international law

PENENGGELAMAN KAPAL NELAYAN ASING: MENGAPA HARUS JADI HEBOH?


Dr. Damos Dumoli Agusman


Publik Indonesia dihebohkan oleh tindakan penenggelaman kapal asing
oleh aparat hukum Indonesia. Bahkan pada saat masih jadi wacana, kehebohan ini
sudah muncul. Kehebohannya bercampur aduk. Ada yang heboh karena menganggap ini
tindakan yang “luar biasa”, alias belum pernah terjadi dan bahkan terpikirkan.
Ada juga yang menjadikan ini heboh politis, yaitu ingin memotret wacana ini
sebagai gaga-gagah-an dan ada yang heboh sinis bahwa ini hanya “gertak
sambal”.
            Namun heboh yang
paling kental adalah kekuatiran bahwa tindakan penenggelaman ini akan
menimbulkan gejolak, reaksi keras dari negara-negara warga sang nelayan. Ada
ketakutan bahwa negara-negara yang kapalnya ditenggelamkan akan mengambil
tindakan balasan. Bahkan mengait-ngaitkan dengan pelanggaran HAM, pelanggaran
hukum, dan tindakan tidak manusiawi.
            Mengapa publik
Indonesia jadi heboh? Mungkin ini disebabkan adanya beberapa paradigma yang
salah yang mengkristal di masyarakat. Pertama, tindakan hukum terhadap WNA
selalu diartikan tindakan permusuhan terhadap negara dari WNA tsb. Paradigma
yang keliru ini telah mengakar di publik Indonesia. Coba perhatikan. Tindakan
hukum terhadap WNI di luar negeri pasti 
cenderung diartikan sebagai sikap permusuhan terhadap Indonesia dan
mengusik harga diri Indonesia. Berita adanya penangkapan dan penindakan
terhadap nelayan Indonesia di luar negeri akan menjadi identik dengan sikap
meremehkan bangsa Indonesia. Akibatnya, parameter yang sama menjadi terbenak
dalam pikiran kita sehingga kita takut dan kuatir jika penenggelaman kapal
asing ini akan mengusik negara lain, akan menghina bangsa lain, dan kuatir akan
pembalasan mereka. Ini mengakibatkan peristiwa ini menjadi heboh. Padahal,
perbuatan WNI di luar negeri tidak identik dengan perbuatan negara RI. Tidak
mungkin WNI yang merampok di luar negeri menjadi identik dengan negara
Indonesia menjadi perampok juga. Logika ini menjadi keliru.
            Kedua, sebagian publik
Indonesia memaknai istilah “penenggelaman kapal” dari kamus bahasa awam, yaitu:
begitu aparat hukum ketemu kapal asing yang mencuri ikan langsung
ditenggelamkan berserta awak kapalnya. Jadi terkesan sebagai tindakan brutal
yang kental dengan kekerasan. Seharusnya, 
istilah ini dimaknai sebagai jargon hukum karena memang ada
undang-undangnya. Penenggelaman kapal adalah tindakan hukum dengan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum pula. Aparat hukum berdasarkan bukti
permulaan yang cukup diberi kewenangan oleh UU Perikanan untuk mengambil
“tindakan khusus” terhadap kapal nelayan ilegal. Tindakan khusus ini termasuk
pembakaran dan penenggelaman.  Jika ini
dimaknai sebagai tindakan hukum maka tidak perlu kuatir karena tindakan ini
adalah biasa serta masih didalam koridor hukum.
            Ketiga, publik
Indonesia sering terlalu cepat bereaksi dan langsung berteriak “melangar
kedaulatan” manakala kapal asing mencuri di laut Indonesia. Paradigma kelirunya
adalah bahwa perbuatan warga asing di NKRI selalu berkonotasi dengan
kedaulatan.  Tanpa disadari publik
Indonesia telah membuat makna “kedaulatan” menjadi inflasi dan sebaliknya
membesar-besarkan suatu peristiwa yang sebenarnya hanya suatu pelanggaran hukum
oleh warga biasa. Warga asing yang mecuri ikan atau pesawat sipil yang
melintasi ruang udara Indonesa tanpa ijin adalah pelanggar hukum bukan
pelanggar kedaulatan. Hanya negara yang bisa melanggar kedaulatan. Individu
melanggar kedaulatan adalah mustahil. Seorang individu, sehebat-hebatnya dia,
hanya bisa melanggar hukum. Pelanggaran kedaulatan hanya terjadi jika negaranya
menghalangi Indonesia untuk melakukan penegakan hukum terhadap warganya di
wilayah NKRI.  Misalnya, kapal negara
asing menghalangi penegak hukum Indonesia pada saat mengejar kapal nelayannya.
Dengan paradigma yang keliru ini maka setiap
tindak pidana nelayan asing selalu dikait-kaitkan dengan kedaulatan. Akhirnya,
publik digiring untuk berfikir bahwa peristiwa ini akan berujung pada persoalan
hubungan antara dua negara berdaulat. Inilah yang menyebabkan publik dibayang-bayangi
oleh kekuatiran bahwa penenggelaman ini berpotensi melahirkan perang antar
negara, karena menyangkut usik mengusik kedaulatan. Padahal  peristiwa ini adalah murni tindak pidana di
wilayah RI yang kebetulan dilakukan oleh warga asing. Artinya, kedaulatan harus
dimaknai secara proporsional bukan malah mereduksi arti originalnya. Jika
tidak, maka proses penegakan hukum Indonesia atas kapal-kapal nelayan asing
akan mengalami distorsi kedaulatan dan menghambat proses hukum itu sendiri.
Disortsi kedaulatan ini juga merambah ke cara
pandang publik terhadap pulau-pulau terluar. Publik sering berteriak bahwa
kedaulatan Indonesia akan terancam akibat banyaknya orang asing di suatu pulau
Indonesia.  Keberadaan orang asing di
suatu pulau yang sudah bertuan (bukan terra
nellius) tidak mungkin menciptakan klaim kedaulatan, kecuali yang hadir di
pulau itu adalah negara asing alias pendudukan asing. Keberadaan orang
Indonesia di Suriname dan Madagaskar tidak pernah melahirkan klaim kedaulatan
Indonesia di dua negara tersebut. Ketakutan akan kehilangan pulau menjadi sosok
hantu, yaitu dipercaya keberadaannya tapi tidak nyata.  Padahal semua pulau-pulau terluar Indonesia
sudah terdaftar ke PBB dan tidak mungkin diklaim oleh Negara asing. Dengan
okupasi pun negara asing tidak mungkin mencaplok pulau Indonesia kecuali hukum
internasional sudah berubah. Hukum internasional saat ini akan menolak
keabsahan negara menduduki wilayah asing, betapa pun kuatnya dia bercokol.
Buktinya, kurang apa efektifnya Indonesia menguasi Timor Timur sejak tahun
1975-1999, namun tetap tertolak oleh hukum internasional yang berlaku.
Apakah kehebohan ini berujung pada ketegangan
hubungan Indonesia dengan negara-negara yang kapal nelayannya ditangkap dan
ditenggelamkan?  Diluar dugaan,
negara-negara itu anteng-anteng aja. Reaksi negara-negara cenderung memaknai
persoalan ini sebagai penegakan hukum di Indonesia, bukan penegakan kedaulatan
melawan negara si nelayan. Penegakan hukum ini terjadi di semua negara. Setiap
hari semua negara pasti berurusan dengan penegakan hukum di wilayahnya dan
tersangkanya mungkin warga asing. Ini peristiwa keseharian yang  tidak perlu dihebohkan.
Namun di lain pihak, kehebohan ini tampaknya
perlu. Konon peristiwa ini akan membuat efek jera. Kelihatannya efek jera ini
terbukti karena banyak kapal-kapal nelayan asing yang ilegal mulai ngacir dari
perairan Indonesia. Jika ini motivasinya, maka kehebohan ini sangat bermanfaat.
Baik publik maupun para pencuri ikan sama-sama heboh. Namun apakah
negara-negara lain akan turut heboh? Ternyata tidak tuh, karena negara-negara
terkait merasa tidak terlibat dengan atau berkoalisi dengan para pencuri ikan
ini.  Kalau begitu, kita sedang menari
dengan irama gendang kita sendiri dan kita tidak perlu mengajak negara-negara
lain ikut menari pada irama ini. Pesan moral dari cerita ini adalah, Indonesia
harus melakukan penegakan hukum secara sendiri dan mandiri di wilayah
kedaultannya tanpa harus  tenggang rasa
terhadap negara tetangga.  Penegakan
hukum di wilayah kedaulatan adalah persoalan dalam negeri yang harus dilakukan
Indonesia tanpa harus meminta persetujuan dari negara lain. 

****

Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top