Ibu 10 Dokter

Nafisah Ahmad : Sang Supermom, Ibu 10 Dokter


Tak mudah menjadi single parent.
Apalagi membesarkan dua belas anak. Namun bagi Nafisah Ahmad Zen Shahab,
tantangan tersebut sudah lunas dipenuhinya. Kedua belas anak-anaknya sukses.
Sepuluh orang di antaranya menjadi dokter.





Saya tidak mengarahkan anak untuk nantinya harus
menjadi sesuatu, karena masa depan adalah mereka yang menjalaninya. Mereka lah
yang memilih sendiri. Kalau kita paksakan, malah tidak bagus,” 
kata Nafisah Ahmad saat ditanya bagaimana cara ia mendidik anak-anaknya
hingga banyak yang menjadi dokter.



Dalam hal membesarkan anak, Nafisah adalah sosok panutan yang
luar biasa. Betapa tidak, Di antara kedua belas anaknya, sepuluh di antaranya menjadi
dokter. Mereka antara lain
Dr. dr. Idrus Alwi, Sp.PD., KKV, FECS, FACC. spesialisasi di bidang
kardiovaskular, drg. Farida Alwi menekuni bidang spesialisasi gigi, dr.
Shahabiyah MMR menjadi Direktur RSU Islam Harapan Anda di Tegal, dr Muhammad
Syafiq SpPD spesialisasi penyakit dalam, dr Suraiyah SpA membidangi
spesialisasi anak, dr Nouval Shahab SpU spesialisasi Urologi, dan dr Isa An
Nagib SpOT membidangi Ortopedi sekaligus Direktur Utama RS Siaga, Jakarta. Sedangkan
dr. Fatinah adalah dokter umum yang menjabat wakil direktur RS Ibu Anak Permata
Hati Balikpapan, dr. Zen Firhan adalah dokter umum di Balai Pengobatan Depok
Medical Service dan Sawangan Medical Center, dan dr. Nur Dalilah dokter umum di
RS Permata Cibubur.

Sementara dua anak lainnya, Durah Kamila (anak keempat)
menjadi fashion desainer, dan Zainab (anak kedelapan) bekerja di Pemerintah
Daerah Kodya Depok. Dulunya, Zainab sempat juga ingin masuk kedokteran, namun
karena ia sempat sakit, maka ia pun gagal masuk kedokteran dan beralih ke teknik
kimia.

Yang menjadi unik dan luar biasa, Nafisah dan suaminya sama
sekali tak berasal dari kalangan keluarga dokter. Nafisah hanya lulusan SMA,
dan suaminya seorang sarjana ekonomi. Mereka menggantungkan nafkahnya dengan
berdagang batik yang juga membuka toko di Kota Palembang. Oleh karena itu,
benar-benar sebuah perjuangan yang luar biasa dalam mengantarkan anak-anaknya
hingga meraih cita-cita menjadi dokter. Berbagai tempaan hidup menghampiri,
namun justru membuat Nafisah menjadi sosok yang kuat.

Cobaan yang dirasakan paling berat adalah ketika sang suami,
Alwi Idrus Shahab, meninggal pada tahun 1996 silam.
Saat itu, sudah ada empat anaknya yang ada di Jakarta dan sudah
menikah. Sisanya masih sekolah. Kendati demikian, Nafisah berusaha bertahan
dengan meneruskan usaha suaminya. Ia tak gentar, meski sebelumnya ia hanyalah
ibu rumah tangga yang tinggal di rumah. “Sewaktu masih ada Bapak, Beliau sering
cerita tentang pekerjaannya, dan saya pun sering ikut ke tanah abang untuk membeli
barang. Jadi Alhamdulillah saya sudah memiliki bekal dan pengetahuan bisnis
dari beliau,” katanya. Ia pun tak gentar meski pada saat itu, di sekitar
lingkungannya masih belum mahfum jika perempuan harus bekerja. “Tapi saya tidak
peduli, tidak menggubris omongan orang. Yang saya pikirkan dan usahakan adalah
bagaimana meneruskan bisnis suami dan membesarkan anak-anak saya,”
kisahnya. 

Disiplin yang Kuat
Kebahagiaan
terbesar Nafisah tidak hanya disebabkan mereka telah menjadi dokter, tapi juga anak-anaknya
menikmati profesi itu. Dia juga sayang kepada dua anaknya yang tidak menjadi
dokter. ”Jadi dokter atau tidak, mereka anak saya. Yang penting mereka bahagia,
saya sudah senang,” tuturnya dengan kalem.

Bagi Nafisah, ukuran kesuksesan seseorang tak
semata berlimpahnya materi. Menurut wanita kelahiran 1 Agustus 1946 ini, sukses
adalah mampu menjadikan anak-anaknya insan yang mandiri serta berakhlak baik.
Oleh karena itu, baginya, mendidik dua belas anak itu susah-susah gampang.
Namun semuanya berjalan dengan baik berkat nilai-nilai yang ia dan suaminya
tanamkan sejak dini pada anak-anaknya.

Semuanya dimulai dari pembiasaan. Nafisah dan
almarhum suaminya mencoba untuk membiasakan anak-anaknya disiplin yang ketat.
Misalnya, saat anak-anak masih sekolah dan tinggal bersama, mereka harus
kembali ke rumah sebelum adzan maghrib.
Apa pun alasannya, tidak ada yang boleh
keluar rumah hingga Isya. “Kecuali ada undangan yang benar-benar nggak bisa
ditunda,” kata Nafisah. 
Bahkan kalaupun anak-anak
ada acara dengan teman-temannya di malam hari, menurut Nafisah, mereka biasanya
pulang dulu menjelang Maghrib. Kemudian setelah shalat Maghrib, mereka harus
mengaji, diteruskan dengan belajar pelajaran sekolah.

Selain itu, kejujuran adalah hal yang paling
prinsip yang ditanamkan pada anak-anak. Dimanapun berada, Nafisah selalu
menekankan pada anak-anaknya untuk bersikap jujur, karena dengan sikap jujur,
maka akan mudah diterima dimana saja. Selain itu juga Nafisah mengharapkan anak-anaknya
untuk tidak sombong. “Meskipun jadi dokter, saya selalu tekankan untuk jangan
pernah sombong. Profesi dokter adalah ladang amal, harus banyak saling membantu
sesama manusia,” tuturnya.

Dalam mendidik anak-anaknya, Nafisah senantiasa
mengingat untuk jangan pernah menggunakan cara kekerasan atau kata-kata yang
tidak sopan. Menurutnya, anak merupakan titipan Tuhan yang harus dididik dengan
baik. “Kalau anak memang melakukan kesalahan, sebaiknya dinasehati, bukannya
dimarahi apalagi dihukum dengan kekerasan. Anak harus tahu kesalahan yang
diperbuatnya,” kata nenek 34 cucu ini.

Komitmen
pada Pendidikan
Sejak awal, Nafisah dan Alwi berkomitmen untuk mengutamakan
pendidikan anak-anaknya.
Semua fasilitas yang berhubungan
dengan pendidikan dia penuhi, mulai dari buku hingga peralatan sekolah.
Bukan tanpa sebab jika Alwi
mengharapkan anak-anaknya memperoleh pendidikan tinggi. Ia tak ingin
anak-anaknya menjadi seperti dirinya, seorang sarjana ekonomi yang terpaksa
harus puas hanya dengan menjadi pedagang. Alwi tak memiliki kesempatan untuk
menempuh pendidikan yang lebih tinggi karena harus bekerja keras demi membantu
adik-adiknya sekolah. Selain itu, prinsip Alwi dan Nafisah adalah, sebanyak apapun
seseorang memiliki harta, namun jika tanpa ilmu, maka tidak akan berjalan baik.
Terlebih jika dalam keluarga memiliki banyak anak.

Yang pertama kali ingin menjadi dokter adalah
Idrus, si anak sulung. Berkat perjuangannya,  ia pun diterima di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Dia juga lah yang memotivasi adik-adiknya yang lain
untuk menjadi dokter. Tiap mudik lebaran, Idrus bercerita panjang lebar tentang
asyiknya kuliah di kedokteran kepada saudara-saudaranya. Adik-adiknya
pun tergiur. Lulusan fakultas kedokteran tak bakal nganggur dan profesi
dokter merupakan jasa yang selalu dibutuhkan masyarakat. Maka sejak itu, target
utama adik-adik Idrus setelah lulus sekolah hanya satu, yakni kuliah di kedokteran. 

Si sulung pula
yang merintis rumah sakit Permata Cibubur yang berdiri pada tahun  2003, bersama sejumlah kolega
dokternya.  Saat itu, daerah Cibubur masih sepi. Rumah sakit itu bahkan
menjadi rumah sakit pertama di daerah tersebut. Alhasil, beberapa  saudara
Idrus yang lulus sekolah dokter pun diajak praktik di sana. 

Masuk Muri
Berkat prestasi langka itu, Museum Rekor Muri
(Muri) pada Februari 2010 silam menganugrahkan keluarga asal Palembang,
Sumatera Barat tersebut dengan gelar profesi dokter terbanyak dalam satu
keluarga. Kini, 12 bersaudara itu tidak lagi bermarkas di Palembang seperti
dulu. Di Jakarta ada delapan orang, sedangkan di Palembang ada dua orang.
Nafisah kerap tinggal bersama si sulung atau kadang bergantian ke rumah
anak-anaknya yang lain. Meski demikian, setiap tahun Nafisah menyempatkan
pulang ke Palembang untuk bersilaturahmi atau mengadakan haul/doa bersama untuk
almarhum suami.

Di usianya yang sepuh, Nafisah masih tampak
sehat. Ia senang sekali mengobrol dengan siapapun dan senantiasa ceria.
Termasuk ketika menceritakan kisah dirinya membesarkan 12 anak hingga menjadi orang
sukses seperti sekarang.
Ia juga mengatakan senang
dengan anak-anak. Oleh karena itu, Nafisah tak pernah sekalipun berkata atau
bersikap kasar pada anak. Ia pun bahkan dekat dengan cucu-cucunya.

Kendati
merasa bahwa tugas yang diemban sebagai ibu sudah tuntas, Nafisah masih
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Namun, tanggung jawab tersebut
sekarang berbeda dengan yang diembannya saat buah hatinya masih anak-anak. Kini
dia cenderung hanya mengamati anak-anak dan cucu-cucunya. Kalaupun ada
persoalan dalam keluarga, anak-anak lah yang biasanya mendatangi Nafisah untuk
curhat. Yang bertempat tinggal dekat langsung datang, sedangkan yang jauh
menyempatkan diri untuk menelepon. Nafisah dengan telaten akan mendengarkan
keluh kesah mereka. Kendati demikian, perempuan murah senyum itu enggan
mendikte anak-anaknya. ”Mereka kan sudah dewasa,” katanya, lantas tersenyum.

Kini Nafsiah sedang menikmati buah dari
perjuangannya. Di saat senggang, ia senang menonton televisi, seperti melihat
sinetron religi. Kadangkala juga ia senang berjalan-jalan bersama anak atau
cucunya.
Saat ada waktu  luang, ia dan anak dan cucunya seringkali
pelesir ke luar negeri, mulai Malaysia, Australia, Singapura, Jerman, Italia,
Jepang, Austria, Inggris, dan lain sebagainya. ***



Ditulis tahun : 2015
Diterbitkan di Majalah Keluarga (Kemendikbud)


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.


Comments

Paling Populer

To Top