Dewasa ini
siapa yang tidak kenal Sayyidah Aisyah. Baik Muslim, Non-Muslim, anak kecil, remaja,
dewasa, mengenal sosok yang dijuluki Humairah ini, meskipun tidak secara detail.
Terlebih saat booming-nya lagu berjudul Aisyah yang dinyanyikan sebagai
lagu religi, nama Aisyah terus terangkat dan disebut dimana-mana.
Beliau lahir tahun ke-7 sebelum hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Aisyah pernah berkata,
“Rasulullah Saw menikahiku ketika aku berumur enam tahun dan kemudian hidup
bersamaku ketika aku berusia sembilan tahun” dalam riwayat lain dikatakan Nabi
mulai hidup bersama Aisyah pada bulan Syawal setelah perang Badar tahun ke-2.
Cahaya
Islam telah menyelimuti Aisyah sejak lahir. Kedua orangtuanya merupakan sahabat
yang masuk islam pada generasi awal. Ayahnya, Abu Bakar Ra adalah sahabat
pilihan yang mendapat gelar al-Shiddiq. Sementara ibunya, Ummu Rumman adalah
diantara sosok wanita hebat yang menemani perjalanan dakwah suaminya.
Aisyah
adalah sosok jenius. Pasca suaminya wafat, yakni Baginda Nabi Saw, para sahabat
mendatanginya dalam setiap permasalahan baik yang bersifat publik ataupun
domestik. Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari Ra pernah berkata, “Tidaklah kami—para sahabat Rasulullah
Saw—menghadapi suatu masalah berkaitan dengan hadis, lalu kami datang bertanya pada Aisyah,
kecuali setelah itu kami mendapatkan pengetahuan baru darinya”
Saksi bisu
kejeniusan Aisyah ialah karya Al-Zarkasyi yang berjudul Al-Ijaabah
Li’iraadi ma Istadrakathu A’isyah ala Al-Shahaabah. Buku ini menghimpun
sejumlah komentar sekaligus koreksian yang diberikan Aisyah terhadap sejumlah
riwayat sahabat. Al-Zarkasyi turut menyebutkan keistimewaan
Aisyah dibanding sahabat lain karena telah banyak melakukan verifikasi (tashih)
atas pemahaman dan periwayatan yang menjadi rujukan sebagian sahabat.
Walhasil, lewat
gerakan ilmiahnya ini para ulama menggadang-gadang Aisyah sebagai panutan
perempuan dalam ranah Ilmiah. Ini pelajaran untuk para muslimah untuk terus belajar, sebab ia mempunyai figur perempuan agung yang cinta dan haus akan ilmu.
Aisyah Ra juga
disebut sebagai wanita yang unggul dalam bahasa. Selain kontennya yang tajam,
ia juga memiliki perkataan yang sangat
fasih dan bijak. Hal ini diakui oleh semua yang menulis biografi Aisyah. Imam Al-Tirmidzi
meriwayatkan bahwa Musa bin Thalhah mengatakan, “Aku tidak pernah bertemu
dengan orang yang lebih fasih daripada Aisyah”. Muhammad bin Sirrin
meriwayatkan bahwa al-Ahnaf bin Qais pernah berkata, “aku pernah mendengar
Khutbah Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib dan para khalifah lain hingga
saat ini, tidaklah aku mendengar ceramah seseorang yang paling jelas dan paling
baik dibanding yang kudengar dari Sayyidah Aisyah” (lihat Sayyidah Aisyah
Ummahat al-Mukminin, hal. 81)
Diantara
contoh perkataannya yang fasih adalah untaian kata yang ia lontarkan saat
ayahnya wafat:
… فلقَدْ
كنت للدنيا مُذِلًّا بإدبارك عنها، وللآخرة معزًّا بإقبالك عليهَا. وَلَئِنْ كان
أجلّ الحوادثَ بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم رُزْؤُكَ، وأَعْظَمَ المصائب بعده
فقدُكَ، إن كتاب الله ليعِدُ بِحُسْنِ الصبرِ عنك حسْنَ العِوَضِ منكَ…..
“Sunnguh
Engkau telah merendahkan dunia dan berpaling darinya. Dan kau memuliakan
akhirat serta memusatkan seluruh hidupmu untuk meraih kebaikan akhirat. Wahai
Ayah, kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar
adalah kematianmu maka kitab Allah menghibur dengan kesabaran dan menggantikan
dengan yang baik selainmu.
Tidak hanya
akalnya yang tajam, hatinya pun sangat lembut seperti perangainya. Ia adalah
sosok yang ahli ibadah, wara’, dan zuhud. Dirinya banyak menjalankan ibadah sunnah, puasa
sunnah, shalat sunnah dan lain sebagainya. Dalam sebuah riwayat dikatakan saat
membaca Surat al-Azhab ayat 33 yang bercerita tentang nasihat untuk perempuan Nabi, beliau menangis sampai membasahi jilbabnya.
Terkait
sifat wara dan zuhudnya, suatu hari Muawiyyah pernah menghadiahkan untuk Aisyah
pakaian, uang dan aneka barang hadiah lainnya. Ketika Aisyah keluar dan melihat
semua itu ia menangis dan berkata, Rasulullah Saw tidak pernah mendapati semua
ini” kemudian ia membagikan semua itu
sampai tak tersisa sedikitpun. Pernah juga diberikan sejumlah kantong anggur.
Dan hal yang sama dilakukan juga terhadap pemberian itu. Rasa-rasanya sifat
wara sayyidah Aisyah ini perlu direnungkan oleh para muslimah hari ini yang
banyak hidup ditengah harta yang melimpah.
Tidak hanya
akhlaknya yang indah, Aisyah pun memiliki paras yang cantik. Rasulullah sangat mencintainya. Keberadaannya
pernah membuat para istri Nabi terbakar api cemburu. Suatu hari, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhari, Aisyah bercerita, “Dulu orang orang terbiasa
memberikan hadiah kepada Nabi ketika berada di rumahku. Kemudian beberapa istri
Nabi yang lain berkumpul di rumah Ummu Salamah dan memintanya untuk mengatakan
pada Rasulullah, agar mengatakan tidak memberikan hadiah saat dirumah Aisyah saja. Namun di mana saja sesuai dengan gilirannya saat itu. Komentar itu ternyata tidak direspon oleh Nabi. Dan ketika Ummu Salamah menyampaikan yang ketigakalinya, Rasulullah Saw
berkata:
يا أم سلمة لا تؤذيني في عائشة، فإنه والله ما نزل عليّ
الوحي وأنا في لحاف امرأة منكن غيرها
“Wahai Ummu Salamah, jangalah engkau sakiti aku dalam urusan
Aisyah. Sebab, demi Allah tidak ada wahyu yang turun kepadaku saat aku berada
dalam selimut seorang istri diantara kalian kecuali dia”
Namun yang
perlu dicatat sifat cemburu ini bukan berarti para istri Nabi saling bersaing
satu sama lain seaka mereka saling bersaing dan berebut perhatian Rasul. Sebab
kecemburuan adalah fenomena alami dan wajar terjadi. Dan itu sama sekali tidak
menafikan kemuliaan serta kesucian para ummul mukminin. Keistimewaan Aisyah
tidak menjadi halangan bagi Nabi dalam berbuat adil terhadap istri-istrinya.
Banyak hadis yang menuturkan bagaimana Rasulullah selalu berlaku adil terhadap
istrinya, salah satinya kebiasaan Rasulullah untuk mengundi di antara istri
beliau untuk memutuskan siapa yang akan menemaninya dalam sebuah perjalan.
Inilah yang perlu diperhatikan.
Pusaran
Tuduhan dan Cacian
Dibalik
berbagai pujian indah ini, Nama anggun Aisyah ternyata tak lepas dari sejumlah tuduhan,
khususnya dari orientalis. Tujuan mereka
selain ingin mendiskreditkan Islam, juga menjatuhkan orang-orang disekitar
tokoh Sentral Umat Islam, yaitu Nabi Muhammad. Walhasil berbagai tuduhan
dilontarkan kepada Sayyidah Aisyah tanpa ada rasa malu sedikitpun.
Diantaranya
tuduhan yang paling populer adalah persoalan pernikahan Sayyidah Aisyah. Mereka
menganggap hal ini menyalahi norma yang ada saat ini dan merupakan penyimpangan
seksual. Untuk hal ini sudah saya jawab silakan baca disini https://hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2022/06/13/231602/sekali-lagi-soal-pernikahan-nabi-dan-sayyidah-aisyah.html
Atau tuduhannya sebagai feminis bisa dibaca disini: https://hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2020/04/14/181746/perlukah-meberi-label-feminis-pada-sayyidah-aisyah-ra.html
Memang,
tuduhan seperti ini bukanlah hal baru bagi Sayyidah Aisyah. Pasalnya saat hidup
di Madinah dulu ia telah mendapat tuduhan gembong munafiq Abdullah bin Ubay bin
Salul dalam Peristiwa bernama Hadiits al-Ifk. Peristiwa itu cukup membuat geger
umat Muslim. Bahakn sejumlah para sahabat mengiyakan hoax yang disebarkan kaum
munafiq. Sampai pada akhirnya Allah Swt membebaskan Aisyah dengan ayatnya yang
tegas, sebagaimana dalam surat Al-Nur.
Namun
tuduhan itu ternyata belum berakhir. Ia dikaji dan dilestarikan oleh para musuh
Islam saat ini. Syekh Al-Buthi menyebut fenomena tuduhan hadits al-Ifki
kontemporer sebagai “Warisan Ibnu Salul. Menurutnya yang diperjuangkan Ibnu
Salul itu sejatinya juga merupakan tujuan setiap orang yang gemar menyebarkan
kabar dusta dari dulu hingga saat ini.
Tidak hanya
itu namun juga tuduhan adanya kebencian dalam diri Aisyah terhadap Ali bin Abi
Thalib karena pendapatnya dalam
menyikapi peristiwa bohong (hadits al-Ifk) saat itu. Pun kebencian pada Ali Ra
kepada Aisyah sehingga memiliki sikap yang seolah tak berpihak. Syekh Al-Buthi
menjelaskan bahwa tuduhan ini murni lahir dari gaya Barat yang menerapkan
metodologi Psikoanalisis dalam pembacaan sejarah. Metode ini dipakai untuk membaca sejarah dari
sisi kejiwaan para tokoh yang terlibat di dalamnya, tujuannya untuk meneguhkan
analisis psikologis untuk memahami apa yang ada di balik suatu peristiwa.
Maka
dikatakan, bahwa tidak ada indikator apapun yang membuat Aisyah membenci Ali
Ra, begitupun sebaliknya. Bahkan tidak ada riwayat yang mengatakan hal
demikian. Kalaupun ia harus membenci Ali, seharusnya Aisyah lebih tidak sua
kepada Hasan bin Tsabit dan beberapa orang yang saat itu turut menyebarkan
berita dusta tersebut. Namun pada kenyataannya Aisyah tidaklah membenci Hasan
dan lainnya. dalam suatu Shahih Bukhari dikatakan bahwa Urwah berkata, “Aku
mencela Hasan di hadapan Aisyah, namun Aisyah justru berkata, Jangan mencelanya
karena ia adalah juru bicara Rasulullah Saw”.
Tidak hanya
itu, ternyata Ibnu Salul mewariskan satu tuduhan yang dikembangkan oleh musuh
Islam hari ini. Dalam salah satu kitab Tafsir tokoh Syiah, dikatakan yang pada
intinya sejatinya Aisyah tidak perlu dibebaskan dengan ayat apapun, dan
Rasulullah tidak perlu khawatir. Sebab saat itu telah turun ayat yang
menjelaskan tentang qadzaf yaitu orang yang menuduh orang berzina
haruslah mendatangkan empat saksi. Artinya, ketika tuduhan itu datang ke Aisyah
dan tidak ada satu saksi pun maka tuduhan itu –seharusnya– otomatis-tertolak.
Secara eksplisit
pendapat ini mengarahkan bahwa Rasulullah seakan melupakan syariatnya sendiri
ditengah kegelisahannya.
Sebagai bantahan
Syekh AL-Buthi memberi catatan bahwa Rasul tidaklah lupa apalagi tidak tau.
Beliau mengetahui bahwa menurut ketentuan syariat istrinya bebas dari hukuman
dan tidak boleh ada sanksi apapun. Jangankan empat saksi, satu saksi pun saat
itu tidak ada. Namun bukan persoalan itu yang membuatnya resah dan gelisah.
Keresahan itu karena –sekali lagi karena—masalah tersebut telah merusak
kesatuan umat dan berpotensi menghancurkan struktur sosial yang tengah
dibangunnya, juga keresahan yang dialami orang pada umumnya. Yaitu jika pada
akhirnya gosip yang tersebar itu akan berujung pada sebuah kebenaran—kendati beliau
mengetahui ketidakbersalahan istrinya. Dan itulah kenapa saat turun 10 ayat dari
surat al-Nur yang membebaskan Aisyah tadi tuduhan, Rasul sangat tenang dan gembira.
Perkataan
mereka ini memang terlihat manis namun beracun. Coba perhatikan. Saat dikatakan
bahwa Aisyah telah terbebas secara syariat dari ketentuan hukuman zina karena
tidak ada empat saksi. Seakan mereka tengah mengatakan bahwa sangat mungkin –atau
ada potensi—Aisyah melakukan kekejian itu hanya saja tidak ada saksi atas hal
tersebut. Jadi pendapat mereka ini sesungguhnya hanyalah pembelaan Ibnu Salul
dengan kabar dustanya.
Tuduhan
terakhir yang telah sampai kepada Sayyidah Aisyah adalah, bahwasanya dirinya merupakan
sosok istri pembangkang. Kisah yang dijandikan landasannya adalah perkataan
Aisyah saat Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy dan ketika lahir Ibrahim
dari Mariyah Qibtiyyah. Yang pertama Aisyah berkata, “Menurutku Tuhanmu
mempercepat keinginanmu…”, dan kedua ia berkata “aku tidak melihat antara
dirimu dan anak ini”
Maka kita
katakan kepada orang-orang yang menulis ini, dua perkataan Aisyah diatas sama
sekali tidak menunjukan adanya pembangkangan atau perlawanan. Yang pertama,
justru Aisyah sedang memuji seuaminya. Sebab sedari awal Rasul ingin sekali
menikahi dan serumah dengan perempuan yang memberikan dirinya untuk Nabi. Hingga
datanglah Zainab bin Jahsy Ra. Maka dari
mana bentuk pembangkangan itu?
Adapun yang
kedua, disamping riwayatnya yang lemah, kita pun tidak bisa mengambil
kesimpulan bahwa itu adalah bentuk pembangkangan. Sebab sebagai orang yang
berakal, ketika ada seorang anak yang lahir dan dikatakan “kok tidak mirip” itu bisa diartikan sebuah gurauan. Begini, apakah ketika saya mengatakan kepada seorang anak, “kok
lebih mirip om nya sih” itu berarti saya menganggap ibunya telah berzina dengan
om nya? atau ketika seorang anak dikatakan tidak mirip dengan ayahnya, itu berarti ayahnya telah berzina? Kan tidak. Itu hanyalah bentuk senda gurau di ruang keluarga. Kendati demikian,
riwayatnya pun lemah sehingga tidak bisa dijadikan tumpuan.
Tentu masih
banyak lagi tuduhan yang dilontarkan ke Aisyah Ra. Namun sebagai orang mukmin,
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak pantas untuk mengamini
tuduhan ini semua. Sebab istri nabi, sebagaimana dalam al-Quran, adalah ummahat
al-Mukminin yang diibaratkan sebagai ibu kita. akankah kita menghina ibu kita
sendiri?
Wallahu
a’lam bi al-Shawab.
Depok, 17 Agustus 2022
*Materi ini
disampaikan dalam Kajian Online Instagram bersama @deaaulia1 dalam tema “Sayyidah Aisyah,
Antara Pujian dan Tuduhan” pada 16 Agustus 2022
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.