Mengenang Bapak
@ rijal mumazziq z
Waktu kecil, saya sering diajak bapak saya sowan ke para gurunya di Lumajang, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Di antaranya, Kiai Anas Mahfudz (santri Kiai Hasyim Asy’ari, perintis PCNU Lumajang, prajurit Hizbullah, kini namanya diabadikan menjadi nama masjid Jamik Lumajang), KH. Ghozali, KH. Miftah, KH. Khudlori (Ayahnya Mas Muhammad Khodafi), KH. Nawawi Irsyad (ayahnya Mas Romdlon Muchammad), semuanya ulama di Desa Gambiran, Lumajang; maupun ke KH. Barizi Ahmad (ayah dari mertuanya Mas Labibul Wildan Fz), dan ke KH. Amak Fadholi, penggerak pendidikan di kabupaten ini, dan beberapa nama lain. Termasuk menziarahi pusara Kapten Kiai Ilyas, pimpinan Hizbullah yang kemudian aktif di TNI lantas gugur dalam Agresi Militer II.
Bagi saya, ini adalah mekanisme kurikulum pendidikan dasar lelaku yang diajarkan bapak saya. Mengenalkan para gurunya, baik yang masih hidup maupun sudah wafat kepada anaknya. Kini, saya coba menirunya kepada anak-anak saya walaupun langkah duplikasi ini masih tertatih-tatih.
Waktu masih bocah, saya dan Qoidudduwal sering diajak beliau jalan-jalan ke Jember. Di kawasan Johar Plaza. Awalnya saya mengira diajak ke mal. Dugaan meleset. Bapak malah mengajak saya menelusuri kawasan “pasar loak” di belakang mal kondang Jember itu. Bapak meminta saya memilih majalah Bobo, Mentari Putera Harapan, dan komik. Saya pilih Doraemon dan Kungfu Boy. Semua bekas, kondisi masih bagus, dan ini awal mula perkenalan saya dengan pasar loak. Selain harga yang terjangkau, saat itu yang membuat saya suka adalah aroma. Ya, bau apek kertas lawas pada majalah dan komik yang berpadu dengan aroma benda loak lain: uang kertas, logam, dan benda benda yang dipajang lesehan oleh penjualnya.
Biasanya bapak berdiri sambil membaca satu-dua buku di salah satu kios langganannya, dan saya dikasih uang, sambil disuruh keliling mencari sendiri majalah dan komik yang saya minati, sekaligus melatih saya tawar menawar. Sekarang, saya baru tahu, ini adalah pendidikan lapangan yang melatih kecerdasan interpersonal dan intrapersonal bagi anak, versi Howard Gardner. Kini, saya berusaha mencontohnya. Mengajak cucu-cucunya ke Kampoeng Ilmu di Jl. Semarang, Surabaya. Salah satu sentra buku dan majalah bekas.
Bapak tidak pernah memaksa saya memilih buku agama. Yang kamu sukai dan ingin baca, belilah. Katanya. Oke, alih-alih memilih buku panduan menjadi “anak Soleh”, saya waktu masih usia MI itu memilih Kungfu Boy, Dragon Ball, Pedang Tujuh Bintang, Mahabharata karya R.A. Kosasih dan versi Teguh Santosa, Tintin, serial Abunawas, komik sahabat Nabi dan biografi imam madzhab. Adapun beberapa edisi Musashi karya Eiji Yoshikawa dan Bukek Siansu karya Asmaraman Kho Ping Ho saya beli di pasar loak belakang Johar Plaza ini sewaktu MTs.
Saya menikmati betul proses pembelajaran berbasis lapangan dan pembentukan karakter melalui imajinasi ini. Barulah saat MTs, bapak memperkenalkan saya dengan Majalah TEMPO dan AULA NU. Ketika TEMPO dibredel, bapak beralih ke GATRA. Sekali lagi, bapak tidak pernah memaksa. Beliau hanya meletakkan koran Jawa Pos dan majalah itu di ruang tamu, yang mejadi sajian bagi siapapun yang berkunjung. Tentu saja, ini menjadi awal mula bagi saya berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dikupas di media massa ini. Ketika jurnalis NU menerbitkan harian Duta Bangsa, yang akhirnya pecah menjadi Harian Bangsa dan Duta Masyarakat, bapak berlangganan. Alasannya sederhana, jika warga NU tidak berlangganan dua koran ini, lalu siapa lagi? Oke fix. Alasan rasional. Bapak juga mengenalkan saya dengan cerita para kiai-kiai NU, dan ketika saya menyodorkan naskah awal buku berjudul “Cermin Bening dari Pesantren: Potret Keteladanan Para Kiai”, pada Juli 2009, yang saya pakai sebagai mahar meminang istri, bapak senang, walapun seperti biasa, beliau bisa menahan diri untuk bersikap “biasa saja”. Sikap yang merupakan tipikal ortu generasi lawas, bukan? Hehehe
Saat di bangku MTs ini pula, bapak sering meminta saya puasa sunnah. Dijatah sekian bulan, lalu diganti puasa Dawud, kemudian disambung dengan puasa Selasa-Rabu-Kamis, dimana saya dipandu oleh Mbah Kiai Yusuf, salah satu santri Tebuireng era 1920-an yang juga pernah menjadi juru pijat Mbah KH. M. Hasyim Asy’ari. Awalnya ya klenger, lambat laun menikmati. Malah, kini saya jarang berpuasa sunnah, memilih tirakat dahar, alias bersyukur melalui kuliner. Khakhakhakha
Di MTs ini, saya merasa bapak meningkatkan gemblengannya. Soal mental lebih diperketat. Saya sejak MI diminta membantu bikin es lilin, lalu beliau minta saya mengantarkannya ke warung-warung sekitar pesantren. Setiap sore, saya pula yang mengambil termos es. Ada sisa atau tidak, saya yang diberi tugas menghitung keuangannya. Termasuk laba yang saya dapatkan. Ini adalah pola menarik penempaan mental sejak dini, agar tidak gengsi, tidak “menjual” nasab, tidak terlalu tinggi menilai kualitas diri, dan bisa cari fulus dengan bahagia. Mentalitas berwirausaha, dalam istilah sekarang.
Di level penempaan lain saat MTs ini, saya dipilihkan kitab Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa, lantas diminta sorogan bakda magrib kepada pakde saya, KH. Achmad Zaini Syafawi, Pengasuh PP Mabdaul Ma’arif Jombang-Jember. Belum sampai khatam, bapak meminta saya melanjutkan sorogan tafsir al-Iklil fi Ma’anit Tanzil karya KH. Misbah Zainal Mustofa, tetap bakda magrib kepada Yai Ahmad Zaini.
Mungkin ini cara bapak saya menanamkan kecintaan terhadap karya para ulama Indonesia, yang berbahasa Jawa, sembari mengimbanginya dengan menyuruh saya ngaji Tafsir Jalalain, kepada pakde saya yang lain, KH. Nurul Huda Syafawi.
Bapak mencintai ilmu. Selain dibuktikan dengan kurang lebih 2000-an buku dan kitab yang diwariskan kepada saya, bapak mengajar di beberapa kampus: INAIFAS Kencong, IAIN Jember, Universitas Islam Jember, IAI al-Qodiri Jember; juga di STIH Jenderal Sudirman Lumajang, Univ. Widya Gama Lumajang, dan STAI At-Taqwa Bondowoso. Karena nggak punya sepeda motor dan mobil, bapak ngebis. Seringkali naik angkot. Tapi kedisiplinannya di atas rata-rata. Bagi saya, bapak mengajar bukan karena tugas atau kewajiban, melainkan panggilan jiwa.
Pernah, ketika asam uratnya kambuh, dan beliau harus merangkak karena saking sakitnya, ibu sudah mencegahnya agar tidak berangkat mengajar. Bapak diam, tapi tanganya meraih hape, dan menelepon Lek Ilyas (ayahnya Bagoez Prasetyo), adiknya. Paklek datang. Bapak memintanya menggendong tubuhnya, meletakkannya di atas sepeda motor, lantas berangkat ke IAI al-Qodiri, Jember. Di sana, mahasiswa yang sudah menunggu membopong tubuh bapak dari atas sepeda motor, lalu meletakkannya di atas kursi di ruang kelas dan….beliau ngajar seperti biasa.
Saya tidak bisa meniru semangat bapak dalam mengajar dan kedisiplinannya. Saya hanya bisa meniru semangatnya dalam berkarya tulis dan berjualan buku. Ya, selain menulis buku dan menerjemahkan beberapa kitab, bapak juga berjualan buku. Bapak kulak buku ke Surabaya, dibawa ke Jember, dijual ke mahasiswa. Seringkali mahasiswa utang; buku dibawa dulu, bayar nanti, bapak santai saja. Walaupun yang ngemplang juga ada.
“Yang penting arek-arek punya buku. Kalau nggak dibaca sekarang, mungkin nanti. Jika dia tidak membacanya, mungkin anak atau cucunya, atau bahkan tetangganya yang membacanya.” jawab bapak, suatu ketika.
Saking senangnya sama ilmu, bapak baru mendaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) di usia 47 tahun. Lulus tahun 2003. Kemudian, dalam kondisi fisik yang mulai menurun, menjelang usia 60 tahun, bapak mendaftar kuliah S-3 di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Manakala ditanya sahabat-sahabatnya mengapa sudah sepuh kok masih capek-capek kuliah, dengan enteng bapak menjawab, “Biar aku menjadi contoh bagi anak-anakku kalau belajar itu nggak memandang usia.”, atau jawaban lain yang lebih telak yang disampaikan ke saya, “Aku S3 biar nanti kamu bisa melebihiku. Aku sudah tua saja bisa S3 masak kamu cuma puas sebagai lulusan S2.”
Plak!
Saya bersyukur bisa menyaksikan bapak saya menjalani ujian terbuka disertasi meski tertatih-tatih setelah dihajar stroke. Ketika menulis tugas kuliah, beliau tak menyerah meski harus belajar ngetik mulai dasar di laptop dan harus bolak-balik Jember-Surabaya untuk kuliah dan bimbingan disertasi. Di sini saya paham, tarekat bapak hanya satu: Thariqah Ta’lim Wat Ta’allum. Konsisten dan fokus menjalaninya.
Ketika stroke untuk kedua kali dan terbaring di ranjang rumah sakit pun, bapak masih tetap sabar membimbing mahasiswanya yang datang sambil menjenguk. Jika ada mahasiswa yang bimbingan, bapak menemuinya di atas ranjang rumah sakit, dan menuliskan beberapa catatan koreksian. Jika ada mahasiswa yang lama tidak bimbingan, saya atau adik Qoidudduwal atau bahkan adik Nabilah Sholihah yang diminta menghubungi mahasiswa tersebut via telepon, menanyakan kendalanya.
Dalam kondisi kesehatan yang terus menurun di RS Soebandi Jember, saya senang melihat bapak masih hafal nama-nama mahasiswanya maupun alumni kampus yang menjenguknya. Bapak mendoakan satu persatu mereka. Yang mau selesai studi, belum dapat jodoh, belum dapat pekerjaan, hingga yang sambat soal rezeki seret. Semua didoakan walaupun dalam kondisi pelafalan yang kurang begitu jelas. Bapak tidak mau menyerah menghadapi stroke. Beliau melawannya. Bahkan dalam kondisi yang tidak stabil, bapak meminta adik Qoidudduwal menghubungi Mas Aksin Wijaya yang saya itu berada di Maroko menempuh studi. Sekadar menanyakan kabarnya.
Saat tergolek di rumah sakit dihajar ini stroke, menjelang ujian terbuka, ada alasan lain yang disampaikan bapak saya kepada ibu, “Orang menuntut ilmu di usia senja semata-mata bukan karena ingin pintar, ingin ini itu, namun agar keberkahan ilmu senantiasa menaungi keluarga dan anak cucu.”
Tulisan ini tidak hendak memuji bapak. Hanya sebatas mengabadikan kenangan atas beliau, dan meniru dengan sederhana apa yang telah dimulai oleh Syekh Sa’īd Ramadlān al-Būthy melalui kenangan atas ayahnya, Syekh Mullā Ramadlān al-Būthy, melalui “Hadza Wālidīy”, atau Buya Hamka melalui “Ayahku”, dan Irfan Hamka melalui “Ayah”. Juga, Mendikbud RI (1978-1983) Daoed Joesoef melalui memoar “Emak”, Gus Dur dan Gus Sholah yang mengabadikan citra ayah dan ibunya melalui “KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Puteranya”, juga “Ibuku Inspirasiku: Ny. Hj. Sholihah Wahid Hasyim”.
***
Mengenang bapak saya, H. Saifuddin Mujtaba. Wafat enam tahun silam. Sabtu Wage, 14 Februari 2015/ 24 Rabiul Akhir 1436 H.
Untuk Almarhum Bapak Saifuddin Mujtaba dan Almarhum adik Qoidud Duwal serta almarhumin yang tertera dalam tulisan ini.
Lahumul fatihah
http://www.penerbitimtiyaz.com/
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.