Dulu saya adalah orang yang
mengagungkan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah bagi saya dulu adalah
satu-satunya kebenaran. Jika tak ilmiah, saya tak percaya. Tapi setelah banyak
belajar dan banyak membaca, saya akhirnya tercerahkan. Bahwa saya dulu itu, tanpa
saya sadari, merupakan penganut paham positivisme. Tulisan saya ini juga
bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat saat ini, terutama para
mahasiswa maupun kaum akademisnya. Lebih-lebih mahasiswa di perguruan tinggi
yang bermutu rendah.
Berkenalan dengan positivisme
Pikiran saya benar-benar
tercerahkan setelah membaca buku F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Fransisco Budi Hardiman merupakan alumnus STF Driyarkara yang sekarang menjadi Guru Besar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Lewat buku Hardiman, saya memahami apa itu positivisme. Sekarang saya memahami bahwa kebenaran ilmiah yang diagungkan oleh banyak orang adalah
kebenaran menurut salah satu aliran saja dalam filsafat, yakni rasionalisme dan
empirisme. Dan yang lebih ekstrem lagi ialah aliran filsafat positivisme. Aliran
positivisme ini mencoba untuk menerapkan metode ilmu alam (yang bersifat
objektif) kepada seluruh bidang kehidupan manusia. Nah, kehidupan masyarakat
hari ini didominasi oleh paham positivisme.
Paham positivisme berupaya menjawab
seluruh problem kehidupan (terutama untuk ilmu-ilmu sosial) dengan menggunakan
metode ilmu-ilmu alam. Pengetahuan yang didapat tidak melalui metode ilmu alam
dianggap tidak sahih. Bahasa sederhananya: dianggap tidak benar. Jadi, menurut
paham positivisme, pengetahuan yang benar itu ialah pengetahuan yang objektif
saja yang didapat dengan menggunakan metodologi ilmu-ilmu alam. Dalam bidang
ilmu alam, positivisme itu sangat pas. Dan itu terbukti dengan kemajuan
teknologi saat ini. Tapi, ia menjadi masalah ketika metodologi ilmu alam dipaksakan
kepada ilmu-ilmu sosial.
Positivisme berusaha menerapkan
metode ilmu alam ke dalam seluruh wilayah kehidupan.[1]
Sebenarnya, positivisme dan empirisme sama-sama memberi tekanan kepada
pengalaman. Tetapi, positivisme, berbeda dengan empirisme, membatasi diri pada
pengalaman objektif saja, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman
subjektif atau batiniah.[2]
Positivisme itu sebenarnya
merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat. Ia menandai
krisis pengetahuan Barat. Aliran ini berkembang sejak abad ke-19 dengan
perintisnya Auguste Comte. Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif mencapai puncaknya
dalam sosiologi.[3] Positivisme
menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah
refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.[4]
Pencerahan selanjutnya tentang paham
positivisme saya dapat dari Komaruddin Hidayat. Komaruddin Hidayat adalah seorang cendekiawan muslim yang meraih doktor dalam bidang “filsafat Barat” di Ankara, Turki. Dalam
bukunya, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996, h. 48), Komaruddin Hidayat menulis tentang kritik Ludwig Wittgenstein, terkait
bahasa dalam paham positivisme. Dijelaskan bahwa, kompleksitas pengalaman hidup
manusia dan imajinasinya tak mungkin dapat dituangkan semua dalam bahasa
deskriptif dan kemudian dianalisis dengan logika positivisme. Kompleksitas
kehidupan memiliki rasionalitas yang jauh lebih kaya serta penuh nuansa dari
realitas yang dikonstruksi oleh filsafat rasionalisme dan positivistik. Ludwig
Wittgenstein adalah salah satu filsuf Barat kontemporer yang mengkritik
positivisme. Ia pada awalnya adalah pengikut setia paham
rasionalisme-positivisme.
Wittgenstein pada mulanya
sealiran dengan Betrand Russel dan kelompok Mazhab Wina (Lingkaran Wina; Vienna Circle) yang sangat konsisten
dengan logika empirisme-positivisme dalam bangunan epistemologinya. Menurut
mereka, rumusan sebuah kebenaran dianggap sah jika bisa bertahan ketika diuji
atau diverifikasi dengan logika positivisme yang dideduksi dari pengalaman
faktual-empiris. Proposisi tentang Tuhan dan akhirat dianggap tak valid karena
tidak empiris. Jadi, aliran ini mengagungkan hal yang nyata (pasti; positif).
Kebenaran yang sesungguhnya menurut aliran positivistisme adalah yang nyata
(positif). Untuk bidang ilmu alam, metodologi positivistik sangat tepat.
Metodologi empirisme-positivisme sangat berjasa dalam riset dan pengembangan
ilmu pengetahuan.[5] Tapi paham
positivistik menjadi problem ketika diterapkan ke dalam seluruh aspek
kehidupan. Karena tak semua bisa didekati dengan metode positivisme. Salah satu
contohnya adalah ilmu-ilmu sosial.
Paham positivisme dalam realitas
masyarakat Indonesia dewasa ini
Secara umum, dibedakan dua macam
ilmu pengetahuan: ilmu alam dan ilmu sosial. Kedua ilmu itu objeknya berbeda.
Objek ilmu-ilmu alam di antaranya adalah fisika, kimia, biologi, dan
sejenisnya. Sedangkan ilmu sosial mengamati berbagai macam gejala kemanusiaan
dan kebudayaan. Masalahnya, apakah perbedaan objek itu harus didekati dan cara
yang sama? Dalam sejarah filsafat pengetahuan, kata F. Budi Hardiman, jawabannya tidak
seragam. Salah satu jawaban yang mendominasi dunia intelektual sejak puncak
zaman modern ini dalam zaman Pencerahan adalah: tak perlu ada perbedaan
pendekatan. Karena melihat metode ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala
alam sampai berkembangnya teknologi hari ini, maka metode itupun diyakini juga
akan sukses untuk ilmu sosial kemasyarakatan. Nah, mereka yang menganut
pandangan itulah yang dimasukkan ke dalam aliran positivisme. Tokoh-tokohnya
yang termasyhur di antaranya adalah Auguste Comte, Ernst Mach, dan para filsuf
Lingkungan Wina (Vienna Circle).[6]
Positivisme, yang menyanjung
metode ilmu alam, juga berpikir seperti ilmu alam: yaitu bebas nilai (value-free):
dalam melihat sesuatu berupaya seobjektif mungkin dan menjauhkan penilaian yang
bersifat subjektif, yang bersifat moral, nafsu, kepentingan subjektif, dsb. Positivistik
hanya cocok untuk ilmu alam. Untuk ilmu sosial, paham positivistik tak
sepenuhnya bisa diterapkan. Karena manusia bukan objek yang statis seperti
robot atau mesin. Manusia adalah juga subjek yang berpikir, berbicara,
berperasaan, dan bertindak.
Objektivisme yang merupakan
puncak perkembangan teori pengetahuan menghapus peranan subjek pengetahuan dan
gejala objektivisme itu tampil dalam metodologi positivistik dalam ilmu-ilmu
sosial. Objektivisme dan positivisme mengidentikkan pengetahuan dengan metode
ilmiah. Artinya, hanya pengetahuan yang dihasilkan melalui metode ilmiahlah
pengetahuan yang sahih yang dikenal dengan “ilmu pengetahuan; sains”.
Bahasa sederhananya: tak ada kebenaran di luar metode ilmiah. Dalam bidang ilmu
alam, metode ilmiah yang bersifat objektif saya setuju. Tapi, dunia kehidupan
manusia ini terlalu luas jika hanya dipahami dengan metode ilmiah yang
menggunakan metode ilmu alam.[7]
Paham positivisme ini menjangkiti
masyarakat Indonesia dewasa ini. Mereka mengagungkan pengetahuan ilmiah sebagai
satu-satunya kebenaran yang mesti dipercayai dan diikuti. Sehingga sering kita
dengar ungkapan: “Itu tidak ilmiah; ini berdasarkan penelitian ilmiah loh;
itu ilmiah; Anda tidak berdasarkan fakta ilmiah”, dan sebagainya. Seolah-olah
jika tidak ilmiah adalah sesuatu persoalan dan kesalahan terbesar yang tak termaafkan.
Itulah yang dikritik oleh Friedrich Nietzsche. Emangnya kenapa kalau tidak ilmiah? Mengapa mesti harus ilmiah? Kalau tidak ilmiah
kenapa?” demikian kira-kira kritik Nietzsche.[8]
Masyarakat yang mengidap penyakit
positivisme seperti sedang memakai kacamata kuda: melihat dunia secara sempit
melalui kacamata ilmiah (objektif) saja. Padahal banyak hal dalam kehidupan ini
yang tak bisa dijelaskan secara objektif-ilmiah. Bahkan, sains itu sendiri
bersifat relatif dan terbatas. Ia hanya dianggap benar sebelum dibantah oleh
hasil penelitian terbaru. Pengetahuan ilmiah bukanlah satu-satunya pengetahuan
yang mutlak benar. Metodologi ilmiah (metode yang berasal dari ilmu alam) merupakan
salah satu cara saja—dalam filsafat pengetahuan—untuk mencari kebenaran. Bukan
satu-satunya cara.[9]
Karena terlalu banyak problem kehidupan yang tak bisa dijelaskan melalui
pendekatan ilmiah yang bersifat objektif-positivistik. Soal surga dan neraka,
keberadaan Allah, misalnya, tak bisa dijelaskan dengan pasti oleh pendekatan
positivistik. Contoh sederhana saja misalnya tentang nasib manusia. Pendekatan ilmiah
positivistik tak bisa menjelaskan tentang misteri nasib. Maka filsuf semisal
Albert Camus tak ingin menjelaskan kehidupan dari pendekatan ilmiah-positivisme. Ia punya pemikiran (filsafat) sendiri yang dikenal dengan istilah “absurditas”.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
Referensi:
F. Budi Hardiman. Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem
Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Komaruddin Hidayat. Memahami
Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.
[1] F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme
dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem
Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
[2] Catatan kaki dalam F. Budi Hardiman,
Melampaui Positivisme, h. 54.
[3] F. Budi
Hardiman, h. 56.
[4] F. Budi Hardiman, h. 55.
[5] Lihat Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996, khususnya di halaman 55.
[6] F. Budi Hardiman, h. 21.
[7] Lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme
dan Modernitas, h. 64.
[8] Tentang ini silakan tonton penjelasan A. Setyo Wibowo
mengenai filsafat Nietzsche di YouTube.
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat mulai lah buat iklan gratis di Iklans.com dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.