتك بعبادة ربك عزّ وجلّ ويقلل من رغبتك
في الدنيا ويزيد في رغبتك في الاخرة ويزيد في بصيرتك بافات أعمالك حث تحرز منها
ويطلعك على
مكاند الشيطان وغروره.
“Adapun
ilmu Naafi adalah ilmu yang menjadikanmu semakin bertambah takut kepada
Allah SWT dan juga yang dapat membuka mata hatimu akan keaiban dirimu dan yang
dapat menambahi pengetahuan ibadahmu kepada Tuhanmu yang Maha mulia dan Maha
tinggi. Dan ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang dapat mengurangkan
kecintaanmu terhadap Dunia menjadi bertambah kecintaanmu terhadap akhirat. Dan
ilmu yang dapat membukakan qolbumu menegtahui perkara yang membinasakan
amalmu dan cara memeliharanya. Dan juga ilmu yang dapat menjadikan engkau tau
godaan setan dan tipu dayanya.
ilmu Naafi adalah ilmu yang menjadikanmu semakin bertambah takut kepada
Allah SWT dan juga yang dapat membuka mata hatimu akan keaiban dirimu dan yang
dapat menambahi pengetahuan ibadahmu kepada Tuhanmu yang Maha mulia dan Maha
tinggi. Dan ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang dapat mengurangkan
kecintaanmu terhadap Dunia menjadi bertambah kecintaanmu terhadap akhirat. Dan
ilmu yang dapat membukakan qolbumu menegtahui perkara yang membinasakan
amalmu dan cara memeliharanya. Dan juga ilmu yang dapat menjadikan engkau tau
godaan setan dan tipu dayanya.
Ilmu
Naafi inilah yang akan mengantarkan manusia kepada ketakutannya kepada
Allah. Allah bersabda, “Innamaa yakhsyallaha min ‘ibaadihi al-‘ulamaau”.
Seberapa besar ilmu itu mengantarkannya pada ketakutannya kepada Allah, maka
semakin bermanfaatlah ilmu yang ia raih. Imam Ghazali dalam bukunya “Bidaayat
al-Hidaayah” mengatakan “man izdaada ilman wa lam yazdad lahu huudan lam
yazdad minallahi illa bu’dan”. Yang artinya “barang siapa yang bertambah
ilmunya, namun belum bertambah pada dirinya petunjuk (kepada Allah SWT), maka
tidaklah ia bertambah apapun kecuali jauhnya (dengan Allah SWT).
Naafi inilah yang akan mengantarkan manusia kepada ketakutannya kepada
Allah. Allah bersabda, “Innamaa yakhsyallaha min ‘ibaadihi al-‘ulamaau”.
Seberapa besar ilmu itu mengantarkannya pada ketakutannya kepada Allah, maka
semakin bermanfaatlah ilmu yang ia raih. Imam Ghazali dalam bukunya “Bidaayat
al-Hidaayah” mengatakan “man izdaada ilman wa lam yazdad lahu huudan lam
yazdad minallahi illa bu’dan”. Yang artinya “barang siapa yang bertambah
ilmunya, namun belum bertambah pada dirinya petunjuk (kepada Allah SWT), maka
tidaklah ia bertambah apapun kecuali jauhnya (dengan Allah SWT).
Agar
ilmu yang didapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat atau naafi, hendaknya thoolib
al-ilmi, sang pencari ilmu meluruskan niatnya dalam mencari ilmu. Apa
tujuan yang ingin ia capai dan hendak apa ia dengan ilmu yang kelak ia punya.
Karena niat inilah yang akan menentukan kemana ia akan bertindak. Karena
apabila tujuan dan orientasi dalam mencari ilmu adalah kenikmatan dunia semata
bukan ikhlas karena Allah, maka rusaklah ilmu itu dan tidak akan menjadi
bermanfaat.
ilmu yang didapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat atau naafi, hendaknya thoolib
al-ilmi, sang pencari ilmu meluruskan niatnya dalam mencari ilmu. Apa
tujuan yang ingin ia capai dan hendak apa ia dengan ilmu yang kelak ia punya.
Karena niat inilah yang akan menentukan kemana ia akan bertindak. Karena
apabila tujuan dan orientasi dalam mencari ilmu adalah kenikmatan dunia semata
bukan ikhlas karena Allah, maka rusaklah ilmu itu dan tidak akan menjadi
bermanfaat.
Dewasa
ini, banyak para siswa, mahasiswa, santri, dan pelajar lainnya salah dalam niat
mereka mencari ilmu. Banyak dari mereka yang duduk dibangku kuliah untuk
mendapatkan kerja semata, yakni dengan pekerjaannya itu ia bisa mendapatkan
uang. ada juga mereka yang belajar hanya untuk mendapatkan pujian dari orang
banyak, serta merasa unggul dari yang lainnya. Ini semua adalah kesalahan yang
sangat besar yang harus diperbaiki sehingga nantinya tidak timbul kembali
kesalahan ini.
ini, banyak para siswa, mahasiswa, santri, dan pelajar lainnya salah dalam niat
mereka mencari ilmu. Banyak dari mereka yang duduk dibangku kuliah untuk
mendapatkan kerja semata, yakni dengan pekerjaannya itu ia bisa mendapatkan
uang. ada juga mereka yang belajar hanya untuk mendapatkan pujian dari orang
banyak, serta merasa unggul dari yang lainnya. Ini semua adalah kesalahan yang
sangat besar yang harus diperbaiki sehingga nantinya tidak timbul kembali
kesalahan ini.
Kini
banyak lulusan-lulusan aliyah, SMA, maupun pesantren yang sangat ingin masuk ke
Fakultas kedokteran. Bahkan, ada seseorang mahasiswa yang berani membayar
sampai 500 juta untuk masuk kedalam fakultas kedokteran disalah satu
Universitas swasta di Jawa Tengah. Tidak menjadi hal yang mustahil ketika
ditanyakan “kenapa ingin masuk ke fakultas kedokteran”, mereka menjawab bahwa
kelak gaji dokter sangatlah besar dan akan menguntungkan mereka semua dalam
kehidupan. Sangat jarang, orang yang pintar dalam suatu sekolah, lulusannya
disuruh untuk masuk fakultas tarbiyah atau ushuluddin. Mereka pasti lebih
memilih di kedokteran, MIPA, teknik, atau fakultas lainnya. dan sungguh sangat
membuat terkejut ketika ada yang mengatakan “lebih baik masuk kedokteran
daripada tarbiyah, karena gaji guru sangatlah sedikit dari seorang dokter”.
banyak lulusan-lulusan aliyah, SMA, maupun pesantren yang sangat ingin masuk ke
Fakultas kedokteran. Bahkan, ada seseorang mahasiswa yang berani membayar
sampai 500 juta untuk masuk kedalam fakultas kedokteran disalah satu
Universitas swasta di Jawa Tengah. Tidak menjadi hal yang mustahil ketika
ditanyakan “kenapa ingin masuk ke fakultas kedokteran”, mereka menjawab bahwa
kelak gaji dokter sangatlah besar dan akan menguntungkan mereka semua dalam
kehidupan. Sangat jarang, orang yang pintar dalam suatu sekolah, lulusannya
disuruh untuk masuk fakultas tarbiyah atau ushuluddin. Mereka pasti lebih
memilih di kedokteran, MIPA, teknik, atau fakultas lainnya. dan sungguh sangat
membuat terkejut ketika ada yang mengatakan “lebih baik masuk kedokteran
daripada tarbiyah, karena gaji guru sangatlah sedikit dari seorang dokter”.
Bukannya
tidak boleh atau menolak seseorang masuk ke fakultas umum seperti kedokteran.
Islam tidak mengenal pendikotomian dalam bidang-bidang ilmu. Ulama-ulama dulu
pun selain menguasai ilmu kalam, ia juga mahir dalam bidang kedokteran, fisika,
matematika dan lainnya. yang menjadi titik kesalahannya adalah sebuah “niat”
atau orientasi sang pelajar dala menuntut ilmu. Jika diawal tujuan mereka dalam
menuntut ilmu adalah sebuah “pekerjaan”, “gaji”, “uang”, dan kenikmatan dunia
lainnya, maka rusak sudah pekerjaan mulia yang dilakukannya, yaitu tholabu
al-ilmi. Hal yang harus diingat adalah, jangan sampai menyamakan antara
belajar dan bekerja. bekerja adalah suatu yang wajib bagi seorang untuk memnuhi
hidupnya. Dan yang mengatur rizqi seseorang adalah Allah SWT. Jadi, mau menjadi apapun ia kelak, kalau Allah
memudahkan rizqinya, maka mudahlah. Begitupun sebaliknya. Kalau hanya untuk
bekerja dan mencari makan nantinya, maka sungguh ia lebih hina dari seekor
kera. Karena kera di Hutan tidak membutuhkan belajar tinggi-tinggi untuk dapat
bekerja dan mencari makan.
tidak boleh atau menolak seseorang masuk ke fakultas umum seperti kedokteran.
Islam tidak mengenal pendikotomian dalam bidang-bidang ilmu. Ulama-ulama dulu
pun selain menguasai ilmu kalam, ia juga mahir dalam bidang kedokteran, fisika,
matematika dan lainnya. yang menjadi titik kesalahannya adalah sebuah “niat”
atau orientasi sang pelajar dala menuntut ilmu. Jika diawal tujuan mereka dalam
menuntut ilmu adalah sebuah “pekerjaan”, “gaji”, “uang”, dan kenikmatan dunia
lainnya, maka rusak sudah pekerjaan mulia yang dilakukannya, yaitu tholabu
al-ilmi. Hal yang harus diingat adalah, jangan sampai menyamakan antara
belajar dan bekerja. bekerja adalah suatu yang wajib bagi seorang untuk memnuhi
hidupnya. Dan yang mengatur rizqi seseorang adalah Allah SWT. Jadi, mau menjadi apapun ia kelak, kalau Allah
memudahkan rizqinya, maka mudahlah. Begitupun sebaliknya. Kalau hanya untuk
bekerja dan mencari makan nantinya, maka sungguh ia lebih hina dari seekor
kera. Karena kera di Hutan tidak membutuhkan belajar tinggi-tinggi untuk dapat
bekerja dan mencari makan.
Maka dalam muqoddimah kitab Bidayat
al-Hidayah, Imam Ghazali memberi warning atau peringatan keras tentang
niat sang pencari ilmu dalam mencari ilmu. Beliau berkata :
al-Hidayah, Imam Ghazali memberi warning atau peringatan keras tentang
niat sang pencari ilmu dalam mencari ilmu. Beliau berkata :
فاعلم ايهاالحريص المقبل في
اقتباس العلم المظهر من نفسه صدق الرغبة وفرط التعطش إليه ,أنك إن كنت تقصد بالعلم
المنافسة والمباهات والتقدم على الأقران واستمالة وجوه الناس إليك وجمع حطام
الدنيا, فأنت ساع في هدم دينك وإهلاك نفسك وبيع أختك بدنياك. فصفقتك خاسرة وتجارتك
بائرة, ومعلمك معين لك على عصيانك وشريك لك في خسرانك وهو كبائع سيف من قاطع طريق.
اقتباس العلم المظهر من نفسه صدق الرغبة وفرط التعطش إليه ,أنك إن كنت تقصد بالعلم
المنافسة والمباهات والتقدم على الأقران واستمالة وجوه الناس إليك وجمع حطام
الدنيا, فأنت ساع في هدم دينك وإهلاك نفسك وبيع أختك بدنياك. فصفقتك خاسرة وتجارتك
بائرة, ومعلمك معين لك على عصيانك وشريك لك في خسرانك وهو كبائع سيف من قاطع طريق.
“Ketahuilah wahai manusia yang
ingin mendapatkan curahan ilmu, yang betul-betul berharap dan sangat haus
kepadanya. Bahwasanya apabila tujuanmu dalam menuntu ilmu adalah untuk
bersaing, berbangga, mengalahkan teman lainnya, meraih simpati banyak orang,
dan mengumpulkan kekayaan dunia, maka sesungguhnya engkau sedang berusaha
menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhiratmu dengan
duniamu. Dengan demikian engkau mengalami kegagalan, dan perdaganganmu merugi, dan gurumu telah membantumu dalam berbuat maksiat serta
telah menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut. Gurumu itu layaknya penjual
pedang bagi perampok jalanan”.(lihat, Imam Ghazali, Bidayat al-Hidayah, (Jakarta
: Dar al-Kutub, 2014) hal.7-8)
ingin mendapatkan curahan ilmu, yang betul-betul berharap dan sangat haus
kepadanya. Bahwasanya apabila tujuanmu dalam menuntu ilmu adalah untuk
bersaing, berbangga, mengalahkan teman lainnya, meraih simpati banyak orang,
dan mengumpulkan kekayaan dunia, maka sesungguhnya engkau sedang berusaha
menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhiratmu dengan
duniamu. Dengan demikian engkau mengalami kegagalan, dan perdaganganmu merugi, dan gurumu telah membantumu dalam berbuat maksiat serta
telah menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut. Gurumu itu layaknya penjual
pedang bagi perampok jalanan”.(lihat, Imam Ghazali, Bidayat al-Hidayah, (Jakarta
: Dar al-Kutub, 2014) hal.7-8)
Sungguh
pukulan dan peringatan yang sangat keras dari Hujjat al-Isalm kepada
pencari ilmu akan niat dan tujuannya. Beliau sampai mengatakan bahwasanya
orang-orang tersebut telah merusak agama, dan menjual akhirat dengan dunia. Dan
guru-guru yang telah mengajari mereka akan ikut rugi bersama mereka. Karena
Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang membantu terwujudnya perbuatan maksiat
walau hanya dengan sepenggal kata, ia telah menjadi sekutunya dalam perbuatan
tersebut”.
pukulan dan peringatan yang sangat keras dari Hujjat al-Isalm kepada
pencari ilmu akan niat dan tujuannya. Beliau sampai mengatakan bahwasanya
orang-orang tersebut telah merusak agama, dan menjual akhirat dengan dunia. Dan
guru-guru yang telah mengajari mereka akan ikut rugi bersama mereka. Karena
Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang membantu terwujudnya perbuatan maksiat
walau hanya dengan sepenggal kata, ia telah menjadi sekutunya dalam perbuatan
tersebut”.
Setelah
niat dan tujuan itu sudah diluruskan, maka selanjutnya ilmu tersebut harus
menjadi bermanfaat dengan mengamalkannya. Dalam bukunya Ayyuha al-walad, Imam
Ghazali mempermisalkan orang yang tidak mengamalkan ilmunya seperti orang yang
memegang 10 pedang dan ahli dalam memainkannya. Namun ketika ia dihadapkan pada
seekor singa di Hutan luas, ia tidak menggunakan pedang-pedang itu, lalu mati
diterkam singa. Ketika seseorang mengamalkan ilmunya, secara tidak sadar ia
telah mentransfer ilmu yang ada kepada orang lain dan mengokohkan semua ilmu
yang ada pada dirinya. Imam Ghazali mengatakan bahwasanya ilmu tanpa sebuah
pengamalan adalah kegilaan dan suatu amal tanpa ilmu adalah hal yang sia-sia.
Ilmu tanpa sebuah pengamalan itu ibarat pohon tak berbuah, “al-ilmu bilaa
‘amaalin ka al-syajari bilaa tsamarin”
niat dan tujuan itu sudah diluruskan, maka selanjutnya ilmu tersebut harus
menjadi bermanfaat dengan mengamalkannya. Dalam bukunya Ayyuha al-walad, Imam
Ghazali mempermisalkan orang yang tidak mengamalkan ilmunya seperti orang yang
memegang 10 pedang dan ahli dalam memainkannya. Namun ketika ia dihadapkan pada
seekor singa di Hutan luas, ia tidak menggunakan pedang-pedang itu, lalu mati
diterkam singa. Ketika seseorang mengamalkan ilmunya, secara tidak sadar ia
telah mentransfer ilmu yang ada kepada orang lain dan mengokohkan semua ilmu
yang ada pada dirinya. Imam Ghazali mengatakan bahwasanya ilmu tanpa sebuah
pengamalan adalah kegilaan dan suatu amal tanpa ilmu adalah hal yang sia-sia.
Ilmu tanpa sebuah pengamalan itu ibarat pohon tak berbuah, “al-ilmu bilaa
‘amaalin ka al-syajari bilaa tsamarin”
Ketika seseorang sudah memperbaiki niatnya
dalam menuntut ilmu serta mengamalkan ilmu itu dengan sebaik-baik pengamalan
serta dengan ilmu yang dimilikinya membuat ia lebih takut kepada Allah SWT,
maka itulah ilmu naafi yang dikatakan oleh para ulama-ulama terdahulu. Maka
sesuai yang Allah telah janjikan dalam ayat-Nya, Ia akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan yang menuntut ilmu.
dalam menuntut ilmu serta mengamalkan ilmu itu dengan sebaik-baik pengamalan
serta dengan ilmu yang dimilikinya membuat ia lebih takut kepada Allah SWT,
maka itulah ilmu naafi yang dikatakan oleh para ulama-ulama terdahulu. Maka
sesuai yang Allah telah janjikan dalam ayat-Nya, Ia akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan yang menuntut ilmu.
Kamis, 7
Oktober 2016
Oktober 2016
Darb
al-Dalil, Cairo, Egypt
al-Dalil, Cairo, Egypt
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.