Oleh: Bana Fatahillah
Salah satu tradisi ulama terdahulu ialah melakukan pengembaraan
ke berbagai negri untuk mendapatkan ilmu dari bermacam guru dan ahli. Bukan
satu atau dua saja, bahkan hampir seluruh ulama melewati kisahnya dalam
menuntut ilmu lewat rihlah ilmiah ke berbagai kawasan. Kita pun tentu sering
mendengar adagium yang menyuarakan tentang hal ini, seperti, “Tidaklah orang
yang berakal dan beradab berada disuatu tempat untuk beristirahat. Maka tinggalkanlah
tempat asalmu dan berkelanalah” (mā fī al-Maqāmi lidzī ‘aqlin wa dzī adabin
min rāhatin fada’i al-Awthāna waghtarib.) yang disuarakan oleh Imam
Syafi’i.
Imam Syafi’i tidak sedang beretorika atau semacamnya. Ia
pun sangat merasakan pentingnya sebuah pengembaraan dalam menuntut ilmu. Dari
Palestina, Makkah, Iraq, Baghdad, hingga ke Mesir ia lewati demi sebuah ilmu
yang baru. Jadi, wajar jika petikan tersebut keluar dari lisan seorang Imam
Syafi’i saat itu.
Namun adigium tersebut tidak terealisasi pada Imam Abdul
Qahir al-Jurjani, sang penggagas ilmu balaghah. Kata ‘penggagas’ disini tidak saya
maksudkan bahwa ialah orang pertama yang meletakkan ilmu balaghah. Sebelumnya
sudah banyak para pakar dan ahli bahasa yang membicarakan ilmu ini, seperti
Jahiz misalnya. Namun Abdul Qohir al-Jurjani lah yang merapihkan berbagai perbincangan
balaghah yang berantakan (hadīsan mukhtadoman) menjadi sistematis lewat
dua kitabnya yang berjudul, “Dalāil al-I’jāz dan Asrār al-Balāghah.”
Penisbatan kata pribumi kepada Imam Abdul Qahir sangatlah
pantas. Pasalnya ia adalah penduduk asli Jurjan, Baghdad, sepanjang hayatnya. Dalam
banyak riwayat disebutkan bahwa ia lahir, belajar, mengajar, hingga wafat di bumi
Jurjan. Dan hebatnya lagi ia hanya belajar dari seorang alim besar bernama Abu
al-Husain, Muhammad al-Farisi, keponakan dari Abu Ali al-Farisi, seorang pakar
nahwu dari Bashrah. Abu Ali adalah ulama yang disebutkan sebagai ahli nahwu
setelah Imam Sibaweih pada zamannya, karena mengetahui secara detail al-Kitab milik
sang Imam.
Selain pakar dalam ilmu balaghah, Imam Jurjani pun mahir
dalam ilmu nahwu. Genealogi intelektual miliknya (sanad) sampai kepada Imam
al-Nuhāt, Imam Sibaweih. Gurunya, abu al-Husain Muhammad al-Farisi
mengambil ilmu nahwu dari pamannya, Abu Ali al-Farisi. Abu Ali mengambilnya dari Abu Utsman al-Mazini, sedangakan
al-Mazini mengambilnya dari Akhfasy al-Awsat yang berujung pada Imam Sibaweih,
pemilik al-Kitāb yang juga sering disebut sebagai Qur`an al-Nahw
Sebagai saksi bisu yang ada, Imam Jurjani membuat risalah
singkat dalam ilmu nahwu pada kitab yang bertajuk “Awaamil al-Mi`ah.”
Buku nahwu ini berbeda dengan buku-buku nahwu milik ulama lainnya. Metode yang
digunakan tidaklah menggunakan pembahasan “ma’muulaat”, seperti yang
dilakukan banyak ulama seperti Ibnu Hisyam, Ibnu Ajrum, Ibnu Malik, Imam
Hariri, dsb. Namun sang Imam menggunakan metode pembahasan ‘Aamil’,
sehingga membuat kitab ini lebih tersusun rapih.
Meski seribu tahun telah berlalu, karyanya kini masih
utuh dan masih memberikan manfaat bagi seluruh manusia. al-Azhar masih membuka
majlis-majlis keilmuan menggunakan kitab-kitab miliknya. Ini membuktikan bahwa
sumbangsihnya pada dunia keilmuan sangatlah besar.
Dalam tulisan ini saya tidak ingin menelisisk biografi sang
arsitektur balaghah secara dalam. Dari pemaparan singkat di atas, sebenarnya
ada sebuah pesan yang tersirat dari
kisah hidupnya. Meski tak banyak, setidaknya ada tiga pelajaran yang terselip
dan dapat kita ambil bersama sebagai sebuah pelajaran.
Pertama,
Sosok Imam Abdul Qahir menggambarkan bahwa untuk menjadi
seorang yang dapat bermanfaat, kau tak harus pergi ke luar negri. mereka yang
kuliah di luar negri misalnya, belum tentu ada jaminan untuk berhasil. Bahkan
tidak sedikit dari mereka yang kuliah di Universitas internasional, namun
justru tidak menghasilkan apa-apa saat kembali ke tanah air. Jika Jurjan dapat
menjadi saksi bisu Imam Jurjani, lantas kenapa Indonesia tidak bisa menjadi
saksi bisu kita semua dalam keberhasilan kita.
Ini bukan berarti kuliah di luar negri tidak bagus atau
tidak penting, itu penting! Namun saat ini adalah bagaimana seseorang tidak
terbelenggu dengan embel-embel “luar negri”, sehingga terlalu larut dan
berprasangka bahwa tanah air kita tak berisikan apapun.
Kedua, Imam Jurjani juga menyiratkan pesan, bahwa
belajar tak perlu banyak guru. lewat satu guru, jika kau tekun dan istiqomah
maka itu akan lebih membekas dan berpengaruh besar. Ibnu Jinni menjadi murid
dari Abu Ali al-Farisi selama 40 tahun, atau hingga Abu Ali wafat. Seorang
pelajar yang sudah menelaah pesan Imam Zarnuji terkait mencari guru pasti sudah
paham mengapa Imam Jurjani bisa duduk selama hidupnya, karena itulah hakikat
sebuah guru.
Yang terkahir, Imam Jurjani menggambarkan sebuah pesan
secara implisit bahwa jika kau mendalami suatu disiplin ilmu, maka fokuslah!
Dalaail al-I’jaz dan Asraar al-Balaaghah tidak akan menjadi buku induk dalam
ilmu balaghah jika Imam Jurjani tidak memfokuskan dirinya pada ilmu ini hingga
menuliskannya secara sistematis dan eksistensinya masih dapat dibuktikan di era
modern ini. siapapun kita, apabila mencoba fokus, istiqamah dan menekuni
sesuatu, maka itu semua akan menjadikan kita orang berhasil di hari kelak. Wallahu
a’lam bi al-Shawaab.
*Tulisan ini disari
dari majlis Awaamil Miah bersama Syekh Konate Sidi Fauzi di Madraj Imam Nawawi,
Universitas al-Azhar
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.