KAMIS 16 FEBRUARI 2017 11:42 WIB
Damos Dumoli Agusman
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan telah melakukan pertukaran piagam ratifikasi pada 10 Februari 2017 di Singapura. Ini menandai berlakunya Perjanjian RI-Singapura tentang Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura.
Dengan selesainya garis batas ke arah timur ini, pada dasarnya sudah tuntaslah batas laut teritorial RI dengan pulau utama Singapura. Yang tersisa hanya penetapan titik trijunction (titik temu dari tiga garis) yang melibatkan RI-Singapura-Malaysia.
Memang masih ada lagi yang harus diselesaikan dengan Singapura, yaitu antara Pulau Bintan dan Pedra Branca yang oleh Mahkamah Internasional (2008) telah ditetapkan sebagai milik Singapura. Namun segmen ini agak rumit karena antara Bintan dan Pedra Branca terselip suatu karang (Middle Rock) yang oleh Mahkamah ditetapkan sebagai milik Malaysia.
Situasi bertambah kompleks karena Mahkamah menyatakan bahwa perairan Southledge, yang terletak di selatan Middle Rock (dan berhadapan langsung dengan Bintan), harus disepakati terlebih dulu oleh Malaysia dan Singapura. Kesepakatan dua negara ini belum ada sehingga Indonesia belum bisa merundingkan perbatasannya di segmen ini. Konon, Malaysia baru-baru ini mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah karena ditemukannya bukti-bukti baru.
Dari antara 10 negara tetangga, penyelesaian batas RI dengan Singapura adalah yang terlengkap setelah Papua Nugini. Perundingan dengan Singapura ini hanya berlangsung tiga tahun dalam 10 kali perundingan. Kedua negara sukses menuntaskan masalah perbatasannya karena satu faktor kunci, yakni penghormatan terhadap prinsip Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Kedua negara adalah para pihak pada konvensi ini sehingga harus menggunakan norma konvensi tersebut sebagai panduan dalam menarik garis batasnya.
Prinsip pertama adalah penghormatan terhadap garis pangkal kepulauan RI yang sudah menjadi norma UNCLOS 1982. Singapura menyetujui RI menggunakan garis pangkal ini sebagai titik tolak pengukuran. Sebaliknya, Singapura sebagai negara pulau legawa memakai titik dasar garis pantainya sebagai titik pangkal. Garis tengah yang terkonstruksi dari kedua titik dasar, yang sekalipun berbeda, lebih mudah disepakati karena sama-sama berakar pada UNCLOS 1982.
Prinsip kedua adalah penggunaan pantai asli sebagai titik dasar. Semula, ada kekhawatiran bahwa Singapura akan mengukur dari pantai hasil reklamasi yang memang masif dilakukan di Pantai Changi. UNCLOS 1982 tidak mengakui pulau buatan sebagai dasar klaim untuk laut teritorial. Singapura memahami norma ini. Dengan demikian, dalam perundingan, juru rundingnya tidak menggunakan pantai hasil reklamasi sebagai dasar pengukuran, melainkan garis pantai aslinya.
Prinsip ketiga adalah adanya kemauan politik kedua negara untuk penetapan batas maritim. Sayangnya, hukum laut tentang delimitasi belum berkembang dan pada ha-
kikatnya diserahkan kepada diskresi negara yang berunding. Akibatnya, perundingan batas maritim menjadi kental dengan tawar-menawar. Namun, berkat UNCLOS 1982, kedua negara memulainya dengan suatu kemauan politik untuk menyelesaikan batas maritimnya dan memanfaatkan norma yang tersedia, sekalipun minim, untuk mencapai kesepakatan.
Dengan keberhasilan ini, Indonesia setahap demi setahap telah menyelesaikan tugas konstitusionalnya untuk memagari NKRI. Masih banyak segmen lain yang perlu disepakati garis batasnya dengan negara tetangga lain. Setelah UNCLOS 1982, batas NKRI harus diformat ulang. Selain memperkenankan Indonesia untuk menggunakan garis pangkal kepulauan yang menutup pulau-pulaunya, Konvensi melahirkan beberapa zona maritim dengan lebarnya masing-masing, yakni laut teritorial (12 mil laut), Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut), dan landas kontinen (sekitar 200 mil laut), yang harus dibuat garis batasnya. Perubahan ini menguntungkan Indonesia dan untuk itulah batas NKRI harus disesuaikan dengan konvensi ini.
Di antara negara anggota ASEAN, bahkan di Asia, Indonesia adalah negara yang paling produktif membuat perjanjian perbatasan. Hampir dengan semua negara,
Indonesia telah atau setidak-tidaknya sedang berada di meja perundingan untuk penyelesaian batas maritimnya. Pada 2014, Indonesia baru saja menyelesaikan batas ZEE dengan Filipina dan sedang dalam proses ratifikasi. Perjanjian batas ZEE ini merupakan perjanjian pertama di dunia di antara sesama negara kepulauan.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.