belajar fikih

Safinah – bag 25: Syarat Shalat



(فَصْلٌ) شُرُوْطُ الصَّلَاةِ
ثَمَانِيَةٌ : طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ وَ الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِي الثَّوْبِ
وَ الْبَدَنِ
  وَ الْمَكَانِ وَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ
وَ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَ دُخُوْلُ الْوَقْتِ وَ الْعِلْمُ بِفَرِيْضَتِةِ وَ
أَنْ لَايَعْتَقِدَ فَرْضًا مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً وَ اجْتِنَابُ الْمُبْطِلَاتِ
.
Syarat-syarat (sah) shalat ada 8, yaitu: 
1.     
Suci dari dua hadast. 
2.     
Suci dari najis pada
pakaian, badan dan tempat shalat. 
3.     
Menutup aurat. 
4.     
Menghadap kiblat. 
5.     
Masuk waktu shalat. 
6.     
Mengetahui dengan
kefardhuan shalat. 
7.     
Tidak meyakini salah satu
fardhu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah. 
8.     
Meninggalkan hal-hal yang
membatalkan shalat.
                                                                                                                                        
Pembahasan

Shalat adalah ibadah yang sangat penting, bahkan shalat
menjadi tiang agama sebagaimana sabda Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa
sallam
:
الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ
وَ مَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ
“Shalat adalah
tiang agama. Barangsiapa mengerjakan shalat maka sungguh-sungguh telah
menegakkan agama, barang siapa meninggalkan shalat maka sungguh-sungguh telah
menghancurkan agama.”

Shalat sendiri memiliki beberapa syarat sebagaimana
ibadah-ibadah yang lain. Syarat shalat terbagi menjadi dua; syarat sah shalat
dan syarat wajib shalat. Syarat sah shalat artinya adalah jika seorang yang
mengerjakan shalat memenuhi syarat-syarat tersebut maka shalat yang telah
dikerjakan sah hukumnya.
Adapun syarat sah shalat ada 8, yaitu: 

1.     
Suci dari dua hadast


Hadast terbagi menjadi dua, yaitu hadast besar dan kecil.
Kedua hadast tersebut memiliki pengertian dan hukum masing-masing dan akan
dibahas –insyaallah- dalam pembahasan berikutnya.

Tidak sah seorang yang shalat sedang dirinya berhadast. Jika
seorang yang berhadast jika sengaja melaksanakan shalat dan dirinya mengetahui
bahwa mengerjakan shalat ketika berhadast maka hukumnya haram tidak sah dan dirinya
berdosa.

Adapun orang yang mengerjakan shalat tetapi lupa bahwa
dirinya berhadast, maka shalatnya tetap tidak sah dan mendapat pahala karena
niatnya untuk mengerjakan shalat. Dan wajib mengulangi shalatnya.
Jika ditengah mengerjakan shalat kemudian berhadast, seperti
kentut dll maka shalatnya batal. dalam hadist Nabi Muhammad sallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِيْ صَلَاتِهِ فَلْيَنْصَرِفْ وَ لْيَتَوَضَّأْ وَ
لْيُعِدْ صَلَاتَهُ
“Jika salah satu
kalian keluar angin (kentut) di dalam shalatnya, maka hendaknya dia berpaling
dan wudhu kemudian mengulangi shalatnya.”

Orang yang tidak bisa menghilangkan hadast pada dirinya,
karena tidak menemukan air untuk berwudhu atau mandi atau tidak menemukan debu
untuk bertayammum, maka wajib shalat meski dalam keadaan berhadast. Hal ini
wajib dilakukan untuk menghormati waktu shalat dan wajib untuk mengqodho’
shalat jika telah menemukan air atau debu. 

2.     
Suci dari najis pada
pakaian, badan dan tempat shalat


Yang dimaksud pakaian dalam shalat adalah segala sesuatu
yang dipakai, dibawa –meskipun tidak bergerak dengan gerakan dirinya- dan yang
menempel pada orang yang shalat. Adapun yang dimaksud dengan badan adalah
bagian yang tampak dari orang yang shalat, mencakup bagian dalam hidung, mulut
dan mata. Dan yang dimaksud dengan tempat dalam shalat adalah tempat yang
bersentuhan langsung dengan pakaian dan badannya.

Dalam shalat pakaian, badan dan tempat shalat disyaratkan
harus suci. Sehingga orang yang membawa najis (yang tidak dimaafkan) dalam
pakaian, badan atau tempat shalat ketika mengerjakan shalat, maka hukumnya
tidak sah.

Tambahan

Najis terbagi menjadi 4, yaitu: 
a.      
Najis yang tidak dimaafkan
di dalam air dan di pakaian. 
b.     
Najis yang dimaafkan di
dalam air dan di pakaian, yaitu najis yang tidak terlihat oleh penglihatan mata
manusia pada umumnya. Sehingga jika najis tersebut masuk ke dalam air maka air
tidak menjadi mutanajjis dan jika terbawa oleh pakaian ketika shalat
maka shalat tetap sah. 
c.      
Najis yang dimaafkan di
pakaian tetapi tidak dimaafkan di dalam air, yaitu darah yang sedikit. Sehingga
ketika dalam pakaian shalat terdapat sedikit darah hukumnya tetap sah
shalatnya. 
d.     
Najis yang dimaafkan di
dalam air tetapi tidak dimaafkan di pakaian, yaitu bangkai binatang yang
darahnya tidak mengalir ketika dirobek. Sehingga ketika bangkai tersebut masuk
ke dalam air maka tidak membuat air menjadi mutanajjis/ tetap suci.
Tetapi jika terbawa ketika shalat maka shalatnya tidak sah.
Ukuran sedikit atau banyaknya darah adalah
menurut kebiasaan suatu tempat, jika darah menetes dan sulit untuk menjaga diri
darinya (karena sangat sedikit) maka darah tersebut dianggap sedikit, adapun
yang lebih dari itu maka hukumnya banyak. Sebagian ulama berpendapat bahwa
darah yang banyak adalah darah yang ukurannya bisa terlihat dengan mata tanpa
berpikir terlebih dahulu, adapun yang kurang dari ukuran tersebut maka hukumnya
sedikit.

Permasalahan 
1.     
Tidak sah shalat seseorang
yang tangannya memegang tali yang ujungnya bersambung dengan najis, seperti
terikat dalam leher anjing atau langsung menempel ke najis. Meskipun tali
tersebut tidak bergerak ketika orang yang shalat bergerak. 
2.     
Tidak menjadi masalah dan
sah shalatnya orang yang sejajar dengan najis, selama najis tidak bersentuhan
langsung dengan badan, pakaian atau segala sesuatu yang ia bawa ketika shalat. 
3.     
Haram hukumnya mengotori
diri sendiri dengan najis jika tidak ada hajat. 
4.     
Orang yang shalat membawa
najis yang ia lupa atau tidak tahu, baik di pakaian atau badannya, maka wajib
mengulangi shalat yang ia yakini membawa najis. 

3.     
Menutup aurat


Aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup dan haram
untuk dilihat. Wajib bagi seorang yang shalat untuk menutup aurat dengan segala
sesuatu yang dianggap sebagai penutup dan bisa menyembunyikan warna kulit,
meskipun penutup aurat tersebut dapat memperlihatkan bentuk tubuh seperti
pakaian yang ketat dan menempel kulit, maka hukum shalat dengan pakaian seperti
itu tetap sah.
Adapun memakai sesuatu yang tidak dianggap sebagai memakai
penutup, seperti telanjang dalam kegelapan atau tempat yang sempit, maka
hukumnya tidak sah, karena bukan dianggap sebagai menutup aurat.

Tambahan 
1.     
Seorang yang ingin
mengerjakan shalat tetapi tidak mendapatkan sesuatu untuk menutup aurat, maka
shalat dalam keadaan talanjang dan tidak wajib mengulangi shalatnya. 
2.     
Seorang yang mendapatkan
penutup aurat hanya sebagian saja maka wajib menutup dua kemaluannya terlebih
dahulu, jika penutup aurat hanya cukup untuk salah satu kemaluan maka wajib
menutup kemaluan depannya. 
3.     
Seandainya aurat seeorang
terbuka oleh angin maka wajib bersegera untuk menutupnya, jika tidak bersegera
menutupnya maka shalatnya batal. 

4.     
Menghadap kiblat


Allah berfirman dalam Alquran:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Maka hadapkanlah
wajahmu ke arah masjidil haram.”
Yang dimaksud ‘menghadap masjidil haram’ adalah menghadap
ka’bah.

Wajib hukumnya menghadap kiblat ketika shalat. Seorang yang
shalat dengan berdiri atau duduk maka wajib menghadap kiblat dengan dadanya,
orang yang shalat dengan tidur miring maka mengadap kiblat dengan wajah dan
dadanya dan orang yang shalat dengan tidur terlentang maka wajib menghadap
kiblat dengan dua telapak kakinya dan wajahnya.

Ada beberapa cara untuk mengetahui arah kiblat, yaitu: 
1.     
Mengetahui (yakin) dengan
arah kiblat. Seperti dengan melihat bangunan ka’bah. 
2.     
Berpegangan dengan ucapan
dari orang yang tahu arah kiblat. 
3.     
Berusaha sendiri mencari
arah kiblat, seperti dengan kompas misalnya. 
4.     
Berpegangan kepada orang
yang ijtihad (berusaha mencari kiblat) jika tidak bisa untuk mencari arah
kiblat.
Maka wajib untuk orang yang akan mengerjakan shalat
mengetahui arah kiblat dengan salah satu cara tersebut. 

5.     
Masuk waktu shalat


Shalat tidak sah dilakukan sebelum masuk waktu. Sehingga
wajib mengetahui masuknya waktu shalat dengan yakin seperti dengan melihat
matahari tenggelam dan mendengar adzan dari masjid yang bisa dipercaya, atau
dengan prasangka seperti dengan melihat jam.
Sehingga seorang yang shalat tanpa berusaha untuk mencari
tahu masuknya waktu terlebih dahulu, maka shalatnya tidak sah walaupun
shalatnya tepat setelah masuk waktunya.

Permasalahan

Seorang yang shalat setelah berusaha mencari tahu masuknya
waktu, akan tetapi setelah shalat dirinya baru tahu bahwa shalat yang dikerjakan
diluar waktu. Bagaimana hukumnya?
Jawab: jika ternyata shalat yang dikerjakan ternyata
sebelum masuk waktunya, maka shalat yang telah dikerjakan menjadi shalat qodho’
jika dirinya memiliki tanggungan qodho’ shalat, jika tidak memiliki tanggungan
qodho’ shalat maka shalat yang telah dikerjakan menjadi shalat sunnah mutlak.
Tetapi jika shalat yang dikerjakan ternyata setelah keluar
waktu shalat, maka menjadi qodho’ dari shalat tersebut. 

6.     
Mengetahui dengan
kefardhuan shalat


Artinya orang yang shalat harus mengetahui bahwa shalat yang
dikerjakan adalah fardhu atau wajib. Sehingga seorang yang ragu atau bingung
dengan shalat yang ia kerjakan, antara wajib atau tidak, maka shalatnya tidak
sah. 

7.     
Tidak meyakini salah
satu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah


Seorang yang meyakini bahwa salah satu fardhu/rukun sholat
diyakini sebagai suatu yang sunnah, seperti meyakini bahwamembaca surat
Alfatihah hukumnya sunnah atau tidak wajib, maka shalat yang dikerjakannya
tidak sah. Begitu juga ketika meyakini segala fardhu dalam shalat sebagai
sunnah, maka hukum shalatnya tidak sah.
Adapun orang yang menyakini bahwa semua pekerjaan dalam
shalat hukumnya wajib atau meyakini dalam shalat ada pekerjaan yang wajib dan
ada yang sunnah tanpa menentukan mana yang sunnah dan mana yang wajib, maka
shalat orang yang demikian hukumnya tetap sah. 

8.     
Meninggalkan hal-hal
yang membatalkan shalat


Wajib bagi seorang yang shalat untuk meninggalkan hal-hal
yang membatalkan shalat. Ketika mengerjakan salah satu hal yang membatalkan
shalat, maka shalat yang dilakukan hukumnya batal. Adapun hal-hal yang
mebatalkan shalat akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.

Syarat wajib shalat

Setelah mengetahui syarat sah shalat, maka berikutnya adalah
syarat wajib shalat. Artinya seorang yang masuk dalam syarat-syarat ini, maka
wajib baginya untuk mengerjakan shalat. Sehingga jika meninggalkan shalat atnpa
adanya udzur-udzur shalat, maka hukumnya dosa.

Adapun syarat wajib shalat ada 6, yaitu: 

1.     
Islam


Orang yang kafir tidak diwajibkan untuk shalat, tetapi
diakhirat tetap terkena siksaan karena meninggalkan shalat selain siksaan
karena kekafirannya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ . قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ
الْمُصَلِّيْن
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar? Mereka
menjawab “Dahulu kami tidak temasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”
Orang kafir yang masuk islam tidak wajib mengqodho’ shalat
yang tidak dikerjakan sebelum masuk islam. Allah berfirman:
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِنْ يَنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ
مَا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya) “Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
yang telah lalu.”
Adapun orang murtad, maka tetap wajib mengerjakan shalat
tetapi tidak sah, sehingga ketika kembali memeluk islam, maka wajib mengqodho’
segala kewajiban yang telah ditinggalkan selama murtad. 

2.     
Baligh


Orang yang belum baligh, maka tidak diwajibkan untuk shalat.
Tetapi orang tua wajib memerintahkan anaknya yang berumur 7 tahun untuk shalat,
dan wajib memukul anaknya ketika telah menginjak usia 10 tahun jika tidak mau
mengerjakan shalat.
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ
وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَى تَرْكِهَا وَ هُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَ فَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat
sedang mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat
sedang mereka berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka dalam tempat tidur.” 

3.     
Berakal


Orang gila, pingsan dan mabuk yang tidak disengaja maka
tidak terkena kewajiban shalat. 

4.     
Bersih dari haidh
dan nifas


Orang yang haidh atau nifas, tidak terkena kewajiban untuk
shalat. Jika mereka tetap memaksa untuk shalat maka shalatnya tidak sah dan
berdosa. Selain tidak diwajibkan shalat ketika shalat, juga tidak diwajibkan
mengqodho’ shalat. Jika mengqodho’ shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau
nifas, maka sebagian ulama’ mengatakan haram hukumnya dan tidak sah.
Tetapi sebagian ulama’ lain berpendapat, jika perempuan yang
haidh atau nifas mengqodho shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas,
maka shalatnya tetap sah akan tetapi makruh hukumnya. 

5.     
Sampainya dakwah
islam


Suatu daerah yang berpenduduk muslim, hanya saja dakwah
islam tidak sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak mengetahui hukum shalat
dan kewajiban yang lainnya, maka mereka tidak terkena kewajiban shalat. Ketika
dakwah islam sampai kepada mereka maka mereka tidak wajib mengqodho’ shalatnya. 

6.     
Selamatnya panca
indera


Seorang yang terlahir dalam keadaan buta dan tuli, meski
bisa bicara, maka tidak terkena kewajiban shalat. Jika panca indera menjadi
normal, maka tidak diwajibkan untuk mengqodho’ shalat.
و الله أعلم

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top